Friday, June 13, 2008

Laki-laki Tak Pernah Menstruasi!

Assalamu’alaikum, para sahabat!

Ini cuma ocehan hasil lamunan saya beberapa malam silam:

Tegas! Itulah harusnya ciri seorang lelaki. Sebab laki-laki tak pernah mengalami menstruasi, dan karenanya tak boleh plin-plan, tak pantas loyo, tak layak rapuh, dan harus konsisten dalam bersikap.

Syahdan, dalam sejarah kepresidenan Indonesia, setidaknya menurut kacamata nafsu pribadi saya, SBY adalah presiden paling tidak-tegas, figur paling plin-plan yang pernah dan sedang memimpin negeri kita. Ini berbanding terbalik dengan performance-nya dan latar belakang karirnya sebagai militer. Dari mulai penanganan kawasan paska-bencana, berbagai kasus korupsi, konflik horizontal, hingga sikap plintat-plintut yang ia perlihatkan saat melanggar janji tidak akan menaikkan BBM. Belum lagi nyalinya yang menciut saat berhadapan dengan IMF, WTO, dan paksaan dari pihak swasta yang mengajukan privatisasi BUMN. Pun ia tak berdaya mencegah manusia-manusia asing menguasai sebagian besar sumberdaya alam di zamrud khatulistiwa ini.

Seluruh fenomena ini mendorong saya mengingat sepak-terjang sejumlah orang yang pernah menduduki kursi RI-1 di negeri ini. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan dalam sepak terjangnya:

Sukarno cukup berani menentang Barat. Ia gemborkan prinsip anti-imperialisme. Pun ia sangat benci infiltrasi liberalis barat terhadap Indonesia. Bahkan Amerika pun pernah ia tantang. Tak jarang ia pompa semangat rakyat lewat orasi yang menggebu-gebu. Ia juga seorang intelektual yang cerdas, kritis, dan menguasai sejumlah bahasa asing. Tapi semangatnya yang terlampau membara justru membuatnya tak terkendali, terlalu melangit, tak lagi profan, lupa rakyat, dan terobsesi memiliki kekuasaan tanpa batas. Gayanya yang flamboyan juga agak sedikit mengganggu mekanisme pemerintahan. Hingga akhirnya ia harus jatuh karena lupa diri, selain karena tak hati-hati menghadapi sikutan dan potensi ancaman dari kiri-kanan.

Suharto kemudian mengawali babak baru. Kepiawaiannya menguasai militer, terutama Angkatan Darat, membuatnya bisa bertahan lama dan ditakuti. Di hadapannya, hanya segelintir orang yang berani menyatakan diri sebagai oposan. Dan, siapapun yang berani mengkritik dia, dijamin tak bakal bertahan lama di jagad perpolitikan, bahkan tak bertahan lagi di kehidupan nyata (banyak yang tewas karena menentang Suharto). Ia “kuning”-kan semua aparat dan elemen pemerintahan dalam satu payung yang tak pernah ia nyatakan sebagai partai. Ia gandakan fungsi angkatan bersenjata. Ia ciptakan jargon-jargon yang nyaman “terdengar di perut” rakyat. Namun ia terlalu asyik membohongi rakyat. Ia membangun rumah di atas fondasi yang rapuh. Utang luar-negeri bertumpuk. Sialnya lagi, tak semua uang itu ia gunakan buat pembangunan, tapi sebagian ia gunakan membentuk jaringan mafioso, terutama dengan kalangan mata sipit. Ia juga tak lupa memakmurkan keturunannya lewat sofistikasi aset-aset negara. Dan saat rumah yang ia bangun rubuh, rebahlah ia setelah berdiri begitu lama.

Habibie, seorang figur yang kerap dilabeli “anak-buah” Suharto, akhirnya naik ke tampuk RI-1. Siapapun tahu, tokoh dari sulawesi ini memiliki kapasitas otak yang berkebalikan dengan ukuran badannya. Kejeniusannya begitu termasyhur. Ia punya hubungan yang sangat kuat dengan Jerman, mengingat sepak-terjangnya yang sangat dihargai di negeri aria itu. Habibie sangat cerdas, dan kehebatannya telah menarik Eropa untuk merapatkan hubungan dengan Indonesia. Rupiah pun menguat. Dan, di sinilah prestasi Habibie: membanting mata-uang Amerika hingga jatuh di kisaran enam ribu rupiah per dolar! Benar-benar prestasi fantastis! Tentu saja ini membuat Amerika ketar-ketir. Namun, di sisi lain, banyak orang yang tetap sulit menerima Habibie. Sebab, kata mereka, Habibie tetaplah kroni Suharto alias bagian dari Orba. Jadi, apapun sepak-terjangnya, ia tetap sulit dipercaya, apalagi Habibie naik tahta di sebuah era baru, saat demonstrasi menjadi euforia, saat rakyat berhasil menggulingkan Suharto, saat rakyat memiliki harapan baru, saat muncul sebuah jaman baru yang gencar disebut era reformasi. Posisi Habibie sebagai seorang “mantan menteri Orde Baru” membuatnya sangat sulit bergerak, terlebih ia menduduki kursi RI-1 karena posisi darurat mengisi posisi presiden yang lowong.

Rakyat berharap mewujudkan mimpi akan adanya sebuah negara yang lebih baik saat Gus Dur terpilih menjadi presiden, meski naiknya Gus Dur agak mengecewakan dan di luar dugaan sebagian besar orang, sebab saat itu justru Amien Rais yang sedang menjadi pusat perhatian karena dikenal bersuara lantang jauh-jauh hari sebelum reformasi bergulir. Di sisi lain, Gus Dur adalah tokoh nyentrik yang punya banyak massa. Massa Gus Dur juga terkenal loyal dan patuh. Ini menjadi modal bagus bagi Gus Dur untuk menjalankan roda pemerintahan. Namun, kebiasaan Gus Dur nyeletuk ternyata terbawa ke istana. Meski sudah duduk di kursi utama negeri ini, Gus Dudur tetapi tak bisa lepas dari hobi menciptakan kontroversi. Bahkan, kadang, sikap dan ucapannya seringkali terdengar asbun. Ia tuai kecaman keras saat nyeletuk akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ia lahirkan keresahan ketika membubarkan Depsos dan Deppen. Hingga akhirnya Amien, melalui MPR, berinisiatif menurunkan Gus Dur, sebab tingkah Gus Dur yang agak serampangan itu dinilai kontra-produktif. Gus Dur pun harus meninggalkan istana ketika ia sedang santai mengenakan celana pendek.

Kue yang ditinggalkan Gus Dur akhirnya diberikan Amien kepada Megawati. Bahkan Amien sempat berseloroh di sebuah media, “saat ini rakyat membutuhkan presiden yang ABG, singkatan dari Asal Bukan Gus Dur.” Artinya, menurut Amien, Megawati atau siapapun tidak jadi masalah. Yang penting, Gus Dur harus segera diturunkan dan diganti. Megawati pun menduduki empuknya kursi RI-1 sambil mengumbar berbagai janji penyejuk hati rakyat. Selain “beruntung” karena terlahir sebagai anak Sukarno yang termasyhur, Megawati juga sempat menjadi simbol perlawanan kaum tertindas, menjadi ikon para oposan, meski sebenarnya citra “perlawanan” itu tidak muncul dari Megawati sendiri, melainkan dari sebuah situasi fait a compli yang diciptakan Suharto terhadap ayah Megawati, empat dekade lalu. Karenanya, posisi Megawati lebih mirip avenging hero, pahlawan orang yang ditunggu-tunggu untuk membalaskan dendam. Dan, sebagaimana sudah bisa ditebak sebelumnya, banyaknya dukungan massa tidak pernah bisa menjamin bagusnya sebuah pemerintahan. Apalagi, lama kelamaan, banyak yang sadar bahwa nama Megawati seringkali tak bisa lepas dari bayang-bayang ayahnya. Megawati memang kerapkali mampu memancing “emosi romantis” rakyat, tapi ia tak pernah punya ide apa-apa tentang pemerintahan.

Lewat sistem pilpres langsung yang baru digelar pertama kali, muncullah seseorang bernama Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Nama jenderal yang satu ini pertama kali mencuat saat ia menjabat Menko Polkam, ketika konflik berdarah di Poso menyita perhatian publik. Selain agak “diuntungkan” oleh tampangnya yang memikat, SBY mampu memikat konstituen lewat gaya bicara yang super berwibawa. Khalayak pun berharap banyak setelah SBY nangkring di kursi utama istana. Ia restrukturisasi struktur berbagai departemen. Ia ciptakan berbagai regulasi baru di segala sektor. Namun, ternyata, SBY tak se-“macho” yang dikira. Seringkali ia bersikap tak tegas, plin-plan, alias tidak konsisten pada ucapannya. Perlahan tapi pasti, kesemrawutan muncul di sana-sini. Selain faktor alam yang tidak bersahabat dengan SBY (banyak bencana alam terjadi sejak SBY memimpin), ketidakbecusannya membenahi perekonomian diperparah dengan perekrutan menteri kabinet yang tidak handal. Ia jual BUMN, ia privatisasi aset-aset negara. Gelombang aksi protes pun melanda negeri ini tak henti-henti. SBY menggantungkan banyak persoalan yang tak pernah selesai hingga kini. Pada 2005, SBY mengejutkan publik dengan menaikkan harga BBM. Sejumlah anggota parlemen pun memprotes kebijakan yang tidak bijak ini. Namun, dengan gaya bicaranya yang kalem dan penuh wibawa, SBY meninabobokan rakyat dan parlemen. Ia berjanji tak akan pernah lagi menaikkan harga BBM setelah 2005. Syahdan, di pertengahan 2008, ia “meralat” janji itu. Harga BBM pun kembali naik. Kenaikan harga minyak dunia menjadi alasan kenaikan harga BBM domestik.

Di sisi lain, rakyat tak pernah mengerti istilah-istilah gemerlap semisal “inflasi”, “harga minyak dunia”, “defisit APBN”, dan sebagainya. Mereka tak perlu pahami uraian akademis yang meluncur dari mulut Sri Mulyani, juga tak butuh analisisi Budiono, atau alasan apapun dari siapapun. Mereka tak butuh informasi tentang berapa harga minyak per barel di pasaran dunia saat ini. Bahkan, mungkin, sebagian besar masyarakat tak mengerti satuan volume barrel. Mereka hanya tahu, jika BBM naik, maka hidup mereka kian terjepit, dan satu-satunya sosok yang kasat mata untuk mereka kambinghitamkan adalah sang presiden, SBY.

Era kepemimpinan SBY benar-benar menukik pada titik terendah. Badai tsunami menyambut SBY di tahun pertamanya. Kemudian, susul-menyusul, berbagai bencana menimpa Nusantara, dari yang diklaim sebagai “faktor alam” semata hingga yang dianggap hasil ulah manusia. Terakhir, pengingkaran janji lewat "kebijakan" menaikkan harga BBM (saya beri tanda kutip pada "kebijakan", sebab "kebijakan" ini "tidak bijak") dan pengalihan isu lewat pengadu-dombaan sesama muslim lewat kasus monas, menandai proses depopulerisasi karir politik SBY.

Akhirnya, ocehan ngelantur ini saya tutup dengan peringatan:
“Laki-laki tak pernah menstruasi!”

Wallohu a’lam bishowab.
Assalamu’alaikum, para sahabat!

Ini cuma ocehan hasil lamunan saya beberapa malam silam:

Tegas! Itulah harusnya ciri seorang lelaki. Sebab laki-laki tak pernah mengalami menstruasi, dan karenanya tak boleh plin-plan, tak pantas loyo, tak layak rapuh, dan harus konsisten dalam bersikap.

Syahdan, dalam sejarah kepresidenan Indonesia, setidaknya menurut kacamata nafsu pribadi saya, SBY adalah presiden paling tidak-tegas, figur paling plin-plan yang pernah dan sedang memimpin negeri kita. Ini berbanding terbalik dengan performance-nya dan latar belakang karirnya sebagai militer. Dari mulai penanganan kawasan paska-bencana, berbagai kasus korupsi, konflik horizontal, hingga sikap plintat-plintut yang ia perlihatkan saat melanggar janji tidak akan menaikkan BBM. Belum lagi nyalinya yang menciut saat berhadapan dengan IMF, WTO, dan paksaan dari pihak swasta yang mengajukan privatisasi BUMN. Pun ia tak berdaya mencegah manusia-manusia asing menguasai sebagian besar sumberdaya alam di zamrud khatulistiwa ini.

Seluruh fenomena ini mendorong saya mengingat sepak-terjang sejumlah orang yang pernah menduduki kursi RI-1 di negeri ini. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan dalam sepak terjangnya:

Sukarno cukup berani menentang Barat. Ia gemborkan prinsip anti-imperialisme. Pun ia sangat benci infiltrasi liberalis barat terhadap Indonesia. Bahkan Amerika pun pernah ia tantang. Tak jarang ia pompa semangat rakyat lewat orasi yang menggebu-gebu. Ia juga seorang intelektual yang cerdas, kritis, dan menguasai sejumlah bahasa asing. Tapi semangatnya yang terlampau membara justru membuatnya tak terkendali, terlalu melangit, tak lagi profan, lupa rakyat, dan terobsesi memiliki kekuasaan tanpa batas. Gayanya yang flamboyan juga agak sedikit mengganggu mekanisme pemerintahan. Hingga akhirnya ia harus jatuh karena lupa diri, selain karena tak hati-hati menghadapi sikutan dan potensi ancaman dari kiri-kanan.

Suharto kemudian mengawali babak baru. Kepiawaiannya menguasai militer, terutama Angkatan Darat, membuatnya bisa bertahan lama dan ditakuti. Di hadapannya, hanya segelintir orang yang berani menyatakan diri sebagai oposan. Dan, siapapun yang berani mengkritik dia, dijamin tak bakal bertahan lama di jagad perpolitikan, bahkan tak bertahan lagi di kehidupan nyata (banyak yang tewas karena menentang Suharto). Ia “kuning”-kan semua aparat dan elemen pemerintahan dalam satu payung yang tak pernah ia nyatakan sebagai partai. Ia gandakan fungsi angkatan bersenjata. Ia ciptakan jargon-jargon yang nyaman “terdengar di perut” rakyat. Namun ia terlalu asyik membohongi rakyat. Ia membangun rumah di atas fondasi yang rapuh. Utang luar-negeri bertumpuk. Sialnya lagi, tak semua uang itu ia gunakan buat pembangunan, tapi sebagian ia gunakan membentuk jaringan mafioso, terutama dengan kalangan mata sipit. Ia juga tak lupa memakmurkan keturunannya lewat sofistikasi aset-aset negara. Dan saat rumah yang ia bangun rubuh, rebahlah ia setelah berdiri begitu lama.

Habibie, seorang figur yang kerap dilabeli “anak-buah” Suharto, akhirnya naik ke tampuk RI-1. Siapapun tahu, tokoh dari sulawesi ini memiliki kapasitas otak yang berkebalikan dengan ukuran badannya. Kejeniusannya begitu termasyhur. Ia punya hubungan yang sangat kuat dengan Jerman, mengingat sepak-terjangnya yang sangat dihargai di negeri aria itu. Habibie sangat cerdas, dan kehebatannya telah menarik Eropa untuk merapatkan hubungan dengan Indonesia. Rupiah pun menguat. Dan, di sinilah prestasi Habibie: membanting mata-uang Amerika hingga jatuh di kisaran enam ribu rupiah per dolar! Benar-benar prestasi fantastis! Tentu saja ini membuat Amerika ketar-ketir. Namun, di sisi lain, banyak orang yang tetap sulit menerima Habibie. Sebab, kata mereka, Habibie tetaplah kroni Suharto alias bagian dari Orba. Jadi, apapun sepak-terjangnya, ia tetap sulit dipercaya, apalagi Habibie naik tahta di sebuah era baru, saat demonstrasi menjadi euforia, saat rakyat berhasil menggulingkan Suharto, saat rakyat memiliki harapan baru, saat muncul sebuah jaman baru yang gencar disebut era reformasi. Posisi Habibie sebagai seorang “mantan menteri Orde Baru” membuatnya sangat sulit bergerak, terlebih ia menduduki kursi RI-1 karena posisi darurat mengisi posisi presiden yang lowong.

Rakyat berharap mewujudkan mimpi akan adanya sebuah negara yang lebih baik saat Gus Dur terpilih menjadi presiden, meski naiknya Gus Dur agak mengecewakan dan di luar dugaan sebagian besar orang, sebab saat itu justru Amien Rais yang sedang menjadi pusat perhatian karena dikenal bersuara lantang jauh-jauh hari sebelum reformasi bergulir. Di sisi lain, Gus Dur adalah tokoh nyentrik yang punya banyak massa. Massa Gus Dur juga terkenal loyal dan patuh. Ini menjadi modal bagus bagi Gus Dur untuk menjalankan roda pemerintahan. Namun, kebiasaan Gus Dur nyeletuk ternyata terbawa ke istana. Meski sudah duduk di kursi utama negeri ini, Gus Dudur tetapi tak bisa lepas dari hobi menciptakan kontroversi. Bahkan, kadang, sikap dan ucapannya seringkali terdengar asbun. Ia tuai kecaman keras saat nyeletuk akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ia lahirkan keresahan ketika membubarkan Depsos dan Deppen. Hingga akhirnya Amien, melalui MPR, berinisiatif menurunkan Gus Dur, sebab tingkah Gus Dur yang agak serampangan itu dinilai kontra-produktif. Gus Dur pun harus meninggalkan istana ketika ia sedang santai mengenakan celana pendek.

Kue yang ditinggalkan Gus Dur akhirnya diberikan Amien kepada Megawati. Bahkan Amien sempat berseloroh di sebuah media, “saat ini rakyat membutuhkan presiden yang ABG, singkatan dari Asal Bukan Gus Dur.” Artinya, menurut Amien, Megawati atau siapapun tidak jadi masalah. Yang penting, Gus Dur harus segera diturunkan dan diganti. Megawati pun menduduki empuknya kursi RI-1 sambil mengumbar berbagai janji penyejuk hati rakyat. Selain “beruntung” karena terlahir sebagai anak Sukarno yang termasyhur, Megawati juga sempat menjadi simbol perlawanan kaum tertindas, menjadi ikon para oposan, meski sebenarnya citra “perlawanan” itu tidak muncul dari Megawati sendiri, melainkan dari sebuah situasi fait a compli yang diciptakan Suharto terhadap ayah Megawati, empat dekade lalu. Karenanya, posisi Megawati lebih mirip avenging hero, pahlawan orang yang ditunggu-tunggu untuk membalaskan dendam. Dan, sebagaimana sudah bisa ditebak sebelumnya, banyaknya dukungan massa tidak pernah bisa menjamin bagusnya sebuah pemerintahan. Apalagi, lama kelamaan, banyak yang sadar bahwa nama Megawati seringkali tak bisa lepas dari bayang-bayang ayahnya. Megawati memang kerapkali mampu memancing “emosi romantis” rakyat, tapi ia tak pernah punya ide apa-apa tentang pemerintahan.

Lewat sistem pilpres langsung yang baru digelar pertama kali, muncullah seseorang bernama Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Nama jenderal yang satu ini pertama kali mencuat saat ia menjabat Menko Polkam, ketika konflik berdarah di Poso menyita perhatian publik. Selain agak “diuntungkan” oleh tampangnya yang memikat, SBY mampu memikat konstituen lewat gaya bicara yang super berwibawa. Khalayak pun berharap banyak setelah SBY nangkring di kursi utama istana. Ia restrukturisasi struktur berbagai departemen. Ia ciptakan berbagai regulasi baru di segala sektor. Namun, ternyata, SBY tak se-“macho” yang dikira. Seringkali ia bersikap tak tegas, plin-plan, alias tidak konsisten pada ucapannya. Perlahan tapi pasti, kesemrawutan muncul di sana-sini. Selain faktor alam yang tidak bersahabat dengan SBY (banyak bencana alam terjadi sejak SBY memimpin), ketidakbecusannya membenahi perekonomian diperparah dengan perekrutan menteri kabinet yang tidak handal. Ia jual BUMN, ia privatisasi aset-aset negara. Gelombang aksi protes pun melanda negeri ini tak henti-henti. SBY menggantungkan banyak persoalan yang tak pernah selesai hingga kini. Pada 2005, SBY mengejutkan publik dengan menaikkan harga BBM. Sejumlah anggota parlemen pun memprotes kebijakan yang tidak bijak ini. Namun, dengan gaya bicaranya yang kalem dan penuh wibawa, SBY meninabobokan rakyat dan parlemen. Ia berjanji tak akan pernah lagi menaikkan harga BBM setelah 2005. Syahdan, di pertengahan 2008, ia “meralat” janji itu. Harga BBM pun kembali naik. Kenaikan harga minyak dunia menjadi alasan kenaikan harga BBM domestik.

Di sisi lain, rakyat tak pernah mengerti istilah-istilah gemerlap semisal “inflasi”, “harga minyak dunia”, “defisit APBN”, dan sebagainya. Mereka tak perlu pahami uraian akademis yang meluncur dari mulut Sri Mulyani, juga tak butuh analisisi Budiono, atau alasan apapun dari siapapun. Mereka tak butuh informasi tentang berapa harga minyak per barel di pasaran dunia saat ini. Bahkan, mungkin, sebagian besar masyarakat tak mengerti satuan volume barrel. Mereka hanya tahu, jika BBM naik, maka hidup mereka kian terjepit, dan satu-satunya sosok yang kasat mata untuk mereka kambinghitamkan adalah sang presiden, SBY.

Era kepemimpinan SBY benar-benar menukik pada titik terendah. Badai tsunami menyambut SBY di tahun pertamanya. Kemudian, susul-menyusul, berbagai bencana menimpa Nusantara, dari yang diklaim sebagai “faktor alam” semata hingga yang dianggap hasil ulah manusia. Terakhir, pengingkaran janji lewat "kebijakan" menaikkan harga BBM (saya beri tanda kutip pada "kebijakan", sebab "kebijakan" ini "tidak bijak") dan pengalihan isu lewat pengadu-dombaan sesama muslim lewat kasus monas, menandai proses depopulerisasi karir politik SBY.

Akhirnya, ocehan ngelantur ini saya tutup dengan peringatan:
“Laki-laki tak pernah menstruasi!”

Wallohu a’lam bishowab.

1 comment:

Anonymous said...

laki-laki memang takpernah menstruasi ^_^