Wednesday, January 23, 2008

Memahami Ikhtilâf, Menghindari Iftirâq

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

“Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”

(QS. Al-Mu’minûn: 53)

Realitas perbedaan pendapat (ikhtilâf) adalah realitas yang omnipresent (ada di mana-mana), tidak terkecuali dalam masalah-masalah fiqih. Karena fiqih sangat dekat dengan keyakinan seseorang, maka ikhtilaf pada bidang ini seringkali mudah diprovokasi untuk menjadi biang konflik dan perpecahan di kalangan umat. Yang diperdebatkan pun benar-benar hanya beberapa masalah furû’iyyah, yaitu masalah isbâl, jenggot dan sejenisnya.

Fenomena seperti ini kemungkinan akan terus terjadi di masa-masa yang akan datang seperti telah terjadi juga di masa-masa lalu. Namun, persoalan seperti ini sifatnya ijtihâdi-furû’i (masalah ijtihad dalam urusan cabang agama) yang sebenarnya tidak perlu menimbulkan pertengkaran, apalagi perseteruan sepanjang masa. Kita memang mesti memilih mana yang paling benar dan paling dekat dengan Sunnah, namun tidak perlu menganggap yang berbeda dengan pilihan kita telah keluar dari Sunnah, berbuat bid’ah yang tercela, dan kurang keimanannya pada Allah Swt. Sebab, mereka pun mengasaskan pendiriannya pada keterangan dalil Al-Quran dan Sunnah, betapapun menurut kita lemah. Alhasil, selama masih memiliki sandaran dalil, berarti ini merupakan ijtihad yang dibolehkan Rasulullah Saw.

Perkara-perkara yang ikhtilaf tentu tidak hanya ini. Banyak sekali ikhtilaf fiqih yang kita saksikan di sekitar kita, baik dalam ibadah mahdhah maupun ghair mahdhah. Bagi sebagian orang agak membingungkan. Apalagi bagi yang baru mengenal Islam, seolah-olah ajaran Islam banyak sekte-sekte seperti pada agama-agama lain. Sampai ada yang berkesimpulan Islam itu ada Islam-NU, Islam-Muhammadiyah, Islam-DDII, Islam-Persis, Islam-Liberal, Islam-Puritan, Islam-Fundamentalis, dan istilah-istilah lain yang sungguh sangat merugikan Islam dan umat Islam sendiri.

Jelas Beda dengan Kristen

Ikhtilaf dan banyaknya organisasi di dalam Islam bukanlah sekte seperti dalam agama lain. Misalnya dalam Kristen. Di dalam sistem kepercayaan agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan, tidak dapat dibendung adanya sekte-sekte. Antara sekte dengan sekte yang lain hampir-hampir membentuk komunitas dan agama sendiri yang tidak mungkin lagi dipersatukan dalam sebuah payung “kekristenan”. Bila satu sekte beribadah di satu gereja, maka dia selamanya hanya bisa dan boleh beribadah di gereja sektenya. Dia tidak bisa dan tidak boleh beribadah di gereja sekte lain. Kalau di suatu tempat tidak ada geeja yang berasal dari sektenya, dia akan memilih untuk tidak pergi ke gereja. Perbedaan ini bahkan menjadi pemicu di kalangan mereka. Jangan dikira mereka bersatu dalam satu payung dan saling mengasihi. Yang ada justru perpecahan terjadi begitu hebat. Oleh sebab itu, benarlah firman Allah Swt., “Permusuhan antar sesama mereka sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 14).

Di dalam Islam hal seperti itu tidak terjadi. Sekalipun ada ikhtilaf fiqih, tidak akan sampai terjadi pelarangan ibadah di suatu mesjid bagi yang madzhab fiqihnya berbeda dengan atau organisasinya berbeda. Siapapun boleh dan bebas untuk shalat di mesjid manapun, tanpa khawatir diusir karena perbedaan madzhab. Realitas yang paling mudah dilihat adalah Masjidil-Haram di Makkah. Semua umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang tentu saja di antara mereka ada perbedaan-perbedaan pandangan mengenai masalah fiqih, bisa shalat bersama-sama di belakang Imam Masjidil Haram yang belum tentu sama secara madzhab fiqih dengan ma’mum. Kalaulah ada satu gerakan atau madzhab di dalam Islam yang mengharamkan shalat di Mesjid tertentu karena alasan perbedaan madzhab, para ulama di seluruh dunia akan menyepakati bahwa pandangan semacam itu sudah keluar dari koridor ajaran Islam, alias bukan ajaran Islam. Sepanjang sejarah fatwa para mujtahid Islam sepanjang zaman, tidak pernah tercatat ada fatwa semacam itu. Jelas itu bukan bagian dari ajaran Islam.

Hati-hati Jebakan Orientalis!

Ada upaya sengaja dari kalangan orientalis dan ilmuwan Barat yang anti-Islam untuk mengkotak-kotakkan Islam agar sama seperti yang terjadi di Kristen. Oleh sebab itu, dengan sengaja para peneliti Barat mengkategorikan Islam menjadi berbagai jenis. Katakanlah sekarang kita kenal Islam Liberal dan Islam Fundamentalis; ada juga Islam Moderat dan Islam Ekstrimis; dan lain-lain. Para peneliti itu dalam berbagai penelitiannya sengaja ingin membuat penegasan atas perbedaan-perbedaan di antara umat Islam. Mereka ingin agar satu sama lain saling melihat perbedaannya, kemudian saling tidak mau bekerjasama, hingga akhirnya bermusuhan dan berpecah belah.

Bila sudah sampai bermusuhan dan berpecah belah, di sinilah kekuatan umat Islam akan menjadi lemah. Oleh sebab itu, Allah dan Rasul-Nya sangat mewanti-wanti agar tidak sampai terjadi perpecahan dan permusuhan. Allah Swt. berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Āli ‘Imrân [3]: 103); “Dan ta’atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfâl [8]: 46).

Ikhtilaf Generasi Terbaik Umat (Salaf)

Permusuhan, pertengkaran, sampai perpecahan tidak sama dengan banyaknya ikhtilaf fiqih dan beragamnya organisasi Islam. Dalam hal perbedaan pendapat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Rasulullah sering berbeda pendapat dengan dengan shahabat-shahabatnya tentang suatu hal. Umpamanya beliau berbeda pendapat dengan ‘Umar ibn Khaththab tentang tawanan perang Badar; berbeda pendapat dengan Abu Dzar Al-Ghifari tentang strategi Perang Ahzab atau Perang Khandaq.

Di antara para shahabat sendiri pernah terjadi perselisihan pendapat. Bahkan di masa shahabat terkenal dua madrasah (madzhab dan kecenderungan pemikiran), yaitu Madrasah Madinah dan Madrasah Kufah. Madrasah Madinah dikenal sebagai Ahlul-Hadits, tempat berkumpulnya para shahabat yang banyak mengetahui informasi hadits langsung dari Rasulullah saw. Sedangkan Madrasah Kufah dikenal sebagai Madrasah Ahlur-Ra’yi, tempat berkumpul para shahabat yang jauh dari Madinah sehingga sedikit saja mendapat informasi langsung dari Rasulullah saw. Sekalipun disebut Ahlur-Ra’yi (banyak menggunakan pikiran), bukan berarti mereka tidak bersandar pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Al-Quran dan As-Sunnah tetap menjadi pegangan mereka, namun karena informasi mengenai hadits relatif lebih sedikit dibandingkan dengan para shahabat yang tinggal di Madinah, mereka memilih ijtihad bila tidak menemukan jawaban mengenai masalah baru yang mereka hadapi langsung dari Al-Quran dan hadits yang mereka ketahui. Setelah zaman shahabat pun, para imam mujtahid seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hambal, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan para imam mujtahid lain terkadang dalam beberapa hal berbeda pendapat. Perbedaan-perbedaan itu telah sama-sama kita maklumi sekarang dan atsar-nya pun kita warisi sampai sekarang.

Ikhtilaf dalam beberapa pandangan agama itu tidak membuat mereka menjadi saling bermusuhan. Masing-masing tetap berpegang pada pandangan yang mereka anggap paling benar dan paling sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, namun satu sama lain tetap saling menghormati. Di samping itu, mereka juga tetap membuka pintu untuk berdialog dengan lapang dada sebagai pengakuan terhadap salah dalam pendapat yang mereka pegang.

Perhatikan bagaimana perilaku para salafush-shalih terdahulu dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka.

Imam Abu Hanifah mengatakan, “Ini adalah pendapatku dan pendapat terbaik menurutku; maka siapa yang datang dengan pendapat lain yang lebih baik, kami akan menerimanya.” Imam Malik berkata, “Aku hanyalah manusia biasa, bisa benar dan bisa salah; maka timbanglah pendapatku dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.” Sementara Imam Syafi’i berkata, “Apabila ada hadits shahih yang menyalahi pendapatku, maka buanglah pendapatku ke WC”; “Pendapatku benar, namun mengandung kemungkinan salah; sementara pendapat orang lain salah, namun mengandung kemungkinan benar.”

Perbedaan-perbedaan di antara mereka yang tentu saja mereka asaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka anggap sebagai hal biasa. Kalaupun harus mengubah pendapat karena ada yang ternyata lebih argumentatif, lebih shahih, dan lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bagi mereka bukan perkara yang sulit. Imam Asy-Syafi’i terkenal dengan Qaul Qadîm (pendapat lama) dan Qaul Jadîd (pendapat baru)-nya. Beliau tidak segan-segan meralat pendapat lamanya setelah diketahui ada pendapat baru yang lebih kuat dan lebih shahih.

Mereka mau terbuka, tidak sedikitpun rasa takabbur atas pikirannya sendiri sehingga merasa hanya pendapatnyalah yang paling benar dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Sebagai ulama yang selalu haus akan ilmu, tidak ada satu pun pendapat orang lain yang tidak diperhatikan. Bila memang ada di antara pendapat orang lain yang lebih kuat dan lebih argumentatif, tidak segan-segan mereka mengikuti pendapat itu, tanpa ada ganjalan apapun. Sebab, itu merupakan tanggung jawab ilmiah seorang pencari ilmu. Tidak takut pula mereka ditinggalkan oleh para pengikutnya karena mengikuti pendapat imam lain yang ternyata lebih shahih.

Agar Ikhtilâf tidak Menjadi Iftirâq

Sikap para salafush-shalih yang patut menjadi teladan kita itu memperlihatkan dua hal saat berbeda pendapat: ikhlas dan tidak ta’ashshub (fanatik). Ikhlas menjadi pegangan pokok dalam segala pekerjaan mereka. Keikhlasan ini membuat mereka tidak memiliki niat lain selain mengharap ridla Allah Swt. perwujudannya dalam menuntut ilmu dan memegang satu pendapat adalah dengan benar-benar mengasaskan semua pendapatnya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang benar. Kalaupun harus berijtihad, maka ijtihad itu dilakukan dengan benar-benar memohon pertolongan Allah agar tidak terjerumus pada pendapat yang salah, bukan di dasarkan pada rasa tinggi hati atas kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Sebisa mungkin hawa nafsu ingin membantah orang lain atau hanya sekedar ingin beda dari yang lain dihindarkan. Di dalam hatinya tidak terbersit satupun motivasi selain ingin mencari kebenaran karena Allah Swt.

Menghindarkan diri dari ta’asshub (fanatik) atas madzhab atau pendapat sendiri adalah akhlak kedua yang dikedepankan oleh para salaful-ummah itu. Mereka memang beramal atas apa yang mereka pahami dan mereka anggap paling benar seperti kata Imam Abu Hanifah di atas. Namun demikian, pendapat ini tidak lantas mereka bela mati-matian sampai mengabaikan hakikat dari apa yang sedang dibelanya, apalagi sampai mengorbankan ukhuwah, bertengkar, menimbulkan permusuhan, dan berseteru dengan orang-orang yang berbeda pendapat. Dia tetap memberikan kemungkinan untuk direvisinya pendapat yang dipegangnya itu, diganti dengan pendapat lain. Bila perlu, mereka akan mengikuti pendapat yang sebelumnya ditolak.

Kedua sikap di atas pada gilirannya membuka pintu dialog seluas-luasnya di antara mereka sehingga perbedaan yang terjadi tidak berlanjut pada pertengkaran, permusuhan, dan perpecahan yang sangat dibenci oleh Islam. Sekalipun berbeda pendapat, namun mereka tetap berada dalam satu payung jama’atul muslimin. Kriterianya berdasarkan hadits shahih adalah “orang yang mengikuti Rasulullah dan para shahabatnya” atau “orang yang berpegang teguh pada warisan Rasulullah saw.; Al-Quran dan As-Sunnah.” Selama sama-sama masih mengakui Allah dan Rasul-Nya dan selama Al-Quran dan As-Sunnah dijadikan landasan dalam berpikir, berijtihad, dan mengemukakan pendapat, siapapun orangnya, dari madzhab manapun dia, dari organisasi dan kelompok manapun, akan tetap dihormati. Inilah landasan yang kokoh bagi persatuan seluruh komponen umat Islam.

Perpecahan terjadi bukan karena perbedaan pendapat fiqih dan perbedaan organisasi tempat berjuang. Pertengkaran dan perpecahan terjadi karena tiga hal: ketidak-ikhlasan (memperturutkan hawa nafsu), ta’ashshub (fanatik), dan kebodohan. Ketidak-ikhlasan atau memperturutkan hawa nafsu (ittibâ’ al-hawâ’) dalam berpendapat menjadi penyebab utama perbedaan pendapat berubah menjadi pertengkaran dan kemudian perpecahan. Sebagian orang atau kelompok ada yang mengeluarkan suatu pendapat bukan didasarkan benar-benar ingin mencari kebenaran dengan berpegang pada Al-Quran dan As-Sunnah secara konsisten, melainkan hanya ingin asal berbeda dan dikenal. Lebih buruk lagi ada yang mengeluarkan pendapat dengan mengikuti pemikiran musuh-musuh Allah, mengabaikan pendapat-pendapat para ulama salafush-shalih (terdahulu yang saleh), bahkan secara sengaja mengabaikan Al-Quran dan As-Sunnah sendiri. Kalau sudah muncul pendapat dengan landasan motivasi seperti ini akan sulit untuk dicarikan titik temu dengan pandangan-pandangan lain. Bila niat sudah bukan karena Allah Swt, akan mudah setan menggelincirkannya pada pertengkaran dan permusuhan.

Kedua, sikap ta’ashshub (fanatik) terhadap pendapat yang dipegang. Dalam kasus ini, bisa jadi pendapat yang dipegangnya dilandasi oleh niat mencari kebenaran, ikhlas karena Allah SWT. namun, di tengah perjalanan pencariannya itu muncul bisikan-bisikan setan untuk memegang pendapat itu secara mutlak, seolah-olah pendapat itu sama dengan Al-Quran dan As-Sunnah sendiri, padahal hanya ijtihad yang memiliki kemungkinan salah dan benar. Akibatnya ia memaksakan pendapat itu kepada orang lain. Semua orang harus sama dan sepandangan dengan dirinya. Kalau ada orang yang berbeda, dianggap bid’ah dan telah keluar dari ajaran Islam. Padahal, jelas orang lain pun memiliki sandaran dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah yang berarti berpegang pada al-jamâ’ah. Inilah yang disebut sebagai sikap ta’ashshub madzhabi atau ta’ashshub hizbi yang oleh Allah disinyalir dalam Al-Quran: “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al-Mu’minûn [23]: 53).

Ketiga, kebodohan. Kebodohan atau ketidaktahuan terhadap hakikat masalah yang diperselisihkan seringkali mendorong pada perpecahan. Di antara orang-orang yang berbeda pendapat itu tidak memahami bahwa sangat mungkin terjadi ikhtilâf dalam memahami syari’at, sehingga kemudian bersikap seolah-olah hanya ada satu pemahaman yang benar, yaitu pemahaman yang dimilikinya. Mereka tidak tahu Al-Qur’an sendiri sebagai pegangan tidak pernah berisi pertentangan antara satu ayat dengan ayat yang lain. Bila terjadi perbedaan pendapat itu adalah murni datang dari pikiran manusia yang lemah dan nisbi. Kalau ini tidak disadari, maka perbedaan pendapat sangat mudah menjerumuskan para pemegangnya ke dalam pertengkaran dan perpecahan. Allah Swt berfirman mengenai Al-Qur’an yang isinya tidak mungkin bertentangan (ikhtilâf) sebagai berikut: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 82).

Di antara hal tindakan-tindakan yang akan menggiring umat ke dalam suasana kebodohan yang bisa menimbulkan perpecahan di antaranya:

a) Umat dibatasi hanya boleh membaca buku-buku tertentu dari pengarang-pengarang tertentu dengan maksud agar tidak terpengaruhi pikiran lain. Pada gilirannya, cara ini akan membutakan mata umat bahwa dihadapannya banyak pemikiran dan perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam. Dengan begitu, umat akan dipaksa untuk meyakini bahwa pendapat yang benar hanya satu dan akan timbul sikap fanatik pada pendapat itu.

b) Pemimpin suatu organisasi atau gerakan memaksakan agar pemikiran para pengikutnya sama dan seragam dalam memahami agama. Pada gilirannya tindakan seperti ini menggiring umat untuk bersikap taqlid kepada para pemimpin. Padahal, yang paling penting dijaga oleh pemimpin dalam suatu organisasi atau gerakan adalah ketaatan organisasi kepada pimpinan untuk mencapai misi bersama tegaknya kalimat Allah di muka bumi, bukan memaksakan agar pikiran menjadi sama dan seragam. Penyeragaman cara berpikir umat akan membuat umat menjadi bodoh dan fanatik terhadap golongan dan organisasinya, sehingga berpotensi besar menimbulkan perpechan di tengah-tengah umat.

c) Tidak diketahuinya fiqih aulawiyyât (fiqih tentang prioritas amal). Masing-masing gerakan atau organisasi, biasanya mendirikan organisasi mandiri karena ada pekerjaan khusus yang digarap. Misalnya, ada organisasi atau gerakan yang hanya bergerak di bidang dakwah aqidah, dakwah ibadah mahdlah; ada juga yang khusus bergerak di bidang sosial, politik, dan sebagainya. Bila tidak difahami mana yang mesti didahulukan saat ini dan mana yang boleh diakhirkan, masing-masing kelompok merasa bahwa bidang garapannyalah yang paling penting. Padahal di tempat yang berbeda sangat mungkin ada prioritas yang berbeda sangat mungkin ada prioritas yang berbeda yang harus dijalankan. Bila ini tidak diketahui dengan baik, perbedaan-perbedaan jenis gerakan akan mendorong pada perpecahan umat.

d) Kepentingan jangka pendek sesaat akan memaksa para pemimpin untuk “membodohi umat” agar mendukungnya. Misalnya demi kepentingan mengejar jabatan, seorang pemimpin rela membodohi umat dengan janji-janji kosong, ketaatan semu, dan sikap ‘ashabiyah. Kepentingan jangka pendek yang mengorbankan umat seperti ini, saat ini, sangat berpotensi memecah belah umat. Sebab, kepentingan jangka pendek semacam ini mudah disusupi fitnah dan cacian kepada kelompok lain yang berbeda kepentingan hanya sekedar untuk meraup suara. Dalam jangka pendek, suara bisa saja diraih, namun umat tetap bodoh dan perpecahan di kalangan umat akan berbekas begitu lama hingga sulit disembuhkan.

Tantangan dakwah dihadapan kita begitu besar. Cita-cita untuk menegakkan Islam di muka bumi agar menjadi rahmatan lil ‘âlamîn masih harus diperjuangkan terus dengan sungguh-sungguh oleh seluruh komponen umat. Perjuangan itu tidak akan pernah tercapai, bila di antara umat, satu sama lain saling bertengkar dan berpecah belah yang akarnya adalah memperturutkan hawa nafsu, sikap fanatik, dan kebodohan. Jangan sampai hal itu berlarut-larut, apalagi sengaja dipelihara. Bila itu terjadi, yang akan bersorak senang adalah musuh-musuh Islam karena kemenangan akan tetap mereka genggam. Niatkanlah dalam diri kita masing-masing untuk bersatu dengan komponen umat yang lain agar dakwah dan cita-cita tertinggi Islam dapat segera terwujud. Wallâhu A’lam bi as-Shawâb.

Sumber: Risalah, No. 10 Th. 45 Muharram 1429/Januari 2008.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا

sumber: http://pemudapersis-cs.blogspot.com

Saturday, January 19, 2008

Sekali Lagi Tentang Isbal

Ust. Aceng Zakaria

Tentang hukum Isbal, telah saya tulis dengan panjang lebar dalam buku “Haramkah Isbal, dan Wajibkah Jenggot?” Kemudian tulisan itu sebagiannya telah dimuat di majalah Risalah No. 4 Tahun 45 edisi Jumadi Tsani 1428 H/Juli 2007. Dari tulisan itu timbul pro dan kontra, yaitu ada yang setuju dengan pendapat saya, seperti saudara Royhan Muhammad Syafiq dan ada juga yang tidak setuju sekaligus memberikan kritikan terhadap tulisan saya dan telah dimuat dua kali dalam majalah Risalah, yaitu saudara Buldan Muhammad Fatah.

Melalui tulisan ini saya sampaikan beribu terimakasih terhadap semua pihak yang telah membaca tulisan saya, lebih khusus kepada yang telah memberikan tanggapan, baik yang pro atau yang kontra. Mudah-mudahan dapat lebih menajamkan lagi kajian dan analisa tentang masalah Isbal.

Di sini saya akan mencoba untuk menulis lagi tentang hukum Isbal, tetapi tidak berarti saya ingin memaksakan pendapat saya kepada seluruh pembaca dan tidak berarti juga saya mau menerima pendapat orang lain, karena saya juga dituntut untuk mempertanggungjawabkan masalah tersebut sesuai dengan ilmu yang saya miliki dengan menggunakan rumusan-rumusan istinbath yang berlaku. Setiap orang berhak untuk mempertahankan pendapatnya selama pendapat itu benar dan juga wajib meralat pendapatnya jika ternyata pendapat itu keliru.

Tentang Isbal

Sebagaimana telah maklum, bahwa hadits-hadits tentang isbal itu ada yang muthlaq, yaitu tanpa menyebut khuyalâ’a (sombong), dan ada hadits-hadits muqayyad, yaitu dengan menyebut sombong. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum isbal, yaitu:

Pertama, isbal itu haram, baik karena sombong atau tidak. Hanya jika dilakukan karena sombong, dosanya lebih besar.

Kedua, isbal itu haram jika dilakukan karena sombong, dan jika tidak karena sombong, maka tidak terlarang.

Dalam menanggapi dua pendapat tersebut, saya setuju dengan pendapat yang kedua, mengingat:

1. Qaidah Ushul;

يُحََْمَلُ الْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ ٳِذَا اثَّفَقَا فِى السَّبَبِ وَالْحُكْمِ

“Hendaklah ditarik yang muthlaq kepada yang muqayyad, apabila keduanya sama sebab dan hukumnya.”

Dalam hal ini, ternyata kasusnya sama yaitu isbal, dan sanksinya pun sama yaitu Allah tidak akan melihat mereka. Silahkan dibaca kembali sanksi dalam hadits yang muthlaq dan sanksi dalam hadits yang muqayyad (Haramkah Isbal dan Wajibkah Jenggot? Hal. 45).

2. Para ulama ahli hadits pun dalam hal ini sama berkesimpulan seperti itu, yaitu menarik muthlaq kepada muqayyad, diantaranya:

a. Ibnu Hajar al-‘Asqalani (lihat Fath al-Bâri, 10: 365/371).

b. Imam Syafi’i.

c. Imam Nawawi (lihat ‘Aun al-Ma’bud, 11: 142).

d. Imam Ibnu ‘Abdilbar.

e. Imam Ibnu Ruslan.

f. Imam asy-Syaukani (lihat Nail al-Authar, 2: 128).

g. Imam Abdullah bin Abdirrahman al-Bassâm (lihat Taudhîhu al-Ahkâm, 7: 314/315).

3. Jika isbal secara muthlaq tetap haram, berarti tidur memakai selimut sampai menutupi dua mata kaki karena kedinginan, juga haram.

4. Pendapat yang menyatakan, bahwa “isbal itu haram baik karena sombong atau tidak, dan bila isbal dilakukan karena sombong, maka hukumnya lebih keras dan lebih besar,” pendapat ini keliru karena kenyataannya lebih berat sanksi dalam hadits yang muthlaq daripada sanksi dalam hadits yang muqayyad.

5. Berdasarkan mafhum mukhalafah dari kata khuyalâ’a (karena sombong) yang berarti, jika tidak karena sombong, tentu tidak terlarang. Bandingkan dengan firman Allah Swt:

قَالَ اللَّه ثَعَالَ: وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا.

“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong.”

Mafhumnya, jika tidak karena sombong, tentu saja tidak terlarang.

6. Jika mafhum mukhalafah ini tidak berlaku, berarti penyebutan khuyalâ’a tidak ada artinya atau sia-sia, padahal mustahil Nabi saw menggunakan kata-kata yang laghâ atau sia-sia.

Tentang Hadits Abu Bakar

Sebetulnya tanpa hadits Abu Bakar juga sudah cukup alasan untuk menetapkan bahwa isbal yang tidak karena sombong itu tidak terlarang. Menanggapi kasus Abu Bakar, ada dua pendapat para ulama:

Pendapat pertama: Hadits Abu Bakar tidak bisa dijadikan takhshish (pengecualian) untuk membolehkan isbal tanpa sombong, mengingat:

1. Abu Bakar tidak dengan sengaja menjulurkan pakaiannya, tetapi pakaian itu sendiri yang kadang melorot.

2. Abu Bakar secara khusus telah mendapatkan rekomendasi dari Nabi saw, bahwa dia tidak termasuk sombong.

Pendapat kedua: Hadits Abu Bakar dapat dijadikan takhshish untuk membolehkan isbal yang bukan karena sombong, mengingat:

1. Ucapan Nabi saw terhadap Abu Bakar, yaitu; “Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong” ini tidak berarti khusus untuk Abu Bakar saja, mengingat ada qaidah ushul, bahwa petunjuk yang khusus untuk salah seorang dari umat ini tetap menunjukkan umum kecuali jika ada dalil yang menunjukkan khusus.

2. Para ulama hadits sama memahami hadits Abu Bakar merupakan takhshish, bahwa isbal yang tidak sombong itu tidak terlarang, seperti Imam asy-Syaukani menyatakan, bahwa “kaitan illat haram di sini adalah sombong, karena isbal itu kadang dilakukan karena sombong kadang tidak.”

Demikian juga ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam-nya menyatakan, bahwa: “Ucapan Nabi saw kepada Abu Bakar itu adalah dalil atau bukti, bahwa mafhum dalam hal ini dapat berlaku, yaitu jika isbal itu tidak karena sombong tidak terlarang.”

Demikian pula Syeikh Abdullah bin Abdurrahman dalam Taudlîh al-Ahkâm-nya menyatakan bahwa: “Hadits Abu Bakar itu dapat dijadikan takhshish akan keumuman hadits isbal.”

Demikianlah pendapat para ahli hadits dalam menanggapi hadits Abu Bakar. Berarti tidak mengherankan jika ulama yang sekarang berpendapat bahwa hadits Abu Bakar itu dapat dijadikan takhshish, karena para ulama pendahulu juga berpendapat demikian.

3. Abu Bakar menyatakan: “Kecuali jika aku menjaganya dengan cermat.” Ini menunjukkan, bahwa Abu Bakar bisa kalau mau berusaha untuk tidak isbal (seperti pakai sabuk umpamanya). Maka dengan isbalnya Abu Bakar itu menunjukkan, bahwa isbal yang bukan karena sombong itu itu boleh. Untuk perbandingan, Nabi saw memerintahkan agar makan itu dengan tangan kanan, kemudian ada seorang shahabat yang menyatakan; “Saya tidak bisa ya Rasulullah.” Rasul menjawab: “Bukan tidak bisa, tetapi kamu itu sombong.” Dalam hal ini Nabi saw tidak memberikan kelonggaran karena memang betul-betul haram.

Dalam kasus Abu bakar, andai isbal itu tetap haram walau tidak sombong, tentu saja Nabi saw akan memaksa Abu Bakar untuk tidak isbal dan apa susahnya karena hanya tinggal pakai sabuk.

4. Mengenai rekomendasi Nabi saw terhadap Abu Bakar, tentu saja bukan hak prerogatif Nabi saw saja untuk menilai seseorang sombong atau tidak, lebih-lebih karena sombong itu perbuatan hati, berarti tergantung niatnya masing-masing. Berarti bisa saja yang tidak isbal itu sombong karena tidak isbalnya atau yang isbal sombong karena isbalnya, seperti larangan dalam al-Quran tidak boleh berjalan di muka bumi dengan sombong.

Dalam hal ini Nabi saw tidak menjelaskan, bagaimana kriteria sombong dalam berjalan, tentu saja ini berpulang kepada dirinya masing-masing dan ciri khas daerahnya yang tentu saja berbeda sesuai tuntutan dan kondisi daerahnya.

Demikian penjelasan saya tentang isbal yang merujuk kepada para ulama pendahuku (ulama salaf) dan berdasarkan rumusan-rumusan yang berlaku, seperti qaidah-qaidah ushul dan yang lainnya. Mudah-mudahan bermanfaat. Untuk kesimpulan akhirnya, saya serahkan saja kepada para pembaca. Karena memang, untuk menajamkan lagi masalah ini, tentu saja diperlukan diskusi atau dialog terbuka dengan hati yang ikhlas disertai semangat untuk mencari dan menerima kebenaran dari siapapun datangnya. Wallâhu a’lam bis-shawâb.


Sumber: Majalah Risalah No. 9 Th. 45 Dzulhijjah 1428 / Desember 2007

http://pemudapersis-cs.blogspot.com

Wednesday, January 16, 2008

SEJARAH RINGKAS ISLAM DI NUSANTARA

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Aceh-lah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Perlak dan Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi (Maroko –Red.), yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan- pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab-Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

Sumber http://www.ummah.net/islam/nusantara/sejarah.html

Wassalam
K.Muammar
www.khairaummah.com