Saturday, February 16, 2008

Bid’ah, Pengertian dan Hukumnya

Dr. M. Said Ramadhan al-Buthi

Di sini kami hanya ingin membahas bid’ah dengan tinjauan maknanya yang khusus yang terkadang terpisah dari masalah ‘sifat’ dan tafsirannya serta ayat mutasyabihat dan takwilnya. Juga dari masalah tasawuf dengan segala problematikanya.

Kami mulai dengan dasar yang dijadikan acuan (pijakan) ijma dan ditunjukkan oleh nash-nash yang jelas, yakni bahwa bid’ah itu adalah kesesatan yang harus dijauhi. Dan, bid’ah dalam beragama itu termasuk sebahaya-bahaya maksiat yang wajib dijauhi oleh setiap muslim. Cukuplah dengan dalil dari Kitabullah sebagai berikut.

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (asy-Syuura: 21)

“Janganlah kamu mengatakan terhadapnya yang disebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah.” (an-Nahl: 116)

Dan cukup kiranya dengan dalil dari sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhani, “Barangsiapa yang mengada-ada dalam perkara (agama) kami ini sesuatu yang tidak berasal darinya, maka dia ditolak.”

Juga sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Muslim, “Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Rasulullah. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat (diada-adakan/sesuatu yang tidak ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah) dan setiap bid’ah itu sesat.”

Akan tetapi, apa sebenarnya definisi bid’ah itu?

Ada beberapa definisi tentang bid’ah. Akan tetapi, yang ada hanyalah pengulangan-pengulangan dan kesamaan dari semua ta’rif yang didefinisikan oleh imam-imam itu. Yaitu, pada titik persamaan mereka. Dengan kemampuan kami dalam hal ini, kami akan memakai ta’rif yang mempunyai kesamaan sehingga kami dapat memfokuskan wilayah persamaan dan kesepakatan yang bersumber pada satu asal. Sehingga jika dijabarkan akan tampak bagi kita sisi-sisi perbedaannya.

Mungkin kami akan membatasi ta’rif bid’ah tapi tidak keluar dari ijmaa bahwa bid’ah yang dilarang oleh kitab dan Sunnah Rasulullah. Yaitu, ta’rif yang dipakai Imam asy-Syatibi dalam kitabnya al-I’tisham bahwa “Bid’ah adalah thariqah (jalan/bentuk ibadah) dalam agama yang baru datang dan menyerupai syari’at yang dimaksudkan sebagai bentuk amalan untuk penyembahan kepada Allah.”[1]

Bid’ah juga didefinisikan lebih luas lagi dari definisi ini yang mencakup permasalahan khilaf yang tidak yang tidak bisa dicarikan jalan temu. Yakni bahwa bid’ah adalah jalan dalam agama yang baru datang yang menyerupai syariat yang dimaksudkan sebagai bentuk amalan ibadah sebagaimana apa yang dimaksud dengan jalan syariah.[2]

Dalam hal ini kami berpijak pada definisi pertama untuk terhindar dari masalah kesepakatan dan perselisihan seperti yang telah kami sebutkan. Jika demikian, maka hal yang tidak diragukan lagi oleh imam-imam umat Islam dan ulama mereka bahwa bid’ah itu diharamkan. Dan, juga bagi segala jalan baru yang dinamakan agama, sesungguhnya di dalam akidah dan ibadahnya masuk dalam kategori bid’ah dengan penuh yakin dan ittifaq (kesepakatan). Karena yang diinginkan dari sesuatu yang baru itu hanyalah untuk beribadah kepada Allah.

Ada beberapa hal yang dikategorikan bid’ah. Misalnya, menambahkan shalat baru atas apa yang telah ditetapkan oleh syari’at pada shalat fardhu dan shalat sunnah; menambah hari pada puasa dengan tujuannya keutamaan tertentu tanpa ada dasar dalam al-Quran dan Sunnah; dan mewajibkan mengurangi makanan hanya dengan satu macam (jenis) dalam satu meja sebagai bentuk ibadah. Atau, mengeraskan suara zikir dan qasidah di depan jenazah; mengazani mayit pada waktu dimasukkan ke dalam liang kubur; penemuan (pendapat/keyakinan) baru bahwa Jahannam akan sirna dan berhenti dari menyiksa orang kafir, atau bahwa azab neraka hanyalah azab penghinaan dan penyesalan. Semua itu menurut ijma umat Islam masuk dalam kategori bid’ah. Maka dari itu, melakukan hal tersebut merupakan bentuk kesesatan sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah.

Jika demikian adanya, lalu pada bagian mana yang dimungkinkan adanya khilaf? Pada bab apa mereka akan berselisih?

Mungkin perbedaan itu dapat kita fokuskan dalam dua hal.

Pertama, adat (tradisi). Apakah adat dapat dikategorikan dalam makna bid’ah? Jika demikian, maka setiap adat/tradisi yang diciptakan manusia dan dari perbedaan adat dan tradisi para shahabat atau adat-adat yang terjadi pada masa Rasulullah masuk kategori bid’ah. Hal ini merupakan kesesatan yang wajib untuk dijauhi.

Dalam masalah ini para ulama salaf berselisih pendapat. Ada dari golongan mereka (5 sahabat dan tabi’in) yang mencegah dan melarang tradisi yang baru setelah (wafat) Rasulullah, meskipun berhubungan dengan makanan, minuman, tempat tinggal, dan lain-lain. Sebagian mereka juga ada yang berpendapat bahwa antara adat yang berkembang dalam kehidupan manusia dengan makna bid’ah yang dilarang syar’i tidak ada hubungannya, maka seorang muslim boleh untuk berbeda.

Tentang tradisi dan adat sesuai yang dikehendaki, meskipun bertentangan dengan adat-adat yang ada pada masa Rasulullah dan sahabatnya. Hal ini karena adat dengan segala definisinya tidak dapat disebut syara dan tak dapat disebut sebagai sumber syar’i, terutama adat perilaku. Sudah kita bicarakan pada bab pendahuluan dalam kitab ini banyak contoh adat baru pada masa salaf. Dan, telah kita jelaskan perbedaan sikap dan pendapat mereka sesuai dengan perbedaan ijtihad mereka dalam memandang arti tradisi yang ada pada masa Rasulullah, apakah merupakan hujjah dan masuk dalam kategori sunnah.

Berpijak pada perbedaan ini, jelas terjadi perselisihan seperti yang telah kita lihat di dalam definisi bid’ah. Maka, definisi pertama didasarkan atas pendapat orang yang memandang bahwa kebebasan tradisi yang terjadi pada masa Rasulullah tidak termasuk dalam kategori bid’ah. Tidak ada halangan bagi orang-orang untuk memilih (menyaring) adat dan tradisi yang tidak bertentangan dengan hukum yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah atau ijma imam-imam umat Islam. Dan, definisi kedua didasarkan kepada orang-orang yang berpendapat bahwa adat-adat yang ditetapkan oleh Rasulullah dan berlaku pada masa hidup beliau merupakan masdar (dasar syariat). Dan menyimpang darinya kepada adat yang lain merupakan bentuk bid’ah/kesesatan.[3]


Perbedaan pada poin pertama ini ada pada masa salaf, seperti yang telah kami

jelaskan terdahulu dengan bahasan yang cukup panjang pada bab pendahuluan dalam kitab ini. Hal ini bukanlah merupakan bentuk perbedaan antara salaf dan khalaf seperti yang diduga oleh sebagian besar orang.

Kedua, aplikasi ta’rif bid’ah terhadap realitas dan kasus-kasus. Tidaklah diragukan lagi bahwa usaha untuk menerapkan amaliah dan hukum secara terperinci banyak sekali menimbulkan persepsi dan diskusi serta menimbulkan beberapa kemungkinan. Maka, terjadi perbedaan dalam pelaksanaannya meskipun sudah disepakati prinsip-prinsip dasar yang keberadaannya merupakan pemikiran dan pemahaman-pemahaman. Inilah yang mereka sebut dalam ilmu ushul fiqih dengan “tahqiqul manath”. Sebagian besar terjadi dari perbedaan antara para imam dan ulama Islam lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan dalam penerapan konsep dasar pemikiran kepada amali (praktek) dan rinciannya atas tahqiq manath”.

Maka, pembahasan secara rinci tentang qadha qadar atau pertanyaan tentang jabar dan ikhtiar dengan manusia, apakah termasuk wilayah bid’ah yang wajib dijauhi? Atau, justru tidak termasuk dalam kategori dan definisi bid’ah sehingga tidak ada halangan untuk mengkajinya?

Mempergunakan ilmu kalam dan istilah-istilah falsafat serta kaidah-kaidah mantiq di dalam mempertahankan ushul-ushul agama dan akidah Islam, apakah masuk kategori bid’ah yang harus dijauhi ataukah tidak? Maka, tidak ada halangan (dosa) untuk mempergunakan itu semua dengan disertai (pengetahuan) kesadaran dengan tidak adanya penyimpangan dalam kebatilan yang banyak terjadi pada pembuat kaidah dan ilmu tersebut.

Berdiskusi tentang bid’ah dalam kebid’ahan mereka dan bermusyawarah tentang kebatilan yang mereka lakukan, apakah disebut sebagai bid’ah, dan masuk dalam kategori dan perincian bid’ah? Apakah sibuk berdebat dengan mereka dapat dikatakan amalan haram yang tidak boleh dilakukan, atau tidak termasuk dalam makna bid’ah? Sehingga, tidak ada larangan bermusyawarah/berdebat dengan mereka dengan tujuan untuk menyingkap kesalahan pemikiran dan kesalahannya.

Perbedaan seorang peneliti di dalam masalah Quran antara apa yang ada dengan makna nafsi (kejiwaan) dan lafazh yang diucapkan dengan menyangkut tinta, kertas dan sampul. Kita tentu akan mengatakan bahwa sesungguhnya yang pertama itu bukanlah makhluk. Dan yang kedua adalah sesuatu yang baru dan makhluk. Apakah dianggap bid’ah yang berbahaya karena perbedaan ini tidak pernah ada (diketahui) pada masa Rasulullah? Padahal, wajib secara mutlak perkataan bahwa al-Quran itu dahulu bukan makhluk tanpa perincian dan perbedaan. Karena, itu hanyalah penjelasan dan keterangan shahabat sebelumnya secara global. Maka dari itu, tidaklah ada larangan terutama pada bidang taklim (belajar) dari pembedaan dan penjelasan ini.

Tawasul ke hadirat Rasulullah setelah wafat beliau atau ke hadirat seseorang yang dikenal atas kesalehan dan istiqamah setelah wafat, apakah termasuk bid’ah karena merupakan mengada-ada perkara dalam urusan agama yang tidak diridhai oleh Allah? Apakah ia masuk dalam dasar-dasar hukum agama, bahkan bertentangan dengan dasar-dasar agama yaitu pentauhidan kepada Allah dengan tauhid yang sempurna yang mencakup tauhid Zat dan Sifat? Ataukah, hal itu dikiaskan kepada tawasul kepada Nabi sewaktu beliau masih hidup, yaitu sesuatu yang sudah jelas dalil-dalilnya dari hadits yang shahih?

Menambah dalam beribadah, apa definisi dan batasannya? Contoh dan realitas yang ada membutuhkan pemikiran (mendatangkan persepsi) dan samar-samar ketika mengambilnya masuk dalam makna tazayyud dan ikhtira’ (penemuan baru), dan samar-samar juga tidak dihilangi bagian dari ikhtira’ atau tazayyud.

Azan yang dilakukan pada masa Rasulullah di depan pintu masjid ketika beliau naik mimbar tidak sampai ke penjuru kota, maka, apakah masuk dalam kategori bid’ah azan yang baru diadakan oleh Utsman bin Affan di rumahnya di Zarwa’ ketika kota semakin meluas dan penduduknya butuh pengumuman (pemberitahuan) terlebih dahulu sebelum masuk waktu zhuhur? Ataukah, hal ini dianggap sebagai maslahat dalam Islam dan keperluan untuk mensyiarkan pelaksanaan shalat Jumat lebih baik?[4]

Ihram sunnah haji dan umrah sebagaimana kita ketahui mempunyai batasan tempat (miqat makani) yang telah ditentukan oleh Rasulullah. Maka, bagaimana hukumnya orang yang berihram sebelum sampai ke miqat tersebut? Apakah dianggap bid’ah karena melanggar batasan (ketentuan) yang ditentukan oleh Rasulullah sehingga dengan sebab itu dia melakukan sesuatu yang dilarang atau dianggap sebagai keharusan karena melanggar? Atau, hanyalah termasuk dari pelanggaran miqat, dan dia tidak melewatinya tetapi hanyalah diwajibkan bagi dirinya apa yang serupa dengan penutup antara kedua tangannya? Benar ucapan Rasulullah kepada Aisyah, “Pahalamu tergantung kepada kepayahanmu.”

Jika shalat hari raya dilakukan di masjid jami, apakah termasuk bid’ah dari para jama’ah? Pasalnya, Nabi menyuruh kepada orang-orang untuk mengerjakannya di tengah-tengah kota. Kita harus melihat (definisi) dari perkembangan masalah sesuai dengan hajat dari perbedaan kondisi, serta melihat peran (posisi) hukum dalam ibadah ini atas dasar-dasar menghilangkan kesulitan dan menjelmakan kemudahan.

Maka, contoh-contoh ini merupakan bentuk penerapan atas hal-hal yang tidak jelas dalil perbedaan dan larangan tentangnya sehingga berpeluang untuk menafsirkan dan ijtihad. Maka, di situ terjadilah perbedaan tidak hanya pada dua golongan yang mewakili dari golongan ulama salaf dan golongan ulama khalaf. Bahkan, terjadi di antara ulama sendiri mulai dari masa shahabat sampai akhir kurun ketiga.

Di sini akan kami kupas dari setiap contoh yang kami susun secara rapi dan terperinci.

Pada masalah yang berhubungan dengan asma Allah, sifat-sifat-Nya, kalam-Nya serta qadha dan qadar, para sahabat tidak menyelami (mendalami) tentang hal tersebut kecuali karena keimanan mereka atas semua itu atas apa yang datang dari al-Quran dan diterangkan dalam Sunnah[5]. Hal ini pada awal-awal kehidupan mereka. Maka, setelah Rasulullah wafat dan Islam menyebar luas, daerah-daerah penaklukan semakin luas serta banyaknya para penganut agama-agama lain yang masuk Islam, terjadilah diskusi dan perdebatan antara mereka dan umat Islam atas apa yang masih dilarang oleh para sahabat pada waktu itu untuk membahasnya.

Sehingga, golongan sahabat terbagi menjadi dua kelompok. Golongan pertama yang tetap diam dan menjauhi perdebatan tentang masalah ini dan menganggapnya sebagai hal yang bid’ah dan mungkar. Mereka diantaranya adalah Umar Ibnul Khaththab, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan pemuka-pemuka sahabat yang lain. Golongan ini tetap diikuti sampai golongan tabi’in dan tabi’it tabi’in seperti Sofyan ats-Tsauri, al-Auza’i, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hambal.

Sedangkan, golongan kedua melakukan pembahasan, diskusi (perdebatan) dan mencari solusi atas ayat-ayat syubhat yang terlintas di benak mereka. Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan pemuka sahabat yang lain. Golongan ini diikuti sampai kelompok tabi’in dan tabiit tabi’in seperti Hasan al-Bashri, Abu Hanifah, Harits al-Muhasibi, dan Abu Tsaur.

Ali bin Abi Thalib mengajak para pelaku bid’ah untuk berdebat atas kebatilan-kebatilan yang mereka perbuat. Dia berdebat dengan seorang aliran Qadariyah tentang masalah qadar dan mengutus Ibnu Abbas untuk berdialog dengan pelaku bid’ah. Abdullah bin Mas’ud berdialog dengan Yazid bin Umairah tentang masalah iman. Padahal pada waktu itu sebagian besar sahabat berpendapat bahwa masuk dalam wilayah perdebatan dengan mereka itu adalah termasuk bid’ah yang harus dijauhi.

Dua golongan yang bertentangan dari dua fase yang kedua masuk dalam kategori salafus saleh. Yang pertama adalah Imam Malik bin Anas yang melarang perdebatan dengan ahli syubhat. Dia berkata, “Berhati-hatilah (jauhilah) terhadap bid’ah.” Dikatakan, “Wahai Abu Abdillah, apakah bid’ah itu?” Dia berkata, “Ahli bid’ah adalah orang yang membicarakan asma Allah dan sifat-sifat-Nya, kalam-Nya, ilmu dan kekuasaan-Nya, tidak diam atas suatu masalah yang mana para sahabat dan tabi’in diam tentang hal itu.”[6]

Adapun yang kedua adalah Hasan al-Bashri. Ia telah mengirim surat kepada Abdul Malik bin Marwan tentang hujjah seputar qadha dan qadar. Tersebut dalam tulisannya, tidak ada seorangpun dari ulama salaf memperdebatkan hal itu. Karena mereka semua dalam satu kata (pendapat). Adapun yang kami bicarakan dalam masalah itu hanya apa yang yang dibicarakan oleh orang atas (kesamaran/pengingkaran) tentang hal tersebut. Ketika ahli hadits mengadakan sesuatu yang baru dalam agama mereka, maka Allah menjadikannya orang yang berpegang teguh kepada kitab-Nya atas apa yang diperbuat dari perkara baru dan mereka memperingatkan dari perkara-perkara yang merusak.”[7]

Posisi sikap salaf terhadap ilmu kalam sama halnya dengan sikap mereka tentang berdebat dengan ahli syubhat tentang masalah akidah. Bagi mereka yang menganggap perdebatan perdebatan mereka tentang hal ini merupakan bid’ah, maka mereka melarang ilmu kalam populer di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, bagi mereka yang memotivasi tentang perdebatan untuk menyingkap kebatilan dan kerancuan pikiran, menganggap perlunya ilmu kalam untuk melakukan hal itu.

Kiranya definisi yang lengkap tentang ilmu kalam adalah definisi yang dibuat oleh Ibnu Khaldun dalam Kitab Mukaddimah-nya. Dia berkata, “Ilmu kalam adalah ilmu yang mencakup tentang dalil-dalil tentang masalah keimanan dengan dalil akal yang menolak pelaksanaan bid’ah dan orang-orang yang menyimpang dalam masalah-masalah akidah dari mazhab salaf dan ahlus sunnah.”[8]

Hendaknya anda memperhatikan definisi ini lebih luas dari hanya sekadar mengikuti filsafat / kaidah-kaidah logika Yunani. Juga tidaklah seperti yang disangka oleh orang-orang bodoh sekarang bahwa ilmu kalam adalah kajian (studi) tentang masalah akidah Islam dari perspektif filsafat. Inilah pandangan (gambaran) tentang ilmu kalam (dan mereka tidak punya pandangan lain) sehingga orang-orang menolak ilmu kalam dan menganggap memperlajarinya adalah perbuatan bid’ah.

Terkadang kita temukan dalam ulama salaf orang yang mengalami dua fase (sikap yang berlawanan) tentang masalah ini seperti Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. abu Hanifah melewati masa di mana dia melarang untuk mendalami masalah akidah dengan jalur ilmu kalam yakni dengan dalil-dalil akal. Kemudian pada saat tertentu dia menerima ilmu ini. Ia mempelajari tentang masalah akidah dengan jalur ilmu kalam yakni dengan dalil-dalil akal. Kemudian pada saat tertentu dia menerima ilmu ini. Ia mempelajari tentang masalah akidah dengan jalur manhaj ilmu kalam sehingga dia menulis kitab ‘Fiqih Akbar’ dan dalam masalah ini dia mengirim suratnya yang terkenal kepada Utsman al-Banni. Adapun sebab dari semua ini hanyalah mengikuti kebutuhan / hajat manusia dan kondisi yang meliputi mereka. Hal ini seperti dijelaskan dalam kitabnya Al-Alim wal Muta’allim.

Begitu juga dengan Imam Syafi’i. banyak disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa ia mencela Ilmu Kalam. Meskipun demikian, dia melakukan diskusi di majelis ar-Rasyid, al-Basyar al-Marisy membicarakan sebagian masalah ini. Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Muzny bahwa ia (al-Muzny) berkata, “Terjadilah pembicaraan antara saya dengan seseorang pada suatu kesempatan. Dia menanyaiku tentang ilmu kalam yang hampir menjadikanku ragu atas agamaku. Maka, aku datang kepada asy-Syafi’i dan berkata kepadanya, ‘Ada masalah seperti ini...’ Syafi’i berkata, ‘Masalah ini untuk orang yang anti-Tuhan dan jawabannya seperti ini...’”[9] Hal ini juga sesuai dengan perbedaan hajat manusia dan situasi kondisi mereka.

Pada masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an, Imam Ahmad tidaklah terlihat membenarkan untuk mengadakan perincian maupun pembedaan dalam keyakinan dan keberadaan Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang qadim antara lafazh dan makna atau membedakan antara kalam nafsi dan lafazh yang menakbirkannya. Bahkan, dia menganggap bahwa belajar (menyibukkan diri) dengan pembedaan dan perincian ini merupakan bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh sahabat Rasulullah.

Adapun Imam Syafi’i tidak menganggap adanya halangan perincian dalam masalah ini. Ia menghukumi bahwa lafazh Al-Quran dan kertas-kertasnya merupakan sesuatu yang baru dan makhluk. Akan tetapi, yang qadim di dalam Al-Qur’an adalah maknanya yang disebut dengan makna nafsi.

Kami tidaklah ragu bahwa Imam Ahmad tidaklah diliputi keraguan bahwa lafazh-lafazh Qur’an dan tinta yang dituliskan serta kertas tempat untuk menulis semua itu adalah baru tidak qadim. Akan tetapi, dia tidak mengizinkan (sebagai bentuk wara’ dan qanaah) dari dalil/kitab/sunnah/awal pemuka-pemuka shahabat atas pembagian dan pengelompokan ini.

Adapun yang berhubungan dengan tawasul ke hadirat Rasulullah atau kepada yang lain dan orang-orang saleh dan muqarribin, maka kami tidak mengetahui bentuk pembahasan atau diskusi apapun seputar ini pada masa salaf pada ketiga kurun mereka yang dimuliakan itu. Segala yang ada pada kami yang membenarkan pembahasan ini adalah hadits-hadits shahih tentang tawasul para shahabat dan tabarruk mereka dengan keringat, rambut dan air wudhu Rasulullah.

Semua ini terdapat dalam kitab Shahihain. Dalam hadits Utsman bin Hanif diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah serta an-Nasa’i dengan sanad yang shahih bahwa seorang laki-laki buta datang kepada Nabi Muhammad kemudian berkata, “Doakanlah aku kepada Allah agar Dia mengampuniku.” Nabi berkata, “Jika kami berkenan, aku akan berdoa; dan jika kamu berkenan, kamu bersabar, itu lebih baik bagimu.” Dia berkata, “Doakanlah aku.” Maka Rasulullah menyuruhnya berwudhu dan membaguskan wudhunya lalu berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad nabi (pembawa) rahmat, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanku atas hajatku agar dikabulkan padaku, ya Allah berilah dia syafaat untukku.”

Seperti yang tersebut dalam hadits shahih bahwa Umar bertawasul kepada Abbas di dalam shalat istisqa dan tidak seorangpun yang mengingkarinya.[10] Dan, seperti disebut dalam riwayat bahwa ketika orang-orang pada masa Umar ditimpa kemarau panjang (kekeringan), maka seorang lelaki datang ke kuburan Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, mintalah hujan untuk umatmu karena sesungguhnya mereka telah binasa (sangat kesusahan).” Rasulullah datang dalam mimpinya dan mengabarkannya bahwa mereka akan diberi hujan. Maka, terjadilah hujan. Dalam riwayat lain disebutkan, “Datanglah kepada Umar, berilah salam kepadanya dan kabarkan kepadanya bahwa mereka akan diberi hujan. Katakan kepadanya, “’Kamu harus belas kasih.’” Maka, seorang laki-laki datang kepada Umar dan mengabarkannya. Lalu Umar menangis dan dia berkata, “Wahai Tuhanku, mereka tak kuasa untuk melakukannya.”[11]

Kami berpegang untuk menyebutnya secara tafshil ‘rinci’ seperti sabda Rasulullah ketika Fathimah binti Asad ibu Ali meninggal. Dialah yang merawat Rasulullah sewaktu masa kecil. Beliau bersabda, “Ya Allah, ampunilah ibuku Fatimah binti As’ad. Lapangkanlah kuburannya dengan kebenaran Nabi-Mu dan nabi-nabi sebelumku.”

Inilah semua yang sampai kepada kita dari Rasulullah, sahabat-sahabatnya dan ulama-ulama salaf tentang masalah tawassul. Masalah itu terus saja bergulir (berlangsung) sampai datang Ibnu Taimiyyah yang membedakan antara tawassul dengan para Nabi dan orang-orang saleh pada waktu mereka masih hidup dengan tawassul kepada mereka setelah mereka meninggal dunia. Ibnu Taimiyyah memperbolehkan pada keadaan yang pertama (saat mereka masih hidup) dan mengharamkan pada keadaan kedua (setelah mereka mati).

Kami tidak tahu dasar apa yang disandarkan kepada masa salaf atas pembagian ini. Bahkan, kami tak pernah melihat satupun pembahasan / diskusi / perselisihan di antara ulama salaf dalam masalah ini. Apa yang ada di hadapan kami atas realitas yang kami sebutkan adalah sesuatu yang masyhur dan makruf. Yakni, tidak adanya penjelasan antara mati dan hidup selagi tawassul itu hanya dengan kedudukan Rasulullah atau orang saleh ke hadapan Allah selama yang mutlak tidak berjalan sesuai dengan kemutlakannya.

Kami akan menjelaskan sejauh mana kekuatan ilmiah untuk perbedaan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah ini yang kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Kami tidak bermaksud untuk melakukan diskusi tetang masalah khilafiyah ini atau kemudian menjadi masalah khilafiyah sesudahnya. Namun, kami hanya ingin menjelaskan kepada pembaca yang kritis bahwa masalah-masalah ini tidaklah dapat dijadikan sebagai referensi penghijab (penghalang) antara ahlus-sunnah wal-jama’ah menjadi dua golongan. Atau, menjadikan tiap satu dari mereka golongan (mazhab) tertentu yang diistimewakan. Bahkan lebih dari itu, menjadikan kesatuan jama’ah umat Islam menjadi dua mazhab. Kelompok Salafiyah dan Khalafiyah.

Meskipun kami dulu tidak mengetahui perselisihan salaf tentang masalah tawassul, tetapi kami kemukakan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah salah satu dari salaf. Jadi perbedaan itu sudah terjadi pada masa salaf. Hal itu merupakan bagian dari tahqiqul manath. Ini mungkin lebih ringan daripada menjadikan umat Islam menjadi dua mazhab / golongan kemudian berusaha menjadikan satu dari mereka menyandang gelar fasik dan menisbatkan mereka sebagai pelaku bid’ah dan kesesatan.

Adapun yang menyangkut tentang urutan-urutan ibadah dan menambah amalan-amalan ibadah atau memasukkan sesuatu ke dalam ibadah dari satu hal yang tidak bisa dikatakan sebagai bentuk bid’ah. Karena keberadaannya dalam wilayah ijtihad dalam tahqiq manath, maka banyak terjadi perbedaan pandangan menurut salaf dan ijtihad mereka.

Di antaranya seperti yang telah kami sebutkan adalah azan yang dilakukan oleh Utsman dengan amalan baru pada waktu zhuhur di hari Jum’at di rumahnya di Zarwa’ ketika daerah makin meluas dan azan yang dikumandangkan tidak sampai terdengar di penjuru kota. Ini adalah ijtihad yang dilakukan Utsman. Kemudian tidak ada seorangpun yang berselisih atau menentangnya sehingga amalan itu sampai kepada kita.

Utsman bin Affan juga tidak menganggap bahwa ikrar untuk haji dan umrah sebelum sampai ke miqat, yang sudah ditentukan sebagai bentuk bid’ah yang tidak diperintahkan dan tidak mendapatkan pahala. Pendapat ini ditentang oleh sebagian besar sahabat. Telah diriwayatkan dari al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah serta Bukhari sebagai sebuah komentar bahwa Abdullah bin Amir ketika menaklukkan Khurasan berkata, ‘”Ini adalah kemenangan dari Allah. Wajib bagi kita untuk mensyukurinya. Dan, sebagai bentuk rasa syukurku kepada Allah, aku akan keluar dari tempat ini dengan keadaan ihram (muhrim).” Kemudian dia ihram dari Nisabur dan meninggalkan Ahmad bin Qais dari Khurasan. Ketika selesai mengerjakan umrahnya, dia datang kepada Utsman bin Affan, dan Utsman berkata kepadanya, “Kamu telah salah dalam umrahmu ketika kamu ihram dari Nisabur.”’[12]

Dan bagi yang meneliti fiqih sahabat dan tabi’in, banyak terjadi permasalahan yang diperselisihkan oleh golongan salaf. Tidak ada satupun dari mereka yang berbeda mengingkari kepada yang lain, kemudian menuduhnya dengan sesat atau bid’ah. Perbedaan semua itu berada dalam naungan kitab dan sunnah. Ukuran standar mereka adalah konsistensi terhadap manhaj yang telah disepakati di dalam memahami Al-Qur’an dan as-Sunnah.

-----------------------

Salafi Sebuah Fase Sejarah Bukan Madzhab, penulis, Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi; penerjemah, Futuhal Arifin, Lc; penyunting, Harlis Kurniawan--Cet. 1--Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Hal. 177-194.



[1] I’tisham 1 / 30.

[2] Ibid. 1 / 31

[3] Lihat “i’tisham”, Syatibi 1 / 37.

[4] Lihat Shahih Bukhari pada bab “Jumat” (bab azan shalat Jumat), sedang Abu Dawud, Nasai’ dan Tirmidzi tidak membahasnya, akan tetapi Atha’ bin Rabbah berkata, “Sesungguhnya yang ditambahkan oleh Utsman itu bukanlah azannya tetapi panggilan shalat.” Abdul Razaq dalam kitabnya meriwayatkan (3 / 206) bahwa apa yang ada dalam kitab shahih tidak sesuai dengan apa yang dinukil oleh Atha’, wallahu a’lam.

[5] Muqaddimah Ibnu Khaldun, 226.

[6] Manaqib Imam Malik karangan Zawawy, 37 / 38, dan Tarikh Baghdad 1 / 223

[7] Al-Maniyyah wa Alamal karangan Ibnu Murtadha, 12, dan lihat ‘Awamil Nashyati Ilmi Kalam karangan Yahya Hasyim hlm. 79.

[8] Mukaddimah Ibnu Khaldun 225.

[9] Lihat Manaqib Imam Syafi’i karangan ar-Razy hlm. 65, dan ‘Awamil Nashyati Ilmi Kalam karangan Yahya Hasyim hlm. 82.

[10] Bukhari 2 / 16, lihatlah kisah secara rinci pada kitab Thabaqat karangan Ibnu Sa’ad 1 / 232.

[11] Thabari 4 / 224, Ibnu Atsir 2 / 274, lihat Bidayah wa Nihayah 7 / 91.

[12] Sunan Baihaqi 5 / 31, dan Bukhari ta’liq dalam kitab haji, dalam surah al-Baqarah 194.

Friday, February 01, 2008

Wawancara Eksklusif: Syaikh Aiman Az-Zawahiri mengenai Dunia Islam dan Iraq

Weekly Interview - Lanjutan wawancara penting dan terlengkap antara As-Sahab Media dengan Syekh Aiman Az-Zawahiri, orang kedua dalam organisasi Al Qaidah.

As-Sahab : Perbincangan seputar pengkhianat penjual dien di Irak membawa kita kepada fatwa mufti Alu Saud tentang tidak adanya perintah berangkat berjihad ke Irak dan tempat-tempat lainnya. Apa pendapat Anda tentang fatwa ini?

Syekh Aiman : Mufti ini adalah salah satu bintang di antara rentetan fuqoha' penguasa. Dan fatwa ini diriwayatkan oleh salibis Amerika dari mufti, dari kementerian dalam negeri, dari pimpinan kedutaan besar Amerika, dan begitu seterusnya sampai kepada Bush.

Alangkah seburuk-buruk sanad dan seburuk-buruk periwayat. Fatwa tersebut penuh dengan teka-teki dan rahasia. Mufti Alu Saud berbicara di luar kebiasaan, dalam kondisi yang tidak stabil, di bawah panji yang tidak jelas, sarat dengan kepentingan dan percekcokan.

Para pendengar (fatwa tersebut) dipaksa berusaha untuk memahami dan menyimpulkan berbagai pernyataan yang ambigu dan ungkapan tersembunyi, apa sebenarnya yang dimaksud oleh mufti? Dan apa dalil-dalilnya?

Ini menunjukkan moralitas pengecut. Sekiranya dia adalah seorang pemberani, dia akan menyebutkan berbagai kejadian dan peristiwa sehingga memungkinkan untuk menguji dan melakukan studi atas apa yang dia katakan. Fatwa tersebut merupakan fatwa yang membicarakan tentang baiat syar'i, Ahlul Halli wal Aqd (dewan syariah) yang segala urusan pembaiat diserahkan kepadanya secara ijma'.

Jadi, mungkinkah bagi mufti tersebut untuk memberitahukan kepada kita siapakah orang yang pantas menjadi Ahlul Halli wal Aqd? Siapa yang memilih mereka? Bagaimana mereka dipilih? Siapa yang merepresentasikan/mewakili mereka? Kapan mereka duduk bersama, bermusyawarah dan menentukan siapa kandidat imam?

Lalu kenapa mereka menetapkan, setelah melakukan pembahasan dan pertimbangan, Abdullah Bin Abdul Aziz sebagai kandidat yang terpilih di antara para kandidat yang didapati pada mereka sifat-sifat wali yang syar'i.

Mufti tersebut juga mengatakan bahwa para pemuda kekurangan ilmu syar'i. Kenapa mufti tersebut tidak memberitahukan kepada kita kualifikasi ilimiah apa saja (yang menjadi patokannya) sehingga mereka memilih Abdullah bin Abdul Aziz? Mungkinkah dia melanjutkan madrasah ibtidaiyah? Ataukah dia perlu pelajaran-pelajaran dari gurunya untuk mengajarinya kaidah-kaidah membaca dan menulis sampai dia cakap untuk hal itu?

Kemudian mufti tersebut mengatakan tentang waliyyul amri (pemimpin) yang memimpin jihad, yang membela negri dan rakyat. Semestinya mufti itu hanya terdiam dan tidak mengungkapkan dirinya dan rezimnya! Mungkinkah dia kehilangan ilmunya yang begitu luas ketika kerajaan diancam oleh Sadam lalu meminta bantuan kepada Amerika, lalu ia mengeluarkan fatwa samar dengan membolehkan datangnya Amerika? Dan mengatakan bahwa mereka hanya akan tinggal dalam beberapa bulan lalu pergi.

Akan tetapi mereka telah berada di sana dalam kurun 17 tahun hingga saat ini. Kenapa para mufti itu tidak memberitahukan kepada kita tentang hukum pemerintah yang menempatkan negara dan sumber dayanya untuk melayani pasukan kafir, armada dan pesawat-pesawat mereka, dimana mereka menjadikannya sebagai tempat berangkat untuk mengebom, menghancurkan, membakar negri-negri dan desa-desa kaum muslimin, dan memusnahkan ribuan muslim di Irak dan Afganistan?

Kemudian wahai engkau para mufti yang membaiat waliyyul amri, yang membela negeri-negeri islam, inilah Palestina yang dijajah lebih dari 80 tahun, negri-negri kaum muslimin dijajah dari satu negri ke yang lainnya, yang keduanya dekat dengan urusanmu sebagaimana juga jauh dari mereka.

Beritahu kami dengan pasukan yang disiapkan oleh waliyyul amri kalian yang mempersempit tanah yang lapang, pesawat-pesawat yang menutupi matahari, dan armada-armada yang mengisi lautan untuk membebaskan negeri-negeri kaum muslimin.

Akan tetapi beritahukan kepada kami tentang inisiatifnya yang terkenal yang mengakui Israel, dan juga tentang tekanannya terhadap HAMAS melalui istananya di Mekkah dalam kompromi bersama dengan empat orang Palestina. Beritahukan kepada kami wahai mufti yang penuh dengan keilmuan berapa banyak roket yang keluar dari tanah suci (Mekkah) untuk membunuh kaum muslimin di Irak dan Afganistan?

Berapa banyak serangan udara yang berangkat dari pangkalan-pangkalan udara tanah suci untuk menyerang Irak dan Afganistan? Berapa banyak kapal yang disediakan dari pelabuhan-pelabuhan tanah suci untuk menyerang dua negri ini? Berapa barel minyak yang disediakan waliyyul amri kalian bagi pasukan salibis untuk menginvasi, menghancurkan, dan mengebom Irak dan Afganistan?

Dan beritahukan kepada kami wahai para mufti, kenapa jihad melawan Rusia di Afganistan merupakan fardhu ain sementara itu yang terjadi di Irak adalah termasuk dosa besar? Dan pada akhirnya, tidakkah lebih pantas bagi mufti ini, yang berfatwa sesuai kehendak Bush, untuk mencela waliyyul amrinya - yang diklaim - yang melakukan kunjungan kepada Pope (Paus) yang menghina Islam dan kaum muslimin? Seperti inikah rupa Aqidah toleransi dan konfrontasi terhadap syirik? Pertanyaan membingungkan bagi mufti Alu Saud. Hanya dengan Allah-lah segala janji-janji kita dan hanya kepada-Nya kita berkeluh kesah.

As-Sahab : Mungkin ini mengingatkan kita pada satu tokoh terkemuka fuqaha' penguasa di antara penyimpangannya yang terbaru adalah permintaanya kepada singa-singa Islam di Aljazair untuk menyerahkan senjata mereka kepada pasukan Amerika dan Prancis?

Syekh Aiman : Problem dari fuqaha' penguasa adalah mereka menjalin nasib mereka dengan nasib pemerintahan mereka, dan mereka tidak dapat menyadari bencana tragis yang terjadi di Al-Jazair.

Dan itu terjadi setelah kaum muslimin Al-Jazair mempersembahkan ribuan syuhada' demi membela Islam terhadap salibis. Mereka berakhir dibawah penindasan jagal diktator yang melayani kepentingan Amerika dan Prancis.

Bencana tragis ini, yang terus terulang di berbagai negri kaum muslimin, diabadikan, diterima, dan disetujui oleh Fuqoha' penguasa. Bahkan mereka terlihat pertama kali berteriak ketika umat Islam menghadapi musuh-musuhnya dan mengarahkan serangannya kepada Amerika dan agen-agennya. Mereka itulah yang menggiring umat kepada kekalahan, dan menyembunyikannya dengan fatwa-fatwa mereka demi kepentingan Amerika.

Satu waktu mereka berfatwa bahwa tidak ada jihad kecuali dengan perintah agen Amerika, di lain waktu mereka membolehkan untuk memerangi kaum muslimin di bawah panji Amerika ketika mujahidin Al-Jazair dan negri Islam lainnya sedang memerangi salibis Amerika.

Dari sini saya mengajak kepada setiap muslim di Maroko, demi hak tiada ilah selain Allah dan dengan kecintaan-Nya terhadap rasul-Nya SAW, untuk berdiri bersama saudara-saudara dan putra-putranya, Mujahidin, dengan jiwa, harta, opini, keahlian, dan informasi.

As-Sahab : Baiklah. Kita kembali lagi ke permasalahan Irak. Apa komentar Anda terhadap resolusi kongres dengan pembagian Irak?

Syekh Aiman : Ini merupakan perjanjian yang dilakukan oleh salibis penjajah bersama dengan penjual dien dan pengkhianat sekuler. Dan itu merupakan perjanjian merugi dari permulaannya. Semoga Allah memberikan ganjaran bagi Mujahidin yang menghancurkan proyek salibis Amerika, dan merampas kesempatan para penjual dien pengkhianat untuk mengambil keuntungan haram dan membongkar pengkhianatan mereka.

Saya telah menekankan atas pembagian ini pada pesan pertama saya setelah kejadian 11 September sekitar 5 tahun lalu, lebih dari enam bulan sebelum invasi Irak. Dan saya tekankan bahwa pembagian tidak hanya terbatas di Irak, akan tetapi terus meluas ke berbagai negara. Dan diperkirakan invasi Amerika akan meluas ke Iran dan Pakistan untuk menghancurkan negara yang memiliki program nuklir di Timur Tengah demi menjamin keamanan Israel.

As-Sahab : Akan tetapi Irak benar-benar telah terbagi.

Syekh Aiman : Irak secara keseluruhan, bahkan seluruh negri Islam, haruslah berada di bawah kekuasaan syariat. Umat Islam dan garda depan Mujahidin tidak akan memperkenankan - dengan izin Allah - entitas yang loyal kepada salibis dan zionis untuk berada di sana.

As-Sahab : Akan tetapi Syi'ah adalah mayoritas penduduk bagian Selatan dan Kurdi mayoritas penduduk bagian Utara.

Syekh Aiman : Semoga penduduk Irak bagian Utara menemukan kerakusan para milisi dan pengabaian mereka terhadap ritual yang mereka gunakan untuk mengumpulkan uang.

Jadi peperangan di Karbala dan penghancuran kubah makam Husain dan makam Abbas - semoga Allah meridhoi keduanya - menyingkap penyebab peperangan yang sesungguhnya dan menunjukkan bahwa mereka telah bersiap-siap bertempur untuk memperebutkan makam tersebut, yang disebabkan karena lautan uang yang membawa mereka.

Meskipun mereka menyeru manusia untuk mengagungkan makam tersebut, merekalah orang yang pertama kali menghancurkan makam itu jika bertentangan dengan ketamakan mereka.

Ketika terjadi peledakan kubah di makam dua imam - semoga Allah meridhoi keduanya - di Samarra, milisi Syiah dengan ngawur menuding Mujahidin. Dan mereka menumpahkan darah kaum muslimin dengan dalih ini.

Ketika kubah Husain dan Abbas - semoga Allah meridhoi keduanya - mereka mengatakan: "ini merupakan perselisihan antar saudara dan telah dipecahkan". "Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?" (Yunus : 35).

Bombardir ini mengisyaratkan sejumlah pertanyaan dalam pikiran saya. Kenapa harus dibangun kubah emas di atas makam Husain - semoga Allah meridhoinya. Mungkinkah Husain - semoga Allah meridhoinya - memerintahkan hal tersebut? Apakah Husain - semoga Allah meridhainya - semasa hidupnya menggunakan kubah emas?

Sekiranya dia menggunakan kubah emas semasa hidupnya, tidaklah semestinya kaum muslimin mengikutinya dan mencintainya, meskipun ia seorang raja di antara raja-raja. Allah telah menyucikan Ahlul Bait dan menjadikan mereka sebagai simbol kezuhudan dan menganggap hina kehidupan dunia, bagaimana mungkin uang dikumpulkan atas nama mereka?

Lalu kenapa kubah tersebut tidak dilebur dan diinfakkan kepada fakir miskin? Bahkan kepada fakir miskin syiah di antara mereka - jikalau tidak menyebutkan fakir miskin ahlus sunnah. Kenapa mereka tidak menginfakkannya kepada fakir miskin syiah? Bahkan mereka mengumpulkan harta tersebut dari fakir miskin syiah dan menimbunnya?

Ini merupakan perilaku aneh dalam iklim dan ajaran Islam yang mengajak penyaluran zakat di jalan Allah, fakir miskin, memerangi peribadahan terhadap manusia, dan menyeru kepada tauhid. Setiap orang yang masih memiliki sisa kecerdasan dan hati nurani semestinya memikirkan banyak hal tetang apa yang disampaikan dan dipromosikan oleh para penjual agama pengkhianat.

Dan semestinya mereka melihat kembali sejarah Ahlul Bait bahwa Ahlul Bait - semoga Allah meridhoi mereka - merupakan para imam dalam amar ma'ruf nahi munkar, mempertahankan kemuliaan dan pokok-pokok Islam, dan tidak mungkin untuk memahami sejarah mereka diluar konteks Al-Quran.

As-Sahab : Mereka mengklaim bahwa mereka membela Ahlul Bait - semoga Allah meridhoi mereka - dari kedholiman yang mereka derita.

Syekh Aiman : Mereka membela Ahlul Bait terhadap siapa? Dan mereka bersama siapa? Melawan Mujahidin di bawah panji Amerika? Beberapa waktu lalu saya menyaksikan video tentara syiah yang berlatih di bawah pengawasan Amerika, mereka berteriak-teriak: "wahai Ali! wahai Ali!". Sekiranya mereka jujur, mereka akan berteriak: "Wahai Bush! wahai Bush!" atau "Wahai dolar! wahai dolar!".

Saya yakin bahwa milisi Syiah di Irak - dengan arahan Iran - akan tergores sebagai kehinaan dalam sejarah islam, bahkan dalam sejarah umat manusia. Sudah menjadi tabiat setiap negara dan manusia untuk memerangi penjajah, tidak malah membawanya dan berperang di bawah panjinya.

Para penjual dien pengkhianat menipu pengikutnya bahwa mereka akan mendirikan pemerintahan Ahlul Bait di Irak. Akan tetapi mereka berpura-pura lupa bahwa penegakan pemerintahan tersebut di atas tombak salibis Amerika dan dengan menyerah kepada mereka, dan tidak akan mungkin eksis tanpa hal tersebut.

Jikalau Amerika memutuskan untuk angkat kaki karena serangan Mujahidin, akankah milisi-milisi tersebut mampu mempertahankan diri? Jikalau kekuatan terhebat dalam sejarah manusia - atau seperti yang mereka katakan - tidak mampu untuk menguasai Irak, akankah Iran mampu untuk melakukannya?

Saya yakin bahwa orang yang berpikiran melenceng seperti itu menipu dirinya sendiri sebelum menipu orang lain, mendholimi dirinya sendiri sebelum mendholimi orang lain. Bahkan saya yakin bahwa Ahlul Bait - kerdihoan Allah atas mereka - dua kali terzhalimi:

yang pertama kezhaliman di tangan pemerintahan zhalim yang mengumandangkan peperangan kepada mereka, dan kezhaliman lainnya - dalam bentuk yang lebih buruk - mereka dizhalimi oleh tangan para penjual agama yang menjadikan mereka sebagai jalan mengumpulkan dan menimbun harta, dan juga sebagai jalan penyembahan terhadap manusia dalam rangka mengumpulkan harta dari upacara ritual.

Kemudian mereka menghancurkan ritual tersebut dengan roket mortir ketika mereka bertempur demi rampasan. Dan berkooperasi dengan orang-orang kafir penjajah negeri-negeri muslim, mencegah pengikutnya untuk berjihad melawan mereka, mundur dari peperangan, menetapkan dan menyetujui konstitusi sekuler buatan Amerika, menuntut - dan terus menuntut - kekuatan penjajah salibis masih tetap di tanah kaum muslimin. Jika demikian inilah yang mereka kumandangkan sebagai Islam muhammadiyah yang murni, lalu seperti apa Islam Amerika pengkhianat?

As-Sahab : Akan tetapi mereka mengatakan tetang Muqtada Al-Shadr dengan menganggapnya sebagai representasi perlawanan Syiah terhadap Amerika di Irak.

Syekh Aiman : Muqtada Al-Shadr merupakan salah seorang letnan Iran yang berada di Irak, dan pada tahun 2004 dia mengumumkan penyerahan senjata Jaisyul Mahdi kepada Amerika dan mengumumkan bahwa Jaisyul Mahdi merupakan insitusi sipil yang berpartisipasi dalam kancah politik.

Lalu kemudian diikuti dengan kejadian terbaru, yaitu peperangan-peperangan Syiah antara Jaisyul Mahdi dan Majlis Al-A'la (dewan tertinggi), Muqtada Al-Shadr mengumumkan pembekuan Jaisyul Mahdi dalam kurun enam bulan. Inilah perlawanan kaum Syiah terhadap Amerika di Irak. Dan apa yang terjadi antara mereka dan Amerika dari berbagai pertempuran kecil merupakan perselisihan Amerika-Iran tentang perluasan wilayah. Jika tidak, Muqtada Al-Shadr akan mengumumkan penyerahan senjata terhadap Amerika.

As-Sahab : Sebagian orang membicarakan tentang perlawanan tersembunyi terhadap Amerika di bagian selatan Irak.

Syekh Aiman : Mengapa mesti tersembunyi? Apakah perlawanan sudah menjadi hal yang memalukan? Saya bisa memahami bahwa rencana dan rancangan perlawanan merupakah hal yang rahasia. Akan tetapi mengapa mereka tidak mengumumkan nama dan operasi-operasinya? Tidakkah anda melihat bahwa persoalan ini kontradiksi?

As-Sahab : Bagaimanakah cara menghentikan pertempuran antara Syiah-Sunni di Irak?

Syekh Aiman : Jangan meminta kepada orang yang sedang diserang untuk tidak mempertahankan dirinya: akan tetapi mintalah kepada penyerang untuk menahan diri dari agresinya, sampai terciptanya suatu kesempatan untuk menghentikan peperangan.

As-Sahab : Dapatkah Anda merinci pernyataan ini?

Syekh Aiman : Saya maksudkan orang yang berkooperasi dengan salibis penjajah haruslah menghentikan semua kooperasinya dan mendeklarasikan jihad melawan salibis penjajah, tidak melarikan diri dari peperangan ketika dua pasukan telah bertemu.

Dia harus menghentikan perlawanannya terhadap Mujahidin di bawah naungan panji salib dan pemerintahan bonekanya di Baghdad. Dia harus menghentikan pembantaian kaum muslimin di Irak. Dia harus melepaskan tawanan kaum muslimin dan berusaha mengganti rugi atas kriminalitasnya. Baru kemudian mungkin akan tercipta kesempatan untuk menghentikan peperangan.

As-Sahab : Bagaimana dengan suku Kurdi?

Syekh Aiman : Suku Kurdi merupakan bagian dari umat Islam, dan setiap muslim bangga dengan pengorbanan dan sejarah mereka. Dan seluruh muslimin merasa simpati atas apa yang menimpa mereka di tangan rezim fanatik Ba'ats.

Dan saya pikir saudara-saudara mereka Mujahidin di Irak - apakah itu dari orang Arab, suku Kurdi, maupun Turki - memahami berbagai tuntutan mereka. Sebagaimana yang dinyatakan Syekh Abu Umar Al-Baghdadi - semoga Allah selalu menjaganya. Akan tetapi satu permasalahan yang tidak mungkin bisa diterima oleh setiap muslim - baik Kurdi atau bukan - adalah bahwa Kurdistan Irak diperintah oleh pemerintahan sekuler yang loyal kepada salibis dan berkooperasi dengan yahudi.

As-Sahab : Baiklah. Anda tadi menyebutkan bahwa kampanye militer Amerika mungkin akan meluas ke Iran. Di sini kami ingin mengetahui opini anda dari pertanyaan "mengapa Mujahidin tidak mengesampingkan perselisihan mereka dengan Iran sementara itu mereka sedang menghadapi musuh yang sama untuk menghabisi mereka?". Apa komentar Anda tentang pertanyaan ini?

Syekh Aiman : Komentar saya terhadap pertanyaan tersebut adalah bahwa kita - sampai pada sebelum peperangan Afghanistan dan Irak - berkonsentrasi untuk konfontrasi terhadap aliansi salibis-yahudi di bawah pimpinan Amerika dalam peperangan jaman ini melawan umat Islam. Akan tetapi dengan mengejutkan, kita menemukan Iran berkolaborasi dengan Amerika untuk menginvasi Afganistan dan Irak.

Para pemimpin Iran, semisal Rafsanjani dan lainnya, mendeklarasikan lebih dari sekali bahwa sekiranya tidak ada peran yang dimainkan Iran, niscaya darah Amerika akan mengalir dengan deras di Afghanistan. Dan para pemimpin Iran tidak pernah merasa letih - dalam berbagai pernyataan mereka, pers dan media - mengulangi lelucon menggelikan dengan mengatakan bahwa Al-Qaidah dan Taliban adalah agen Amerika.

Di saat Imarah Islamiyah di Afganistan menjaga saudaranya kaum muslimin, menolak untuk menyerahkan mereka kepada Amerika, dan menantang - dengan keimanan, kesabaran, dan keteguhannya - Amerika, seluruh salibis dan penolong mereka, Iranlah yang menyokong dan membiayai pasukan bersenjata Aliansi Utara yang memiliki hubungan dekat dengan inteligen Amerika.

Dan ini bukanlah hal yang menjadi rahasia lagi. Akan tetapi telah didokumentasikan secara resmi oleh laporan Kongres Amerika pada tanggal 11 September. Meski demikian, Iran terus menyokong mereka secara terbuka dan rahasia, dan menganggap Burhanuddin Rabbani sebagai presiden resmi Afghanistan.

Ketika invasi Amerika dimulai, Iran menandatangani persetujuan dengan Amerika Serikat, dan mengklaim bahwa hal itu semata-mata untuk menyelamatkan tentara Amerika dan orang Amerika yang terluka. Iran memfasilitasi masuknya kekuatan Ismail Khan melalui perbatasannya menuju Herat, daerah di mana mereka memiliki kendali, lalu menyerahkannya kepada Amerika.

Iran juga mengakui pemerintahan boneka di Kabul secepat sesudah pendiriannya. Dan bahkan, kementrian luar negri Iran mengikuti upacara pelantikan, berharap kiranya mendapatkan bagian dari rampasan, akan tetapi Amerika lebih licik dibandingkan dengannya.

Ketika Syekh Hekmatyar (semoga Allah menjaganya) menyatakan bahwa pemerintahan Karzai adalah pemerintahan boneka yang tidak mewakili rakyat Afgan, pemerintahan Iran mengusirnya dari wilayah kekuasaannya.

Adapun yang terjadi di Irak, Iran telah bersepakat untuk membagi Irak dengan Amerika sebelum mereka memasuki Irak. Dan milisi Syiah yang telah dilatih, didanai dan dipersenjatai oleh Iran dalam beberapa tahun dikirim memasuki Irak setelah jatuhnya pemerintahan Saddam Husain dan diasimilasikan dengan militer Irak dan organisasi keamanan Irak.

Mereka terus dan masih saja menjadi cakar salibis penjajah dalam menyerang kaum muslimin di Irak. Meskipun pengulangan slogan "Mati Amerika! Mati Israel!" yang dilantunkan Iran, kami tidak pernah mendengar sama sekali satu fatwa yang dikeluarkan oleh seorang otoritas Syiah, yang berada di Iran maupun di luar Iran, yang mengajak berjihad melawan Amerika di Irak dan Afganistan. Bahkan Rafsanjani secara terbuka mengungkapkan penghormatannya terhadap keinginan agen Iran berkenegaraan Irak agar pasukan Amerika tetap berada di Irak.

Bahkan sampai dengan problematika Palestina, dia menyatakan bahwa Iran tidak bermaksud menghancurkan Israel dan bahwa problem Palestina harus diselesaikan di antara penduduk Palestina dan Yahudi. Dan mereka akan menemukan solusinya di masa mendatang.

Adapun apa yang dilaporkan dari Ahmadinejad tentang ajakan membasmi Israel merupakan propaganda kosong, karena jikalau hal tersebut memang benar dia tidak akan turut serta menjadi anggota PBB yang memiliki piagam yang mengajak untuk menghormati kedaulatan, integritas teritorial dan keselamatan setiap anggotanya.

Saya ingin mengingatkan kepada umat Islam bahwa ajakan persetujuan dengan apa yang disetujui penduduk di suatu wilayah bisa jadi sebagai pembuka kompromi pada wilayah dan hak-hak kaum muslimin lainnya.

Ini dikarenakan di setiap penduduk ada sekelompok pengkhianat yang memerangi Islam. Semisal yang ada di Palestina terdapat Mahmud Abbas, Muhammad Dahlan dan para pemimpin lainnya yang berkooperasi dengan CIA dan Mossad.

Tidak mungkin melakukan persetujuan dengan mereka kecuali dengan memberikan hak-hak kaum muslimin di Palestina dan mengabaikan pemerintahan syariat. Dan selanjutnya menolak fardhu ain untuk mengembalikan setiap jengkal tanah Palestina dan setiap negri islam yang terjajah.

Perkataan pengelakan yang senada dengan ini adalah apa yang dikatakan Hasan Nasrullah tentang Palestina. Bahkan dia mengatakan sama persis tentang Lebanon, ketika dia setuju menantang pemerintahan Lebanon - yang dianggap sebagai boneka Amerika - untuk menentukan apakah Perkebunan Syab'ah milik Lebanon atau bukan.

Di saat dia loyal kepada Ayatullah di Teheran - yang jaraknya ribuan kilo -, dia menganggap dirinya tidak ikut bertanggung jawab untuk membebaskan perkebunan Syab'ah, yang terletak hanya sejauh lemparan batu dari tempatnya, jika pemerintahan Lebanon, yang dianggap sebagai pemerintahan boneka, menolak kepemilikan perkebunan.

Dalam hal ini dia tidak mengutarakan kewajiban jihad untuk membebaskan negri kaum muslimin, tapi dia membicarakan tentang konsep nasionalis dan partai yang sempit yang tidak dikenal dalam Islam.

As-Sahab : Mungkin kita bisa membandingkan antara manhaj ini dengan perkataan Syekh Usamah yang masyhur bahwa Amerika tidak akan pernah memimpikan keamanan hingga kami benar-benar merasakannya di Palestina, dan juga pesan Anda dengan judul "Palestina merupakan urusan kita dan urusan setiap muslim", juga perkataan Abu Mush'ab (semoga Allah merahmatinya): "Sesungguhnya kami berperang di Irak sementara mata kami tertuju ke Baitul Maqdis".

Syekh Aiman : Benar. Dan di sini terlihat dengan jelas perbedaan antara dua manhaj tersebut.

As-Sahab : Akan tetapi dia (Rafsanjani) setuju dengan resolusi 1701 tentang pelucutan senjata di sebuah area yang menjorok 30 Km ke Utara dari perbatasan dan penempatan pasukan internasional di area tersebut. Misalnya, dia setuju dengan keberadaan pasukan luar negeri penjajah yang menduduki sebagian besar Lebanon.

Syekh Aiman : Tepat sekali. Dan bahkan dengan menggunakan standar pembebasan nasional, tidak mungkin kelompoknya dianggap sebagai pergerakan pembebasan nasional. Tidak terdapat pergerakan pembebasan nasional yang bersungguh-sungguh dalam nasionalismenya setuju dengan pengembalian/pelepasan perbatasan negaranya sejauh 30 km. Dan seluruh wilayah yang dilepaskan, ditinggalkan tanpa adanya pengawasan dari negara dan dibiarkan di bawah kendali pasukan luar.

Jadi, jangan bertanya tentang perkebunan Syab'ah, dan bahkan jangan bertanya tentang Palestina. Jika itu permasalahannya, lalu kenapa mereka melaknat Anwar Sadat ketika dia menerima pelucutan senjata di Saina'?

As-Sahab : Amerika menakut-nakuti Iran dengan penyerangan dalam jangan waktu dekat. Apakah Iran mengharapkan umat Islam untuk menolong mereka menghadapi agresi Amerika?

Syekh Aiman : Iran menikam umat Islam dari belakang dan mencatat sejarah keburukan dirinya dan seluruh kaum Syiah yang mengikutinya. Efek dari keburukan ini akan terus diingat kaum muslimin dalam waktu yang terus berkelanjutan.

Kontradiksi aneh yang ingin saya ingatkan adalah meskipun Iran memperkenankan pasukan salibis memasuki Irak, mengakui pemerintahan boneka di sana, dan memotivasi milisinya untuk bergabung dalam militer, keamanan dan kepolisiannya.

Dan meskipun pengakuannya terhadap pemerintahan boneka di Afganistan, niscaya hal tersebut akan mengingatkan Amerika akan balasan berlipat atas kepentingannya terhadap dunia jika menyerang Iran.

Apakah pendudukan Amerika di teritorial Iran dilarang ketika hal itu dibolehkan terjadi di Irak dan Afghanistan? Apakah Teheran lebih penting bagi mereka dibanding dengan Karbala dan Najaf? Kenapa Khomeini menakut-nakuti Amerika dengan pembalasan berlipat jika Iran diserang, sementara itu dia tidak menggerakkan jari ketika Amerika meroket makam imam Ali - semoga Allah memuliakan wajahnya - di Najaf?

Apakah seluruh teror dan kontradiksi tersebut tidak membutuhkan pemeriksaan dan pembacaan ulang berbagai hal lebih lanjut dari setiap orang memiliki sisa kecerdasan dan hati nurani?

As-Sahab : Akan tetapi Iran menganggap dirinya sebagai pemenang politik melalui kooperasinya dengan invasi salibis di Irak dan Afganistan dengan terlepasnya dari dua rezim yang memusuhinya dan pengaruhnya tersebar ke timur dan barat.

Syekh Aiman : Iran melibatkan dirinya dalam perbuatan buruk dan sekarang terkepung dari Timur dan Barat.

As-Sahab : Isyarat-isyarat ini tertuju kepada orang-orang yang berkooperasi dengan penjajah salibis di Irak dan Afghanistan membawa kita menuju diskusi tentang partner lain mereka dimana pasukan salibis berangkat dari tanah dan iklim mereka untuk membantai kaum muslimin. Semisal Mesir, Jazirah Arab, Negara-negara Teluk, Yordania dan Pakistan. Sebagai contoh Mesir : Apa peran Mesir dalam rangka mempertahankan Islam dan tanah kaum muslimin? Kenapa sampai kepada hal yang seperti ini?

Syekh Aiman : Problem utama aib dan penghinaan yang menimpa kita di Mesir dan negeri muslim lainnya adalah kelambanan kaum muslimin dalam menentang penindasan, amar ma’ruf nahi munkar, perasaan takut, ragu-ragu, takut kehilangan kehidupan dunia, manhaj kekalahan yang semuanya merupakan penyebab terpenting perubahan Mesir dari mulai benteng yang mempertahankan Islam hingga menjadi penolong, ajudan dan sekutu dalam serangan salibis-zionis Amerika.

Saya yakin dalam militer Mesir, di antara ulama Mesir, garda depan yang terlatih, murid-murid, pegawai, pedagang, dan profesional terdapat orang-orang yang siap untuk mempersembahkan jiwa, harta dan segala sesuatu yang dimilikinya di jalan Allah.

Saya serukan kepada garda depan kaum mukminin untuk segera bertindak, mengambil inisiatif dan mengorganisir operasi untuk konfrontasi dengan lapisan pengkhianat musuh Islam dan kaum muslimin yang telah mengubah mesir menjadi basis yang mendukung agresi salibis terhadap kaum muslimin di Afganistan, Irak dan Palestina.

Lapisan pengkhianat tersebut tidak mencapai satu persen penduduk muslim Mesir, akan tetapi memiliki harta benda terbesar di antara mereka. Ketika kebanyakan penghasilan penduduk Mesir kurang dari satu dolar per hari, lapisan tersebut menggunakan mata uang dolar dalam berbagai transaksinya dan menolak menggunakan mata uang Mesir. Memiliki klub ekslusif, restoran dan ruang dunia tersendiri. Lapisan yang memiliki berbagai kepentingan itu terikat dengan rezim salibis Amerika, sampai dengan Jamal Mubarok, pewaris Mesir masa mendatang, dalam suatu program Amerika mengatakan bahwa hubungan dengan Amerika merupakan pokok keamanan nasional Mesir. Lalu apakah masih tersisa keamanan nasional di Mesir setelah menjadi cabang keamanan Amerika?

As-Sahab : Saat ini di Mesir terjadi kontroversi besar tentang kebebasan pers.

Syekh Aiman : Umat ini tidak akan dapat membebaskan dirinya dari tekanan dan penindasan dalam pers maupun yang lainnya kecuali dengan melepaskan diri dari rezim tirani dan diktator yang menduduki di atas dada-dada kita.

Dan kita tidak dapat berlepas diri dari bala' mereka kecuali kita dapat memvisualisasikan kondisi nyata kita dengan benar sehingga kita mengetahui dimensi peperangan yang terjadi. Kita sedang menghadapi peperangan pembantaian salibis yang mengehendaki pendudukan, pembagian dan penguasaan atas negri-negri islam dengan paksa.

Sementara itu pemerintahan kita merupakan anggota pasukan mereka. Jadi, kita tidak akan bisa melepaskan diri kecuali dengan melakukan konfrontasi dengan koalisi setan yang sedang mencengkeram kita.

As-Sahab : Bagaimana bentuk konfrontasi tersebut? Sebagian orang kadang mengatakan bahwa Anda membebani manusia dengan apa yang mereka tidak mampu untuk melaksanakannya.

Syekh Aiman : Maha Benar Allah yang mengatakan :

"Bertakwalah (takutlah) kalian kepada Allah semampu kalian." (At-Taghabun: 16).

Allah juga mengatakan:

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi." (Al-Anfal:60).

Allah juga berfirman:

"Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan." (At-Taubah: 91).

Setiap kita wajib untuk melakukan apa yang mampu untuk kita lakukan demi melaksanakan fardhu ain menghadapi aliansi setan ini yang sedang menduduki dada umat kita di Mesir dan negeri Islam lainnya. Kita harus bergabung dalam jihad melawan salibis penjajah di Irak, Palestina, Somalia, Chechnya dan medan-medan peperangan lainnya, antara salibis-yahudi dan umat Islam. Dan kita harus menyokong Mujahidin di medan-medan tersebut dengan jiwa, harta, opini, keahlian, pengobaran semangat dan doa.

Kita harus berusaha untuk merubah rezim yang rusak dan merusak dengan menyebarkan kesadaran akan kebobrokan mereka, menyampaikan pentingnya untuk merubah mereka, menegakkan pemerintahan Islam di atas reruntuhan mereka, dengan mengumpulkan dan mengorganisir kekuatan dan keahlian untuk melakukan hal tersebut.

Kita harus mecabut rezim legitimasi dan kita tidak mengakui konstitusi mereka, undang-undang mereka, tidak ikut berpartisipasi dalam pemilihan dan majelis mereka yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah.

Setiap kita haruslah mencurahkan segala sesuatu yang kita mampu dan tidak berpaling dalam melawan aliansi setan ini, meksipun hanya dengan doa kebaikan, meskipun hanya dengan memuji Mujahidin, atau hanya dengan menyediakan kebutuhan keluarga para tawanan.

As-Sahab : Membicarakan tentang kegagalan Mesir dalam memainkan perannya membela Islam membawa kita kepada perbincangan seputar Palestina dan deklarasi Balfur yang telah berlalu 90 tahun hingga saat ini, perkembangan terakhir di sana dan konferensi musim gugur yang diadakan Amerika.

Syekh Aiman : Deklarasi Balfur adalah perjanjian pengambilan sebagian daerah Palestina dan memberikannya kepada yahudi. Tetapi hari ini, sebagai pembanding, politikus perundingan Palestina, sebagian dari mereka menisbatkan diri kepada pergerakan Islam, memberikan empat per lima bagian Palestina kepada yahudi dan mereka sama sekali tidak meminta maaf hingga hari ini.

Yang menjadi problem bukanlah Mahmud Abbas dan konferensi musim gugur, akan tetapi yang menjadi problem adalah politikus perundingan yang mengakui Mahmud Abbas sebagai presiden dan menetapkan baginya hak negosiasi atas nama penduduk Palestina.

Bagaimana bisa Mahmud Abbas diberi wewenang untuk bernegosiasi atas nama penduduk Palestina ketika setiap orang mengetahui bahwa dia menjual Palestina? Bagaimana mungkin Mahmud Abbas diakui sebagai presiden sementara setiap orang mengetahui bahwa dia adalah seorang Amerika dan Israel?

Hal lain yang ingin saya ingatkan tentang politikus perundingan bahwa saat ini umat muslim menjadi sangat waspada dan sensitif, khususnya tentang permasalahan Palestina. Politikus perundingan semestinya mengetahui bahwa seluruh trik mereka telah terbongkar dan di bawah pengawasan, dan mereka tidak akan mampu melaluinya atas umat dengan berbagai strategi.

Oleh karena ini saya ingatkan kepada setiap orang yang merdeka dan terhormat di Palestina agar tidak membantu menjual Palestina dan tidak membantu menyerahkannya kepada yahudi ataupun berkompromi dengan mereka, meskipun hanya sebutir pasir.

Saya juga tujukan (peringatan saya) kepada setiap orang yang telah masuk dalam organisasi sekuler yang berpaling menjauh dari syariat dan menyerahkan sebagian besar Palestina, dan setuju dengan solusi setan barat dan timur.

Saya tujukan kepada mereka dan saya katakan : Kembalilah kalian kepada kebenaran, kepada jalan Islam dan jihad, berdirilah kalian bersama umat muslim di bawah panji tauhid melawan invasi baru salibis-zionis. Jika kita tidak menyadari bahwa Palestina bukanlah pusat peperangan antara salibis melawan Islam, maka kita tidak akan menyadari sesuatupun. Yakinlah kalian dengan Rabb kalian Sang Pencipta, Pemberi Rizki, Maha Kuat dan Maha Perkasa. Dan ketahuilah bahwa organisasi-organisasi tersebut "tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan." (Al-Furqan: 3). Lalu bagaimana mungkin mereka dapat melakukan segala sesuatu untuk kalian?

As-Sahab : Baiklah. Kita tidak bisa mengakhiri perbincangan ini tanpa menyentuh Pakistan, yang berbagai kejadian tentangnya memenuhi berita utama seluruh dunia dalam beberapa hari ini. Apa yang Anda lihat dari berbagai kejadian tersebut?

Syekh Aiman : Musharaf dan rezimnya merasakan hari-hari terakhirnya - dengan izin Allah -, dan kegagalan mereka adalah bagian atau prasyarat dari kegagalan Amerika di daerah tersebut.

Apa yang sebenarnya mengalahkan Musharaf adalah intifadah dan kebangkitan jihad yang mencakup di wilayah suku-suku dan menyebar sampai dengan pertengahan Pakistan, melalui berkah jihad Afghan melawan salibis di Afganistan.

Seluruh kejadian yang berlangsung di Pakistan, mulai dari kembalinya Benazir, pengumuman kondisi darurat negara, penangkapan yang terus berlanjut dan berbagai macam penindasan merupakan keputus asaan percobaan Amerika untuk mengobati situasi yang memburuk di Afganistan dan Pakistan. Komandan pusat pasukan Amerika berada di Islamabad di saat pengumuman kondisi darurat negara.

Oleh karena itu saya mengajak kepada setiap orang yang memiliki kecemburuan Islam di Pakistan untuk bergabung bersama Mujahidin, menyokong dan menolong mereka, karena mereka adalah kunci pembebasan dari pemerintahan yang rusak dan busuk di Islamabad. Pemerintahan itulah yang mempermalukan militer Pakistan dan merubahnya menjadi anjing pelacak Amerika.

Dan di tangan pemerintahan itu militer Pakistan mengalami kekalahan terburuk di tangan Mujahidin di Waziristan dan Swat, dan moral mereka jatuh ke dasar jurang dan ratusan pasukan mereka menyerahkan diri di saat ancaman pertama dari Mujahidin.

Militer ini, dengan melihat keterpurukannya, penyimpangannya dari pertarungan dengan musuh yang sesungguhnya, deviasi dari kewajiban teoritisnya dan moralnya yang anjlok tidak akan mungkin membela Pakistan, bahkan tidak berhak atas kehoramatan tersebut.

Militer ini harus melawan Musharaf jika ingin menyelamatkan Pakistan dari masa depan yang gelap yang diarahkan oleh Musharaf. Militer Pakistan semestinya menempatkan kesetiaannya hanya untuk Islam, Allah dan Rosul-Nya SAW di awal mula dan sebelum segala sesuatu sebagai ganti dari kesetiaan mereka terhadap gaji, posisi dan berbagai sampah dunia yang tidak mampu memberi mereka sesuatupun pada detik-detik awal menghadapi Mujahidin, bahkan akan menjadi wabah bagi mereka di akhirat kelak.

Militer pakistan harus mengambil langkah dan kepada seluruh muslimin di Pakistan harus menyokong jihad karena Pakitan telah berubah menjadi Amerikastan, dan mereka harus menyelamatkannya sebelum berubah lagi menjadi Indiastan atau Israelistan.

As-Sahab : Syekh Aiman, tidakkah Anda melihat bahwa tidak baik bagi kita menutup pertemuan ini tanpa pesan untuk saudara-saudara kita para singa dalam belenggu yang dipimpin oleh simbol keteguhan hati, syaikh kita yang mulia Umar Abdurrahman, semoga Allah membebaskan mereka semua.

Syekh Aiman : Jazakallah khoir atas tadzkirah ini, dan saya katakan kepada mereka: teguhlah wahai orang-orang yang kami cintai, karena sesungguhnya kemajuan jihad berada pada jalannya dan kabar gembira akan kemenangan telah nampak di ufuk. Dan tolaklah semua penarikan kembali dan lubang perangkap yang telah disiapkan, dicetak dan dipromosikan oleh tangan-tangan organisasi keamanan.

Tenanglah kalian bahwa pembebasan kalian adalah hutang di atas pundak-pundak kami.

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim." (Ali Imran: 139-140).

As-Sahab : Di ujung pertemuan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Syekh Aiman Az-Zawahiri dan semoga Allah menjadikan wawancara ini murni untuk wajah-Nya yang mulia. Dan penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah Robb semesta alam. Semoga sholawat serta salam tercurah keatas nabi kita Muhammad. wassalamu'alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh.

Syekh Aiman : Wa'alaikumussalam wa rohmatullahi wa barokatuh.

Weekly Interview
http://www.arrahmah.com
The State Islamic Media

Bagian 1: http://www.arrahmah.com/blog/detail/wawancara-eksklusif-syaikh-aiman-az-zawahiri-mengenai-dunia-islam-bag-1/