Friday, May 25, 2007

Adakah Demokrasi dalam Islam?*

Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang seringkali muncul dalam wacana politik Islam kontemporer, baik dalam nada negatif atau menolak, maupun dalam sikap yang positif dan menerima. Artikel yang anda baca ini merupakan tulisan rintisan yang kami harap dapat menjadi semacam pengantar bagi diskusi-diskusi konstruktif lainnya berkaitan wacana keislaman dan kiprah umat Islam kontemporer, khususnya di Indonesia.

Apa itu Demokrasi?

Gagasan dan istilah demokrasi sudah dikenal sejak abad ke-5 di Yunani kuno. Dalam bahasa Yunani, demos pada umumnya diterjemahkan sebagai rakyat, dan kratos/cratein berarti kedaulatan atau kekuasaan, dengan demikian, demokrasi dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai kedaulatan atau kekuasaan rakyat. Gagasan dan istilah demokrasi pada awalnya dipopulerkan oleh Aristoteles, yang membagi bentuk-bentuk pemerintahan sebagai; Demokrasi, Oligarki dan Aristokrasi. Definisi pemerintahan demokrasi menurut filosof Yunani ini adalah, “kekuasaan pemerintahan yang dibagi-bagi menurut pemilihan atau kesepakatan”.

Meski gagasan dan istilah ini dapat kita rujuk sampai abad ke-5 M, namun ia baru menemukan momentumnya pada awal abad modern di abad 18, pengertian dan praktek demokrasi pun berevolusi seiring perkembangan gagasan politik modern. Sebagai satu pandangan dunia dan ideologi, istilah ini tidak bisa dilepaskan dari 1) filsafat materialisme, yang menjadikan materi (kebendaan, empirisisme atau kenyataan inderawi) sebagai ukuran kebenaran, dan 2) anthroposentrisme (humanisme), yang menempatkan manusia dan rasionalisme sebagai sumber dan ukuran kebenaran, dan demikian pula hukum. Pada garis besarnya, demokrasi yang berasal dari humanisme ini berkembang menjadi dua cabang besar, yakni, 1) demokrasi liberal, yang bersendikan liberalisme dan berdasarkan individualisme, dan 2) demokrasi sosial dan demokrasi kerakyatan (people’s democracy) yang bersendikan sosialisme.

Dalam arus utama teori politik modern, untuk mengimplementasikan demokrasi ke dalam lembaga kenegaraan, maka gagasan ini berhubungan erat dengan prinsip trias politica (Montesqeu), yang menghendaki kekuasaan negara dibagi dalam tiga lembaga kekuasaan, yaitu; 1) legislatif, yang merumuskan legislasi atau penetapan hukum dan konstitusi, 2) eksekutif, yang melaksanakan hukum atau konsitusi, dan 3) yudikatif, yang mengawasi pelaksanaan hukum atau konstitusi tersebut, dan mengadili perselisihan ataupun pelanggaran terhadap pelaksanaan hukum tersebut, baik yang dilakukan oleh pihak legislatif, eksekutif, ataupun warga negara. Meski demikian, demokrasi tetap dimaknai dan dipraktekkan secara beragam di berbagai negara, dengan berbagai varian mekanisme dan lembaga-lembaganya.

Menurut pengertian awalnya ini, maka demokrasi dalam sistem ekonomi, sosial, politik dan budaya Barat sekuler dimaknai sebagai dasar atau landasan, cara/jalan, dan sekaligus tujuan dari kekuasaan negara.

Beberapa Persoalan tentang Demokrasi

Dalam perkembangan teori dan prakteknya kemudian, demokrasi liberal lebih menekankan demokrasi (kebebasan dan partisipasi) politik sebagai prasyarat dan ukuran keberhasilan masyarakat dan negara demokrasi, sedangkan demokrasi sosial (sosialisme demokratik dan demokrasi kerakyatan/sosialisme-komunisme) lebih menekankan demokrasi (keadilan dan pemerataan) ekonomi sebagai prasyarat dan ukuran masyarakat dan negara demokrasi.

Negara-negara dan para aktivis pendukung demokrasi liberal pada umumnya menyerang mekanisme penyelenggaraan kekuasaan di negara-negara Sosialis dengan sistem kediktatoran proletariat-nya, rezim-rezim militer dan totaliter di negara-negara dunia ke-tiga, serta mekanisme penyelenggaraan kekuasaan di negara-negara Islam pada umumnya, sebagai tidak demokratis dan tidak menghormati Hak-hak Asasi Manusia. Di sisi lain, banyak juga tokoh dan kelompok yang mengkritisi praktek demokrasi liberal yang menerapkan demokrasi hanya pada tataran mekanisme pemilihan serta kebebasan berekspresi saja, tapi tidak memperhatikan prakondisi ketimpangan ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat yang tidak demokratis, yang akhirnya mengurangi kedaulatan masyarakat pada saat melakukan pemilihan dan pengawasan pemerintahan tadi. Sehingga, mekanisme demokrasi yang seharusnya berdasarkan prinsip-prinsip keterlibatan publik dalam penyelenggaraan negara menjadi ternafikan, dan demokrasi sebagai ideologi politik yang mendasarkan pada kedaulatan rakyat secara keseluruhanpun sesungguhnya hanya ada pada tataran teori saja, di antaranya, sebagaimana pandangan Schumpeter, E. Bernstein, Moammar Qathafi dan banyak lagi lainnya.

Demokrasi sebagai pandangan hidup dan ideologi memang agak sulit untuk disandingkan dengan Islam, karena, demokrasi adalah suatu sistem kemasyarakatan, yang memiliki sistem kepercayaannya sendiri (materialisme dan humanisme/anthroposentrisme) yang bertentangan dengan Islam, karena, terlepas dari tafsiran apapun yang akan digunakan terhadap materialisme dan humanisme, semangat demokrasi di awal kebangkitannya (di abad 18), bagaimanapun, adalah semangat pemberontakan terhadap otoritas keagamaan (ketuhanan – pada awalnya, terutama terhadap dominasi dan hegemoni Gereja Katholik di Eropa).

Meski terdapat keragaman dan berbagai varian dalam teori demokrasi, pada hari ini istilah demokrasi lebih identik dengan liberalisme-kapitalisme – demokrasi liberal (Francis Fukuyama, “The End of History and the Last Man Stand” ). Di sinilah letak persoalannya, demokrasi liberal yang saat ini menjadi arus utama teori dan praktek demokrasi di dunia selalu menunjukkan sikap tidak bersahabat ketika berhadapan dg Islam. Perjuangan penegakkan syari’at Islam melalui mekanisme demokrasi juga hampir selalu “membentur dinding”, kita bisa melihat bagaimana kemenangan FIS melalui pemilu di Aljazair disabotase militer yang didukung Amerika, atau “e-coup” yang dilakukan militer Turki sebagai sabotase atas kemenangan calon Presiden Turki dari partai Islam baru2 ini juga menjadi bukti ke-sekian dari absurditas Demokrasi Liberal. Di sisi lain, ada juga gerakan Islam yang berhasil menguasai pemerintahan dan menerapkan syari’at Islam melalui jalan demokrasi, misalnya, kemenangan mutlak HAMAS dengan menguasai parlemen dan jabatan-jabatan kementrian Palestina, yang kemudian dijawab Amerika Serikat, Israel dan negara-negara sekutu mereka dengan embargo dan gempuran terus menerus atas negeri itu. Selain itu, Partai PAS di Malaysia berhasil menduduki jabatan Menteri Besar negara bagian Kelantan, dan melegislasi Syari'at Islam menjadi hukum negara, seperti UU anti minuman keras, UU anti perjudian dan UU anti prostitusi.

Mekanisme Demokrasi sebagai Salah Satu Pola Kepemimpinan Islam

Terlepas dari apakah istilah demokrasi pada awalnya berasal dari ‘dalam’ atau dari ‘luar’ tradisi Islam, adanya mekanisme muktamar (kongres, atau musyawarah besar) dalam ormas-ormas, partai-partai dan kelompok-kelompok keislaman lainnya membuktikan bahwa “demokrasi” hari ini telah menjadi bagian dari tradisi keislaman – “tradisi Islam yang demokratis”, atau “demokrasi yang Islami” telah hidup dan dipraktekkan dalam kehidupan kolektif masyarakat muslim pada umumnya. Dengan catatan, muktamar tidak difahami sebagai syura, dan begitu juga sebaliknya.

Istilah demokrasi memang tidak berasal dari bahasa Arab, maka kitapun tidak dapat menemukan transliterasinya di dalam Al-Quran maupun Hadits-hadits, tapi, sebagaimana juga banyak istilah yang kita pergunakan hari ini, banyak diantaranya yang berasal dari bahasa asing (non-Arab), dan kita adopsi serta kita pergunakan juga dalam wacana dan doktrin keislaman hari ini, terutama di negeri-negeri ‘azam (non-Arab, khususnya Indonesia), misalnya saja istilah agama, negara, sembahyang, puasa, hari raya, santri, dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut bukan berasal dari bahasa Arab, tapi berasal dari bahasa sanksekerta, yang pada masa nusantara Hindu atau Budha (pra-Islam), istilah-istilah tadi berasal dari doktrin dan mewakili konsep keagamaan serta kebudayaan tertentu, namun, setelah kita pisahkan istilah-istilah tadi dari konsep baku asalnya, kita ambil makna-makna yang bersifat umumnya, lalu kita padankan dengan istilah-istilah keislaman yang berbahasa Arab, maka kitapun menerima istilah-istilah tadi sebagai bagian dari kekayaan dan keragaman kebudayaan Islam, dan pada gilirannya, Islam sebagai agama yang berasal dari negeri Arab, ikut juga mewarnai kebudayaan masyarakat nusantara.

Terdapat berbagai macam pola kepemimpinan (pemerintahan) dari sejak masa kepemimpinan Rasulullah saw sampai dengan masa pemerintahan, katakanlah – yang bagi sebagian kalangan, masih dianggap sebagai “pewaris sah” dari model pemerintahan Islami, Daulah Utsmaniyah (Dinasti/Rezim Utsmani), jika kita hendak mengukurnya dengan kategorisasi teori politik modern, maka, kita akan menyaksikan keragaman pola pemerintahan, dari mulai kecenderungan monarkis, sampai yang lebih cenderung oligarkis. Pada masa masyarakat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah saw, jika menggunakan kategorisasi tadi, kita akan menemukan kecenderungan yang mendekati oligarkis, di mana, selain Rasulullah saw sebagai pemimpin pertama dan utama, terdapat kelompok para shahabat yang sering diajak berunding oleh Rasulullah saw dalam banyak hal.

Pada masa selanjutnya juga demikian, kecuali pada masa Khalifah Utsman bin Affan yang memiliki dua kecenderungan sekaligus, pada awalnya oligarkis, tapi di akhir kepemimpinannya mulai bergerak ke arah monarkis, dengan mengangkat banyak dari kalangan keluarganya ke dalam lingkungan kekuasaan, yang kemudian memang memicu (mulai memasuki) masa ‘fitnatul-kubro’. Setelah masa ‘khulafaur-rasyidin’, pola pemerintahan kekhalifahan Islam – perlahan tapi pasti, semakin menunjukkan tendensi monarkisme (kerajaan).

Saat ini, ada dua kecenderungan utama dalam pola pemerintahan Islam, 1) kerajaan – seperti Arab Saudi dan Kuwait (seperti juga pada masa kekhilafahan Bani Umayyah dan Abbasiyah), 2) republik (jumhuriyah), sebagaimana yang dipraktekkan oleh Republik Islam Iran, Sudan dan Pakistan.

Dengan demikian, ‘khilafah’ pada awalnya bukanlah sebuah sistem pemerintahan atau tata negara yang baku dalam teori dan praktek politik Islam – terminologi khilafah lebih merujuk pada filosofi dasar kekuasaan – secara teologis (Q.S. 2: 30, 7: 129, 27: 26, 35: 39, 38: 26, 6: 165).

Dalam sumber utama hukum Islam (al-Quran), secara teologis, istilah khilafah pada awalnya merujuk pada (salah satu) tujuan penciptaan manusia secara mendasar (ontologis), tidak secara khusus berkenaan dengan doktrin “perwakilan Mulkiyah-Allah”, tetapi juga berkenaan dengan konsep “perwakilan Rububiyah-Allah”. Dapat dikatakan, istilah ini pada awalnya memiliki pengertian kekuasaan yang umum (QS. 27: 62, 6:165), tidak secara khusus merujuk pada konsep “daulah-Islamiyah”; secara umum, bisa dirujukkan kepada kekuasaan yang Islami atau menegakkan syari’at Islam, maupun kekuasaan non-Islam atau yang tidak menegakkan syari’at Islam (QS. 35: 39). Para ulama kemudian menjadikan doktrin ini (dan tentu saja, praktek Rasulullah saw beserta para shahabatnya) sebagai landasan teori politik Islam. namun demikian, jika secara historis istilah khalifah ini digunakan untuk merujuk pada suatu “gelar” atau jabatan kekuasaan ataupun kepemimpinan Islam, maka “gelar” atau jabatan itu di dalam al-Quran, Hadits, ataupun menurut pendapat para ulama bersanding dengan istilah-istilah lainnya; sulthon, amir ataupun imam.

Para penghulu ulama nusantara – Wali Songo, menyadari benar hal ini, tidak heran jika salah satu gelar (jabatan) dari sultan-sultan Demak dan turunannya (bahkan sampai saat ini) adalah “Khalifatullah ing Tanah Jawi”. Dengan demikian, khilafah Islamiyah (penegakkan syari’at Islam secara politik) dapat dipraktekkan apakah itu melalui model pemerintahan yang monarkis, oligarkis, ataupun demokratis, tergantung model pemerintahan mana yang menurut ijma’ (jumhur) ulama atau ‘waliyul-amri’ paling memenuhi ‘maqashidus-syar’iyyah’ untuk konteks zaman dan masyarakatnya.

Model demokrasi dalam konteks kenegaraan tadi tentu saja tidak berarti menegasikan konsep kekhilafahan. Secara ontologis atau transenden, Kekuasaan dan Hukum Allah saja yang bersifat mutlak dan absolut (QS. 7: 54, 12: 40, 13: 41, 33: 36, 6: 62, 6: 165), dan secara epistemologis, kekuasaan manusia yang ditegakkan berdasarkan syari'at Islam berarti kekuasaan yang bersumber dan berdasarkan Hukum Allah (QS. 4: 59, 38: 26), kekuasaan yang ditegakkan dalam konteks manusia sebagai hamba Allah (QS. 51: 56) dan khalifah (Q.S. 2: 30).

Dengan demikian, mekanisme demokrasi yang dimaksudkan ditempatkan setelah penerimaan terhadap Tauhid, setelah penerimaan kita terhadap hukum-hukum Allah SWT sebagai hukum tertinggi, dan pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT tersebut dalam kapasitas kita sebagai hamba dan khalifatullah.

Mekanisme demokrasi (sebagai cara meraih dan mengelola kekuasaan) juga tidak hanya terbatas pada model parlementer, atau tidak hanya berarti memperjuangkan penegakkan syari'at Islam melalui partai politik, pemilu dan parlemen. Ada banyak cara dan jalan bagi umat Islam untuk mempengaruhi kebijakan negara atau publik, model-model ekstra-parlementer semacam demonstrasi (unjuk rasa) dan kontrol ataupun dakwah melalui media massa sebetulnya juga masih merupakan varian dan fenomena demokrasi. Dalam situasi yang ekstrim, model gerakan ekstra parlementer dipilih ketika saluran aspirasi penegakkan Syari'at Islam melalui partai-partai politik yang berada di parlemen tersumbat atau tidak berjalan secara efektif, sedangkan dalam situasi dan kondisi yang relatif "normal", model gerakan ekstra-parlementer merupakan salah satu cara untuk mendukung atau memperkuat perjuangan penegakan syari'at Islam dalam parlemen (legislatif), atau untuk mendukung dan memperkuat implementasi penegakkan syari'at Islam oleh pemerintah (eksekutif), contohnya: dukungan berbagai kelompok umat Islam terhadap pengesahan RUU Sisdiknas, RUU APP, Perda2 anti maksiat, ataupun tuntutan atas formalisasi (legislasi dan implementasi) Syari'at Islam secara menyeluruh melalui negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan Amandemen UUD 1945 (qanun/konstitusi negara).

Pada saat ini, dua model penegakkan syari'at Islam tadi telah menjadi salah satu tradisi dalam masyarakat Islam, atau model alternatif dakwah harokah-harokah Islam, dan salah satu adagium dalam ushul-fiqh menyebutkan: al-'adatu muhakkamah, adat atau tradisi juga dapat memiliki kekuatan hukum, Tentu saja tradisi yang dimaksud adalah ‘adat tidak bertentangan langsung dengan nash-nash qath'i, yaitu tradisi yang bersuaian atau mendukung syari'at Islam saja yang bisa diakui atau diterima secara syar'i. Dalam hal ini, jika istilah demokrasi yang kita gunakan telah kita lepaskan dulu dari landasan humanisme atau anthroposentrisme-nya, dan lebih kita fahami sebagai mekanisme atau cara yang mengedepankan syura (pelibatan publik dalam perumusan kebijakan), maka mungkin demokrasi bisa kita akui dan kita terima juga sebagai salahsatu cara untuk menegakkan syari'at Islam, bisa saja kita sebut sebagai model politik (tradisi) Islam yang demokratis, ataupun istilah lainnya. Tentu saja, demokrasi bagaimanapun tidak bisa disamakan dengan Islam, tidak berarti, ‘Islam = demokrasi’, atau sebaliknya. Demokrasi hanya salah satu alternatif istilah ataupun cara dalam penegakkan syari'at Islam, tidak berarti bahwa tidak ada mekanisme atau jalan lain selain demokrasi.

Fenomena penegakkan syari'at Islam secara demokratis juga tidak hanya berupa gerakan-gerakan yang bersifat politis saja, dalam konteks demokrasi yang lebih partikular, penegakkan syari'at Islam juga bisa kita lihat dalam gerakan-gerakan ekonomi, sosial dan kebudayaan yang Islami; seperti pendirian bank syari'ah, baitul-maal, koperasi, pendirian lembaga2 pendidikan (baik secara formal, maupun informal, semacam pengajian atau halaqah-halaqah), organisasi-organisasi profesi (sekerja) ataupun komunitas, dakwah melalui penerbitan media massa cetak atau elektronik, kegiatan-kegiatan keamanan dan ketertiban lingkungan secara swakarsa, serta masih banyak lagi yang lainnya -- yang telah dan masih bisa kita kembangkan lagi.

Demokrasi sebagai sebuah faham yang berdasarkan materialisme dan humanisme – yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum utama dan ukuran kebenaran jelas bertentangan dengan Islam, tetapi, demokrasi sebagai cara atau mekanisme menegakkan kekuasaan dan mengelola kepemimpinan tentu saja bisa diterima sebagai salah satu jalan untuk menegakkan syari’at Islam, yaitu dengan dengan mempengaruhi pengambil kebijakan baik legislatif maupun eksekutif untuk melegislasi, memformalisasi dan mengimplementasikan syari’at Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi dalam pengertian pengelolaan kepemimpinan – pelibatan publik dalam perumusan kebijakan negara dan kontrol (pengawasan) publik terhadap perumusan kebijakan serta penyelenggaraan negara atau organisasi-organisasi keislaman lainnya juga tidak serta-merta bisa dikatakan bertentangan dengan Islam, karena, selain praktek seperti ini bisa kita dapatkan presedennya baik pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, Khulafaurrasyidin ra, Thabi’in dan Thabi’it-thabi’in, praktek semacam ini juga merupakan bentuk lain dari prinsip syuro yang ditetapkan langsung di dalam al-Quran. Dengan kata lain, jika dilihat dari sudut pandang Islam, maka praktek semacam tadi merupakan implementasi dan pengembangan dari prinsip keadilan, egalitarianisme, syuro, dan amar ma’ruf nahyi munkar, dan prinsip-prinsip ini juga merupakan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam pengertian ini, maka, mekanisme demokrasi ditempatkan di bawah Islam, setelah penerimaan terhadap Tauhid (Uluhiyah, Rububiyah dan Mulkiyah Allah SWT).

Masalah yang lebih mendasar adalah, model pemerintahan manapun yang akan dipilih (apakah itu demokrasi, oligarkhi ataupun monarkhi – dengan istilah apapun, apakah itu khilafah, kesultanan, ataupun jumhuriyah – dengan gelar pemimpin apapun juga, baik imam, khalifah, amir, ataupun presiden), harus dibangun atas dasar “kesepakatan” atau penerimaan (taslim) terhadap Tauhid (Ke-Esa-an Uluhiyah, Rububiyah dan Mulkiyah Allah SWT, dan demikian, syari’at Islam – al-Quran dan as-Sunnah) sebagai fondasinya utamanya (QS. 3: 19, 3: 85, 42: 21, 4: 59, 6: 62), dengan pelaksanaan yang konsisten dan konsekwen.

Demokrasi bukanlah dasar atau landasan, demokrasi bukan pula tujuan, demokrasi hanyalah salah satu jalan atau cara. Meski selalu dihadapkan pada banyak tantangan dan hambatan, penegakkan syari’at Islam melalui jalan demokrasi masih memiliki peluang dan harapan, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap berbagai kemenangan besar maupun kecil perjuangan penegakkan syari’at Islam melalui jalan demokrasi, khususnya di Indonesia.

Wallahu a’lam bish-shawab.



* Disarikan dari Diskusi Lepas JKU – Jaringan Komunikasi Ummat, April 2007.

Sedikit tentang Teks dan Interpretasi:

Catatan Kecil atas metode hermeneutika

Apa itu Hermeneutika?

Hermeneutika berasal dari kata Yunani; hermeneutikos. istilah ini pertamakali diperkenalkan oleh Aristotle dalam bukunya Peri Hermenias (On the Interpretation) yang kemudian dibawa oleh al-Farabi ke dunia Islam dengan terjemahan Fi al-'Ibarah. Pada asalnya hermeneutika digunakan dalam kajian untuk merumuskan dan mentafsirkan Bible. Friedrich Schleiermacher (1768-1834) seorang pendeta dan teolog Protestan pada umumnya diterima sebagai orang pertama yang mengembangkan hermeneutika yang bersifat teologis ke dalam filsafat bahasa yang memberi perhatian kepada bahasa dan pemahamannya. menurut kaidah hermeneutika ini, seorang pembaca dapat memahami sebuah wacana dengan sebaik bahkan lebih baik daripada penulisnya, "to understand the discourse just as well as and even better than its creator".

Kita bisa menemukan prinsip yang hampir sama dalam konteks kritik sastra serta cabang sains dan filsafat lainnya, dalam Humaniora - Wilhelm Dilthery (1833-1911) dari Jerman dan Emilio Betti dari Itali, dalam kajian ontologi - Martin Heidegger (1889-1976), dalam Marxisme Mazhab Frankfurt - Jurgen Habermas, juga dalam Fenomenologi dan Eksistensialisme - Paul Ricoeur (1913-2005) Dari perancis, yaitu, apa yang kita kenal dengan istilah hermeneutika. perlu difahami di sini, para filosof ini mempunyai konsepsi yang secara substansial berbeda dalam memahami hermeneutika tergantung kecenderungan filsafat masing-masing.

Dalam wacana keislaman, ada tiga tokoh utama yang mempromosikan hermeneutika sebagai pendekatan tafsir al-Quran dan diskursus keislaman pada umumnya, yaitu, Muhammed Arkoun, Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd.

Muhammed Arkoun, yang banyak dipengaruhi oleh hermeneutika Ricoeur, dikenal sebagai sarjana yang memperkenalkan ide hermeneutika al-Quran. Arkoun berpandangan bahwa hermeneutika amat diperlukan dalam Islam sebagaimana ia diperlukan dalan kajian Injil. keengganan umat Islam mempertimbangkan hermeneutika sebagai kaedah baru dalam memahami al-Quran akan merugikan umat Islam, karena menurutnya hermeneutika akan dapat menyelesaikan permasalahan menegenai penulisan al-Quran. hermeneutika menurut Arkoun adalah usaha untuk mentafsirkan Kitab Suci dari sudut sejarah, sosiologi dan antropologi dengan menolak segala bentuk pentafsiran yang mensakralkan dan meninggikan yang dilakukan oleh cara berpikir teologis dan tradisionalis: "To look at the "Holy Scriptures" from historical, sociological, and anthropological angle is obviously to challenge all sacrallizing and transcendentalizing interpretations produced by traditional theological reasoning".

Arkoun menggariskan tiga prosedur dalam teori hermeneutikanya: pentafsiran historis-antropologis, pentafsiran linguistik-semiotik dan pentafsiran teologis. oleh karena itu, yang pertama direkonstruksi oleh Arkoun adalah sejarah al-Quran itu sendiri. Baginya al-Quran adalah “closed official corpus” (korpus resmi tertutup); closed, karena Sayyidina 'Utsman telah membatalkan mushaf-mushaf yang lain; official, karena baginya tindakan Sayyidina 'Utsman memiliki kepentingan politik. pada akhir kajian historis ini Arkoun berpendapat bahwa al-Quran tidak suci.

Arkoun jelas mengada-ada ketika dia mengatakan bhw penafsiran al-Quran selama ini adalah proses mistifikasi dan mitologisasi, sehingga, proses demistifikasi dan demitologisasi yang menjadi proyeknya sama sekali tidak beralasan dan tidak punya tempat dalam tradisi atau wacana tafsir al-Quran. Para pengkaji Injil memerlukan kaedah hermeneutika karena dalam Injil ada perbedaan pengarang dan versi, bahkan secara umum ada kesepakatan bahwa Injil secara literal bukan Kalam Tuhan, kasus yang tidak kita temukan pada diskursus mengenai al-Quran sebelum Arkoun dan para pendahulu orientalisnya memaksakan tuduhan tadi terhadap al-Quran. Jika pada kasus Injil terdapat banyak versi yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka tidak demikian halnya dengan al-Quran, perbedaan antara mushaf ‘Utsman dan mushaf-mushaf selainnya bukanlah perbedaan versi, tetapi perbedaan kodifikasi dan penyusunan, tidak ada versi-versi al-Quran, hanya ada satu al-Quran yang kita peroleh dari Rasulullah saw, dan selain dipelihara dalam tradisi tulisan (skriptual), al-Quran sejak awal telah dipelihara dalam tradisi lisan, sehingga jika ada kekeliruan dalam penulisan al-Quran, akan segera diketahui dan dapat dikoreksi, sejak awal. Para sarjana Barat yang jujur juga telah mengakui hal ini, salah satunya adalah Karen Armstrong dalam bukunya The History of God.

Fazlur Rahman, yang pernah dikecam karena gagasan rekonstruksi syari'ah, tidak secara eksplisit mempromosikan hermeneutika dengan menyatakan secara langsung agar kaidah tafsir perlu ditinjau ulang, karena menurutnya penafisran ulama terdahulu adalah subjektif dan hanya mencerminkan keadaan sosio-historis pada zaman mereka.

Sedangkan Nasr Hamid Abu Zayd memakai logika seperti ini, karena al-Quran tidak ditulis oleh Tuhan, maka Abu Zayd meletakkan Nabi Muhammad saw sebagai pengarang sesungghnya al-Quran. lalu, karena Nabi Muhammad saw hidup di tengah masyarakat Arab saat itu, maka al-Quran yang Nabi fahami dan tafsirkan sudah tentu merupakan produk budaya masyarakat Arab, oleh karena itu menurut Abu Zayd, al-Quran bukanlah Kitab Suci yang sakral karena telah termanusiakan.

Beberapa Persoalan Hermeneutika

Bertolak-belakang dengan klaim-klaim para penganjurnya, ketika hermeneutika dicampur-adukkan dengan dekonstruksionisme dan relativisme posmodernisme, teks-teks atau wacana justru dicabut dari konteks ontologis, epistemologis, sosiologis, antropologis dan historisnya, padahal teks-teks atau wacana tersebut lahir dan hidup dlm konteks tadi, sehingga maknanya pun tidak mungkin dipisahkan dari konteksnya tersebut. kerancuan ontologis dan epistemologis tadi lahir karena sejak awal mereka menegasikan eksistensi Tuhan dalam proses pewahyuan, dan menegasikan kekuasaan-Nya untuk dapat menciptakan bahasa dan pemahaman bagi Nabi Muhammad saw sebagai Rasul (Utusan-Nya), sehingga, asumsi yang lahir adalah bahwa teks serta interpretasi (wahyu dan tafsirnya) dipengaruhi dan merupakan produk nilai-nilai serta kebudayaan manusia pada saat kelahirannya, maka, penafsiran dan penerapan teks-teks tersebut sekarang juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai dan kebudayaan manusianya - makna teks disesuaikan dengan nilai-nilai si penafsir.

Pemahaman semacam ini tentu saja sangat aneh, karena, meski dalam proses penafsiran, subjektivitas si penafsir memang sangat mungkin ikut andil, tapi, untuk mendapatkan makna yang relatif paling mendekati dari apa-apa yang diwakili oleh simbol-simbol/teks-teks al-Quran, kita harus mengetahui terlebih dahulu makna teks-teks tersebut secara etimologis, untuk kita kaitkan juga dengan maknanya secara sosiologis dan antropologis ketika teks-teks tersebut pertamakali lahir, ditafsirkan dan diaktualisasikan dalam tradisi kenabian (as-Sunnah) dan masyarakat Islam pada masa tersebut (penafsiran dan praktek salafus-shalih). setelah itu, baru kemudian kita bandingkan dengan konteks historis, sosiologis dan antropologis masyarakat muslim saat ini. Disamping menggunakan al-Quran dan as-Sunnah, tafsir juga berdasarkan pada simbol-simbol linguistik dan pemaknaan yang bersandarkan kepada pendekatan konteks semantik, sehingga kita dapat mendapatkan pemahaman yang paling mendekati dengan apa yang dimaksud oleh teks tersebut, siapapun kita, di manapun kita, dan kapanpun kita mentafsirkan teks-teks al-Quran tersebut.

Al-Quran memang diperuntukkan bagi seluruh manusia, tapi, karena al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, maka, pendekatan yang harus kita lakukan ketika kita menafsirkan al-Quran tentunya harus pendekatan bahasa Arab, baik secara etimologis maupun semantis, dengan memperhatikan bagaimana teks-teks tersebut difahami dan dipraktekkan oleh pengguna bahasa Arab pada saat itu, terutama - tentu saja pemahaman dan praktek Rasulullah saw. memahami bahasa dari perspektif si pengguna bahasa itu sendiri, karena, jika kita memaksakan diri untuk berinteraksi dengan al-Quran yang berbahasa Arab dengan nilai-nilai dan perspektif kita yang bukan pengguna bahasa Arab tentu saja ngga bakal nyambung, dan akan banyak terjadi kesalahfahaman.

Contoh yang paling sederhana adalah pengertian dan praktek 'shalat', meskipun pada dasarnya kata shalat sama artinya dengan berdo'a, bagaimanapun, tafsir dan praktek shalat itu sendiri harus tetap mengacu pada praktek shalat Rasulullah saw, karena disamping praktek shalat, ada juga praktek berdo'a yang berbeda dengan praktek shalat, dengan demikian kedua istilah tadi merujuk pada makna dan praktek yang berbeda. dalam hal ini, kita tidak harus memilih apapun di antara keduanya, kita tidak harus memilih pengertian dan praktek mana yang lebih benar, karena keduanya sama-sama benar dan harus dikerjakan oleh setiap muslim dengan merujuk pada praktek Rasulullah saw sebagaimana telah dikaji dan dijelaskan oleh para ulama yang otoritatif dalam bidang tafsir dan hukum Islam. Perbedaan biasanya terjadi pada wilayah khilafiyah, pemahaman dan pengamalan yang bersifat teknis atau furu'iyah, dan pada wilayah ini relativisme kebenaran baru cukup relevan untuk dibicarakan.

Teks dan Interpretasi

Suatu teks (simbol) sangat mungkin memiliki makna yang beragam, dan penafsirannya juga bisa jadi sangat subjektif, tapi, jika kita memang ingin menangkap makna teks itu sesuai dengan maksud 'sumber teks' (pembicara), maka kita harus berusaha memahami teks dari sudut pandang sumber teks tadi, dan bukan dari sudut pandang kita - baik secara gramatikal (nahwu-sharaf), leksikal (balaghah ma'any ay lafdh wal-ma'na) maupun semantis (fiqh al-lughawy), dengan memperhatikan faktor-faktor sosiologis dan antropologis ketika teks itu lahir, yang dalam tradisi 'Ulumul-Quran, oleh para ulama disebut 'asbabun-nuzul' (konteks historis/episteme turunnya wahyu).

Sebagai contoh sederhana, ketika kita mendengar kata 'anjing', teks ini bisa bermakna beragam, maka interpretasi atas teks ini tidak hanya bisa dengan mengkaji struktur gramatikal dan makna harfiyah-nya saja, karena maksud si pembicara mengatakan teks tadi tergantung konteks ketika redaksi kata 'anjing' itu digunakan, misalnya, ketika seseorang mengatakan "anjing" pada saat si pembicara memang sedang melihat seekor anjing, maka kata ini kemungkinan bermakna deskriptif atau informatif, tapi, bila seseorang mengatakan "anjing!" pada saat dia mengekspresikan kemarahan terhadap sesuatu atau seseorang, maka, kata 'anjing' ini besar kemungkinan lebih bermakna ujaran atau umpatan.

Begitujuga dengan interpretasi atas teks-teks al-Quran.

Sebelumnya harus difahami dulu bahwa wahyu (al-Quran) pada awalnya lahir dan dilestarikan dalam tradisi lisan (verbal), dan bukan dalam tradisi tulisan (skriptual). 'Kitab' (mushaf) yang kita kenal hari ini adalah catatan (rekaman) atas teks-teks yang lahir dalam konteks tertentu, situasi tertentu, dan tentu saja pada awalnya difahami serta direfleksikan sesuai - dan ditujukan untuk "menanggapi" atau berkenaan dengan konteksnya itu.

Lalu, bagaimana kita harus memahami teks-teks tersebut hari ini – di sini? Filsafat sejarah memiliki dua pandangan yang umumnya digunakan oleh para sejarawan dalam menerjemahkan sejarah, pertama, pendekatan 'mekanis', yang memandang bahwa sejarah berulang seperti roda yang berputar secara mekanis, satu titik pada roda tersebut akan selalu kembali ke posisi semula, artinya, realitas perkembangan manusia sebenarnya merupakan pengulangan saja dari situasi-situasi masyarakat manusia sebelumnya. Ke-dua, pendekatan 'dialektis', yang memandang sejarah tidak se-linear dan se-mekanis pandangan pertama, tapi sebagai suatu dialektika resiprokal antara satu tahap perkembangan dengan tahap perkembangan masyarakat lainnya, dialektika ini digambarkan seperti spiral vertikal, yang jika ditarik garis vertikal, kita masih akan melihat titik-titik temu dalam perjalanan sejarah manusia, krn, satu synthese tahap perkembangan masyarakat pada dasarnya merupakan "bentuk lain" dan tetap membawa "sifat-sifat unggul" dari tahapan perkembangan sebelumnya, artinya, meski dalam "wajah" capaian teknologi atau geografisnya sedikit berbeda, tapi hakikat, sifat serta situasi-situasi kemanusiaannya masih tetap sama. Dalam hal ini, kedua pandangan tadi sebetulnya tidak jauh berbeda.

Inilah yang menjadi salah satu landasan ilmiah para ulama 'Ulumul-Quran, yang menyebuntukan bahwa al-Quran itu universal dan trans-historis, karena, hakikat, sifat dan situasi2 kemanusiaan di berbagai masyarakat memang tidak akan jauh berbeda dari masa ke masa.

Dengan demikian, kesimpulan hermeneutika yang pada umumnya diterima oleh kalangan liberal, yang menilai bahwa interpretasi makna teks-teks al-Quran pada saat turunnya (sebagaimana difahami dan direfleksikan oleh Rasulullah saw) harus didekonstruksi karena faktor perbedaan situasi-kondisi masyarakat, tentu saja tidak punya landasan epistemologis yang cukup kuat dan ahistoris, dengan sendirinya, tidak relevan lagi.

Jelaslah al-Quran akan tetap relevan sebagai pandangan dunia dan pedoman hidup untuk setiap masyarakat, karena, kita akan tetap menemukan konteks (situasi-kondisi) yang relevan bagi setiap teks al-Quran dari masa ke masa, selama, kita memang memahami konteks awal lahirnya teks-teks tersebut.

Sebagai sebuah masyarakat dan kebudayaan, Islam berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan lainnya, pada zaman Nabi Muhammad saw, persenjataan perang yang digunakan oleh kaum muslim pada saat itu merupakan produk kebudayaan (teknologi) yang diadopsi dari masyarakat dan kebudayaan Arab pada saat itu, dan ini sama sekali tidak mengurangi keislaman Nabi Muhammad saw dan para shahabat. Bahkan, banyak istilah-istilah dalam agama ini tidak berbeda dengan istilah yang digunakan – selain oleh bangsa Arab, tapi juga yang merupakan bahasa Ibrani. Kata ‘Allah’ yang dirujukkan pada Dzat Tuhan, juga telah digunakan sejak masa pra-Islam (kenabian Muhammad saw), bukankah nama ayah Muhammad saw adalah Abdullah (hamba Allah)? Selain itu, sebagian nama malaikat yang diajarkan oleh agama Islam tidak merubah nama-nama itu dalam bahasa Ibrani, seperti, Jibril, Mikail, Israfil, Izrail dan lainnya, maka peran utama risalah Muhammad saw adalah pelurusan terhadap pemaknaan dan pensikapan atas teks-teks, istilah-istilah atau konsep-konsep yang telah menyimpang dari ajaran Islam sebagaimana telah diajarkan oleh para nabi sebelum Rasulullah saw, dan menyempurnakannya.

Di sinilah, pemahaman dan penggunaan teks serta konteks menjadi sangat penting.

Secara lughawy: ‘tarjim’ (ta-ra-jim-ya-mim) artinya menterjemahkan (translate), berasal dari kata ‘rajama’, yang artinya menyangka, menerka, atau menduga. Secara istilahy: naqlun min lughotin ila ukhro (memindahkan dari satu bahasa kepada bahasa yang lain), atau tafsir secara harfiyyah (letterlijk). Sedangkan, ‘tafsir’ artinya menjelaskan atau menerangkan (interprete), jadi tidak hanya mengalih-bahasakan, tapi (juga) memahami suatu teks berdasarkan epistemologinya, dan menempatkannya pada ruang dan waktu sesuai dengan konteksnya tadi. Secara istilahy, “al-idloh wa asy-syarh”, penjelasan dan komentar.

Di satu sisi, kita tidak mungkin berinteraksi dengan teks tanpa melakukan penafsiran, sesedikit atau sebanyak apapun, kita tidak bisa menghindari penafsiran, bahkan, meski istilah penafsiran dan penterjemahan secara definitif dibedakan, tapi setiap penterjemah pasti harus melakukan penafsiran atas teks yang ia terjemahkan, apalagi jika teks tersebut berhubungan dengan konsep tertentu, dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana para ulama fiqh selalu memberikan dua pengertian atas istilah-istilah dalam hukum Islam, baik itu pengertian yang bersifat literal (denotatif/harfiah/lughawy), maupun pengertian yang bersifat kontekstual/definitif (konotatif/istilahy).

Seperti diungkapkan di awal, masalah penafsiran, terutama yang menyangkut doktrin-doktrin pokok dalam agama Islam adalah masalah yang sangat krusial, jangan sampai kita tergoda dengan model penafsiran ulang (reinterpretasi) gampangan yang justeru malah menjauhkan teks dari makna yang sebenarnya, tapi, bukan berarti kita samasekali berhenti mengkaji secara kritis kesesuaian pemaknaan-pemaknaan yang berkembang dalam umat dengan makna-makna yang sesungguhnya yang diwakili oleh teks-teks atau istilah-istilah tertentu dalam Islam begitu saja, dalam konteks ini, reinterpretasi (penafsiran ulang) tidak berarti mencari penafsiran baru karena penafsiran lama dianggap tidak sesuai dengan zaman lagi (seperti yang dipropagandakan oleh kalangan liberal -- sebagaimana yang diperingatkan dalam Q.S. 4: 46 "yuharrifunal-kalima ‘anil-mawadli’ihi", Q.S. 2: 75 "yasma'una kalamallahi tsumma yuharrifunahu", dan Q.S. 5: 41 "yuharrifunal-kalima min ba'dli mawadli'ihi". Sebaliknya, reinterpretasi justeru diperlukan untuk mengembalikan atau meluruskan pemahaman atau pemaknaan-pemaknaan yang dinilai telah menyimpang dari pengertian yang sesungguhnya atas teks-teks atau doktrin-doktrin keislaman sebagaimana yang difahami dan dimanifestasikan Rasulullah saw, generasi para shahabat dan para thabi'in. Misalnya saja, istilah "jama'atul-Islamiyah" atau "jama'atul-muslimin" -- sebagai sebuah istilah atau doktrin dalam hukum Islam, yang pada masa Rasulullah saw dan para shahabat dimaknai sebagai sebuah kesatuan utuh dari umat Islam secara keseluruhan (al-khilafah), saat ini telah sebegitu jauh disalahtafsirkan dan direduksi maknanya sehingga difahami dan dipergunakan untuk merujuk pada jam'iyah, atau malah nama kelompok atau organisasi. Tentu saja, bukan berarti kata jama’ah tidak boleh dijadikan nama organisasi, tapi, ketika kata jama’ah ini digunakan sebagai nama organisasi, maka pengertian dan status hukumnya tentu berbeda dengan pengertian dan status hukum jama’ah dalam pengertian hukum Islam yang sesungguhnya.

Wallahu a'lam.

Saturday, May 19, 2007

Pesan Untuk Javid

Tidak ada gunanya menyusun kata demi kata, karena yang terjadi di kedalaman lubuk hati berada di luar jangkauan bahasa. Meski telah kusingkap ratusan hal yang halus dan pelik, ketika suatu pikiran yang belum kutuliskan datang kepadaku, ia jadi lebih samar manakala kucoba guna mengungkapkannya. Huruf dan kata lebih bagai tabir yang menutupinya daripada menjelaskannya. Tangkap hakikatnya dalam pandanganku, atau dalam munajatku di kebeningan subuh.

Ibumu telah memeberimu pelajaran pertama; bagai kuncup bunga, kamu mekar oleh kelembutan angin sepoinya. Dari ibumu kau peroleh warna dan wewangian, wahai permata hati kami! Nilai dirimu datang darinya, bibirnya, hai anakku, yang mengajarimu “la ilaha illallah”. Sekarang kuajarkan engkau hasrat buat menyaksiikan, untuk terbakar oleh kalimat suci tadi! Jika kau sebut kalimah itu, ucapkan dengan seluruh jiwamu, hingga dari tubuhmu keluar wewangian jiwa. Semangat kalimah suci inilah penyebab matahari dan rembulan beredar, gairah yang sama telah kusaksikan, baik pada gunung-gunung maupun pada cabang-cabang rumput.

Kedua kalimat ini bukan kata-kata bisa, tapi pedang yang tak kenal iba. Hidup dengan dijiwai olehnya, artinya memegang kedaulatan dunia. “La ilaha illallah” itu pukulan pamungkas. Beriman, dan di depan orang lain menggunnakan zonnar; beriman dan sekaligus menipu; memperlihatkan diri tidak terikat oleh suatu apapun dan pada saat yang sama menunjukan kemunafikan. Semua berarti menjual agama dengan harga amat rendah! Bagai membakar barang-barang usang dalam rumah beserta rumahnya, sekaligus!

Dalam shalat orang seperti ini, kalimat suci itu sekaligus ada dan tidak ada. Dalam do’anya terkadang dan sekaligus tidak ada cinta. Puasa dan shalat orang ini sedikitpun tidak bercahaya. Dalam alamnya, jelas tidak ada tajalli Ilahi. Siapapun juga yang mencari Allah hanya ketika menghadapi maut saja, pasti sudah terikat erat kepada benda dan takut sekali menghadapi mati. Mabuk gairah menyala dan kegembiraan lenyap dari dirinya. Agamanya hanya berada di dalam kitab, dirinya sendiri dalam pusara! Ia berbincang-bincang dengan zaman modern, lalu dipahaminya ajaran-ajaran agama dari dua orang yang mengaku nabi: yang satu datang dari Iran, lainnya orang India. Yang pertama tidak kenal ziarah haji, yang kedua asing akan jihad. Sejak jihad dan ziarah ke tanah suci tidak lagi dianggap fardhu, sirnalah jiwa dari tubuh amalan puasa dan shalat, diri tidak pernah serasi dan masyarakat tidak punya disiplin, hati mereka hampa akan nyala Quran. Perbaikan apa yang diharapkan dari orang semacam itu?

Wahai Khaidir! Kaum Muslimin lalai akan Diri, ulurkan tanganmu, karena air yang menggenangi mereka sudah melampaui kepala! Sujud orang yang menggetarkan bumi mampu membelokkan perjalanan rembulan dan matahari menurut kehendaknya. Batu karangpun akan sirna bagai asap, jika ia tahu makna sujud ini. Tetapi kini, Kaum Muslimin hanya kenal kebinekaan, tidak ada yang lain pada dirinya selain kelemahan orang tua renta.

Siapa yang masih menyadari keagungan tasbih yanng diucapkan waktu sujud: “Tuhanku Yang Maha Tinggi”? Kesemuanya ini, adakah ia berasal dari kesalahan kita ataukah kelemahan ucapan tasbih tadi? Tiap orang berjalan cepat di jalur mereka masing-masing. Hanya tunggangan kita saja yang tanpa tali kendali dan berjalan melantur tanpa arah. Memiliki Qur’an dan tidak punya semangat sedikitpun untuk mencari. O, alangkah anehnya!

Jika Rabbi telah mengaruniaimu pandangan, perhatikan waktu yang mengalir datang: akal yang berani tanpa perhitungan, hati tanpa semangat, mata tanpa malu dan tenggelam dalam tipuan mimpi, ilmu dan seni, agama dan politik, kecerdasan dan kepekaaan, semua berputar di sekitar benda. Asia, wilayah tanah kelahiran sang surya, terpaku pandangannya ke negeri asing dan lupa akan dirinya. Miskin hatinya dari berbagi ilham baru, apa-apa yang diciptakannya tidak beharga seremeh-nasipun! Di kuil tua ini, hari-hari berhenti dan membeku, tiada semangat buat maju. Inilah mangsa para mullah dan binatang buruan raja, menjangan dari dunia pengheningan-ciptannya lemah dan pincang. Akal, agama, ilmu dan kehormatan saling berhubungan hanya untuk melayani para tuan Eropa.

Kuserang alam pikiran mereka, kurobek tabir penutup rahasia mereka, di dadaku ini, hatiku penuh dengan gairah guna mengubah alam mereka. Kukatakan dua ucapan sesuai dengan zamanku. Ke dalam dua piala kutuangkan dua samudera: kedua kata itu yakni dialektika dan kritik, dengan keduanya ini kucoba menjerat akal dan hati manusia. Kata yang satu, makna terdalamnya telah dicapai oleh Eropa, yang lain adalah getaran ekstasi yang dilantunkan oleh dawai kecapi. Yang satu berasal dari pikir, yang lain dari dzikir.

Maka, sepatutnya engkau warisi pikir dan dzikir ini. Aku air sungai kecil di pegunungan yang bersumber dari dua laut, perpisahanku sekaligus perpisahan dan pertemuan. Karena ciri zamanku sudah berubah, ilhamku mengubah temanya pula. Telah kering bibir para pemuda karena dahaga, namun piala mereka masih hampa. Wajah mereka tanpa kepastian dan tanpa harapan. Mata mereka tidak menampak apapun jua dalam dunia ini. Mereka orang-orang papa yang mengingkari diri mereka sendiri dan mempercayai orang lain. Sang arsitek rumah berhala mencetak piala kuil dari debu mereka!

Pendidikan tidak lagi mengenal tujuannya. Karena pupusnya kegairahan, terengutlah jiwa dari keindahan alam, tiada bunga bermekaran di rantingnya. Lihat, para arsitek tidak tahu lagi yang harus dikerjakannya, kerjanya haya menyusun batu–batu untuk menyeberangi selokan, anak-anak telah dididik jadi itik! Bila ilmu tidak kehangatan pada hidup, maka hati tidak akan menemukan kegembiraan dalam ilham yang dibawa ilmu. Ilmu itu keterangan dan uraian tentang tahap-tahap ruhani yang kau alami, ia tidak lain ulasan dari isyarat-isyaratmu! Mestinya kau bakar dirimu dalam api pengalaman, agar terpisah emasmu dari loyang. Untuk ilmu Ilahi, awalnya ialah mengalami sendiri, dan berakhir dengan berada, tapi akhir ini tidak terkandung dalam daya pikiran.

Jauh lebih beharga pelajaran yang kau peroleh dari pengalaman daripada yang diajarkan ratusan buku karya para ahli. Oleh anggur pengalaman ini, tiap orang akan mabuk menurut takaran yang sesuai bagi dirinya. Oleh tiupan sepoi angin pagi hari, lampu padam, tetapi angin ini pun pengisi piala bunga tulip. Makan, tidur dan bicara seperlunya saja. Bergeraklah di sekeliling dirimu bagai jarum pedoman berputar pada sumbunya. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan adalah kafir di mata para mullah, namun orang yang tidak menegaskan dirinya, bagiku lebih kafir lagi. Yang pertama dengan ceroboh menafikan wujud, yang ke-dua ceroboh juga, pendek pikiran dan dzalim.

Jujur selalu dalam semua tindakanmu, bebaskan dirimu dari rasa takut akan para raja dan adikara. Sekali-kali jangan kau tampik keadilan, baik waktu marah maupun kegembiraan. Bersikaplah pertengahan, tidak peduli kau kaya atau miskin. Ajaran agama sangat halus dan pelik, jangan kau paksakan dirimu secara semena-mena untuk menafsirkannya. Jangan kau cari obor selain di dalam kalbumu sendiri. Penunjang jiwa adalah pikir dan dzikir. Penyokong tubuh adalah kehormatan semasa mudamu. Di dunia ini, kekuatan hanya diperoleh dengan keteguhan jiwa dan raga. Tujuan dari perjalanan ialah keikmatan merenung.

Bila pandangan tetap terpaku ke sarang, jangan terbang. Adalah demi kesempurnaanya sendiri rembulan beredar: berhenti dalam renungan amat terlarang bagi manusia. Hidup ini adalah kesenangan terbang tinggi, sarang tidak dapat menampung naluri terdalam ini. burung gagak dan burung nasar beroleh makanan dari debu kuburan. Sedangkan burung elang hanya mau rezeki yang ditangkapnya di langit tinggi. Rahasia agama ialah yang haq dan menjaga diri dari hidangan terlarang. Baik kesendirian maupun kebersamaan, adalah perenungan akan keindahan Ilahi. Di jalan agama, engkau harus keras bagai intan. Ikatan hatimu hanyalah kepada allah, dan hiduplah tanpa menanya dan tanpa mepersoalkan yang sia-sia.

Dengar salah satu dari rahasia-rahasia agama; ’kan kuceritakan kepadamu kisah Muzaffar.

Keikhlasan hatinya tidak tertandingi, dia seorang raja, tetapi martabatnya bagai Bayazid. Ia punya seekor kuda yang sangat disayangi bagi anaknya sendiri. Kuda berwarna kuning jahe, seekor kuda Arab asli, setia tanpa cacat. Bagi orang mukmin, tentu kau tahu, apa yang lebih disukainya daripada Quran, pedang dan kuda! Apalagi yang mesti kusebut tentang keunggulan kuda baginda ini? dengan tubuh kekar, ia terbang bagai angin bertiup di atas permukaan air. Saat pertempuran, ia lebih cepat daripada kilatan mata. Ia meyerbu bagai badai menerpa gunung dan karang, lompatannya jauh tidak terkira. Derap kakinya memecah batu.

Suatu hari, binatang perkasa itu sakit. Tabib baru berhasil menyembuhkannya setelah mengobatinya dengan anggur. Namun, sejak saat itu, baginda yang amat saleh ini tidak ingin lagi menungganginya. Logika kesalehan tidak dapat ditangkap oleh akal pikiran insan. Mudah-mudahan Tuhan selalu meneguhkan hatimu! Ingat selalu penyerahan mutlak seorang muslim!

Keseluruhan dari agama, ialah hasrat membara untuk mencari, tujuan akhirnya, cinta. Sedangkan awalnya, ahlak mulia. Kehormatan dari sang mawar, yakni warna dan harumnya. Orang-orang yang tak berahlak tidaklah terhormat, bagai mawar tanpa warna dan wangi. Bila kulihat remaja tanpa sopan santun, suram rasanya hari yang kualami, dadaku bagai menyesak oleh kekesalan dan kemarahan. Terbayang olehku betapa indahnya zaman Muhammad. Aku sesali zamanku dan ingin aku menyelinap ke masa lalu.

Pengawal seorang wanita adalah suaminya. Pengawal seorang laki-laki menghindari dari sahabat-sahabat palsu. Bercarut-carut adalah dosa. Kafir dan mukmin, keduanya sama makhluk ciptaan Tuhan. Kemanusian berpokok kepada menghormati manusia, hormati martabatnya. Kesetiaan kepada sesama manusia membuat engkau jadi manusia, maka tempuhlah jalan persaudaraan. Sang pencari Tuhan akan mendapat petunjuk Tuhan dalam memperoleh jalan. Ia akan menjadi teman hangat penuh pengertian bagi manusia, mukmin ataupun kafir.

Lapangkan hatimu menghadapi kekafiran. Jika hati licin dari hati yang lainnya, alamat akan binasa. Meski hati terkungkung oleh dimensi alami, seluruh ufuk terjauh adalah ufuk sang hati itu sendiri. Bahkan meski kau seorang penguasa, jangan kau tampik sikap zuhud. Nyalanya mungkin jadi lebih lembut dalam dirimu, anggur tua ini sudah ada sejak zaman nenek moyangmu. Cari di dunia ini apa-apa yang dirindukan kalbu, dan hanya kepada Tuhanlah kita memohon rezeki dan bukan kepada sultan. Alangkah banyaknya orang takut Tuhan dan berpandangan jauh, jadi buta oleh harta yang melimpah! Harta tumpah ruah telah mencerabut kehangatan kalbu, dibawanya kemakmuran, tetapi juga dahaga bagi hati! Telah banyak aku berjalan di dunia ini, namun jarang kulihat air mata si kaya. Ah, ingin aku memberikan hidupku kepada mereka yang hidup bersahaja bagai derwis. Celaka mereka yang hidup tanpa mengenal Tuhan. Jangan cari kepada kaum muslimin perasaan keruhanian ini, hasrat menyala dari zaman silam ini. Jangan cari lagi keyakinan ini, warna dan harum ini, dahaga dan gairah ini! Kini, para cendikia tidak merasa perlu lagi akan ilmu yang berasal dari Quran, sedangkan para sufi bagai serigala buas layaknya. Meskipun Khanaqa masih menggemakan dzikir dan doa, di mana lagi ada seseorang yang mulia, yang pialanya penuh anggur hikmah? Kaum muslimin menjiplak Eropa mencari dahaga Kautsar dalam fatamorgana. Mereka jahil akan rahasia iman, hati mereka dipenuhi benci dan dendam. Kebijakan telah jadi kata tanpa makna bagi mereka, tidak kutemui lagi kecuali pada sekelompok kecil yang hidup dengan jujur dan ikhlas.

Pelajari, bagaimana membedakan orang ikhlas dalam beragama dari kaum yang penuh benci. Jadi sahabat sejati dan tetaplah jadi orang terpecaya. Burung nasar mempunyai adat kebiasaannya sendiri, seni terbang sang elang sangat asing baginya! Hamba Allah turun dari langit bagai kilat, pepohonan yang disambarnya adalah berbagai kota dan padang terbuka di Timur dan Barat. Kita masih saja tenggelam dan meraba-raba dalam kegelapan pencipta sedangkan ia bekerja sama dengan al-Khaliq. Dialah Musa, Isa, Ibrahim, Muhammad, dialah Kitab dan Jibril. Dialah matahari dari alam semesta kaum yang ikhlas. Mula-mula, kau terbakar dengan apinya, lalu diajarinya kau rahasia kekuasaan. Apinya membuat kita jadi manusia dengan jiwa jernih, jika tidak, kita hanya sketsa yang nyaris terpupus dari penciptaan.

Aku kuatir akan zaman yang menyaksikan kelahiranmu ini, karena ia tenggelam dalam benda dan hampir-hampir tidak tahu apa-apa tentang ruh. Seperti halnya jasad yang tidak bernilai tanpa ruh, hamba Allah yang tersembunyi dari padanya. Pencarian dan penyelidikan tidak berhasil menemukannya, meski ia berjumpa bersitatap muka dengannya. Jangan kau padamkan hasrat untuk mencari dan menyelidiki, walaupun ratusan kesukaran akan kau jumpai dalam hidupmu. Jika tidak berjumpa olehmu sahabat penunjuk yang arif dan bijaksana, ambil dariku apa-apa yang kuterima dari ayahku dan moyangku. Pilihlah tuan syaikhku, Rumi, sebagai kawan seperjalanan, agar Tuhan mengaruniamu hasrat menyala, karena Rumi tahu bagaimana membedakan kulit dari isi. Kakinya melangkah yang teguh dan pasti dalam jalan menuju Kawan. Telah banyak keterangan diberikan tentang dirinya, tetapi tidak seorangpun memahaminya. Hakikat, sebenarnya bagai kijang, luput dari perangkap kita.

Manusia belajar menari dengan tubuh mereka, sambil mengulang ucapan-ucapan sang Maulana, tetapi matanya tidak terbuka dengan tarian ruh! Tarian tubuh hanya menerbangkan debu, tarian ruh membuat langit porak-poranda; Ilmu dan hikmah berasal dari tarian ruh, demikian pula bumi dan langit. Ia juga menyebabkan tiap diri lumpuh terpana bagai Musa, berkat ia pula umat menjadi pewaris kerajaan. Pelajari gerak tarian ruh, ini perlu, dan musnahkan segala sesuatu yang bukan Tuhan. Selama hati masih terbakar oleh kekuasaan akan benda kerutinan dunia, ruh tidak pernah mampu menari, hai anakku!

Kegelisahan adalah penyebab kemurungan dan kelemahan iman, hai anak muda, “kegelisahan adalah separuh dari ketuaan!” Dan tahukah engkau bahwa “tamak adalah kemiskinan yang aktual” aku tunduk pada orang yang bisa menguasai diri sendiri. Wahai kau penyejuk jiwaku yang resah, jika kau ikut serta dalam tarian ruhani, akan kukatakan padamu rahasia agama yang dibawa nabi Muhammad; dan akan kudoakan kau selalu ke hadirat Allah hingga akhir hayatku.


-˜ Mohammad Iqbal -


Dikutip dari Javid Namah: Kitab Keabadian, oleh: Mohammad Iqbal, alih bahasa: Mohamad Sadikin. – Cet.1. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987.

Thursday, May 17, 2007

Inside Indonesia's War on Terror

Di Balik Perang Terhadap Terorisme di Indonesia

Pendahuluan

Keterlibatan aparat (intelejen) negara dalam banyak peristiwa yang dalam banyak hal menyudutkan umat Islam dalam sejarah Indonesia telah lama tercium, baik yang memposisikan umat Islam di Indonesia sebagai korban seperti pada tragedi Tanjung Priok, maupun sebagai kambing hitam seperti pada kasus Komando Jihad, Haur Koneng, Warsidi-Lampung, serta masih banyak lagi lainnya.

Seperti biasa, meski negeri ini telah mengalami banyak pergantian rezim, pengusutan dan pengadilan atas pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam peristiwa-peristiwa ini juga tidak pernah menemui titik terang, bahkan cenderung dipeti-eskan, dilupakan dan dikubur sebagai babak sejarah kelam Bangsa ini, sehingga berbagai fitnah (tuduhan, intrik dan kezaliman) yang menimpa kaum muslim tetap terpelihara dan terus berlanjut.

Ironisnya, fitnah ini berhasil menggiring opini publik dan mengorbankan para patriot pejuang Islam oleh kekuatan-kekuatan politik tertentu yang tidak menginginkan Islam tegak sebagai rahmatan lil-‘alamin.

Pada masa pemerintahan Jenderal Soeharto, para ulama dan gerakan Islam yang istiqomah dalam keimanan mereka dilabeli dengan stigma eka – atau “ekstrim-kanan”, sebuah cap yang membedakan mereka dari ulama-ulama dan ormas-ormas keislaman gadungan yang bisa dibeli dan tunduk pada kehendak penguasa.

Stigmatisasi semacam ini seolah-olah menjadi pembenaran bagi negara untuk melakukan teror, intimidasi, penangkapan, penculikan sampai pembunuhan-pembunuhan terhadap para aktivis Islam yang dikenal bersuara lantang dalam menentang kezaliman.

Meski telah menjadi rahasia umum, namun demikian, hanya beberapa saja operasi intelejen negara yang memanfaatkan kelompok-kelompok masyarakat yang diakui, salah-satunya adalah pada peristiwa penjatuhan Soekarno, yang memang menjadi “musuh bersama” bagi kelompok umat Islam yang seringkali dikhianati dengan berbagai kebijakan politiknya yang diskriminatif, kelompok-kelompok mahasiswa liberal, serta barisan sakit hati di tubuh militer yang merasa tidak puas dengan bagian “kue” kekuasaan yang mereka terima dari rezim Soekarno yang didukung PKI.

Kepentingan Amerika Serikat untuk menguasai aset-aset sumberdaya energi dan wilayah negeri-negeri Islam, sekali lagi menyeret umat Islam dalam kancah peperangan ekonomi, politik, militer, dan tentu saja, propaganda. Kampanye perang melawan terorisme menjadi jualan utama pemerintah Amerika Serikat dan antek-anteknya untuk menghancurkan setiap potensi ancaman bagi kepentingannya itu.

Berikut ini transkrip hasil investigasi David O’Shea yang disiarkan dalam program SBS Australia pada 12 Oktober 2005. Laporan ini mengungkapkan banyak fakta “mengejutkan” di balik “kampanye perang melawan terorisme” di Indonesia, yang secara telanjang mempertontonkan betapa kampanye perang melawan terorisme adalah tambang uang bagi para petinggi negara baik sipil maupun militer, terutama kepolisian.

Former President of Indonesia Abdurrahman Wahid confirms involvement of the Indonesian Military Intelligence


Global Research, October 14, 2005
SBS DATELINE - 2005-10-12

SBS DATELINE Archives - October 12, 2005

Editor's note

We bring to the attention of our readers the transcript of an SBS Australia program,

The controversial report which includes extracts from an interview with the former President of Indonesia Abdurrahman Wahid, points to the involvement of the Indonesian Military Intelligence and Police in the 2002 Bali bombing.

We also refer our readers to a report first published in early 2003, which focusses on the ties between Indonesian Military Intelligence (BIN) and Jemaah Islamiah (JI), which is alleged to have masterminded both the October 2002 and October 2005 Bali bombings.

The Transcript of this program has been removed from the archives of the SBS, Australia's Special Broadcasting Services.




Inside Indonesia's War on Terror Today - as you would almost certainly know - is the third anniversary of the first Bali bombing and our major report tonight provides an alarming twist to the ongoing terror campaign being waged in Indonesia. David O'Shea, a long-time "Indonesia-watcher", reports that where terrorism is concerned in that country - with its culture of corruption within the military, the police, the intelligence services and politics itself - all is never quite what it seems. REPORTER: David O’Shea

When the second Bali bomb exploded, Australia once again found itself on the front line in the war on terror. But for Indonesians, this was simply the latest in a long line of atrocities. They have born the brunt of hundreds of attacks over the years, most of them unreported in the West. Once again Australia and Indonesia joined forces in the hunt for the Bali killers.

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO, INDONEASIAN PREIDENT: We are determined to continuously fight terrorism in Indonesia with an effective global, regional and international cooperation.

JOHN HOWARD, AUSTRALIAN PRIME MINISTER: Tragic incidents such as this so far from driving apart the people of Australia and Indonesia would only bring us closer together.

This show of unity is impressive and it plays well to Australian audiences but many Indonesians don't see it that way.

JOHN MEMPI, SECURITY AND INTELLIGENCE ANALYST (Translation): Why this endless violence? Why are there acts of terrorism year in, year out? Regimes change, governments change, but violence continues. Why? Because there is a sort of shadow state in this country. A state within a state ruling this country.

For seven years I've reported from every corner of this vast nation and seen first hand the havoc that terrorists wreak. Tonight I want to tell you a very different story about Indonesia's war on terror. It contains many disturbing allegations even from a former president.

ABDURRAHMAN WAHID, FORMER INDONESIAN PRESIDENT: The Australians if they get the truth, I think it's a grave mistake.

REPORTER: What do you mean?

ABDURRAHMAN WAHID: Yeah, who knows that the owners to do this, to do that -- orders to do this, to do that came from within our own forces, not from the culprits, from the fundamentalist people.

(1) TERRORISM - THE CASH COW:

Indonesia's police are doing very nicely, thank you very much, out of the war on terror. They now have all the latest equipment, courtesy of the millions of dollars pouring in from the West. The money ensures the world's most populous Muslim nation remains on side in the fight against terrorism. Mastering all of this new technology represents a steep learning curve for the Indonesian police. Unfortunately today they forget to set up the X-ray machine properly.

POLICE (Translation): Is the film in?

POLICE 2 (Translation): I haven't put it in yet.

Luckily there's an old print lying around from a previous exercise. Because of the war on terror, American and Australian support for the Indonesian police has never been stronger. During Dai Bachtiar's 5-year reign as police chief, Indonesia endured countless act of terror including three major ones - in Bali, then the Marriott Hotel and the Australian Embassy in Jakarta. These massive blasts might have forced the resignation of any other senior official but Dai Bachtiar managed to survive with the backing of powerful friends at home and abroad.

POLICE CHIEF (Translation): I met Paul Wolfowitz.

In Indonesia's parliament earlier this year, I found the police chief boasting about how he gets the star treatment when he visits Washington.

POLICE CHIEF (Translation): I went to Washington, to the White Hosue, to the West Wing. I spoke to Colin Powell in his office. I went to the Pentagon, I met the director of the CIA, the director of the FBI, I met them all.

Indonesia's police are in charge of the war on terror. Years of human rights abuse by the Indonesian military, or TNI, mean it's now out of favour in Washington, but it seems the police can do no wrong.

POLICE CHIEF (Translation): I asked Powell. "You say the TNI has to reform, don't the police have to as well?" Building trust takes time.

Many Indonesians would find the idea of trusting the police laughable. It has long been regarded as one of the most corrupt and incompetent institutions in the country. Former president, Abdurrahman Wahid sums up what many people here belief.

ABDURRAHMAN WAHID: All of them are liars.

REPORTER: Just to be clear, you have your doubts about the police ability to investigate properly all of this?

ABDURRAHMAN WAHID: Oh, yes.

But none of this seems to worry Indonesia's allies in the war on terror.

POLICE (Translation): Have you just got back?

DAI-BACHTIAR, POLICE CHIEF (Translation): I see this man a lot.

POLICE (Translation): Were you in America? Did you get any more money?

DAI-BACHTIAR (Translation): 10 million. We get big bucks. We got 50 million all up. Sure. They keep asking about 88.

That's Detachment 88, the police counter-terror unit which receives a great deal of the international aid, including substantial assistance from Australia. Like the military, Detachment 88 is controversial. Its members stand accused of repeatedly using torture in interrogation of suspects. But these allegations don't seem to even raise an eyebrow.

DAI-BACHTIAR (Translation): The Secretary-General of Interpol came to visit Aceh. I met him. He said our police were dealing with terrorism in a professional manner. 500 million euros. For the police. Long term. So far I've received directly 500 from Denmark. They gave 5, but 500 all up. The Dutch gave 2.

The money is flowing like water but outside the chamber, unrelated to the anti-terror funding, is a scene that should make donors think twice. A man from the Religious Affairs Commission sitting next door counts cash to be distributed amongst voting politicians. Call it corruption or even the trickle down effect, but it's this kind of informal funds distribution which keeps the wheels turning in the Indonesian economy.

DAI-BACHTIAR (Translation): Well now, for example, the other day I got 2 million from Holland... From America... it was 50. Is it 50 already? You know how much the army got? 600. Then they had to get involved.

With all the cash flowing about, some politicians want to stay as close as possible to Dai Bachtiar.

POLITICIAN (Translation): Isn't our police chief great? That's obvious.

With the cash cow growing fatter by the day, some analysts even suggest the police now have too much to gain from the war on terror.

JOHN MEMPI (Translation): But why is there always this worry about bombings? This subservience to foreigners, this paranoia about bombs. You must help us with money, with equipment and training, so that we can do something. We need funds to combat these terrorists. And to convince the foreigners bombings do happen. Indeed there are acts of terrorism in Indonesia but done by "terrorists" in inverted commas.

(2) A TERRORIST ON THE PAYROLL:

To most Australians terrorism in Indonesia means Jemaah Islamiah. Abu Bakar Bashir, Dr Azahari and Noordin Mohammed Top have become household names and we're led to believe they're the masterminds behind every atrocity. But there's another side to the JI story that Australia hasn't heard and it's part of the extraordinary family history of this man.

LAMKARUNA PUTRA (Translation): This is Tengku Fauzi Hasbi after he was released. He returned to working and supporting his family.

Lamkaruna Putra's father was an Acehnese separatist leader descended from a long line of Acehnese fighters. He went on to become a key figure in Jemaah Islamiah. Fauzi Hasbi who used the alias Abu Jihad was in contact with Osama bin Laden's deputy. He lived for many years in the house next door to Abu Bakar Bashir in Malaysia and was very close to JI operations chief Hambali. Umar Abduh is an Islamist convicted of terrorism and jailed for 10 years under the Suharto regime. He belonged to a group that attacked police stations and hijacked a Garuda flight to Bangkok. He remembers Fauzi Hasbi as a hardliner who traded arms was willing to commit acts of violence.

UMAR ABDUH (Translation): Fauzi Hasbi is known in the Islamic movement as someone who, from the beginning, has supported the Jihad as the struggle of the Muslim people, aside from his background in the Free Ache Movement.

Fauzi Hasbi was so relaxed amongst the militants, and they with him, that he even took his son to a critical meeting in Kuala Lumpur in January 2000 as JI was preparing for its violent campaign. The attendance list was a who's who of accused terrorists.

LAMKARUNA PUTRA (Translation): There was someone from MILF in Mindanao, his name was Ustad Abu Rela, commander of the Abu Sayyaf. Ustad Abdul Fatah from Patani was there. People from Sulawesi and West Java came to the meeting. The organisation was managed by Hambali. Rabitah means organisation. It linked Islamic organisations.

REPORTER (Translation): So Hambali was chairman?

LAMKARUNA PUTRA (Translation): Yes, Hambali chaired it.

Hambali and co would have known their colleague Fauzi Hasbi had been captured in 1978 by this Indonesian military special forces unit but they wouldn't have known that he became a secret agent for Indonesian military intelligence. The commanding officer that caught him was Syafrie Syamsuddin, now a general and one of Indonesia's key military intelligence figures. These documents obtained by Dateline prove beyond doubt that Fauzi Hasbi had a long association with the military. This 1990 document, signed by the chief of military intelligence in North Sumatra, authorised Fauzi Hasbi to undertake a special job. And this 1995 internal memo from military intelligence HQ in Jakarta was a request to use brother Fauzi Hasbi to spy on Acehnese separatist, not only in Indonesia but in Malaysia and Sweden. And then this document, from only three years ago, assigned him the job of special agent for BIN, the national intelligence agency. Security analyst John Mempi says Fauzi Hasbi alias Abu Jihad played a crucial role within JI in its early years.

JOHN MEMPI (Translation): The first Jemaah Islamiyah congress in Bogor was facilitated by Abu Jihad, after Abu Bakar Bashir returned from Malaysia. We can see that Abu Jihad played an important role, he was later found to be an intelligence agent. So an intelligence agent has been facilitating the radical Islamic movement.

The extraordinary story of Fauzi Hasbi raises many important questions about JI and the Indonesian authorities. Why didn't they smash the terror group in its infancy? Do they still have agents in the organisation? And what information, if any, have they had in advance about the recent deadly spate of terror attacks? The Indonesian intelligence chief refused Dateline's request for an interview and dead men tell no tales. The man who held all the secrets, Abu Jihad was disembowelled in a mysterious murder in early 2003, just after he was exposed as a military agent. His son, Lamkaruna Putra died in this plane crash last month.

(3) PROMOTING TERRORISM:

Fauzi Hasbi's death led to a flurry of speculation about shadowy intelligence links to Indonesia's terror networks.

UMAR ABDUH (Translation): So there is not a single Islamic group, either in the movement or the political groups that is not controlled by Intel. Everyone does what they say.

Umar Abduh says his terrorist group was incited to violence after infiltrators showed a letter saying Muslim clerics would be assassinated.

UMAR ABDUH (Translation): There is a document stating that the Muslim leaders would be executed, we as a younger generation were immediately angered. Damn it, this is not right, we have to kill all those Cabinet members and military leaders, that was our plan.

And he's not the only one who says he was used by intelligence agents. Another convicted terrorist is Timsar Zubil who exploded three bombs in Sumatra in 1978. Although no-one was killed, he paid a heavy price.

TIMSAR ZUBIL (Translation): At first I was sentenced to death, it was changed to a life sentence, I served 22years.

Zubil now believes he was set up by former president Suharto's intelligence agency.

TIMSAR ZUBIL (Translation): We may have deliberately been allowed to grow in such a way, that we young people who were very emotional, were provoked into committing illegal acts.

REPORTER (Translation): Who let this happen?

TIMSAR ZUBIL (Translation): The ones who had the authority to ban us, in this case the ones in power, the Suharto regime. I have only started thinking of this recently, but at the time I was active, I didn’t think it through.

After Zubil was captured, beaten and tortured, something remarkable occurred. The authorities made up a provocative name for his group - Komando Jihad.

TIMSAR ZUBIL (Translation): It hadn’t occurred to us to use that name, but they told us that was to be the name of our organisation. We had no plans to use the name Komando Jihad. They told us to just accept it for the time being and if we wanted to deny it later in court, that was up to us. But it made no difference to the court, they insisted that the name was indeed ours.

(4) STATE SPONSORED TERROR:

Indonesia's recent history of terrorist attacks began with a deadly campaign that unfolded on Christmas Eve 2000. Bombs exploded almost simultaneously at 18 sites, mostly churches, across six provinces, 19 people died and 120 were injured. Jemaah Islamiah took the blame. It was the first real mention of the group in Australia. But Indonesians had another theory - they suspected the military, the only organisation with the capacity to pull off an operation of this scale, a full two years before the first Bali bomb. The respected news magazine Tempo even splashed the allegation on its front cover as part of a special investigation. The most revealing information in the report related to the bomber's network operating in Medan, North Sumatra. The man convicted of making the bombs in Medan is somewhere behind these prison walls. Our repeated requests to interview Edi Sugiarto over many months have been ignored by the Indonesian authorities. Guilty or not, reputable sources claim he was so severely tortured before his trial he would have admitted to anything. But it's clear he wasn't acting alone. The Tempo investigation included telephone records revealing sensational information of direct links between the bombers and military intelligence. The records also show that Fauzi Hasbi, the military intelligence agent in Jemaah Islamiah who we mentioned earlier, was at the centre of the plot. He had spoken to Edi Sugiarto, the bomb maker, seven times and had also called a businessman well connected with the military 35 times. That businessman in turn rang a Kopassus special forces intelligence officer 15 times and the officer had called the businessman 56 times. With Edi Sugiarto in jail, all further investigation ceased and five years on, sources in Medan are too afraid to talk. The trail has gone stone cold.

(5) TERROR IN TENTENA:

George Aditjondro is an early riser. As Indonesia's leading researcher into corruption in high places there never seem to be enough hours in the day. For two years he's been investigating a terror campaign in Poso, Central Sulawesi. His research reveals that terror in Indonesia is much more complex than we are led to believe.

GEORGE ADITJONDRO: There is a mafia, a corruption mafia in Poso who were defending the interests of themselves because if the corruption leaked, the corruption mafia could be exposed, that means the end of their career and also the end of their additional income.

Aditjondro says this corrupt network of local government officials, police and others is using terror to protect a local racquet in Central Sulawesi.

GEORGE ADITJONDRO: Between corruption and terror, there is a very close link because those who were carrying out the terror were paid with corruption money.

Central Sulawesi had just emerged from years of conflict before the latest outrage on May 28 this year. In the predominantly Christian town of Tentena, 60km to the south of Poso, two bombs left 23 people dead. A blast that claimed more victims than the second Bali attack, but received scant coverage outside Indonesia. The first foreign journalist to arrive on the scene, without any evidence at all reported Jemaah Islamiah was to blame for the attack and then promptly flew back to Jakarta. Like the latest Bali bombs, the two bombs that exploded here were full of shrapnel, designed to kill and maim. The first one went off at 8.05 in the morning when the market is busiest.

WOMAN (Translation): This is a thoroughfare, people are always passing, people who want to go there pass here.

This woman is one of thousands of Christian refugees who found sanctuary in Tentena during sectarian violence that cost hundreds of lives in recent years.

WOMAN (Translation): I’m still traumatised. We were chased out of our villages and came here, but it is not safe here either.

A second bomb blew 10 minutes later around 200m away on the other side of the market. Reverend Rinaldy Damanik says it was placed and timed to cause maximum casualties.

REVEREND RINALDY DAMANIK (Translation): The bits of metal in the bomb flew as far as that church. What’s really going on? They showed they can do it under the police’s noses. That’s the police station, imagine this happening in front of the police station.

Reverend Damanik is a powerful figure in this Christian stronghold. For years he defended his community as Islamic fighters swarmed in to wage jihad. I first met him at Christmas in 2001 after villages all around Tentena were razed. He was convinced the army was behind the violence and had even left a calling card.

REVEREND RINALDY DAMANIK (Translation): This is an ammunition box that we found at the time of the attacks in Sepe. It is clearly labelled, Department of Defence, Republic of Indonesia. 1400 pieces of 5.56mm calibre munitions. This means it was meant for M-16s.

George Aditjondro says that in every Indonesian hotspot, the army foments trouble by funding and arming both sides. In the case of Central Sulawesi, both Muslim and Christian militia.

GEORGE ADITJONDRO: So the money do not have to come from rich people like Osama bin Laden and the weapons doesn't have to come from southern Philippines or from other exotic places but is actually coming from the official sources and that is why I am saying that the kind of terrorism which we see in Indonesia is home grown terrorism. It's a kind of duel function or triple function of the armed forces.

The late reverand Agustina Lumentut told me in 2001 that the Indonesian military was using proxy armies to do their dirty work.

THE LATE REVEREND AGUSTINA LUMENTUT: It is for sure, for sure that the army is behind the jihad, or in front of jihad, yeah. No other interpretation.

It was proved beyond all doubt that one of the extremist groups, the Laskar Jihad, was supplied, transported and incited by the central government to go on its murderous spree.

THE LATE REVEREND AGUSTINA LUMENTUT: Who dare among them to say "Stop going that." Because they have reason for doing that, they are registered officially by the government, the central government.

Indonesia's President Susilo Bambang Yudhoyono is applauded in Australia as a moderate Muslim leading the fight against terror in Indonesia. But as the influential coordinating minister for politics and security, he chose not to stop the Laskar Jihad and was even supporting them.

SUSILO BAMBANG YUDOYONO: They also play a role in defending truth and justice that is expected by Muslims in Indonesia. For me, as far as what they are doing is legal and not violating law, then this is OK. This was a ridiculous statement.

Yudhoyono was well aware of the carnage that was under way. Since 2001 things had improved somewhat, as Reverend Damanik tells these politicians from Jakarta visiting after the May 28 bombs. But local leaders are afraid terrorism is being used to derail reconciliation between Muslims and Christians.

REVEREND RINALDY DAMANIK (Translation): The wounds are very deep but they can be endured. But the question is, what is happening to this country? People can’t work because they’re always on their guard, what can we achieve when we’re like that? What’s happening to our country? We need to think about this, but it’s hard to answer right now.

With weapons handed in and a peace deal holding up well, Reverend Damanik's former sworn enemy is also very suspicious about the times of the bomb in May. Muslim leader Adnan Arsan wonders whether the attack was designed to prevent the army from leaving.

ADNAN ARSAN (Translation): Just when a security unit’s work is over and someone says “We’re going home and I hope there’s no more trouble…”Just as they are being recalled there’s another explosion and more killing.

In the days following the blast, all the big names in Indonesian security and intelligence descend on the area. Central Sulawesi police commander Arianto Sutardi tells me the investigation is going well.

REPORTER (Translation): Sir, have you any idea who the perpetrators are?

ARIANTO SUTARDI, POLICE COMMANDER (Translation): We’ve arrested some already and we’re pursuing others.

Then national police chief Dai Bachtiar, the man receiving all the foreign cash arrives to assert his authority. After less than one hour on the ground, he's made his assessment.

DAI-BACHTIAR (Translation): We all hope… incidents like this are criminal acts, we need to expose the perpetrators and put them on trial. People entrust this task to the security forces.

Considering the evidence of corruption here and the police chief's record of enforcing justice, that's unlikely. George Aditjondro's research has uncovered a scam involving local police who have looted up to $2 million for the resettlement of refugees.

GEORGE ADITJONDRO: You can see a cabal involving both the district head, the acting district head at the time, certain police agents, certain people within the department of social affairs and their friends. They were carrying out both the corruption as well as using the corruption money to pay the terrorists. So you can see we are talking about home grown terrorism paid by home grown corruption.

He says the May 28 Tentena blasts were an attempt to stop honest police uncovering more about their scam.

GEORGE ADITJONDRO: You can say that the bombing can be seen as the apex, the ultimate development of the kind of terror which they were committing. It had gone as far as paying police to decapitate a village head man, the village head man of Pinadapa.

The corrupt and murderous cabal identified by Aditjondro is now suing him and the police seem to be in no hurry at all to follow up the leads as he identified. Instead on his departure the police chief Dai Bachtiar offers another bland statement about the certain groups responsible for the violence.

DAI-BACHTIAR (Translation): The situation seemed so promising but certain groups have taken advantage of it to carry out actions such as bombings, which of course will again cause fear and anxiety.

As Dai Bachtiar's plane heads back to Jakarta, more bigwigs arrive. Syamsir Siregar is the recently appointed head of the national intelligence agency BIN. His appearance is supposed to inspire confidence in this investigation. But BIN has a long-standing dismal reputation in Indonesia for dirty tricks. The agency is currently fending off damning evidence that it was behind the poisoning of Indonesia's best known human rights campaigner, Munir Said Thalib. As I reported earlier this year, Munir was given a lethal dose of arsenic in his orange juice on a Garuda flight to Europe. On the Tentena bomb investigation, Siregar has nothing to say.

REPORTER (Translation): If you don’t want to talk about this, what about the Munir case? How’s the internal investigation into the involvement of…

SYAMSIR SIREGAR (Translation): You speak good Indonesian!

REPORTER (Translation): If any rogue elements are involved, what will you do? …

SYAMSIR SIREGAR (Translation): We’ll take action. I’ve given orders to act against rogue elements.

Rogue elements indeed. Travelling with him is Timbul Silaen, he was police chief during the carnage in East Timor. He was acquitted of crimes against humanity, one of several commanders who escaped justice for orchestrating the bloodshed. Now he's officially retired from the police force. So what on earth is Timbul Silaen doing here with the new chief of intelligence? Is he just along for the ride or is he now on the intelligence payroll? Whatever the answer, the continuing role of these same old state terrorists is truly disturbing. It's no wonder the locals are now deeply suspicious of anyone sent in to protect them. While the police can claim some success arresting terrorists in Java, in this region results are few and far between. After years of state sponsored terror, no-one wants to help the authorities. This woman jokes that fear of talking to the police has become a popular movement.

WOMAN (Translation): The tight lipped movement. People don’t want to be witnesses. They are scared so they shut up, if they see something they deny it, they’re scared.

The first real break in the investigation comes a week after the attack and leads police to, of all places, Poso prison. Incredible as it may sound, a police forensics team finds evidence the bomb was manufactured in the workshop, used for prisoner rehabilitation.

POLICE (Translation): It’s a workshop for teaching them welding skills.

The fact that the bomb may have been assembled in a state-run facility further bolsters the central thrust of Aditjondro's remarkable research. That there is high level involvement in terror in Sulawesi.

GEORGE ADITJONDRO: What we have found out is just the tip of the iceberg. It shows a permanent pattern which has been going on for the last five years.

For the record, the authorities reject his allegations.

(6) QUESTIONS ABOUT BALI:

Two weeks after the second Bali attack and despite plenty of help from the Australian Federal Police, Indonesian authorities are still pursuing the culprits. But a familiar pattern has emerged. Asia's most wanted men, the so- called masters of disguise, Dr Azahari and Noordin Top have been named as the masterminds. And once again everyone is insinuating Jemaah Islamiah is behind the bombs. That may eventually be proved correct, but so far no evidence has been produced, at least publicly, to back that claim. As we've shown tonight, after enduring years of state-sponsored terror, it's no wonder many Indonesians question what they're being told about this latest atrocity.

GEORGE ADITJONDRO: You hear again the sources - the statements that it was carried out by Azahari and Noordin Mohammed Top and a radical Muslim groups behind it. Although what I heard is this actually shows a rivalry, internal rivalry within the armed forces.

George Aditjondro didn't provide any evidence to back his allegation, but theories like this are hard to write off just yet. Former president Abdurrahman Wahid tried in vain to rein the military and it cost him the presidency. In 2003 just after the Marriott Hotel blast, he was clearly frustrated by foreign intelligence claims that JI were to blame.

ABDURRAHMAN WAHID: They can say whatever they want but we are here, we live here, we know them. But I won't say who.

REPORTER: But you know who it is, you think?

ABDURRAHMAN WAHID: No, no, I don't know. When I said that I meant we cannot know - we cannot know the truth about that. That is the problem always.

REPORTER: But that bomb has been blamed also on Jemaah Islamiah.

ABDURRAHMAN WAHID: Yeah, I know but you don't have any kind of proof. The proof is that the bomb is similar to that belong to the police. It's a problem for us then. Every bomb there until now it belongs to the government.

Today is the third anniversary of the first Bali attack that saw 202 people killed, including 88 Australians. Abdurrahman Wahid now has questions about that attack as well. While some regard him as an Eccentric, he is the former president and is often described as the conscience of the nation, revered by tens of millions of moderate Muslims. As such, he's one of only a few people publicly prepared to canvass the unthinkable - that Indonesian authorities may have had a hand in the Bali atrocity. He believes that the plan for the second, massive at the Sari Club, which caused the majority of casualties, was hatched way above the head of uneducated villagers like Amrozi.

ABDURRAHMAN WAHID: Amrozi was involved in the lighter bomb. That's a problem always. Even though I agree that he should be given a stiff punishment, but it doesn't mean that he is involved. No, no, no.

REPORTER: So you believe that the Bali bombers had no idea that there was a second bomb?

ABDURRAHMAN WAHID: Yeah, precisely.

REPORTER: And who would you suggest planted the second bomb?

ABDURRAHMAN WAHID: Well, it looks like the police.

REPORTER: The police?

ABDURRAHMAN WAHID: Or the armed forces, I don't know.

Wahid's speculation is chilling and again there's no evidence to support it. But there's no doubt that he's a barometer of how many Indonesians view the whole terror campaign.

(7) BACK TO THE FUTURE:

This ceremony in July marked a significant moment in the evolution of Indonesia's fight against terrorism. The nation's most senior police watched as their chief, Dai Bachtiar, was replaced by General Sutanto, touted as a cleanskin. Following his swearing in, he made an impressive start - launching a high profile anti-drug campaign and promising to crack down on rampant corruption within the police force. But for now, he's getting familiar with the rhetoric required for the job.

GENERAL SUTANTO (Translation): We are sharing experience with other countries in order to eradicate the terrorism.

But it's not the experience sharing with other countries that matters, like every police chief before him, he will only ever play second fiddle to the army and will struggle to control the cabal of rogue elements who still wield massive power here. Abdurrahman Wahid says that no policeman would dare to properly investigate repeated allegations that their big brothers in the military are involved in the terror campaign.

ABDURRAHMAN WAHID: They know it's against see, what they do - was against you see, several, you know, senior officers, even of the police itself. So they don't want to be involved.

REPORTER: Because?

ABDURRAHMAN WAHID: Of the fear.

REPORTER: The fear of what? Of the senior officers that are involved in this?

ABDURRAHMAN WAHID: Yeah, yeah, yeah.

At the moment it's the police who are receiving all the equipment, support and training to take on the terrorists. At the opening of this multimillion dollar training facility, which is part funded by Australia, the Indonesians were keen to show off their skills. The war on terror has brought the two nations closer together, but any Australian concerns about corruption and human rights in this new partnership appear to have been put aside for now. But the Indonesian police's leading role in the fight against terror may be about to change anyway. In the wake of the latest attack in Bali, President Yudhoyono has taken steps to rehabilitate the military's tarnished name and bring them back into the counter terror drive. For those who risked their lives opposing Suharto's brutal military, it's a disturbing thought. That the retired general, President Yudhoyono, known in Indonesia by his initials SBY, may be ushering in a return to those bad old days.

GEORGE ADITJONDRO: Now, General SBY, himself, he doesn't like to be called general SBY, he likes to be called Dr SBY has made the statement that the military is ready to help, to assist the police in chasing the terrorists. In other words, the military is looking for an alibi for a reason to reconsolidate their power as during the Suharto period.

n