Wednesday, April 19, 2006

Lagi Tentang Pluralisme

Oleh: D. Ramdhani

Memperhatikan polemik kontemporer perihal kerukunan hidup beragama dalam kerangka berbangsa dan bernegara sangat memprihatinkan. Barangkali kita sudah banyak kehilangan pustaka sejarah tentang perbedaan manusia baik dari segi biologis ataupun psikologis, atau mungkin karena tidak percaya bahwa Allah subhanahu wa ta'ala telah menyebutkan dalam berbagai ayat sejak kurang lebih 15 abad lalu. Mengapa kemudian pluralisme begitu banyak memenuhi tren wacana hari ini, atau mengapa kita begitu ragu terhadap doktrin toleransi Islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallama. Atau mungkin kita juga telah over-confident dengan kemampuan manusia modern untuk mengendalikan alam beserta segala permasalahannya dengan akalnya, sehingga al-Qur'an dan as-Sunnah harus ditafsir ulang dengan hermeneutika untuk bisa dijadikan legalitas gaya hidup modernisme.
Pemahaman tentang agama yang kita kenal setidaknya, sampai kapanpun tidak akan memaksakan kehendak untuk menjadikan menusia sebagai satu keyakinan menurut kehendaknya. Ini tegas dalam alQur'an, bahwa bila Allah Subhanahu wa Ta'ala berkehendak untuk menjadikan manusia dalam satu keyakinan maka itu akan terjadi, tanpa harus tahu tentang perbedaan atau keyakinan sekalipun, dalam redaksinya dituliskan bahwa rumah-rumah ibadahpun tidak akan dikenal oleh manusia Sayangnya ayat tersebut bicara kepada ummat Yahudi yang selalu membantah perintah. Ayat ini adalah jawaban bagi mereka yang mengetahui Allah sebagai Tuhan yang pantas disembah namun merasa berhak untuk menawar perintah dan larangan-Nya.
Pluralisme adalah kata yang bergulir dengan cepat dari mulut-mulut para intelektual seiring dengan gaya hidup yang semakin permissif, seiring dengan kebebasan manusia untuk melakukan apa saja yang dikehendakinya. Liberalisme demikian tepatnya dalam babakan sejarah telah menggiring manusia bukan hanya dalam kancah politik tapi juga kepala dan hatinya. Menggiring mereka dalam satu tujuan duniawi dan tujuan tersebut dalam idiom Islam disebut sebagai 'syahwati' atau 'syaithoniyah'. Adalah sifat yang hanya berdasarkan ke-manusia-an belaka, manusia yang dimaksud adalah manusia yang tidak mengenal aturan dari Penciptanya. Bisa kita misalkan tentang seorang muallaf yang masih belajar tentang Islam, baginya apabila tidak mengenal larangan berzina maka berzina baginya halal. Namun bila itu dilakukan di hadapan orang yang mengetahui larangan berzina maka pasti ia akan segera tahu dan karenanya menjadi bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Tentu bagi orang yang tidak sama sekali bersentuhan atau mengetahui syari'at Islam perasaan dan naluri biologislah yang akan menuntun ia berbuat dan berperilaku. Sayangnya lagi bahwa Islam telah sedemikian mendunia. Pasca kenabian terakhir Islam telah diketahui oleh manusia di belahan dunia manapun, apalagi globalisasi telah menambah nilai akses informasi yang sedemikian mudah dan cepat meski tidak menutup kemungkinan peradaban yang sama sekali tidak bersentuhan dengan peradaban lainnya.
Pluralisme – demikian tren dunia menyebutnya, adalah stigma politik an-sich, daripada pertimbangan kemanusiaan. Ibu kandung dari pluralisme menggunakan kata ini untuk melakukan penguasaan terhadap lawannya. Adalah penting untuk mencamkan term ini dalam kehidupan abad ini. Sebab dalil yang menjadi pertimbangan dari cara hidup plural ini tidak berlaku bagi subjek yang menuduh tidak pluralistik. Artinya bahwa istilah ini tidak untuk digunakan dalam wacana sosial, ekonomi, budaya dan seni, melainkan politik. Bila demikian, maka akan mudah dipahami, Sebab dalam kamus politik tidak dikenal istilah benar dan salah konsisten atau tidak. Dalam beberapa kali diskusi dengan penganut pluralisme akan berakhir dengan kebuntuan dan kerancuan. Bila istilah ini telah menjadi topik dari pembicaraan, sebaiknya wacana telah dialihkan kepada wacana politik. Bisa difahami juga polemik tentang RUU APP misalnya, mereka yang tidak menginginkan batasan peraturan hubungan laki-laki dan perempuan, mereka yang tidak menginginkan batasan berpakaian dan perilaku di depan umum, adalah mereka yang telah dengan sadar melakukan eksploitasi jasmani-ruhani kepada kaum hawa.
Demikian juga dalam segala bidang kemanusiaan. Abad ini yang disebut sebagai abad paling maju, dengan dalih globalisasi, manusia sedemikian rupa sehingga dituntut untuk mengikuti kecenderungan global. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa globalisasi adalah paket dari penguasaan terhadap negara-negara kecil dan kerdil, seiring dengan demokrasi, modernisme, liberalisme, humanisme dan lain sebagainya. Bila dengan HAM instansi keamanan dan pertahanan mampu dikuasai dan dipermainkan, tentu saja dengan dalih demokrasi Indonesia juga telah dikuasai dalam segi pemerintahan. Dan dengan dalih liberalisasi indonesia telah kehilangan sedemikian banyak kekayaan alam beserta sumber daya manusianya. Dan dengan dalih pluralisme, budaya masyarakat Indonesia telah sedemikian kehilangan nilai. Bila adik kita telah demikian gandrung dengan cara berpakaian Britney Spears, maka jangan aneh bila politisi negara ini telah demikian gandrung dengan kebijakan George W. Bush, seperti para sarjana dan tokoh yang berlabelkan beragam gelar demikian asyik dengan wacana yang semakin menyesatkan masyarakat ini sambil tersenyum dan bersalaman dengan penjahat dunia abad ini.
Dalam sebuah wawancara dengan JIL, Gus Dur kembali mengingatkan pentingnya menolak penyeragaman cara pandang, sikap, maupun perilaku dalam beragama dan bernegara di negeri ini (Indonesia). Bagi kami, peringatan ini merupakan peringatan yang absurd dan salah sasaran – terutama jika peringatan tersebut ditujukan terhadap ummat Islam.
Pertama, karena sejauh yang kami ketahui – tidak ada satupun kelompok ummat Islam yang berfikir dan berkehendak untuk melakukan penyeragaman sebagaimana dituduhkan oleh Gus Dur (atau JIL). Aktivitas saudara-saudara muslim yang seringkali dituduh sebagai tindakan pemaksaan keyakinan pada kenyataannya lebih merupakan manifestasi dari pengamalan atas pemahaman dan keyakinan keberagamaan kelompok-kelompok ummat Islam tersebut.
Sebagai pihak yang mengklaim dan mengkampanyekan pluralisme, Gus Dur ataupun JIL seharusnya lebih bisa mengapresiasi keragaman pemahaman dan pengamalan keagamaan ummat Islam, sekalipun pemahaman dan pengamalan tersebut berbeda dengan keyakinan mereka. Karena, jika sikap tidak-toleran (tanpa-kompromi) dan tertutup semacam ini terus dipelihara dalam menyikapi keragaman keyakinan dan praktek keagamaan diantara ummat Islam, kita akan terus-menerus disibukkan dengan "ribut" (perselisihan) diantara ummat Islam sendiri, padahal setiap detik kaum imperialis zionis-kapitalis semakin memperkuat cengkramannya dan merampok setiap jengkal tanah dan jiwa kaum muslim.
Ke-dua, sejarah masa lalu dan realitas zaman ini menunjukkan bahwa tendensi penyeragaman semacam itu justru lebih ditunjukkan oleh Fasisme, Komunisme, dan Liberalisme (demokrasi liberal dan kapitalisme), daripada oleh Islam ataupun kaum muslimin. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh invasi kekuatan Fasis NAZI Jerman atas negara-negara Eropa, kaum Komunis Rusia atas Eropa Timur serta sebagian Asia, dan kini Amerika Serikat cs dengan mengatasnamakan Demokrasi-Liberal dan HAM terus berupaya untuk menguasai dan menyatukan seluruh dunia dalam millah-nya.
Wallahu a'lam bisshawwab.
(to be continued......)