Tuesday, November 15, 2005

Telaah

Menangkap Teroris dengan UU Teroris

Rasa malu bercampur dendam sekaligus geram nampak menyelimuti raut wajah Bush dan antek-anteknya menyusul kegagalan mereka menangkap Saddam Hussein, menyusul kegagalan serupa terhadap musuh utamanya Usamah bin Ladn, hidup-hidup maupun mayatnya. Serangan besar-besaran dengan menyebar Deplated Uranium (DU) dalam paket carpet bombing hanya mampu meratakan Baghdad. Kegagalan itu juga dialami AS dan sekutunya ketika menggelar operasi mematikan yang bersandi “Anaconda” di sisi pegunungan Hindukush Afghanistan yang berselimut salju abadi untuk mengejar Mujahidin Al-Qaeda. Karena tentara AS yang berlapis baju anti peluru dan berbalut senjata canggih dengan mudahnya dipecundangi Mujahidin yang hanya bersendal jepit. Mitos sebagian besar manusia di muka bumi yang meyakini AS sebagai negara adidaya tak terkalahkan, rupanya lebih disebabkan karena terlalu sering menonton film Hollywood. Tak heran jika elit negeri ini pun berkata: Seandainya AS dan sekutunya menyerang kita, maka kita tidak akan bertahan dalam sepekan! Sungguh pernyataan yang tidak berdasar dan tak memiliki nasionalisme sedikit pun! Oleh karena itu, elit negeri ini rela menjerumuskan bangsa besar ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kampanye memerangi apa yang disebut jaringan terorisme global (global war n terrorism).

Untuk memerangi negara-negara yang disebut AS sebagai “axis of evil” tentu beragam. Tidak semua harus dikirimi carpet bombing. Untuk Indonesia, nampaknya terlalu mahal jika AS dan sekutunya harus menggelar operasi militer di sini. Karena, menurut pengalaman sejarah, di tengah-tengah tubuh bangsa Indonesia ini ada penyakit kronis, yakni pengkhianatan yang merajalela, dari KKN sampai segala bentuk kemaksiatan ada di sini. Karenanya, Indonesia cukup dikirimi “fulus” tak seberapa, nanti pasti saling rebutan, lalu akhirnya dikuasai (devide et impera). Kemudian AS melalui proxy forces-nya di negeri ini mengembangkan strategi halus seperti melakukan serangan terminologis (disinformasi) dengan cara mengaitkan setiap tindakan “anarkisme” dengan gerakan Islam tertentu untuk dimasukkan dalam kategori Islam radikal, fundamentalis, dan teroris. Bahkan mantan Presiden AS Ricard Nixon dalam Seize The Moment yang dikutip oleh Muhammad Imarah dalam Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam (1999;35), menyebutkan, bahwa yang disebut “Islam Fundamentalis” adalah mereka yang mempunyai ciri gerakan:
1. Anti peradaban Barat,
2. Ingin menerapkan Syari’at Islam,3. Akan membangun peradaban Islam,4. Tidak memisahkan antara Islam dan negara, dan5. Menjadikan para pendahulu (salaf) sebagai panduan masa depan.
Kelima ciri inilah yang dijadikan tolak ukur untuk menilai apakah gerakan Islam itu pantas diebut “fundamentalis” atau tidak. Oleh sebab itu, apapun nama gerakan Islam yang memenuhi salah satu dari lima kriteria tersebut, maka ia disebut Islam radikal yang mewajibkan pemerintah di mana gerakan Islam itu berada untuk memberangusnya dengan berbagai cara. Jika pemerintah menolak, maka negara itu akan mendapatkan “stick” dari Paman Sam.

Dalam kesempatan yang sama, AS pun memecah belah ummat Islam dengan kategorisasi Islam Moderat versus Islam Radikal yang identik dengan Islam Fundamentalis dan Teroris. Sayangnya, hingga detik ini AS yang mempelopori perang melawan “teroris” tidak mampu mendefinisikan apa dan yang mana yang disebut teroris. Mereka hanya sanggup memberikan ciri-ciri khusus sebagaimana disebutkan di atas. Sehingga dengan demikian, AS dan Zionis Israel tidak termasuk dalam kategori teroris yang harus diperangi. Padahal semua orang tahu, bahwa sesungguhnya si Raja Teroris adalah Bush (AS)-Blair (Inggris)-Sharon (Israel).

Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, namun pada rejim Megawati Soekarnoputeri tiba-tiba menjadi pengekor AS yang baik, walaupun ikut mengecam serangan AS ke Irak. Megawati telah memilih “carrot” sekitar US$ 500 juta, suatu jumlah yang terlalu murah untuk menggadaikan harga diri bangsa dan mengkhianati politik luar negeri bebas aktif. Komitmen Presiden Bush tersebut termasuk 130 juta USD dalam bentuk bantuan bilateral untuk tahun fiskal 2002, terutama untuk reformasi hukum, $ 10 juta untuk bantuan kepada pengungsi internal (IDPs), $ 5 juta untuk upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi di propinsi Aceh, $ 2 juta untuk membantu pemulangan pengungsi di NTT, dan $ 10 juta untuk pelatihan polisi. Selanjutnya, pemerintah Bush akan menyiapkan $ 100 juta keuntungan tambahan di bawah peraturan Generalized System of Preferences (GSP) yang memungkinkan 11 produk tambahan memasuki pasar AS tanpa pajak.

Akhirnya, Presiden Bush mengumumkan bahwa tiga badan keuangan perdagangan yaitu Export-Import Bank, Perusahaan Investasi Luar Negeri (OPIC), dan badan
Perdagangan dan Pembangunan AS, telah mengembangkan ikhtiar gabungan di bidang keuangan dan perdagangan untuk mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia. Tiga badan ini bertanggung jawab untuk menyediakan dana sebanyak $ 400 juta untuk mendorong perdagangan dan investasi di Indonesia, terutama di sektor gas dan minyak bumi. (John Gershman, Direktur Program Hubungan Global di organisasi Interhemispheric Resource Center dan editor Asia/Pacific, editor untuk Foreign Policy in Focus, dalam makalahnya Memerangi Terorisme, Menggerogoti Demokrasi di Indonesia, Akhirnya rejim Megawati pun menemukan timing dan
momentumnya menyusul Bom Bali (12/10/02) untuk menerbitkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Sabtu dini hari (19/10/02).

Bayangkan, hanya dalam tempo sepekan, dua perppu bisa lahir! Sayangnya lagi, di dalam Perppu juga tak terdapat definisi teroris yang obyektif dan permanen. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra sebagai “produsen” Perppu tersebut hanya sanggup menyebutkan ciri tindak pidana terorisme dalam Bab III Pasal 6 yaitu setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Dengan ciri semacam ini, maka tidak ada yang disebut terorisme negara (state terrorism), padahal dalam sejarah otoriter Orla dan Orba, yang lebih sering melakukan tindakan teror justru negara dan aparatnya.
Yang mengherankan sekali adalah perppu itu tiba-tiba menjadi UU Anti Terorisme tanpa melalui proses legislasi yang transparan. Menurut saya, lahirnya UU Anti Terorisme yang hanya menjiplak perppu merupakan tindakan ceroboh dan terkesan mengejar setoran! Oleh sebab itu, isi UU Anti Terorisme berpotensi menjadi monster baru setelah RUU Intelijen nanti disahkan. Di dalam perppu tersebut dijelaskan, bahwa untuk menangkap mereka yang dituduh teroris cukup digunakan informasi intel yang telah disetujui Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri, sebagaiman diterangkan dalam pasal 26 ayat (1) untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan intelijen, (2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksudm ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Proses pemeriksaan itu dilakukan secara tertutup sehingga tak mungkin dipantau publik. Selain itu, kita juga tidak bisa memverifikasi kebenaran info intel tersebut.

Selanjutnya untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penangkapan paling lama 7 x 24 jam (Pasal 28). Sedangkan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan (Pasal 25 ayat 2). Sementara itu, hak-hak tersangka tidak diberikan secara sewajarnya seperti hak didampingi pengacara selama penyidikan. Adapun saksi-saksi yang menyebabkan seseorang dituduh sebagai teroris tidak bisa dihadirkan di pengadilan (Pasal 34). Hal ini jelas akan sangat memberatkan tertuduh karena tertuduh kehilangan haknya untuk dikonfrontir dengan saksi sehingga hal ini sangat menguntungkan penuduh yang kebetulan membenci tersangka atau juga oleh adanya tekanan pihak asing. Belum lagi perlindungan yang begitu besar diberikan kepada saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

Dengan Perppu ini, maka kesaksian Omar Al-Faruq yang sangat memberatkan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir tidak bisa dihadirkan, sehingga tertuduh akan kesulitan membantah penuduh. Yang justru dijadikan alat bukti yang sah adalah pengakuan yang direkam atau data-data intelijen. Ini sungguh kezaliman yang sangat nyata, sehingga harus ditolak oleh mereka yang masih memiliki akal sehat dan hati nurani. Sementara kasus kaset ceramah provokatif Mayjen TNI (purn) Theo Sjafei tidak diterima sebagai alat bukti yang sah, padahal Berkas Perkaranya sudah ngendon di Mabes Polri sejak 28 September 1999. Sungguh menjadi bukti deskriminasi dan ketidakadilan penegakan hukum kita!

Ganasnya Perppu dilengkapi oleh lahirnya RUU Intelijen, seperti dalam pasal 21 di mana intel (dalam hal ini atas perintah Kepala BIN) berhak menangkap, memeriksa, menggeledah, dan menyita harta setiap orang yang diduga kuat terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan ancaman nasional. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ancaman nasional itu! Masa penahanan tersebut sampai memakan waktu satu tahun tanpa hak didampingi advokat, asas praduga tak bersalah tidak berlaku, tidak berhak diam, tidak berhak atas penangguhan penahanan, tidak berhak berhubungan dengan keluarga, dan sebagainya (pasal 26, 27, dan 28). Anehnya jika setelah itu tidak terbukti bersalah, maka tersangka begitu saja dilepas tanpa kompensasi sedikitpun atau direhabilitasi namanya.

Sungguh pembuat RUU ini tidak pantas disebut manusia, melainkan monster yang amat mengerikan!!! Jika RUU semacam ini bisa lolos di Senayan, maka tamatlah demokrasi di negara ini, karena negeri ini telah dikuasai para monster yang haus darah.

Melihat dampak buruk dari kerja intel yang sering menjadikan para aktivis muslim menjadi korbannya, maka dalam Al Qur’an, perbuatan intel (jassus) itu telah ditetapkan haramnya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus) dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian lainnya. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang seudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al Hujurat/49: 12).
Berkata Salama bin Al-Akwa: “Pernah datang kepada Nabi saw seorang mata-mata, sedangkan saat itu beliau sedang dalam perjalanan. Maka, ketika itu ia duduk di sisi sebagian sahabat beliau bercakap-cakap, kemudian diam-diam ia pergi, lalu Nabi saw bersabda: “Carilah oleh kalian orang itu dan bunuhlah dia!”

Maka saya mendahului para sahabat mengejarnya, lalu aku yang membunuhnya. Maka, beliau memberiku lebih barang rampasannya (ghanimah)”. (HR. Ahmad, Bukhari, dan Abu Dawud).

Berhati-hatilah, jika Anda menjadi intel yang memusuhi ummat Islam!!!

Oleh: Fauzan Al-Anshari
Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin,
Direktur Lembaga Kajian Syari’at Islam (LKSI).

Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Kontroversi UU Anti Teroris, RUU TNI dan RUU Intelijen” oleh KOMPAK (Komite Mahasiswa Pemuda Anti Kekerasan) di Aula Madya Lt.1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin, 14 April 2003 M.

No comments: