Tuesday, November 15, 2005

Dzar

Setelah Rasul wafat sampai menjelang wafatnya sendiri, Abu Dzar telah melakonkan peran yang tidak gampang. Menjadi oposan. Ia adalah kekuatan oposisi, meski hanya sendiri.

Dari lembah ke lembah ia berkelana. Mengingatkan para penguasa untuk hidup benar dan baik. Di negeri dengan penguasa tak adil, Abu Dzar laksana lebah ratu yang menyedot dan mendapat dukungan dari orang-orang yang kalah dan dikalahkan. Dengan pedang, juga dengan ujar, dia menjadi oposan. Mendengung-dengung, menuntut kebenaran dan keadilan ditegakkan. Di negeri-negeri adil, ia menjadi pengingat, bahwa seharusnya penguasa setelah Rasulullah jangan sekali-kali meninggalkan teladan. Dan Abu Dzar adalah kekuatan penyeimbang.

Kekuatan penyeimbang itu pula peran yang dimainkan oleh banyak ilmuwan dan intelektual. Di Barat, para ilmuwan dan intelektual kerap kali kita temui bersifat kekiri-kirian. Sedangkan di negara-negara komunis, mereka selalu nampak kekanan-kananan. Ini adalah tabiat orang-orang yang selalu gelisah jika melihat kekuasaan absolut bias saja menjadi tiran.

Oposan sejati selalu dilakukan dengan sadar. Tidak karena sakit hati, atau posisinya sebagai pecundang. Oposan sakit hati dan para pecundang hanya sebentar, mereka tak tahan lama, tak pula tahan godaan. Para oposan sejati adalah mereka yang memegang teguh akal sehat dan nurani. Bukan karena kalah atau sakit hati.

Sebab, mereka akan selalu hidup dalam kesepian. Nurani dan akal sehat saja yang membuat mereka bertahan. Sebaik apapun penguasa, selamanya tak ada jaminan untuk tidak menyimpang. Kadang dengan dalih strategi, kebenaran dan kebaikan menjadi nomor sekian. Kadang atas nama darurat, nurani dan akal sehat kerap dilipat. Oposan-oposan sejati mampu memainkan peran sebagai sparing partner bagi penguasa yang baik, dan menjadi slilit bagi penguasa zalim.

Tapi sekali lagi, menjadi oposan tidaklah gampang. Bukan saja karena godaan tahta, harta, wanita, tapi juga kesepian. Mereka yang tak sejati, tak pernah kuat dirajam sepi. Berteriak ketika orang-orang diam, selalu membutuhkan keberanian lebih. Ditinggalkan oleh orang-orang sekitar, selalu menjadi siksaan tersendiri bagi orang-orang yang beroposisi. Pun ketika banyak orang mengagumi, sesungguhnya oposan selalu sepi, meski dalam ramai.

Begitu juga Abu Dzar hingga wafatnya. Terasing di sebuah gurun, dirajam sepi, tentu saja dengan keadaan yang lebih tak pasti. Bahkan kain kafan pun ia tak punya yang cukup untuk panjang untuk menutupi tubuhnya. Tapi hanya orang-orang seperti ini yang mampu memberikan suara ketika sepi, mampu menjaga akal sehat ketika semua orang tergoda untuk gila, dan tak pernah lelah mendengarkan dan menyuarakan nurani.

Sebab itu pula, kita punya hutang yang tak pernah bisa terbayar pada Abu Dzar dan kaum oposan sejati. Bukan oposan sakit hati atau pecundang yang ingin balas dendam.

Herry Nurdi

*sumber: Sabili

1 comment:

Anonymous said...

1 dzar 100 dzar 1000 dzar 1juta dzar, dan dzar tak kan pernah mati. ia selalu hidup di hati para pejuang dan kaum tertindas!