Tuesday, November 15, 2005

Fikrah

Membangun Koalisi
Anti Intervensi AS
Oleh Fauzan Al-Ansori*

Belum lama terjadi manuver lima pesawat F-16 diatas wilayah udara Indonesia yang langsung dipiloti tentara AS menyusul pembelian 4 Sukhoi buatan Rusia oleh pemerintah RI, membuat KSAU gerah. Kemarin giliran Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Bernard K. Sondakh menyatakan dengan tegas penolakan rencana pengiriman armada AS keperairan sekitar sumatera hanya dengan alasan mengusir terorisme. "Saya menolak keras rencana pengiriman pasukan militer AS keselat malaka," demikianlah Bernard usai menghadiri pengukuhan guru besar di Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya (Indopos, 11/4).

Sebagaima diketahui, rencana AS tersebut dikeluarkan menyusul laporan International Maritim Bureau (IMB) yang berkantor di Malaysia. Berdasarkan laporan tersebut, AS menyimpulkan, bahwa selat malaka menjadi Black Water yang menjadi lalu lintas teroris dan sarang perompak. Menurut Bernard, IMB telah melaporkan bahwa di Selat Malaka telah terjadi ratusan peristiwa perompakan dan sarat dengan aktivitas terorisme. IMB sendiri selama ini didanai oleh International Monetery Fund (IMF).

Bernard dengan tegas membantah dan mengatakan bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah, dalam setahun hanya terjadi empat kali perompakan di Selat Malaka. Bahkan dalam tahun 2004 ini baru terjadi dua kali. Itupun dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sedang melarikan diri.

Yang sedikit lebih sering, kata Bernard, adalah bajing loncat yang dikenal dengan copet laut, jauh dari kegiatan teroris. Ketika ditanya wartawan, bagaimana kalau AS nekat mengirimkan pasukannya? Bernard menjawab : "Kalau pasukan mereka sampai masuk ke perairan Indonesia tanpa izin, akan kami usir. Berarti AS telah melanggar kedaulatan negara Indonesia."

"Indonesia bukan sarang teroris"

Kalau anda masih ingat sebelum bom meledak di Bali, KSAD Ryamizard Ryacudu pernah membantah pernyataan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew yang menuduh Indonesia sebagai sarang teroris: "Jangan kalian ajari kami memerangi apa yang disebut teroris. Di sini tidak ada teroris!" katanya. Begitu juga pernyataan wapres Hamzah Haz ketika berkunjung ke pesantren Al-Mukmin Ngeruki: "Indonesia bukan sarang teroris!" namun, setelah bom Bali meledak (12/10/2002) semua pejabat Indonesia diam seribu bahasa. Menko Polkam SBY mengambil alih semua kewenangan mengenai kewenanga menangani terorisme di Indonesia. Tim penyidik bom Bali dari TNI pun mundur, sementara tim bentukan MUI juga tidak terdengar suaranya. Semua opini mengalir sesuai skenario besar AS, memerangi apa yang dinamakan teroris.

Lalu, Ustadz Abubakar Ba`asyir menjadi seorang ulama yang pertama kali menjadi korban isu terorisme di Asia Tenggara. Namun semua tuduhan itu terbantahkan dalam persidangan terbuka. Puncaknya, Mahkamah Agung (MA) hanya memvonis 1,5 tahun penjara potong tahanan. Maka, unstadz Abu akan bebas pada 30 April 2004 pukul 00.00. Vonis MA tersebut merupakan tamparan keras terhadap AS dan sekutunya yang terlalu bernafsu menjerat Ustadz Abu dengan berbagai tuduhan yang dinisbatkan kepada Omar Al-Faruq yang mereka juluki 'agen utama Al-Qaeda di Asia Tenggara'. Maka pasca vonis MA tersebut AS dan sekutunya kembali berulah. Memperhatikan dengan seksama intervensi pemerintah asing terhadap putusan kasasi MA tersebut, maka sekitar 30-an ormas Islam bermufakat mengeluarkan deklarasi Gerakan Anti Intervensi AS dan sekutunya, (9/4), diantara isi deklarasi tersebut adalah:

Pertama, mengecam keras tindakan pengecut dari negara-negara yang mengklaim sebagai pemerintahan demokratis seperti AS, Australia, dan Singapura atas intervensi mereka menekan pemerintah RI cq Mabes polri untuk menahan kembali Ustadz Abu dan mengaitkan beliau dengan kasus Bom Bali.

Kedua, pengaitan Ustadz Abu dengan Bom Bali akan memicu konflik Horizontal antara Umat Hindu di Bali dengan Umat Islam Indonesia, karena Persidangan kasus tersebut nantinya akan dipaksakan dilaksanakan di Bali dengan Majlis Hakim yang bernuansa SARA dan pengerahan massa yang sangat rentan dimasuki para provokator. Timbulnya konflik antar warga negara Indonesia tersebut merupakan tujuan dari manuver politik adu-domba (devide et impera) yang dikembangkan pemerintah asing tersebut.

Ketiga, mengecam keras tindakan polisi yang sewenang-wenang terhadap Ustadz Abu sejak pengambilan paksa oleh oknum polisi dan militer (28/10/02) di RS PKU Muhammadiyah solo yang ingin memeriksa dan menahan kembali beliau dengan tuduhan yang dibuat-buat atas desakan dan berdasarkan info intelijen asing. Sementara para konglomerat hitam yang merampok uang rakyat ratusan trilyunan rupiah lalu kabur ke Singapura dan Australia sampai detik ini tak tersentuh hukum. Demikian pula tokoh makar Alek Manuputty yang kabur ke AS, meski dalam status pencekalan.

Keempat, mengajak seluruh elemen bangsa Indonesia untuk segera bangkit menjadi negara yang berdaulat, baik dari segi ekonomi, politik, hukum, budaya, dan seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya. Serta benar-benar menjadi negara kesatuan yang melindungi seluruh tumpah darah, aset dan penduduknya dari Sabang sampai Merauke tanpa terkecuali. Gerakan diharapkan akan menasional dan mampu menyadarkan bangsa ini, bahwa mereka memiliki negara yang merdeka sejak lebih setengah abad silam. Namun, seorang tokoh nasional mengatakan kepada saya usai membaca deklarasi tersebut, bahwa ia merasa pesimis gerakan ini mampu menyadarkan bangsa ini, karena di dalam negeri ini terlalu banyak pengkhianatnya.

Wallahu a`lam.

*diambil dari Sabili

No comments: