Tuesday, December 13, 2005

Telaah

Berkelompok Yes, Berpecah-belah No
Oleh: Ayip Dilaga

Qod tabayyanar-rusydu minal-ghoy!
Syahdan, kegembiraan dan kesedihan adalah bagian dari kehidupan manusia, termasuk kita umat Muslim. Jika kita lihat situasi umat Islam secara keseluruhan saat ini, jelas tergambar bahwa kita sedang berada pada stage kesedihan. Bagaimana tidak? Fakta sekarang, baik yang kita ketahui melalui media maupun yang kita cerna secara langsung, menyodorkan indikasi bahwa sebagian umat Rasulullah sudah berani—bahkan terbiasa—saling mencela, menyalahkan, bahkan mengutuk sesama mukmin, baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Karena perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, setiap kelompok Muslim acapkali mesti menuding atau menghakimi kelompok Muslim lain sebagai aliran sesat. Kaum mukmin yang mestinya bersatu dan saling menopang, kini malah bersikap sebaliknya. Padahal, sebagaimana yang diajarkan Islam, kaum mukmin ibarat satu tubuh. Tatkala satu anggota badan terserang rasa sakit, anggota badan yang lain tidak bisa acuh membiarkannya.
Al-Quran al-‘Aziz menyebutkan bahwa seluruh orang beriman adalah bersaudara (al-Hujurat: 10). Perlu ditekankan di sini, bahwa persaudaraan yang dijalin adalah antar sesama mukmin. Sebagaimana layaknya sebuah persaudaraan, seorang mukmin akan merasa sakit dan marah jika mukmin lainnya dianiaya. Mukmin sejati tidak akan tinggal diam jika melihat saudaranya dizalimi. Ia sepenuh hati akan membela saudaranya, sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Persaudaraan, sebagaimana umumnya, pasti mengandung rasa kasih sayang dan sikap lemah lembut. Karenanya, seorang Muslim harus senantiasa mengasihi Muslim lainnya. Dinyatakan dalam al-Quran bahwa kaum beriman, sebagai pengikut Rasulullah, mesti saling berkasihsayang terhadap sesamanya, tetapi bersikap sebaliknya terhadap kaum kafir (al-Fath: 29). Ini diperkuat oleh firman Allah dalam al-Maidah ayat 54, bahwa orang yang dicintai Allah adalah orang beriman yang bersikap lemah-lembut terhadap sesamanya, dan bersikap keras terhadap kaum kafir.
Semua ini, niscaya, mengantar kita kepada sebuah tuntutan agar seluruh kaum mukmin bersatu dan mempererat hubungan silaturahim. Tetapi justru pada titik inilah kaum mukmin saat ini mengalami banyak kendala. Keharusan bersatu seringkali menjadi sulit terwujud saat terjadi banyak perbedaan dalam mengejawantahkan al-Quran dan as-Sunnah ke dalam kehidupan sehari-hari. Anggapan bebas-tafsir atas dua sumber hukum Islam ini, yang akhir-akhir ini berkembang di lingkungan akademis dan di lingkungan masyarakat umum, tak jarang memicu perselisihan, pertikaian, bahkan bentrokan antar sesama mukmin. Jika ikhtilaf (keragaman interpretasi) ini hanya berlabuh sekadar pada perdebatan atau polemik, mungkin kita tidak perlu terlalu khawatir. Tetapi, na'udzubillah, jika ikhtilaf memanifestasikan diri dalam bentuk aksi saling mengutuk, perpecahan, atau bahkan bentrokan fisik antar sesama Muslim, ini justru akan melemahkan Islam dan menggembirakan musuh-musuh Islam. Dan ini bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Dalam banyak ayat al-Quran, Allah jelas-jelas melarang perpecahan antar sesama orang beriman.
Kita simak satu contoh kasus. Tatkala sekelompok umat Islam beraksi menyatroni sejumlah tempat maksiat dalam bentuk tindakan frontal yang seringkali melibatkan kekerasan fisik, kelompok-kelompok Islam lainnya terbagi menjadi dua pihak dalam menanggapi aksi ini. Ada yang pro, ada yang kontra. Menurut pihak yang kontra, aksi ini tidak perlu, karena kita punya aparat negara yang bertanggungjawab dan berwenang untuk menindak tempat-tempat maksiat. Tetapi pihak yang pro berpendapat, aksi ini bisa dianggap benar, karena kinerja para aparat tidak bisa diharapkan, bahkan aparat seolah-olah tidak cepat tanggap atau cenderung membiarkan menjamurnya pusat-pusat kemaksiatan.
Di sisi lain, ada juga kelompok Islam yang mendakwahkan kedamaian dan sikap anti-kekerasan. Mereka menyatakan bahwa Islam bermakna sikap berserah diri. Karena Islam adalah rahmah lil-'alamin, Islam tidak bisa membenarkan kekerasan dalam bentuk apapun. Corak perjuangan yang ditempuh kelompok ini biasanya berupa ceramah-ceramah di berbagai tempat, atau kuliah-kuliah keagamaan yang digelar di setiap episentrum komunitas Muslim.
Saat menghadapi dua contoh kasus ini, mestinya kita bersikap bijaksana. Pro-kontra dalam menyikapi sebuah fenomena adalah hal wajar. Dalam kasus pertama, aksi frontal—bahkan ada kontak fisik langsung dan kekerasan—untuk menghancurkan tempat-tempat maksiat dalam rangka perwujudan nahyi munkar, adalah suatu bentuk pengejawantahan ajaran Islam yang dianut oleh kelompok tersebut. Terlepas dari pro-kontra yang muncul atas aksi mereka, kita mesti menghargai usaha mereka untuk mengamalkan ajaran Islam, meski pihak Barat seringkali memberi label "Islam Garis Keras," "Fundamentalis," atau bahkan "teroris" terhadap kelompok-kelompok seperti ini. Demikian pula dengan contoh kasus kedua. Kelompok yang mendakwahkan kedamaian dan anti-kekerasan adalah juga bagian dari kaum Muslim. Hanya saja, cara pemahaman dan pengamalan mereka berbeda dengan kelompok pertama. Dengan kata lain, corak perjuangan boleh saja beragam, kesatuan Muslim boleh saja terbagi menjadi bermacam kelompok, tetapi semuanya harus senantiasa saling mendukung dan menghargai, sehingga ukhuwah islamiyah bisa terjalin, dan karenanya umat Islam bisa kembali berjaya. Ibarat sebuah tim sepakbola, ada yang bertugas menjaga gawang, ada yang berfungsi sebagai gelandang, dan ada yang berposisi sebagai penyerang. Bisa kita bayangkan, betapa kacau jadinya jika penjaga gawang merasa iri kepada penyerang, gelandang membenci penyerang, atau penyerang tidak menghargai penjaga gawang. Gol dan kemenangan yang dinantikan tak akan pernah kunjung datang karena para pemain sibuk mencela satu sama lain. Dan, niscaya, tim sepakbola seperti ini tidak bisa menjadi solid dan tak akan pernah tahan lama.
Kita tahu, ada sebagian ulama dan cendekiawan Muslim menghalalkan kebebasan tafsir atas Quran, atau memperkenankan asumsi multi-tafsir atas Quran. Konsekuensi logisnya, umat Islam, siapapun dan dari kelompok manapun, seharusnya juga bebas memanifestasikan hasil tafsirannya. Hal penting yang tidak boleh luput dari perhatian adalah fakta bahwa kebebasan dan keragaman tafsir ini menjadikan kaum mukmin berkelompok-kelompok. Tetapi, yang perlu dicamkan, fenomena kemunculan beragam kelompok ini tidak bisa dimaknai sebagai "perpecahan," melainkan mesti dipahami sebagai "pembagian tugas." Karenanya, sebagaimana telah dipaparkan di atas, kaum Muslim dianalogikan sebagai sebuah tim sepakbola. Setiap kelompok atau faksi memiliki peran masing-masing, dan berpijak pada posisi masing-masing, sesuai kemampuan dan kapasitas pemahaman yang dimiliki.
Selain karena atmosfer kebebasan tafsir, kemunculan beragam kelompok dalam kesatuan umat Muslim bersandar pada sebuah fakta bahwa saat ini tidak ada kepemimpinan tunggal yang bisa dijadikan pegangan bagi seluruh komunitas Muslim dimanapun. Setiap ulama berijtihad. Setiap ulama mempunyai pengikut. Dan setiap Muslim memilih bergabung dengan kelompok juang yang dirasa sesuai dengan pemahaman dan kemampuannya. Kemunculan berbagai faksi ini, perlu ditegaskan sekali lagi, bukanlah fenomena yang bisa disalahkan, apalagi pada situasi sekarang, dan ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Dalam konteks ini, kalimat wa la tafarroqu (janganlah kalian berpecah-belah) dalam Quran tidaklah menafikan keragaman. Kalimat ini juga tidak melarang kemunculan beragam faksi atau kelompok di tubuh umat Muslim. Ungkapan wa la tafarroqu justru bermakna bahwa kemunculan kelompok-kelompok di tubuh umat Muslim adalah sebuah keniscayaan, tetapi satu kelompok Muslim dilarang saling mengutuk atau menghalangi kelompok Muslim lainnya dalam menegakkan ajaran Islam. Pada titik inilah kita bisa menemukan makna ukhuwah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, husnudzon (berbaik-sangka) terhadap sesama Muslim, baik antar individu maupun antar kelompok, mesti tertanam di hati setiap umat Rasulullah yang mendambakan kemenangan dan kejayaan Islam yang sudah sekian lama terlepas dari genggaman. Allahumma a'izzil-Islam wal-Muslimin!

No comments: