Friday, May 25, 2007

Sedikit tentang Teks dan Interpretasi:

Catatan Kecil atas metode hermeneutika

Apa itu Hermeneutika?

Hermeneutika berasal dari kata Yunani; hermeneutikos. istilah ini pertamakali diperkenalkan oleh Aristotle dalam bukunya Peri Hermenias (On the Interpretation) yang kemudian dibawa oleh al-Farabi ke dunia Islam dengan terjemahan Fi al-'Ibarah. Pada asalnya hermeneutika digunakan dalam kajian untuk merumuskan dan mentafsirkan Bible. Friedrich Schleiermacher (1768-1834) seorang pendeta dan teolog Protestan pada umumnya diterima sebagai orang pertama yang mengembangkan hermeneutika yang bersifat teologis ke dalam filsafat bahasa yang memberi perhatian kepada bahasa dan pemahamannya. menurut kaidah hermeneutika ini, seorang pembaca dapat memahami sebuah wacana dengan sebaik bahkan lebih baik daripada penulisnya, "to understand the discourse just as well as and even better than its creator".

Kita bisa menemukan prinsip yang hampir sama dalam konteks kritik sastra serta cabang sains dan filsafat lainnya, dalam Humaniora - Wilhelm Dilthery (1833-1911) dari Jerman dan Emilio Betti dari Itali, dalam kajian ontologi - Martin Heidegger (1889-1976), dalam Marxisme Mazhab Frankfurt - Jurgen Habermas, juga dalam Fenomenologi dan Eksistensialisme - Paul Ricoeur (1913-2005) Dari perancis, yaitu, apa yang kita kenal dengan istilah hermeneutika. perlu difahami di sini, para filosof ini mempunyai konsepsi yang secara substansial berbeda dalam memahami hermeneutika tergantung kecenderungan filsafat masing-masing.

Dalam wacana keislaman, ada tiga tokoh utama yang mempromosikan hermeneutika sebagai pendekatan tafsir al-Quran dan diskursus keislaman pada umumnya, yaitu, Muhammed Arkoun, Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd.

Muhammed Arkoun, yang banyak dipengaruhi oleh hermeneutika Ricoeur, dikenal sebagai sarjana yang memperkenalkan ide hermeneutika al-Quran. Arkoun berpandangan bahwa hermeneutika amat diperlukan dalam Islam sebagaimana ia diperlukan dalan kajian Injil. keengganan umat Islam mempertimbangkan hermeneutika sebagai kaedah baru dalam memahami al-Quran akan merugikan umat Islam, karena menurutnya hermeneutika akan dapat menyelesaikan permasalahan menegenai penulisan al-Quran. hermeneutika menurut Arkoun adalah usaha untuk mentafsirkan Kitab Suci dari sudut sejarah, sosiologi dan antropologi dengan menolak segala bentuk pentafsiran yang mensakralkan dan meninggikan yang dilakukan oleh cara berpikir teologis dan tradisionalis: "To look at the "Holy Scriptures" from historical, sociological, and anthropological angle is obviously to challenge all sacrallizing and transcendentalizing interpretations produced by traditional theological reasoning".

Arkoun menggariskan tiga prosedur dalam teori hermeneutikanya: pentafsiran historis-antropologis, pentafsiran linguistik-semiotik dan pentafsiran teologis. oleh karena itu, yang pertama direkonstruksi oleh Arkoun adalah sejarah al-Quran itu sendiri. Baginya al-Quran adalah “closed official corpus” (korpus resmi tertutup); closed, karena Sayyidina 'Utsman telah membatalkan mushaf-mushaf yang lain; official, karena baginya tindakan Sayyidina 'Utsman memiliki kepentingan politik. pada akhir kajian historis ini Arkoun berpendapat bahwa al-Quran tidak suci.

Arkoun jelas mengada-ada ketika dia mengatakan bhw penafsiran al-Quran selama ini adalah proses mistifikasi dan mitologisasi, sehingga, proses demistifikasi dan demitologisasi yang menjadi proyeknya sama sekali tidak beralasan dan tidak punya tempat dalam tradisi atau wacana tafsir al-Quran. Para pengkaji Injil memerlukan kaedah hermeneutika karena dalam Injil ada perbedaan pengarang dan versi, bahkan secara umum ada kesepakatan bahwa Injil secara literal bukan Kalam Tuhan, kasus yang tidak kita temukan pada diskursus mengenai al-Quran sebelum Arkoun dan para pendahulu orientalisnya memaksakan tuduhan tadi terhadap al-Quran. Jika pada kasus Injil terdapat banyak versi yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka tidak demikian halnya dengan al-Quran, perbedaan antara mushaf ‘Utsman dan mushaf-mushaf selainnya bukanlah perbedaan versi, tetapi perbedaan kodifikasi dan penyusunan, tidak ada versi-versi al-Quran, hanya ada satu al-Quran yang kita peroleh dari Rasulullah saw, dan selain dipelihara dalam tradisi tulisan (skriptual), al-Quran sejak awal telah dipelihara dalam tradisi lisan, sehingga jika ada kekeliruan dalam penulisan al-Quran, akan segera diketahui dan dapat dikoreksi, sejak awal. Para sarjana Barat yang jujur juga telah mengakui hal ini, salah satunya adalah Karen Armstrong dalam bukunya The History of God.

Fazlur Rahman, yang pernah dikecam karena gagasan rekonstruksi syari'ah, tidak secara eksplisit mempromosikan hermeneutika dengan menyatakan secara langsung agar kaidah tafsir perlu ditinjau ulang, karena menurutnya penafisran ulama terdahulu adalah subjektif dan hanya mencerminkan keadaan sosio-historis pada zaman mereka.

Sedangkan Nasr Hamid Abu Zayd memakai logika seperti ini, karena al-Quran tidak ditulis oleh Tuhan, maka Abu Zayd meletakkan Nabi Muhammad saw sebagai pengarang sesungghnya al-Quran. lalu, karena Nabi Muhammad saw hidup di tengah masyarakat Arab saat itu, maka al-Quran yang Nabi fahami dan tafsirkan sudah tentu merupakan produk budaya masyarakat Arab, oleh karena itu menurut Abu Zayd, al-Quran bukanlah Kitab Suci yang sakral karena telah termanusiakan.

Beberapa Persoalan Hermeneutika

Bertolak-belakang dengan klaim-klaim para penganjurnya, ketika hermeneutika dicampur-adukkan dengan dekonstruksionisme dan relativisme posmodernisme, teks-teks atau wacana justru dicabut dari konteks ontologis, epistemologis, sosiologis, antropologis dan historisnya, padahal teks-teks atau wacana tersebut lahir dan hidup dlm konteks tadi, sehingga maknanya pun tidak mungkin dipisahkan dari konteksnya tersebut. kerancuan ontologis dan epistemologis tadi lahir karena sejak awal mereka menegasikan eksistensi Tuhan dalam proses pewahyuan, dan menegasikan kekuasaan-Nya untuk dapat menciptakan bahasa dan pemahaman bagi Nabi Muhammad saw sebagai Rasul (Utusan-Nya), sehingga, asumsi yang lahir adalah bahwa teks serta interpretasi (wahyu dan tafsirnya) dipengaruhi dan merupakan produk nilai-nilai serta kebudayaan manusia pada saat kelahirannya, maka, penafsiran dan penerapan teks-teks tersebut sekarang juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai dan kebudayaan manusianya - makna teks disesuaikan dengan nilai-nilai si penafsir.

Pemahaman semacam ini tentu saja sangat aneh, karena, meski dalam proses penafsiran, subjektivitas si penafsir memang sangat mungkin ikut andil, tapi, untuk mendapatkan makna yang relatif paling mendekati dari apa-apa yang diwakili oleh simbol-simbol/teks-teks al-Quran, kita harus mengetahui terlebih dahulu makna teks-teks tersebut secara etimologis, untuk kita kaitkan juga dengan maknanya secara sosiologis dan antropologis ketika teks-teks tersebut pertamakali lahir, ditafsirkan dan diaktualisasikan dalam tradisi kenabian (as-Sunnah) dan masyarakat Islam pada masa tersebut (penafsiran dan praktek salafus-shalih). setelah itu, baru kemudian kita bandingkan dengan konteks historis, sosiologis dan antropologis masyarakat muslim saat ini. Disamping menggunakan al-Quran dan as-Sunnah, tafsir juga berdasarkan pada simbol-simbol linguistik dan pemaknaan yang bersandarkan kepada pendekatan konteks semantik, sehingga kita dapat mendapatkan pemahaman yang paling mendekati dengan apa yang dimaksud oleh teks tersebut, siapapun kita, di manapun kita, dan kapanpun kita mentafsirkan teks-teks al-Quran tersebut.

Al-Quran memang diperuntukkan bagi seluruh manusia, tapi, karena al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, maka, pendekatan yang harus kita lakukan ketika kita menafsirkan al-Quran tentunya harus pendekatan bahasa Arab, baik secara etimologis maupun semantis, dengan memperhatikan bagaimana teks-teks tersebut difahami dan dipraktekkan oleh pengguna bahasa Arab pada saat itu, terutama - tentu saja pemahaman dan praktek Rasulullah saw. memahami bahasa dari perspektif si pengguna bahasa itu sendiri, karena, jika kita memaksakan diri untuk berinteraksi dengan al-Quran yang berbahasa Arab dengan nilai-nilai dan perspektif kita yang bukan pengguna bahasa Arab tentu saja ngga bakal nyambung, dan akan banyak terjadi kesalahfahaman.

Contoh yang paling sederhana adalah pengertian dan praktek 'shalat', meskipun pada dasarnya kata shalat sama artinya dengan berdo'a, bagaimanapun, tafsir dan praktek shalat itu sendiri harus tetap mengacu pada praktek shalat Rasulullah saw, karena disamping praktek shalat, ada juga praktek berdo'a yang berbeda dengan praktek shalat, dengan demikian kedua istilah tadi merujuk pada makna dan praktek yang berbeda. dalam hal ini, kita tidak harus memilih apapun di antara keduanya, kita tidak harus memilih pengertian dan praktek mana yang lebih benar, karena keduanya sama-sama benar dan harus dikerjakan oleh setiap muslim dengan merujuk pada praktek Rasulullah saw sebagaimana telah dikaji dan dijelaskan oleh para ulama yang otoritatif dalam bidang tafsir dan hukum Islam. Perbedaan biasanya terjadi pada wilayah khilafiyah, pemahaman dan pengamalan yang bersifat teknis atau furu'iyah, dan pada wilayah ini relativisme kebenaran baru cukup relevan untuk dibicarakan.

Teks dan Interpretasi

Suatu teks (simbol) sangat mungkin memiliki makna yang beragam, dan penafsirannya juga bisa jadi sangat subjektif, tapi, jika kita memang ingin menangkap makna teks itu sesuai dengan maksud 'sumber teks' (pembicara), maka kita harus berusaha memahami teks dari sudut pandang sumber teks tadi, dan bukan dari sudut pandang kita - baik secara gramatikal (nahwu-sharaf), leksikal (balaghah ma'any ay lafdh wal-ma'na) maupun semantis (fiqh al-lughawy), dengan memperhatikan faktor-faktor sosiologis dan antropologis ketika teks itu lahir, yang dalam tradisi 'Ulumul-Quran, oleh para ulama disebut 'asbabun-nuzul' (konteks historis/episteme turunnya wahyu).

Sebagai contoh sederhana, ketika kita mendengar kata 'anjing', teks ini bisa bermakna beragam, maka interpretasi atas teks ini tidak hanya bisa dengan mengkaji struktur gramatikal dan makna harfiyah-nya saja, karena maksud si pembicara mengatakan teks tadi tergantung konteks ketika redaksi kata 'anjing' itu digunakan, misalnya, ketika seseorang mengatakan "anjing" pada saat si pembicara memang sedang melihat seekor anjing, maka kata ini kemungkinan bermakna deskriptif atau informatif, tapi, bila seseorang mengatakan "anjing!" pada saat dia mengekspresikan kemarahan terhadap sesuatu atau seseorang, maka, kata 'anjing' ini besar kemungkinan lebih bermakna ujaran atau umpatan.

Begitujuga dengan interpretasi atas teks-teks al-Quran.

Sebelumnya harus difahami dulu bahwa wahyu (al-Quran) pada awalnya lahir dan dilestarikan dalam tradisi lisan (verbal), dan bukan dalam tradisi tulisan (skriptual). 'Kitab' (mushaf) yang kita kenal hari ini adalah catatan (rekaman) atas teks-teks yang lahir dalam konteks tertentu, situasi tertentu, dan tentu saja pada awalnya difahami serta direfleksikan sesuai - dan ditujukan untuk "menanggapi" atau berkenaan dengan konteksnya itu.

Lalu, bagaimana kita harus memahami teks-teks tersebut hari ini – di sini? Filsafat sejarah memiliki dua pandangan yang umumnya digunakan oleh para sejarawan dalam menerjemahkan sejarah, pertama, pendekatan 'mekanis', yang memandang bahwa sejarah berulang seperti roda yang berputar secara mekanis, satu titik pada roda tersebut akan selalu kembali ke posisi semula, artinya, realitas perkembangan manusia sebenarnya merupakan pengulangan saja dari situasi-situasi masyarakat manusia sebelumnya. Ke-dua, pendekatan 'dialektis', yang memandang sejarah tidak se-linear dan se-mekanis pandangan pertama, tapi sebagai suatu dialektika resiprokal antara satu tahap perkembangan dengan tahap perkembangan masyarakat lainnya, dialektika ini digambarkan seperti spiral vertikal, yang jika ditarik garis vertikal, kita masih akan melihat titik-titik temu dalam perjalanan sejarah manusia, krn, satu synthese tahap perkembangan masyarakat pada dasarnya merupakan "bentuk lain" dan tetap membawa "sifat-sifat unggul" dari tahapan perkembangan sebelumnya, artinya, meski dalam "wajah" capaian teknologi atau geografisnya sedikit berbeda, tapi hakikat, sifat serta situasi-situasi kemanusiaannya masih tetap sama. Dalam hal ini, kedua pandangan tadi sebetulnya tidak jauh berbeda.

Inilah yang menjadi salah satu landasan ilmiah para ulama 'Ulumul-Quran, yang menyebuntukan bahwa al-Quran itu universal dan trans-historis, karena, hakikat, sifat dan situasi2 kemanusiaan di berbagai masyarakat memang tidak akan jauh berbeda dari masa ke masa.

Dengan demikian, kesimpulan hermeneutika yang pada umumnya diterima oleh kalangan liberal, yang menilai bahwa interpretasi makna teks-teks al-Quran pada saat turunnya (sebagaimana difahami dan direfleksikan oleh Rasulullah saw) harus didekonstruksi karena faktor perbedaan situasi-kondisi masyarakat, tentu saja tidak punya landasan epistemologis yang cukup kuat dan ahistoris, dengan sendirinya, tidak relevan lagi.

Jelaslah al-Quran akan tetap relevan sebagai pandangan dunia dan pedoman hidup untuk setiap masyarakat, karena, kita akan tetap menemukan konteks (situasi-kondisi) yang relevan bagi setiap teks al-Quran dari masa ke masa, selama, kita memang memahami konteks awal lahirnya teks-teks tersebut.

Sebagai sebuah masyarakat dan kebudayaan, Islam berinteraksi dengan masyarakat-masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan lainnya, pada zaman Nabi Muhammad saw, persenjataan perang yang digunakan oleh kaum muslim pada saat itu merupakan produk kebudayaan (teknologi) yang diadopsi dari masyarakat dan kebudayaan Arab pada saat itu, dan ini sama sekali tidak mengurangi keislaman Nabi Muhammad saw dan para shahabat. Bahkan, banyak istilah-istilah dalam agama ini tidak berbeda dengan istilah yang digunakan – selain oleh bangsa Arab, tapi juga yang merupakan bahasa Ibrani. Kata ‘Allah’ yang dirujukkan pada Dzat Tuhan, juga telah digunakan sejak masa pra-Islam (kenabian Muhammad saw), bukankah nama ayah Muhammad saw adalah Abdullah (hamba Allah)? Selain itu, sebagian nama malaikat yang diajarkan oleh agama Islam tidak merubah nama-nama itu dalam bahasa Ibrani, seperti, Jibril, Mikail, Israfil, Izrail dan lainnya, maka peran utama risalah Muhammad saw adalah pelurusan terhadap pemaknaan dan pensikapan atas teks-teks, istilah-istilah atau konsep-konsep yang telah menyimpang dari ajaran Islam sebagaimana telah diajarkan oleh para nabi sebelum Rasulullah saw, dan menyempurnakannya.

Di sinilah, pemahaman dan penggunaan teks serta konteks menjadi sangat penting.

Secara lughawy: ‘tarjim’ (ta-ra-jim-ya-mim) artinya menterjemahkan (translate), berasal dari kata ‘rajama’, yang artinya menyangka, menerka, atau menduga. Secara istilahy: naqlun min lughotin ila ukhro (memindahkan dari satu bahasa kepada bahasa yang lain), atau tafsir secara harfiyyah (letterlijk). Sedangkan, ‘tafsir’ artinya menjelaskan atau menerangkan (interprete), jadi tidak hanya mengalih-bahasakan, tapi (juga) memahami suatu teks berdasarkan epistemologinya, dan menempatkannya pada ruang dan waktu sesuai dengan konteksnya tadi. Secara istilahy, “al-idloh wa asy-syarh”, penjelasan dan komentar.

Di satu sisi, kita tidak mungkin berinteraksi dengan teks tanpa melakukan penafsiran, sesedikit atau sebanyak apapun, kita tidak bisa menghindari penafsiran, bahkan, meski istilah penafsiran dan penterjemahan secara definitif dibedakan, tapi setiap penterjemah pasti harus melakukan penafsiran atas teks yang ia terjemahkan, apalagi jika teks tersebut berhubungan dengan konsep tertentu, dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana para ulama fiqh selalu memberikan dua pengertian atas istilah-istilah dalam hukum Islam, baik itu pengertian yang bersifat literal (denotatif/harfiah/lughawy), maupun pengertian yang bersifat kontekstual/definitif (konotatif/istilahy).

Seperti diungkapkan di awal, masalah penafsiran, terutama yang menyangkut doktrin-doktrin pokok dalam agama Islam adalah masalah yang sangat krusial, jangan sampai kita tergoda dengan model penafsiran ulang (reinterpretasi) gampangan yang justeru malah menjauhkan teks dari makna yang sebenarnya, tapi, bukan berarti kita samasekali berhenti mengkaji secara kritis kesesuaian pemaknaan-pemaknaan yang berkembang dalam umat dengan makna-makna yang sesungguhnya yang diwakili oleh teks-teks atau istilah-istilah tertentu dalam Islam begitu saja, dalam konteks ini, reinterpretasi (penafsiran ulang) tidak berarti mencari penafsiran baru karena penafsiran lama dianggap tidak sesuai dengan zaman lagi (seperti yang dipropagandakan oleh kalangan liberal -- sebagaimana yang diperingatkan dalam Q.S. 4: 46 "yuharrifunal-kalima ‘anil-mawadli’ihi", Q.S. 2: 75 "yasma'una kalamallahi tsumma yuharrifunahu", dan Q.S. 5: 41 "yuharrifunal-kalima min ba'dli mawadli'ihi". Sebaliknya, reinterpretasi justeru diperlukan untuk mengembalikan atau meluruskan pemahaman atau pemaknaan-pemaknaan yang dinilai telah menyimpang dari pengertian yang sesungguhnya atas teks-teks atau doktrin-doktrin keislaman sebagaimana yang difahami dan dimanifestasikan Rasulullah saw, generasi para shahabat dan para thabi'in. Misalnya saja, istilah "jama'atul-Islamiyah" atau "jama'atul-muslimin" -- sebagai sebuah istilah atau doktrin dalam hukum Islam, yang pada masa Rasulullah saw dan para shahabat dimaknai sebagai sebuah kesatuan utuh dari umat Islam secara keseluruhan (al-khilafah), saat ini telah sebegitu jauh disalahtafsirkan dan direduksi maknanya sehingga difahami dan dipergunakan untuk merujuk pada jam'iyah, atau malah nama kelompok atau organisasi. Tentu saja, bukan berarti kata jama’ah tidak boleh dijadikan nama organisasi, tapi, ketika kata jama’ah ini digunakan sebagai nama organisasi, maka pengertian dan status hukumnya tentu berbeda dengan pengertian dan status hukum jama’ah dalam pengertian hukum Islam yang sesungguhnya.

Wallahu a'lam.

No comments: