Friday, May 25, 2007

Adakah Demokrasi dalam Islam?*

Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang seringkali muncul dalam wacana politik Islam kontemporer, baik dalam nada negatif atau menolak, maupun dalam sikap yang positif dan menerima. Artikel yang anda baca ini merupakan tulisan rintisan yang kami harap dapat menjadi semacam pengantar bagi diskusi-diskusi konstruktif lainnya berkaitan wacana keislaman dan kiprah umat Islam kontemporer, khususnya di Indonesia.

Apa itu Demokrasi?

Gagasan dan istilah demokrasi sudah dikenal sejak abad ke-5 di Yunani kuno. Dalam bahasa Yunani, demos pada umumnya diterjemahkan sebagai rakyat, dan kratos/cratein berarti kedaulatan atau kekuasaan, dengan demikian, demokrasi dapat diterjemahkan secara sederhana sebagai kedaulatan atau kekuasaan rakyat. Gagasan dan istilah demokrasi pada awalnya dipopulerkan oleh Aristoteles, yang membagi bentuk-bentuk pemerintahan sebagai; Demokrasi, Oligarki dan Aristokrasi. Definisi pemerintahan demokrasi menurut filosof Yunani ini adalah, “kekuasaan pemerintahan yang dibagi-bagi menurut pemilihan atau kesepakatan”.

Meski gagasan dan istilah ini dapat kita rujuk sampai abad ke-5 M, namun ia baru menemukan momentumnya pada awal abad modern di abad 18, pengertian dan praktek demokrasi pun berevolusi seiring perkembangan gagasan politik modern. Sebagai satu pandangan dunia dan ideologi, istilah ini tidak bisa dilepaskan dari 1) filsafat materialisme, yang menjadikan materi (kebendaan, empirisisme atau kenyataan inderawi) sebagai ukuran kebenaran, dan 2) anthroposentrisme (humanisme), yang menempatkan manusia dan rasionalisme sebagai sumber dan ukuran kebenaran, dan demikian pula hukum. Pada garis besarnya, demokrasi yang berasal dari humanisme ini berkembang menjadi dua cabang besar, yakni, 1) demokrasi liberal, yang bersendikan liberalisme dan berdasarkan individualisme, dan 2) demokrasi sosial dan demokrasi kerakyatan (people’s democracy) yang bersendikan sosialisme.

Dalam arus utama teori politik modern, untuk mengimplementasikan demokrasi ke dalam lembaga kenegaraan, maka gagasan ini berhubungan erat dengan prinsip trias politica (Montesqeu), yang menghendaki kekuasaan negara dibagi dalam tiga lembaga kekuasaan, yaitu; 1) legislatif, yang merumuskan legislasi atau penetapan hukum dan konstitusi, 2) eksekutif, yang melaksanakan hukum atau konsitusi, dan 3) yudikatif, yang mengawasi pelaksanaan hukum atau konstitusi tersebut, dan mengadili perselisihan ataupun pelanggaran terhadap pelaksanaan hukum tersebut, baik yang dilakukan oleh pihak legislatif, eksekutif, ataupun warga negara. Meski demikian, demokrasi tetap dimaknai dan dipraktekkan secara beragam di berbagai negara, dengan berbagai varian mekanisme dan lembaga-lembaganya.

Menurut pengertian awalnya ini, maka demokrasi dalam sistem ekonomi, sosial, politik dan budaya Barat sekuler dimaknai sebagai dasar atau landasan, cara/jalan, dan sekaligus tujuan dari kekuasaan negara.

Beberapa Persoalan tentang Demokrasi

Dalam perkembangan teori dan prakteknya kemudian, demokrasi liberal lebih menekankan demokrasi (kebebasan dan partisipasi) politik sebagai prasyarat dan ukuran keberhasilan masyarakat dan negara demokrasi, sedangkan demokrasi sosial (sosialisme demokratik dan demokrasi kerakyatan/sosialisme-komunisme) lebih menekankan demokrasi (keadilan dan pemerataan) ekonomi sebagai prasyarat dan ukuran masyarakat dan negara demokrasi.

Negara-negara dan para aktivis pendukung demokrasi liberal pada umumnya menyerang mekanisme penyelenggaraan kekuasaan di negara-negara Sosialis dengan sistem kediktatoran proletariat-nya, rezim-rezim militer dan totaliter di negara-negara dunia ke-tiga, serta mekanisme penyelenggaraan kekuasaan di negara-negara Islam pada umumnya, sebagai tidak demokratis dan tidak menghormati Hak-hak Asasi Manusia. Di sisi lain, banyak juga tokoh dan kelompok yang mengkritisi praktek demokrasi liberal yang menerapkan demokrasi hanya pada tataran mekanisme pemilihan serta kebebasan berekspresi saja, tapi tidak memperhatikan prakondisi ketimpangan ekonomi, sosial, politik dan budaya masyarakat yang tidak demokratis, yang akhirnya mengurangi kedaulatan masyarakat pada saat melakukan pemilihan dan pengawasan pemerintahan tadi. Sehingga, mekanisme demokrasi yang seharusnya berdasarkan prinsip-prinsip keterlibatan publik dalam penyelenggaraan negara menjadi ternafikan, dan demokrasi sebagai ideologi politik yang mendasarkan pada kedaulatan rakyat secara keseluruhanpun sesungguhnya hanya ada pada tataran teori saja, di antaranya, sebagaimana pandangan Schumpeter, E. Bernstein, Moammar Qathafi dan banyak lagi lainnya.

Demokrasi sebagai pandangan hidup dan ideologi memang agak sulit untuk disandingkan dengan Islam, karena, demokrasi adalah suatu sistem kemasyarakatan, yang memiliki sistem kepercayaannya sendiri (materialisme dan humanisme/anthroposentrisme) yang bertentangan dengan Islam, karena, terlepas dari tafsiran apapun yang akan digunakan terhadap materialisme dan humanisme, semangat demokrasi di awal kebangkitannya (di abad 18), bagaimanapun, adalah semangat pemberontakan terhadap otoritas keagamaan (ketuhanan – pada awalnya, terutama terhadap dominasi dan hegemoni Gereja Katholik di Eropa).

Meski terdapat keragaman dan berbagai varian dalam teori demokrasi, pada hari ini istilah demokrasi lebih identik dengan liberalisme-kapitalisme – demokrasi liberal (Francis Fukuyama, “The End of History and the Last Man Stand” ). Di sinilah letak persoalannya, demokrasi liberal yang saat ini menjadi arus utama teori dan praktek demokrasi di dunia selalu menunjukkan sikap tidak bersahabat ketika berhadapan dg Islam. Perjuangan penegakkan syari’at Islam melalui mekanisme demokrasi juga hampir selalu “membentur dinding”, kita bisa melihat bagaimana kemenangan FIS melalui pemilu di Aljazair disabotase militer yang didukung Amerika, atau “e-coup” yang dilakukan militer Turki sebagai sabotase atas kemenangan calon Presiden Turki dari partai Islam baru2 ini juga menjadi bukti ke-sekian dari absurditas Demokrasi Liberal. Di sisi lain, ada juga gerakan Islam yang berhasil menguasai pemerintahan dan menerapkan syari’at Islam melalui jalan demokrasi, misalnya, kemenangan mutlak HAMAS dengan menguasai parlemen dan jabatan-jabatan kementrian Palestina, yang kemudian dijawab Amerika Serikat, Israel dan negara-negara sekutu mereka dengan embargo dan gempuran terus menerus atas negeri itu. Selain itu, Partai PAS di Malaysia berhasil menduduki jabatan Menteri Besar negara bagian Kelantan, dan melegislasi Syari'at Islam menjadi hukum negara, seperti UU anti minuman keras, UU anti perjudian dan UU anti prostitusi.

Mekanisme Demokrasi sebagai Salah Satu Pola Kepemimpinan Islam

Terlepas dari apakah istilah demokrasi pada awalnya berasal dari ‘dalam’ atau dari ‘luar’ tradisi Islam, adanya mekanisme muktamar (kongres, atau musyawarah besar) dalam ormas-ormas, partai-partai dan kelompok-kelompok keislaman lainnya membuktikan bahwa “demokrasi” hari ini telah menjadi bagian dari tradisi keislaman – “tradisi Islam yang demokratis”, atau “demokrasi yang Islami” telah hidup dan dipraktekkan dalam kehidupan kolektif masyarakat muslim pada umumnya. Dengan catatan, muktamar tidak difahami sebagai syura, dan begitu juga sebaliknya.

Istilah demokrasi memang tidak berasal dari bahasa Arab, maka kitapun tidak dapat menemukan transliterasinya di dalam Al-Quran maupun Hadits-hadits, tapi, sebagaimana juga banyak istilah yang kita pergunakan hari ini, banyak diantaranya yang berasal dari bahasa asing (non-Arab), dan kita adopsi serta kita pergunakan juga dalam wacana dan doktrin keislaman hari ini, terutama di negeri-negeri ‘azam (non-Arab, khususnya Indonesia), misalnya saja istilah agama, negara, sembahyang, puasa, hari raya, santri, dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut bukan berasal dari bahasa Arab, tapi berasal dari bahasa sanksekerta, yang pada masa nusantara Hindu atau Budha (pra-Islam), istilah-istilah tadi berasal dari doktrin dan mewakili konsep keagamaan serta kebudayaan tertentu, namun, setelah kita pisahkan istilah-istilah tadi dari konsep baku asalnya, kita ambil makna-makna yang bersifat umumnya, lalu kita padankan dengan istilah-istilah keislaman yang berbahasa Arab, maka kitapun menerima istilah-istilah tadi sebagai bagian dari kekayaan dan keragaman kebudayaan Islam, dan pada gilirannya, Islam sebagai agama yang berasal dari negeri Arab, ikut juga mewarnai kebudayaan masyarakat nusantara.

Terdapat berbagai macam pola kepemimpinan (pemerintahan) dari sejak masa kepemimpinan Rasulullah saw sampai dengan masa pemerintahan, katakanlah – yang bagi sebagian kalangan, masih dianggap sebagai “pewaris sah” dari model pemerintahan Islami, Daulah Utsmaniyah (Dinasti/Rezim Utsmani), jika kita hendak mengukurnya dengan kategorisasi teori politik modern, maka, kita akan menyaksikan keragaman pola pemerintahan, dari mulai kecenderungan monarkis, sampai yang lebih cenderung oligarkis. Pada masa masyarakat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah saw, jika menggunakan kategorisasi tadi, kita akan menemukan kecenderungan yang mendekati oligarkis, di mana, selain Rasulullah saw sebagai pemimpin pertama dan utama, terdapat kelompok para shahabat yang sering diajak berunding oleh Rasulullah saw dalam banyak hal.

Pada masa selanjutnya juga demikian, kecuali pada masa Khalifah Utsman bin Affan yang memiliki dua kecenderungan sekaligus, pada awalnya oligarkis, tapi di akhir kepemimpinannya mulai bergerak ke arah monarkis, dengan mengangkat banyak dari kalangan keluarganya ke dalam lingkungan kekuasaan, yang kemudian memang memicu (mulai memasuki) masa ‘fitnatul-kubro’. Setelah masa ‘khulafaur-rasyidin’, pola pemerintahan kekhalifahan Islam – perlahan tapi pasti, semakin menunjukkan tendensi monarkisme (kerajaan).

Saat ini, ada dua kecenderungan utama dalam pola pemerintahan Islam, 1) kerajaan – seperti Arab Saudi dan Kuwait (seperti juga pada masa kekhilafahan Bani Umayyah dan Abbasiyah), 2) republik (jumhuriyah), sebagaimana yang dipraktekkan oleh Republik Islam Iran, Sudan dan Pakistan.

Dengan demikian, ‘khilafah’ pada awalnya bukanlah sebuah sistem pemerintahan atau tata negara yang baku dalam teori dan praktek politik Islam – terminologi khilafah lebih merujuk pada filosofi dasar kekuasaan – secara teologis (Q.S. 2: 30, 7: 129, 27: 26, 35: 39, 38: 26, 6: 165).

Dalam sumber utama hukum Islam (al-Quran), secara teologis, istilah khilafah pada awalnya merujuk pada (salah satu) tujuan penciptaan manusia secara mendasar (ontologis), tidak secara khusus berkenaan dengan doktrin “perwakilan Mulkiyah-Allah”, tetapi juga berkenaan dengan konsep “perwakilan Rububiyah-Allah”. Dapat dikatakan, istilah ini pada awalnya memiliki pengertian kekuasaan yang umum (QS. 27: 62, 6:165), tidak secara khusus merujuk pada konsep “daulah-Islamiyah”; secara umum, bisa dirujukkan kepada kekuasaan yang Islami atau menegakkan syari’at Islam, maupun kekuasaan non-Islam atau yang tidak menegakkan syari’at Islam (QS. 35: 39). Para ulama kemudian menjadikan doktrin ini (dan tentu saja, praktek Rasulullah saw beserta para shahabatnya) sebagai landasan teori politik Islam. namun demikian, jika secara historis istilah khalifah ini digunakan untuk merujuk pada suatu “gelar” atau jabatan kekuasaan ataupun kepemimpinan Islam, maka “gelar” atau jabatan itu di dalam al-Quran, Hadits, ataupun menurut pendapat para ulama bersanding dengan istilah-istilah lainnya; sulthon, amir ataupun imam.

Para penghulu ulama nusantara – Wali Songo, menyadari benar hal ini, tidak heran jika salah satu gelar (jabatan) dari sultan-sultan Demak dan turunannya (bahkan sampai saat ini) adalah “Khalifatullah ing Tanah Jawi”. Dengan demikian, khilafah Islamiyah (penegakkan syari’at Islam secara politik) dapat dipraktekkan apakah itu melalui model pemerintahan yang monarkis, oligarkis, ataupun demokratis, tergantung model pemerintahan mana yang menurut ijma’ (jumhur) ulama atau ‘waliyul-amri’ paling memenuhi ‘maqashidus-syar’iyyah’ untuk konteks zaman dan masyarakatnya.

Model demokrasi dalam konteks kenegaraan tadi tentu saja tidak berarti menegasikan konsep kekhilafahan. Secara ontologis atau transenden, Kekuasaan dan Hukum Allah saja yang bersifat mutlak dan absolut (QS. 7: 54, 12: 40, 13: 41, 33: 36, 6: 62, 6: 165), dan secara epistemologis, kekuasaan manusia yang ditegakkan berdasarkan syari'at Islam berarti kekuasaan yang bersumber dan berdasarkan Hukum Allah (QS. 4: 59, 38: 26), kekuasaan yang ditegakkan dalam konteks manusia sebagai hamba Allah (QS. 51: 56) dan khalifah (Q.S. 2: 30).

Dengan demikian, mekanisme demokrasi yang dimaksudkan ditempatkan setelah penerimaan terhadap Tauhid, setelah penerimaan kita terhadap hukum-hukum Allah SWT sebagai hukum tertinggi, dan pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT tersebut dalam kapasitas kita sebagai hamba dan khalifatullah.

Mekanisme demokrasi (sebagai cara meraih dan mengelola kekuasaan) juga tidak hanya terbatas pada model parlementer, atau tidak hanya berarti memperjuangkan penegakkan syari'at Islam melalui partai politik, pemilu dan parlemen. Ada banyak cara dan jalan bagi umat Islam untuk mempengaruhi kebijakan negara atau publik, model-model ekstra-parlementer semacam demonstrasi (unjuk rasa) dan kontrol ataupun dakwah melalui media massa sebetulnya juga masih merupakan varian dan fenomena demokrasi. Dalam situasi yang ekstrim, model gerakan ekstra parlementer dipilih ketika saluran aspirasi penegakkan Syari'at Islam melalui partai-partai politik yang berada di parlemen tersumbat atau tidak berjalan secara efektif, sedangkan dalam situasi dan kondisi yang relatif "normal", model gerakan ekstra-parlementer merupakan salah satu cara untuk mendukung atau memperkuat perjuangan penegakan syari'at Islam dalam parlemen (legislatif), atau untuk mendukung dan memperkuat implementasi penegakkan syari'at Islam oleh pemerintah (eksekutif), contohnya: dukungan berbagai kelompok umat Islam terhadap pengesahan RUU Sisdiknas, RUU APP, Perda2 anti maksiat, ataupun tuntutan atas formalisasi (legislasi dan implementasi) Syari'at Islam secara menyeluruh melalui negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan Amandemen UUD 1945 (qanun/konstitusi negara).

Pada saat ini, dua model penegakkan syari'at Islam tadi telah menjadi salah satu tradisi dalam masyarakat Islam, atau model alternatif dakwah harokah-harokah Islam, dan salah satu adagium dalam ushul-fiqh menyebutkan: al-'adatu muhakkamah, adat atau tradisi juga dapat memiliki kekuatan hukum, Tentu saja tradisi yang dimaksud adalah ‘adat tidak bertentangan langsung dengan nash-nash qath'i, yaitu tradisi yang bersuaian atau mendukung syari'at Islam saja yang bisa diakui atau diterima secara syar'i. Dalam hal ini, jika istilah demokrasi yang kita gunakan telah kita lepaskan dulu dari landasan humanisme atau anthroposentrisme-nya, dan lebih kita fahami sebagai mekanisme atau cara yang mengedepankan syura (pelibatan publik dalam perumusan kebijakan), maka mungkin demokrasi bisa kita akui dan kita terima juga sebagai salahsatu cara untuk menegakkan syari'at Islam, bisa saja kita sebut sebagai model politik (tradisi) Islam yang demokratis, ataupun istilah lainnya. Tentu saja, demokrasi bagaimanapun tidak bisa disamakan dengan Islam, tidak berarti, ‘Islam = demokrasi’, atau sebaliknya. Demokrasi hanya salah satu alternatif istilah ataupun cara dalam penegakkan syari'at Islam, tidak berarti bahwa tidak ada mekanisme atau jalan lain selain demokrasi.

Fenomena penegakkan syari'at Islam secara demokratis juga tidak hanya berupa gerakan-gerakan yang bersifat politis saja, dalam konteks demokrasi yang lebih partikular, penegakkan syari'at Islam juga bisa kita lihat dalam gerakan-gerakan ekonomi, sosial dan kebudayaan yang Islami; seperti pendirian bank syari'ah, baitul-maal, koperasi, pendirian lembaga2 pendidikan (baik secara formal, maupun informal, semacam pengajian atau halaqah-halaqah), organisasi-organisasi profesi (sekerja) ataupun komunitas, dakwah melalui penerbitan media massa cetak atau elektronik, kegiatan-kegiatan keamanan dan ketertiban lingkungan secara swakarsa, serta masih banyak lagi yang lainnya -- yang telah dan masih bisa kita kembangkan lagi.

Demokrasi sebagai sebuah faham yang berdasarkan materialisme dan humanisme – yang menjadikan manusia sebagai sumber hukum utama dan ukuran kebenaran jelas bertentangan dengan Islam, tetapi, demokrasi sebagai cara atau mekanisme menegakkan kekuasaan dan mengelola kepemimpinan tentu saja bisa diterima sebagai salah satu jalan untuk menegakkan syari’at Islam, yaitu dengan dengan mempengaruhi pengambil kebijakan baik legislatif maupun eksekutif untuk melegislasi, memformalisasi dan mengimplementasikan syari’at Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokrasi dalam pengertian pengelolaan kepemimpinan – pelibatan publik dalam perumusan kebijakan negara dan kontrol (pengawasan) publik terhadap perumusan kebijakan serta penyelenggaraan negara atau organisasi-organisasi keislaman lainnya juga tidak serta-merta bisa dikatakan bertentangan dengan Islam, karena, selain praktek seperti ini bisa kita dapatkan presedennya baik pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, Khulafaurrasyidin ra, Thabi’in dan Thabi’it-thabi’in, praktek semacam ini juga merupakan bentuk lain dari prinsip syuro yang ditetapkan langsung di dalam al-Quran. Dengan kata lain, jika dilihat dari sudut pandang Islam, maka praktek semacam tadi merupakan implementasi dan pengembangan dari prinsip keadilan, egalitarianisme, syuro, dan amar ma’ruf nahyi munkar, dan prinsip-prinsip ini juga merupakan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam pengertian ini, maka, mekanisme demokrasi ditempatkan di bawah Islam, setelah penerimaan terhadap Tauhid (Uluhiyah, Rububiyah dan Mulkiyah Allah SWT).

Masalah yang lebih mendasar adalah, model pemerintahan manapun yang akan dipilih (apakah itu demokrasi, oligarkhi ataupun monarkhi – dengan istilah apapun, apakah itu khilafah, kesultanan, ataupun jumhuriyah – dengan gelar pemimpin apapun juga, baik imam, khalifah, amir, ataupun presiden), harus dibangun atas dasar “kesepakatan” atau penerimaan (taslim) terhadap Tauhid (Ke-Esa-an Uluhiyah, Rububiyah dan Mulkiyah Allah SWT, dan demikian, syari’at Islam – al-Quran dan as-Sunnah) sebagai fondasinya utamanya (QS. 3: 19, 3: 85, 42: 21, 4: 59, 6: 62), dengan pelaksanaan yang konsisten dan konsekwen.

Demokrasi bukanlah dasar atau landasan, demokrasi bukan pula tujuan, demokrasi hanyalah salah satu jalan atau cara. Meski selalu dihadapkan pada banyak tantangan dan hambatan, penegakkan syari’at Islam melalui jalan demokrasi masih memiliki peluang dan harapan, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap berbagai kemenangan besar maupun kecil perjuangan penegakkan syari’at Islam melalui jalan demokrasi, khususnya di Indonesia.

Wallahu a’lam bish-shawab.



* Disarikan dari Diskusi Lepas JKU – Jaringan Komunikasi Ummat, April 2007.

10 comments:

Cakra said...

atw,, mungkin,, dlm situasi Islam blm tegak spt saat ini, spt yg diungkapkan oleh Assyahid SMK,

Maka oesaha kita dalam bagian ini (Revolusi Sosial), bolehlah kiranja dibagi dalam beberapa bagian, diantaranja jang teramat penting dan haroes kita perbintjangkan disini ialah Bagian Politik.

A. Hendaknja Oemmat Islam djangan ketinggalan dalam Badan-badan Perwakilan Ra’jat, moelai ditempat-tempat jang seketjil-ketjilnja (desa) sampai kepada Poesatnja, malahan hendaknja sampai poela kepada Madjlis Permoesjawaratan Ra’jat, jang bersifat legislatif (pemboeat hoekoem).

B. Selain daripada itoe, poen Oemmat Islam djangan sampai loepa kepada kewadjibannja exekutif (melakoekan hoekoem), djika sewaktoe-waktoe ada tempat ter-loeang baginja dan masjarakat menghendaki serta memanggilnja. Kedoea-doea tempat itoe (legislatif dan exekutif) sama-sama pentingnja. Marilah kita heningkan sebentar kedoea fasal ini.


selengkapnya...

waLlahu a'lam.
wassalam..

Anonymous said...

Ya, intinya adalah masalah sistem. Dalam sistem Islam, boleh jadi mekanisme (uslub) seperti pemilu, musyawarah, dll bisa berlaku. Tapi dalam sistem kafir TIDAK!

Hanya ada Ketaatan kepada amir Syar`i...

Anonymous said...

-bkutat dalam langkah-langkah penegakan syariah Islam, apapun caranya spanjang tidak ada larangan syar'i, adalah jihad.

-bcengkrama dengan ajaran Islam, yang praktis dan terakomodasi dalam sistem jahiliah juga bagus.

-langkah kecil dalam strategi besar,

-berpikir besar dengan (ulet-shabar) lalui tahapan kecil.

Agung Mukti said...

bukannya demokrasi yang paling mendasar adalah berhukum bukan dari Allah SWT. makanya ada leglislatif. kalo pake hukum Allah SWT ngapain ada legislatif segala? nah, pertanyaanya apakah Islam memerlugan fungsi leglislatif dalam menjalankan syariat islam. lantas apakah ulama beristihad sama dengan leglislatif atau sama dengan fungsi yudikatif? nah lo cuma orang Hukum yang tau ini (lebih spesifit hukum tata negara)

Cakra said...

Assalamu'alaykum wr wb

"bukannya demokrasi yang paling mendasar adalah berhukum bukan dari Allah SWT. makanya ada leglislatif."

betul tmn, fungsi legislasi dlm sebuah negara demokrasi memang utk membuat hukum, terlepas apakah hukum tersebut bersumber dari hawanafsunya sendiri atau memang bersumber pada hukum Allah SWT.

"apakah ulama beristihad sama dengan leglislatif atau sama dengan fungsi yudikatif?"

dalam pandangan saya pribadi, ijtihad dan ijma para ulama memiliki kesamaan dg fungsi legislasi, meskipun apa yg mereka lakukan bukan menciptakan hukum yg sama sekali baru, tapi mengambil ketetapan hukum dari sumber-sumber yg telah ada. krn itulah dlm organisasi2 atau jama'ah2 Islam kita biasa menemukan lembaga2 semacam dewan hisbah, ahlul halli wal aqdi (majelis syuro), majelis tarjih, dsb. komite2 ini memiliki fungsi legislasi, dlm pengertian tadi, bukan menciptakan, tapi mengambil dan menetapkan (istinbath).

WaLlohu a'lam
Wassalam

Anonymous said...

Demokrasi bukanlah dasar atau landasan, demokrasi bukan pula tujuan, demokrasi hanyalah salah satu jalan atau cara. Meski selalu dihadapkan pada banyak tantangan dan hambatan, penegakkan syari’at Islam melalui jalan demokrasi masih memiliki peluang dan harapan, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap berbagai kemenangan besar maupun kecil perjuangan penegakkan syari’at Islam melalui jalan demokrasi, khususnya di Indonesia.

Kata-yang menggelikan, "Demokrasi bukanlah dasar atau landasan, demokrasi bukan pula tujuan, demokrasi hanyalah salah satu jalan atau cara." , Kenyataanya demokrasi menjadi sistem yang mendasar dalam pemerintahan, dan landasan yang digunakan dalam pemerintahan adalah bersumber dari demokrasi itu sendiri, kemudian dikatakan " demokrasi bukan pula tujuan, demokrasi hanyalah salah satu jalan atau cara". kata2 seperti ini secara tidak langsung sebenarnya telah mengakui bahwa demokrasi memang cara yang tidak Islam (non-Islam), tidak pernah sampai pada tujuan (Islam Tegak) melalui cara kufur dan tidak pernah ada sejarahnya Islam ditegakkan dengan cara-cara kufur.


Ditutup dengan :
" kita juga tidak bisa menutup mata terhadap berbagai kemenangan besar maupun kecil perjuangan penegakkan syari’at Islam melalui jalan demokrasi"
Siapa yang menutup mata ? Tunjukkan sejarah bahwa Islam pernah diterapkan secara kaffah dalam sistem demokrasi !

Cakra said...

Kata-yang menggelikan, "Demokrasi bukanlah dasar atau landasan, demokrasi bukan pula tujuan, demokrasi hanyalah salah satu jalan atau cara." , Kenyataanya demokrasi menjadi sistem yang mendasar dalam pemerintahan, dan landasan yang digunakan dalam pemerintahan adalah bersumber dari demokrasi itu sendiri, kemudian dikatakan " demokrasi bukan pula tujuan, demokrasi hanyalah salah satu jalan atau cara". kata2 seperti ini secara tidak langsung sebenarnya telah mengakui bahwa demokrasi memang cara yang tidak Islam (non-Islam), tidak pernah sampai pada tujuan (Islam Tegak) melalui cara kufur dan tidak pernah ada sejarahnya Islam ditegakkan dengan cara-cara kufur.

Saya pikir apa yg ingin disampaikan dlm tulisan ini adl, bahwa ada bbrp praktek dlm demokrasi yg bersesuaian dg praktek2 yg diterima dlm Islam, tentu saja tdk seluruhnya, dan tdk pula dg maksud utk mengatakan bhw demokrasi = Islam. Silahkan diperiksa kembali, saya pikir ini juga telah ditegaskan dlm tulisan di atas. Jd, di satu sisi kesimpulan anda memang sama dg apa yg dimaksud oleh kalimat yg anda kutip di atas, tapi di sisi lain, jika anda memang bermaksud mengkontradiksikannya dg pendapat anda, jd aneh, krn justru itu yg dimaksud dlm kalimat tersebut :)

Ditutup dengan :
" kita juga tidak bisa menutup mata terhadap berbagai kemenangan besar maupun kecil perjuangan penegakkan syari’at Islam melalui jalan demokrasi"
Siapa yang menutup mata ? Tunjukkan sejarah bahwa Islam pernah diterapkan secara kaffah dalam sistem demokrasi !


Tenang bos, ga ada yg menuduh anda menutup mata, pertama krn saya tdk mengenal anda, dan ke-dua, krn saya juga tdk merasa bhw kita pernah berdebat ttg hal ini sehingga jika kata2 ini digunakan hrs merujuk pd anda :)

Saya pikir ini cuman persoalan salah paham mengenai istilah 'kemenangan' saja, bagi anda, kata 'menang' hrs selalu digunakan dlm konteks menang mutlak (Islam tegak secara kaffah), sedangkan "kemenangan besar atau kecil" dlm tulisan ini digunakan utk merujuk pd bbrp capaian yg telah ditunjukkan oleh kelompok2 yg berjuang melalui parlemen spt ditunjukkan dlm contoh.

Persoalannya, penilaian thd capaian2 itu bisa saja memang relatif, jika diukur dari tegaknya Islam secara kaffah, maka capaian2 itu memang tdk ada artinya, tapi jika diukur dari tdk mengerjakan apapun, maka menurut saya pribadi, ada bbrp hal yg sedikit/banyak memberikan keuntungan kpd ummat Islam.

Yang harus diperhatikan dlm tulisan ini secara keseluruhan juga adl, agar tidak disalahfahami, tidak ada upaya untuk menggiring opini pembaca kepada satu kesimpulan. Tulisan ini benar2 merupakan gambaran mengenai sebuah proses diskusi, yg memang tetap terbuka untuk diperdebatkan.. (salah satunya bisa anda ikuti di sini http://www.friendster.com/group-discussion/index.php?t=msg&th=2051445&start -org2 yg terlibat dlm diskusi di forum ini sebagian adl org2 yg secara langsung terlibat dlm diskusi2 sblmnya yg mengantarkan pd tulisan di atas, silahkan anda pelajari lagi baik2 diskursusnya agar anda tdk salah lagi memahami maksud tulisan ini)

Bagaimanapun, saya tdk melihat bahwa inti tulisan ini bnr2 bertentangan dg pendapat anda, dan ya, saya juga setuju bhw penegakan syari'at Islam secara utuh memang tdk bisa dilakukan melalui parlemen.

abasyah said...

Kupas tuntas Demokrasi dalam Islam
mudah2an bermanfaat bagi umat

http://haruskah-memilih.blogspot.com/

Admin Jku Online said...

Terimakasih akhi, meski agak terlambat (karena artikel ini sudah di-post 25 Mei 2007 yang lalu), tapi mudah-mudahan link-nya tetap bermanfaat untuk semua.

insidewinme said...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu