Friday, December 01, 2006

MENGAWAL BANGSA DAN NEGARA*

Oleh: Kolonel (Purn.) Y Herman Ibrahim - Penasehat JKU Bid. Polhukkam

Seorang filosof, Rene Descartes berkata “ Cogito Ergo Sum , aku berfikir maka aku ada”. Tak semua orang bisa dan mudah menangkap apa makna dan mengapa Descartes mengatakan kata-kata itu. Saya sendiri ingin melakukan interpretasi yang sederhana karena satu dan dua hal, pertama karena saya bukan seorang yang mampu memahami suatu pernyataan filosofis yang canggih dan rumit secara mendalam, kedua saya ingin tetap exist sebagai seorang manusia seperti yang diisyaratkan oleh Descartes.
Bagi saya, Descartes telah menegaskan bahwa kehadiran manusia di tengah lingkungan masyarakat dan lingkungan alamnya hanya akan diakui, berharga dan melengkapi jika dia berpikir. Manusia yang tidak berpikir tidak berpengaruh apapun kepada orang lain dan lingkungannya. Dia tidak memperoleh pengakuan dan penghargaan yang wajar, maka kehadirannya pun hanya berwujud fisik belaka yang tidak melengkapi, dan ketidakhadirannya juga tidak akan mengganjilkan. Ada dan tidaknya berpengaruh sama yakni tidak berarti apa-apa.
Tentu saya tidak sedang bicara ikhwal siapa diri saya. Saya ingin agar pernyataan Descartes itu ditarik ke dalam kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Saya mencoba melakukan abstraksi bahwa ‘Negara' dan ‘Bangsa' ini tidak beda dengan tubuh dan eksistensi manusia. Dalam kehidupan global kita ingin tetap exist , dihargai dan diakui oleh bangsa-bangsa dan negara-negara lain. Maka tidak bisa tidak; kita harus BERFIKIR sehingga hasil fikiran kita, karekter kita, budaya kita serta kekuatan kita sebagai bangsa dan negara bisa dihormati dan diperlukan di tengah kehidupan kesejagatan.

Negara Ideologis
Bagi saya negara harus punya ideologi. Banyak pendekar demokrasi mengatakan hanya Negara ‘Fasis' dan ‘Otoriter' yang memiliki ideologi. Mereka tidak percaya bahwa ideologi negara akan melindungi rakyat dan bersifat terbuka terhadap kontrol masyarakatnya. Para aktivis dan mereka yang mengira demokrasi tidak perlu ideologi telah menganggap demokrasi itu sendiri sebagai ideologi, padahal demokrasi bukanlah tujuan, demokrasi sebenarnya hanya salah satu dari sekian banyak instrumen guna mencapai tujuan.
Sebagai seorang muslim saya bahkan ingin menyampaikan bahwa tujuan hidup mengharapkan ridla Allah SWT yang dipandu oleh Aqidah dan ajaran Tauhid sebenarnya adalah sebuah ideologi yang memiliki nilai-nilai instrumental yakni Al Qur'an dan Al Hadist. Dalam perspektif negara bangsa yang heterogen, multi keyakinan, multi kultural dan multi pemahaman seyogyanya kita memiliki ideologi yang menjadi visi bersama. Kita harus faham ‘ke mana' Bangsa dan Negara ini akan kita bawa. Tanpa ideologi dan visi bersama, instrumen apapun yang kita gunakan hanya akan bias dan semakin jauh dari cita-cita bersama. Kehadiran kita hanya akan jadi Barang Mainan mengikuti arah angin yang dikehendaki oleh bangsa lain yang memiliki ideologi kuat dan mendominasi alam fikiran kita.
Sebuah negara ideologis niscaya akan mempunyai Konsep ( fikroh, hasil fikiran) dan Metoda (thoriqoh, cara) dalam politik internasionalnya., yang meliputi ekonomi, pertahanan dan kebudayaan. Negara demikian akan eksis dalam pergaulan antar bangsa dan negara di dunia. ‘Barat' memiliki ideologi yang jelas. Mereka menterjemahkan ideologinya ke dalam konsep (fikiran) dan metoda yang bersifat latent dan tetap. Manifestasinya adalah penyebaran ‘ Konsep Sekularisme' dan metodanya adalah Kolonialisme, Imperialisme dan berbagai bentuk dominasi politik, ekonomi, militer serta budaya .
Dari dulu konsep dan metoda Barat tidak berubah. Metoda Penjajahan dan Ambisi Penetratif serta Penaklukan tetap berlaku dengan wajah yang berbeda sesuai konteks dan perkembangan jaman. Bagi Barat tidak penting apa yang disebut otoriter, demokrasi dan lain sebagainya karena yang penting tujuan mereka tercapai yakni dominasi, hegemoni dan penaklukan atas negara-negara lain ( baca : ‘Timur'), khususnya negara-negara ketiga, di seluruh dunia.
Bandingkan dengan negara non-ideologis, yang konsepnya tidak jelas dan metodenya selalu berubah. Indonesia yang pernah berideologi Pancasila kemudian mencampakannya hanya beberapa saat setelah ‘Reformasi', semakin terjebak dan terjerumus ke dalam dominasi kapitalisme global. Dengan demikian nampak bangsa ini tidak memiliki tujuan dan arah yang tetap. Sejarah menunjukkan bahwa nyaris dalam periode Kabinet Parlementer yang saling menumbangkan dan enam Kepemimpinan Nasional, dua diantaranya yang kekuasaannya berjalan cukup lama, ternyata tidak pernah mampu menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara.

Garis dan Strategi Politik
Konsep dan metode tidak boleh berubah. Konsep Barat yang sekuler dan metodenya yang berwujud imperialisme selalu bersifat tetap, tapi tidak dengan garis politik dan strategi politiknya. Pada 2002 dan 2003, AS mengambil garis politik menduduki Irak dan Afghanistan . Untuk mendapatkan legitimasi internasional, AS menggunakan strategi politik musuh bersama, yakni terorisme, dan memaksakan demokrasi lewat pemilu di kedua negeri tersebut. Kendati sesungguhnya pemerintahan di kedua negara tersebut adalah “Boneka Amerika Serikat” tetapi Strategi Politik Demokrasi dan Pemilu seakan-akan membenarkan kehadiran AS yang sekuler dan imperialistik itu.
Bagaimana dengan Garis dan Strategi Politik Indonesia ? Kita belum punya pengalaman dan pengetahuan yang cukup bagaimana seperangkat nilai yang kita sebut Pancasila bisa menjadi ideologi yang kemudian memiliki konsep dan metode yang tetap. Kapitalisme maupun Sosialisme telah lama terinternalisasi sebagai ideologi, konsep dan metode yang “permanen”. Demikian juga dengan Islam sebagai suatu ideologi, tetapi tidak halnya dengan Pancasila.
Internal dalam negeri, Pancasila baru diterima secara formal tanpa penyerapan substansial yang mewujud menjadi ‘Karakter Bangsa'. Di Era ORBA kita pernah mencoba lewat sosialisasi P4, tetapi hasil penataran hanya berupa sertifikat yang diperlukan untuk mencapai suatu kepentingan administratif, seperti kenaikan pangkat, jabatan dan bepergian ke luar negeri. Di sisi eksternal, ideologi Pancasila tidak mampu menyebar ke negara-negara lain, karena tidak pernah punya konsep dan metode yang jelas. Ideologi Pancasila bukanlah salah satu Main Stream Ideologi Dunia, seperti halnya kapitalisme, sosialisme dan Islam. Pancasila hanyalah seperangkat nilai normatif yang tidak memiliki elemen-elemen instrumental. Bahkan menurut Dr. Satrio Arnanto, pakar Hukum Tata Negara UI, 380 produk hukum di bawah Pancasila adalah produk Kolonial Belanda. KITA TIDAK PERNAH BERFIKIR MAKA KITA TIDAK PERNAH ADA DAN DIPERHITUNGAKAN.

Mengawal Eksistensi Bangsa dan Negara
Banyak orang mengira bahwa hanya dengan pendekatan kesejahteraan ekonomi, negara itu akan tetap tegak dan terbebas dari berbagai konflik internal serta lolos dari berbagai dominasi asing. Pendapat itu mungkin benar tapi tidak menjadi satu-satunya alasan untuk menjadikan negeri ini bertahan dan tetap eksis di dunia internasional. Banyak negara kecil dan miskin tetapi mereka memiliki harga diri. Bagsa Sudan tidak akan pernah mau mengirimkan tenaga kerja wanitanya ke luar negeri karena ideologi Islam yang melarang wanita bepergian tanpa muhrim dan tanpa perlindungan. Kita tidak mampu melakukan hal yang sama karena kita tidak memiliki ideologi yang menjadi keyakinan bersama seluruh bangsa Indonesia .
Kita juga tidak bebas dari konflik internal karena kita tidak taat azas dan tidak menempatkan Pancasila sebagai seperangkat nilai ideologis yang mengatur permainan politik serta menjadi rujukan dalam manajemen konflik. Sementara itu kita tidak bisa menjadikan Pancasila sebagi inspirasi untuk membangun budaya tanding ( counter-culture ) terhadap arus budaya asing yang mendominasi sistem informasi internasional. Militer dan ekonomi kita sangat lemah sehingga kita tidak mampu mencegah berbagai bentuk penetrasi, campur tangan serta insurgensi di bagian-bagian wilayah dalam negeri terutama di Aceh, Papua dan Maluku. Kita harus membangun kekuatan atas kesadaran bersama dan kesadaran itu adalah ideologi.
Konflik di dunia dimulai dari perang pemikiran ( ghowzul-fikri, Ash-shira-al-fikri ). Kita harus mampu menghancurkan konsep dan metode politik Barat dengan melawan sekularisme (konsep) dan imperialisme (metode) mereka melalui konsep dan metode sendiri. Untuk itu kita memerlukan pemahaman atas berbagai masalah besar dunia serta menentukan posisi kita sebagai negara berdaulat. Selain itu kita harus kritis dan cerdas dalam melihat serta memahami berbagai kesepakatan internasional berupa konvensi dan keputusan PBB. Hendaknya kita sadar bahwa konvensi hukum internasional banyak berasal dari tradisi Kristen Eropa pada abad ke-16 Masehi, yang saat itu berupaya menghadang Islam (Khilafah Ustmaniyah). Barat telah memanipulasi istilah internasional dan universalisme bagi kepentingan mereka sendiri.
Indonesia berada di bagian wilayah konflik internasional, karena posisi strategisnya serta struktur penduduknya yang mayoritas Islam. Barat sangat berkepentingan dengan Indonesia maka sebenarnya mereka tidak menghendaki Indonesia menjadi negara yang solid, kuat baik secara ekonomi, politik dan kebudayaan. Konflik harus diciptakan dan pergolakan harus selalu terjadi di negeri-negeri seperti Indonesia . Indonesia yang kaya dengan sumber alam harus dibuat tidak memiliki pilihan kecuali tergantung pada modal dan teknologi asing (Barat). Negeri ini tidak boleh memiliki waktu untuk membangun kekuatannya sendiri untuk mempertahankan kemandirian dan kedaulatannya. Permohonan Indonesia untuk membangaun kerjasama militer permanen dengan AS menunjukan gejala ini dan ditolak oleh Donald Rumsfeld secara mengenaskan.
Kelicikan Barat nampak sekali tatkala AS menyatakan bahwa negerinya tidak boleh dikategorikan sebagai kawasan konflik mengikuti doktrin Monroe (1823). Konflik hanya dan harus berada di daerah lain dan tidak boleh terjadi di negeri sendiri. AS terperangah tatkala gedung WTC mendapat serangan langsung yang membuat George Walker Bush menyampaikan pidato politik yang sangat Ideologis IKUT BERSAMA KAMI ATAU MENJADI MUSUH KAMI.
Maka berbagai upaya perlu dilakukan bangsa ini, Pertama, kita harus waspada terhadap berbagai bentuk konvensi dan perundang-undangan internasional dan juga undang-undang dalam negeri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa undang-undang Perbankan, Penanaman Modal Asing, Kehutanan, Migas dan UU Sumber Daya Air banyak mengakomodasi kepentingan asing (Barat). Ke-dua, Menolak segala bentuk koalisi internasional dalam memerangi musuh yang didasari kepentingan sepihak. Koalisi tersebut telah menimbulkan PD I dan PD II. Kecenderungan saat ini nampaknya kita akan dibawa untuk berhadapan dengan negara-negara Timur yang mengembangkan teknologi nuklir hanya dengan alasan ideologi melawan terorisme. Ke-tiga , Indonesia harus melakukan diseminasi dan sosialisasi Pancasila sebagai ideologi Bangsa dengan lebih mengakomodir semangat ketimuran, khususnya Islam tanpa menciptakan diskriminasi. Ke-empat, Perlu adanya konsep dan metode yang tetap serta garis-garis dan strategi politik yang fleksibel dan kenyal terhadap berbagai perkembangan jaman. Ideologi Pancasila harus menjadi ideologi yang utuh, yaitu memiliki nilai-nilai normatif, filosofis dan operasional. Bisa disimpulkan bahwa dalam menjaga keutuhan bangsa kita harus berfikir dan menjalankan prinsip-prinsip kedaulatan serta membebaskan segala bentuk perundangan yang berbau kolonial dan feodalistik. KITA BERFIKIR DAN KITA ADA . Wallahu a'lam.
* Disarikan dari Silaturrahmi Gagasan Jaringan Komunikasi Ummat 18 Juni 2006

No comments: