Friday, December 01, 2006

Silaturrahmi: Mengelola Perbedaan, Membangun Pembelaan dan Memperkuat Pemberdayaan Ummat

Makna silaturahmi dapat berarti menghubungkan yang terputus, mengumpulkan yang berserakan, dan menghadirkan kembali yang telah tiada. Mudah-mudahan oleh perantara silaturahmi ini kita eratkan kembali tali persaudaraan yang tengah pudar.
Gerakan ummat seperti naik sepeda, harus selalu dikayuh untuk bergerak dan berubah, sedikit banyak mempengaruhi pola gerakan umat, kalau tidak dikayuh, ya jatuh. Sebagai salah satu upaya untuk ‘mengayuh sepeda ummat' itulah maka
di sini kita sharing khazanah intelektual kita, kita buka wacana atau ranah (domain) kita, baik ekonomi, politik maupun budaya dan pendidikan, yang menjadi area wacana ummat, dengan tidak keluar dari Islam dan bertujuan li-i'lai kalimatiLlah, dan berpedoman Quran-Sunnah, yang menjadi (model) kehidupan ideal kita.
Metode “Dakwah, Hijrah dan Jihad” sebagai model ideal gerakan Islam tentunya sudah tidak perlu diperdebatkan kembali, karena hal itu merupakan uswah terbaik yang diwariskan oleh Rasulullah saw bagi ummat Islam dalam rangka penegakkan syari'ah Islam, dan panduan pokok bagi setiap gerakan Islam dalam merumuskan strategi.
Perbedaan biasanya muncul pada penafsiran, implementasi ataupun reaktualisasi metode tersebut. Dalam hal ini, ada dua mainstream perjuangan yang mempengaruhi pola gerakan umat dunia, yang pertama bersumber dari ‘Jamaa'ah Islamiyyah', dan yang ke-dua ‘Ikhwanul Muslimin' di era 30/40-an, ketika dunia tengah mengakhiri PD II. Di samping itu, yang tidak kurang berpengaruh juga adalah revolusi Islam Iran di tahun 70-an, yang agak berbeda polanya.
Dua mainstream tadi sebagai referensi atau literatur perjuangan umat Islam, Jama'ah Islamiyyah dengan Syeikh Muhammad sebagai spirit dan Abul ‘ala al Maududi sebagai perancang gerakan berpengaruh terhadap hampir semua elemen perjuangan ummat di muka bumi. Di samping itu, Hasan al Bana mulai mereformasi pola pergerakan dan pemikirannya, dari tarbiyyah Islamiyyah sampai ke siyasah Islamiyyah , maka lahirlah Ikhwanul Muslimin yang mulai diekspor dan diadopsi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.
Ummat Islam di tengah Arus Globalisasi
Disadari atau tidak dan diakui atapun tidak, saat ini ummat Islam dan seluruh masyarakat dunia tengah menghadapi arus globalisasi yang semakin besar, dan situasi ini sangat mempengaruhi keadaan ummat Islam, baik secara ekonomi, sosial, politik maupun budaya.
Di antara tema besar yang mengiringi globalisasi ini adalah keamanan dan stabilitas sosial, karena dalam mengamankan arus kapital global yang terus bergerak dari satu negara ke negara lain, perlu keamanan dan stabilitas sosial.
Isu lain yang tak kalah penting adalah penyeragaman (homogenisasi) budaya (pola pikir dan pola hidup – keinginan, kepentingan dan kehidupan), karena dalam rangka mengamankan keinginan kaum kapitalis global dan/atau negara-negara kuat (baca: Barat) agar bisa bebas memutarkan modalnya, menyedot kekayaan alam dan manusia negara-negara dunia ke-tiga, tanpa resistensi dari masyarakat di negara-negara tersebut adalah dengan melakukan penyeragaman pola pikir dan pola hidup (kebudayaan) masyarakat tadi, sehingga sesuai dengan kepentingan dan pola perputaran modal kaum kapitalis internasional, sebagaimana pengalaman mereka selama masa kolonialisme – dan sedikitnya 20 % dari negara-negara dunia ke-tiga ini adalah negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim.
Kepentingan Barat untuk mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya atas dunia inilah yang melatarbelakangi di- blow up- nya isu terorisme, nuklir Iran, global security , dsb., yang didesiminasi di setiap negara di dunia, termasuk (dan mungkin terutama) di Indonesia .
Isu-isu semacam terorisme itu dikembangkan untuk mengantisipasi situasi yang digambarkan oleh pihak intelejen AS (dalam “Mapping the Global Future – Report of The National Intelligence Council's 2020 Project ) sebagai ‘most haunted globo-scenario'. Pertama adalah, fragility of financial system, yaitu kemungkinan dan potensi negara kaya penghasil SDA tidak melakukan pola ekonomi kapitalistik seperti yang diatur oleh IMF, WTO dan Bank Dunia, ketika sistem ekonomi syari'ah Islam akhirnya dijalankan oleh para pelaku ekonomi di negara muslim yang melihat, misalnya dalam kasus OPEC, kenapa OPEC yang mayoritas anggotanya adalah negara Timur Tengah atau negara berpenduduk mayoritas muslim, tapi penentuan harga atau cadangan minyak mereka justru justru diatur oleh orang lain.
Pada titik inilah kaum kapitalis internasional akan bekerja dengan cara apapun agar mereka tetap dapat mengontrol dan mengkooptasi negara-negara muslim agar jangan sampai pengaruh Islam mendapatkan ruang dalam pengaturan ekonomi dan politik di negara-negara tersebut, dan menggeser pola Barat (kapitalisme). Segala macam rekayasa akan mereka ciptakan, dari cara-cara hegemoni ekonomi, politik dan budaya (penyeragaman pola pikir dan pola hidup masyarakat serta negara), infiltrasi, invasi militer secara langsung dengan dalih demokrasi dan HAM, politik adu-domba (devide and rule) , sampai rekayasa peristiwa 11 September kemarin yang menjadi dalih AS untuk menciptakan musuh bersama (common enemy) bagi masyarakat dunia (termasuk ummat Islam), yaitu terrorisme, yang mereka arahkan terhadap apa yang mereka sebut sebagai kelompok Islam fundamentalis, radikal, militan, puritan, atau sebutan-sebutan lainnya, yaitu setiap kelompok ummat yang memperjuangkan penegakkan syari'ah Islam dalam setiap aspek kehidupan, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Situasi ke-dua yang dipandang oleh Barat (khususnya Amerika Serikat) dapat mengancam kelangsungan kekuasaan mereka atas negara-negara dunia ke-tiga (terutama negara-negara berpenduduk mayoritas Islam) adalah, ‘ economic effect of corruption', sebagaimana kita tahu, arus besar modal asing yang masuk ke Indonesia dan negara-negara dunia ke-tiga lainnya telah bertemu dengan rezim otoritarian di negara-negara tersebut, yang pada dasarnya diciptakan oleh Barat sendiri untuk melindungi kepentingan mereka, yaitu mengatasi resistensi masyarakat di negara-negara dunia ke-tiga yang dikorbankan dalam pelaksanaan sistem kapitalisme yang akumulatif, eksploitatif dan ekspansif. Pertemuan antara arus besar modal asing dengan rezim otoriter di negara-negara dunia ke-tiga ini telah melahirkan budaya dan sistem korupsi yang akut dalam birokrasi dan masyarakat di negara tersebut, dan pada gilirannya menghambat kelancaran perputaran modal di negara tadi, yang biasa mereka sebut dengan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) .
Masalah ke-tiga yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi kapitalistik adalah “ water resources and pollution” , masalah kerusakan dan berkurangnya sumber daya air serta meningkatnya polusi atau pencemaran lingkungan hidup. Telah menjadi kebiasaan dalam sistem kapitalisme, ketika suatu sumber daya dikonversi menjadi sebuah barang konsumsi, pada saat itu pula ia menghasilkan residu – menghasilkan polusi, pada saat sumber daya disedot habis-habisan, yang ada adalah kerusakan lingkungan.
Ke-empat adalah “possible shrinkage of foreign dirrect investment”, masalah hambatan dan penyusutan investasi asing langsung, yang tentunya akan berdampak besar pada kelangsungan dan kelancaran akumulasi dan ekspansi modal Barat. Penanaman modal asing di semua negara di dunia ini selalu mendapat hambatan sosial-budaya. Ketika kaum kapitalis akan berinvestasi misalnya di negara muslim, dengan pola investasi mereka – proyek-proyek mereka selalu mendapat hadangan dari sisi sosial budaya, seperti kasus produksi dan distribusi majalah Playboy di kita baru-baru ini. Dalam hal ini pula penyeragaman (homogenisasi) pola pikir dan pola hidup (budaya) masyarakat dunia ke-tiga – khususnya ummat Islam menjadi sangat signifikan bagi Barat, karena pola pikir dan pola hidup tentu saja berpengaruh besar terhadap pola konsumsi masyarakat.
Di sisi lain, masyarakat Islam dengan jati diri yang tegas dan paradigma keIslaman yang kuat akan memiliki independensi relatif dari ketergantungan (dependensi) dan subordinasi terhadap modal dan pola ekonomi Barat (kapitalisme). Negara yang benar-benar mendasarkan strategi pembangunannya pada Islam tidak mungkin akan mau membiayai pembangunannya dengan riba , padahal justru praktek ribawi inilah yang saat ini menjadi penopang utama kapitalisme, yaitu oligarkhi ekonomi – aliansi antara finance capital (perbankan, baik bank-bank nasional, multinasional, maupun global – seperti IMF dan World Bank) , industrial/manufacture capital (industri) , dan trading/merchants capital (industri perdagangan). Diantara tiga pilar oligarkhi ekonomi ini, kapital finansial (keuangan – perbankan) merupakan pilar utama yang menjadikan proses akumulasi dan ekspansi modal besar-besaran secara cepat dimungkinkan.
Contoh ‘ekstrim' benturan praktek keislaman dengan kepentingan modal asing adalah proses yang terjadi di Afghanistan di bawah rezim Islam Thaliban yang tidak mau tunduk terhadap kepentingan modal Barat (khususnya Amerika Serikat). Praktek-praktek ‘sederhana' yang pada akhirnya memicu kekalapan Amerika Serikat dan menyerang ummat Islam Afghanistan, diantaranya adalah penutupan bioskop-bioskop, keharusan bagi ummat Islam Afghanistan untuk berpakaian sesuai dengan ketentuan syara' , regulasi yang tegas terhadap arus modal asing yang ingin masuk ke Afghanistan, dan yang mungkin paling memuakkan Barat dari negara kecil dan miskin yang hancur akibat perang melawan penjajahan Uni Sovyet dan konflik antar faksi itu adalah kemandirian dan keengganan mereka untuk tergantung terhadap proyek riba Barat dalam membiayai pembangunan negara itu dengan menolak campur tangan dan intervensi IMF, World Bank serta instrumen-instrumen neo-liberal/kapitalisme lainnya. Oleh karena itu, bagi Barat, kebangkitan identitas dan kesadaran keislaman ummat Islam di berbagai negara merupakan ancaman serius bagi kelangsungan hegemoni, dominasi dan bahkan kelangsungan eksistensi peradaban Barat itu sendiri – sebagaimana terungkap dari thesis Huntington mengenai clash of civilization , yang pada hakikatnya merupakan ‘puncak gunung es' dari paranoia masyarakat Barat
Ke-lima, “HIV/AIDS and epidemic diseases, timbulnya wabah-wabah penyakit juga akan tetap menjadi masalah dan tantangan bagi efektivitas sistem ekonomi dan hegemoni kapitalis ke-depan. Selain itu, ke-enam, juga menjadi ancaman yaitu “unemployment, poverty, and social unrest”, sebagaimana kita ketahui, karena dengan sistem kapitalisme (tata ekonomi global saat ini) hanya menguntungkan para pemilik modal besar (terutama asing/Barat), maka ia tidak pernah bisa mengatasi masalah peningkatan pengangguran, kemiskinan, dan kualitas hidup yang rendah di semua negara dunia ke-tiga, bahkan di negara-negara mereka sendiri, yang pada gilirannya menimbulkan kegelisahan dan gejolak sosial di negara-negara tersebut dan mengancam baik kelancaran proses akumulasi dan ekspansi modal, kelangsungan rezim-rezim lokal/nasional maupun rezim kapitalisme global (hegemoni dan dominasi Barat) itu sendiri.
Kemudian yang terakhir adalah “energy consumption and prices”, perkembangan pesat sains dan teknologi yang teraplikasi dalam berbagai bidang kehidupan merupakan komoditas yang sangat bernilai tinggi bagi Barat. Hanya saja, penggunaan teknologi canggih dalam berbagai aspek kehidupan ini juga telah mengakibatkan eksploitasi dan pemborosan energi yang luar biasa, yang tentunya disumbangkan terutama oleh kelompok the haves dan industri-industri Barat yang sangat tergantung dan terobsesi terhadap inovasi komoditas-komoditas yang menguras sumber daya energi, karena hanya mereka yang memiliki kemampuan dan tidak merasa kesulitan untuk membeli dan membiayai pengeluaran untuk pemborosan dan konsumsi energi besar-besaran, dengan berbagai fasilitas, kecepatan akses, serta daya beli mereka atas komoditas-komoditas tersebut. Di kutub lain, di negara-negara miskin yang justru merupakan produsen utama sumber daya energi (migas) seperti Indonesia , kelangkaan energi telah menjadi hambatan dan ancaman yang manifest bagi kehidupan masyarakatnya. Seiring dengan semakin menipis dan langkanya cadangan sumber daya energi (migas) di negara-negara produsen minyak ini, harga migas dunia terus naik setiap tahunnya, yang memiliki snow ball effect terhadap peningkatan harga komoditas-komoditas lainnnya, karena energi (migas) merupakan bahan baku utama dalam setiap produksi, sehingga semakin mempersulit kehidupan rakyat terutama di negara-negara miskin yang mayoritas berpenduduk muslim, menurunkan tingkat konsumsi mereka, dan pada gilirannya menciptakan inflasi dan mengganggu efektivitas sistem liberalisme-kapitalisme itu sendiri.
Tentu saja masalah-masalah tersebut di atas tidak hanya menjadi ancaman bagi dominasi dan hegemoni kapitalisme global yang dimotori Amerika Serikat atas dunia Islam, tetapi juga merupakan isu krusial yang saat ini merupakan realitas dan tantangan bagi ummat Islam itu sendiri, oleh karena itu, untuk bisa membebaskan ummat dari posisi ketertindasan seperti ini perlu dirumuskan suatu pola gerakan yang tepat – khususnya bagi Jaringan Komunikasi Ummat – dalam menyikapi dan menghadapi tantangan-tantangan tadi.
Jaringan Komunikasi Ummat sebagai ‘ The Middle Pipe'
Pada saat ini di Indonesia dapat dikatakan terdapat dua mainstream pola gerakan yang muncul sebagai reaksi, atau mungkin juga dipengaruhi oleh kecenderungan tata dunia saat ini, pertama adalah pola pemberdayaan, yaitu mereka yang terkosentrasi dalam lembaga-lembaga ‘formal', hal ini dapat kita lihat dengan kelahiran DSUQ, Rumah Zakat, atau bahkan ide yang melatari pendirian semacam Bank Muamalat dan bank-bank ‘syari'ah' lainnya juga mendapatkan pengaruhnya dari ‘pola pemberdayaan' tadi.
Kemudian yang ke-dua adalah pola advokasi, yang sampai saat ini lebih didominasi oleh gerakan-gerakan berhaluan ‘kiri' – atau setidaknya kekiri-kirian (baca: liberal), biasanya berupa ornop-ornop – baik internasional, nasional maupun diantara keduanya.
Dua pola gerakan ini sampai saat ini masih terus bersaing dan ‘sayangnya' masih dalam posisi berhadapan, padahal, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan, keduanya juga sama-sama memiliki keinginan untuk memberdayakan dan membela rakyat (yang mayoritas adalah ummat Islam).
Membangun silaturahim sebetulnya bukan hanya muwajjahah dan musallamah , dalam hal ini, JKU diharapkan dapat menjadi semacam ‘ middle-pipe', menjadi semacam penterjemah ataupun jembatan ( bridging up the gap) di antara kedua kelompok ataupun pola tadi.
Secara filosofis ada dua jenis ‘ harokah' , yang “ nahtaju bihil-muslim , silaturahim dalam hal ini menjadi fasilitator bagi upaya ataupun rekayasa untuk memediasi ‘komunikasi' dan sharing (dialog) di antara sesama muslim yang berbeda-beda pola gerakan itu agar dapat saling belajar dan bahkan bekerjasama – menjadi middle pipe itu tadi. Atau ada juga yang ‘ la nahtaju bihil-muslim” , kita biarkan saja, karena pada akhirnya juga akan terjadi polarisasi dan kristalisasi, artinya kita melihat bahwa polarisasi dan perbedaan-perbedaan saat ini hanya merupakan bagian dari proses menuju kristalisasi bagi kelompok-kelompok yang pada dasarnya memiliki tujuan dan kepentingan serupa, pada saatnya mereka akan berkumpul di maqam -nya masing-masing.
Dalam hal ini, ada tiga pola sebaran yang bisa diadaptasi dalam mengembangkan jaringan, devolution of authority , delegation of power dan yang terakhir residual enabler . Maka pertanyaannya adalah ada di mana posisi JKU di antara dua ‘kutub' pola dan kecenderungan gerakan tadi? Jika melihat situasi dan pengkutuban baik secara global maupun kondisi internal ummat Islam, juga potensi yang dimiliki oleh para penggiat JKU, maka pola ataupun fungsi yang lebih potensial bagi JKU adalah berperan sebagai residual enabler , mengambil peranan yang belum banyak diperankan oleh elemen-elemen ummat lainnya – mengambil ‘ashobah , diantaranya adalah peranan sebagai the middle-pipe tadi, dengan menjadikan JKU sebagai bridging antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, antara satu tendensi dengan tendensi yang lain, sehingga tercipta dialog, solidaritas dan persaudaraan Islam yang kokoh. Dalam konteks yang lebih luas, misalnya saja dalam menyikapi dominasi, hegemoni dan upaya homogenisasi pola pikir serta kehidupan oleh Barat dan para pendukung unilateralis-nya terhadap masyarakat dunia ke-tiga (khususnya umat Islam), menjadi the middle-pipe berarti JKU memposisikan diri sebagai corong masyarakat yang terpinggirkan dan tertindas dalam sistem serta struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya global yang dominan saat ini (liberalisme-kapitalisme), agar Barat mengakui dan menghargai pluralitas (keragaman-keragaman) etnis, keragaman agama, keragaman budaya, juga keragaman cara pandang, cara mensikapi dan cara mempersepsikan ‘pembangunan', teknologi atau ‘kemajuan'.
Untuk memainkan peranan tersebut, maka Jaringan Komunikasi ini juga harus memiliki potensi atau kompetensi untuk memahami pola komunikasi dan memahami pola jaringan, baik itu yang berada di wilayah politik, wilayah ekonomi, wilayah sosial atau wilayah keilmuan. Dalam hal ini, diperlukan pemetaan yang cukup komprehensif akan perkembangan situasi dan kondisi gerakan-gerakan dan ummat Islam di ‘lapangan'. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan menginisiasi atau memfasilitasi semacam FGD (focus group discussion), sehingga kita dapat memetakan masalah dan menyusun kerangka gerak bersama.
Hal ini tidak berarti bahwa JKU tidak dapat memerankan fungsi-fungsi lainnya dalam konteks pembelaan (advokasi) dan pemberdayaan (empowerment) ummat, dengan berbagai isu besar yang melingkupi ummat, JKU juga harus dapat memainkan peranan lainnya – meskipun mungkin dengan porsi yang lebih kecil, karena setiap organisasi tentu saja tetap harus memiliki fungsi dan fokus utama gerakan, agar capaian yang hendak dituju terukur dan terarah.
Hal ini tampaknya masih merupakan ‘PR' yang masih harus terus didiskusikan dan dievaluasi kembali dalam praksisnya nanti, yaitu untuk mengkuantifikasi komunikasi kita – merumuskan tujuan, sasaran, strategi, serta bentuk komunikasi yang lebih terukur dan terarah, baik melalui ‘Silaturrahmi Gagasan' maupun umpan balik (feedback) yang kita dapatkan.
Wallahu a'lam bishshawab.
Disarikan dari Silaturrahmi Gagasan Jaringan Komunikasi Ummat pada 14 Mei 2006, dengan pembicara Muhammad Ikhsan, ST (Kepala Biro Litbang JKU)

No comments: