Sunday, May 11, 2008

Teka-teki Terorisme

----- Forwarded Message ----
From: akademi akk
To: khaira ummah
Sent: Tuesday, June 26, 2007 3:46:50 PM
Subject: [khaira-ummah] Fwd: Teka-teki mengenai terorisme di Indonesia


faridgaban <http://profiles. yahoo.com/ faridgaban> Sat Jun 23, 2007 8:18 pm
(PST) Dear Siska dan teman lain yang berminat soal terorisme,

[Ini lumayan panjang. Dan setelah menulis berjam-jam komentar ini,
saya hanya ingin minta imbalan ditraktir ice cappucino deket kantor
Siska. OK? Jadi, kapan kita bisa minum bareng?]

PENGANTAR

Saya harus mengaku pada Siska, saya mungkin tidak sebanyak Siska atau
Chairul Sabili atau Alfian Hamzah dalam melakukan penelusuran lapangan
soal terorisme, jika yang dimaksud adalah jalan ke lapangan.

Dalam kapasitas sebagai penjaga gawang rubrik nasional dan investigasi
Tempo, saya membuat penugasan, menerima laporan dan menulis banyak
tema terorisme dari para wartawan, termasuk Teror Bom Natal, yang
terjadi jauh sebelum Al Qaedah maupun Jemaah Islamiyah menjadi
kosakata sehari-hari.

Sekeluar dari Tempo, sepanjang tahun-tahun awal setelah Bom Bali, saya
mengumpulkan sebagian besar pemberitaan tentang kasus itu dari sumber
berita yang luas (termasuk juga laporan ICG-nya Sydney Jones) dan
mencoba mensitematisasikann ya. Bahkan saya pernah membuat milis khusus
untuk berita-berita teror di Indonesia. Ini sebuah proyek pribadi yang
lebih didorong keingintahuan untuk memahami fenomena terorisme di
Indonesia, tapi akhirnya harus saya sisihkan karena kesibukan lain.

Pesantren "Teroris" Ngruki saya kenal sejak SMP, akhir dasawarsa
1970-an, karena tak jauh dari kota kelahiran saya. Sepupu perempuan
saya bahkan mengajar di situ. Paman saya sendiri pernah menjadi
pengikut Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.

Beruntung pula saya menjadi salah satu pembaca pertama laporan
investigasi Alfian Hamzah tentang teror bom Makassar. Meski terbatas
di Makassar, Alfian telah membuktikan secara solid kebohongan polisi
dalam mengkaitkan ledakan bom di sana dengan Jemaah Islamiyah. Bahkan
lebih buruk, menjebloskan tersangka tak bersalah ke penjara.

Investigasi Alfian adalah bukti paling solid sejauh ini tentang adanya
konspirasi dalam tubuh kepolisian untuk membuat kesan bahwa Jemaah
Islamiyah adalah organisasi yang omnipotent (sangat digdaya) dan
omnipresent (ada di mana-mana). Sayang, tak ada koran di Makassar yang
mau memuat laporan Alfian itu, sehingga dia menerbitkannya sendiri
dalam versi fotokopi serta menjualnya di perempatan lampu merah!

Saya ada di lapangan ketika polisi menggerebek "teroris Wonosobo",
yang pernah saya tulis sebagai bentuk "publicity stunt" polisi berkat
bantuan awak ANTV.

Saya juga mewawancara dan mengenal secara pribadi beberapa alumni
Afghanistan, satu di antaranya seorang yang cukup senior untuk bisa
menjadi perekrut, lebih senior dari Nasir Abbas maupun Imam Samudra.

Meski begitu, saya tak ingin mengklaim memiliki pengetahuan sempurna,
baik tentang terorisme Indonesia maupun tentang Ngruki serta sepak
terjang Sungkar dan Baasyir.

SEBUAH PUZZLE LEBAR

Siska benar, rangkaian teror bom di Indonesia, bahkan di dunia, yang
dituduhkan kepada kelompok Islam, adalah semacam puzzle. Dan kita
masing-masing hanya mengetahui beberapa keping saja.

Sejauh ini polisilah yang memonopoli sebagian besar kepingan itu. Ini
sebagian karena minimnya investigasi independen (terutama di kalangan
media) terhadap apa yang dilakukan polisi. Sebaliknya dari itu, banyak
media justru menjadi corong polisi.

Maaf, meski saya tidak bisa menyebut Siska "sekadar corong", saya
setuju Chairul bahwa sebagian jawaban Siska (yang akan kita bahas
nanti) bersumber dari polisi, atau setidaknya dari pernyataan polisi
yang diterima tanpa verifikasi.

Saya bisa memahami dan bersimpati pada kesulitan Siska, atau wartawan
lain, untuk menyatukan puzzle itu.

Di tengah bombardemen klaim-klaim polisi, media sebenarnya keteteran
melakukan verifikasi, bahkan jika mau melakukannya. Suatu hal yang
semestinya kita akui saja secara terbuka dan jujur kepada pembaca/pemirsa.

Ada banyak sekali yang perlu diverifikasi. Dalam metode critical
thinking, kita bahkan sebenarnya layak untuk mempertanyakan "bukti
forensik" polisi, misalnya, sesuatu yang selama ini "terpaksa" kita
terima karena.

Kita (baik saya, Siska maupun wartawan lain) jelas tak memiliki akses
ke laboratorium, untuk menguji beberapa pertanyaan dasar, seperti:

- Apa sih sebenarnya bom yang meledak di Bali? Benarkah itu bom pupuk
yang dibeli Amrozi di Surabaya, seperti kata polisi?

- Bagaimana kepala Asmar Latin Sani bisa ditemukan utuh di kamar Hotel
Marriott?

- Peluru apa sih yang membunuh Azahari di Batu? Dia ditembak atau
bunuh diri?

- Apa yang sebenarnya terjadi di Wonosobo? Sebuah baku tembak atau
pembantaian sepihak oleh polisi?

Dan masih ada seribu satu pertanyaan serupa lagi, mengingat ada
ratusan penangkapan dalam lima tahun terakhir.

Terlalu banyak misteri dan kemungkinan, seperti yang tersirat dalam
jawaban Siska sendiri. Saya kira cukup wajar jika kita bertanya:

Dalam situasi yang serba mungkin itu kenapa polisi demikian yakin
dengan satu temuan tunggal, bahwa teror bom dilakukan Jemaah Islamiyah
yang omnipotent dan omnipresent?

Polisi, dan khususnya Detasemen 88, tidak menginginkan transparansi
dan akuntabilitas, bahkan untuk sesuatu urusan yang jelas. Pekan ini,
misalnya, Kapolri mengatakan "kontroversi penembakan Abu Dujana tak
perlu dikembangkan karena yang kita tangkap adalah teroris!"

Kata "teroris" seakan bisa membenarkan apa saja yang mau dilakukan
polisi. Sebuah sikap tidak transparan dan tidak akuntabel. Sangat
potensial mengandung penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi.

MOTIF, MOTIF DAN MOTIF

Dari komik "Detektif Conan" anak-anak, saya belajar bahwa setiap
penyidikan TKP (crime scene investigation) memiliki beberapa elemen:
pelaku, bukti (forensik, balistik maupun kesaksian), dan motif.

Sir Arthur Conan Doyle, pereka detektif terkenal Sherlock Holmes,
mengatakan "motif, motif dan motif". Motif merupakan elemen terpenting
dalam investigasi, kadang lebih penting dari pengakuan dan kesaksian,
untuk mengungkap siapa pelaku kejahatan. Siapa paling diuntungkan oleh
sebuah kejahatan?

Saya, misalnya, bisa saja mengaku membunuh, tapi jika pembunuhan itu
tidak bisa dijelaskan motifnya, tetap ada sebuah lubang menganga yang
membuat investigasi tidak tuntas. Namun, pada saat yang sama,
kecocokan motif saja tidak otomatis membuat seorang tertuduh pastilah
telah berbuat kejahatan.

Mengkaji motif kejahatan memiliki makna penting di sisi lain. Dia
menjadi bahan pembelajaran bagi publik untuk mencegah kejahatan serupa
terjadi. Sebagai contoh: jika terlalu banyak orang membunuh karena
faktor ekonomi, misalnya, meski pembunuhan itu sendiri tidak bisa
dibenarkan, masyarakat disadarkan tentang pentingnya memperbaiki
kondisi perekonomian.

Absennya motif, yang bisa dijelaskan secara tuntas dalam berbagai
peristiwa teror bom di Indonesia, yang paling membuat saya ragu teror
ini dilakukan dengan motif agama atau politik.

Ada beberapa point penting dari jawaban Siska yang perlu dibahas,
sebagian saya menyetujuinya, sebagian lain tidak:

JEMAAH ISLAMIYAH, SUNGKAR DAN BAASYIR

Siska:

- Jemaah Islamiyah itu ada, didirikan di Malaysia oleh Abdullah
Sungkar, teman Abu Bakar Baasyir.
- JI bukan organisasi yang berorientasi teror.

Farid Gaban:

Saya sedikit banyak tahu tentang Sungkar dan Baasyir sejak SMP,
terutama dari paman saya yang pernah terlibat dalam gerakan mereka. Di
zaman Orde Baru, setelah Sungkar dan Baasyir lari ke Malaysia akibat
prosekusi pemerintahan, paman saya ini tiga tahun mendekam di penjara
untuk sebuah tuduhan teror yang tak pernah dilakukannya. Dia masuk
penjara ketika istrinya sedang hamil tua.

Abu Bakar Baasyir sendiri mengatakan JI tidak ada, atau setidaknya dia
tidak merasa mendirikan organisasi itu. Paman saya juga tidak merasa
menjadi anggota organisasi semacam itu.

Tapi, taruhlah saya lebih percaya pada Siska ketimbang Baasyir dan
paman saya, pertanyaan pentingnya adalah benarkah JI secara
organisatoris melakukan kejahatan seperti dituduhkan?

(Kita nanti akan membahas lagi hal ini di pertanyaan nomor dua).

Meski Siska mengatakan JI bukan organisasi berorientasi teror, saya
melihat Siska membuat kesimpulan/kaitan yang jumping ketika
menjelaskan sepak terjang Sungkar dan Baasyir (30 tahun lalu) dengan
aksi teror di Indonesia pasca-reformasi, dan secara tersirat
menyimpulkan ini punya korelasi kejahatan yang langsung.

Siska benar ketika mengatakan Gerakan Abdullah Sungkar adalah
memperjuangkan negara Islam, atau tegaknya Syariah Islam.

Tapi, apakah itu sebuah kejahatan?

Saya pribadi tidak setuju pandangan politik dan keislaman Sungkar,
Baasyir dan paman saya, tapi saya tidak bisa menganggap gerakan mereka
itu sebagai kejahatan. Sama halnya saya tidak akan menganggap orang
yang berjuang untuk tegaknya provinsi Kristen, kapitalisme, sosialisme
dan komunisme di Indonesia adalah orang yang dengan sendirinya kriminal.

Di zaman Orde Baru, "mendirikan Negara Islam/Syariah" adalah
kejahatan. Baik Sungkar maupun Baasyir diprosekusi bukan karena
tindakan kriminal, tapi karena pandangan politiknya. Itu sendiri sudah
merupakan ketidakadilan Orde Baru. Sungkar, Baasyir dan paman saya
adalah korban dari teror negara.

Seperti Siska juga tahu, banyak orang Islam Indonesia, tidak hanya
dari Kelompok Sungkar, bersimpati kepada Muslim Afghanistan di bawah
pendudukan Soviet, atau pejuang Moro di Mindanau, atau pejuang
Palestina di Israel.

Banyak dari mereka, tak hanya Kelompok Sungkar, juga bersedia
berangkat untuk berperang, meski saya meragukan ketrampilan perang
mereka. (Seorang alumni Afghanistan mengatakan kepada saya, mujahid
dari Indonesia tidak pernah memiliki posisi yang penting di sana).

Bagaimanapun, saya tidak menganggap bersimpati, berperang,di
Afghanistan atau di Mindanau merupakan kejahatan, terutama kejahatan
yang bisa dijerat dengan KUHP Indonesia.

Siska menganggap itu sebagai kejahatan?

Lebih dari itu, berjuang di Afghanistan atau Moro (di satu pihak) dan
melakukan teror di Indonesia (di lain pihak) adalah dua hal yang tidak
ada hubungannya, terutama jika kita melihatnya dari segi hukum.

Jika seseorang dituduh melakukan teror di Indonesia, kita tidak bisa
otomatis mengatakan yakin mereka melakukan itu hanya karena mereka
pernah ke Afghanistan atau Mindanau.

AMBON-POSO DAN TEKNIK PIVOT DALAM PROPAGANDA

Menurut saya, kita perlu berhati-hati dengan serpihan-serpihan fakta
itu dan tidak membuat kaitan secara gampangan.

Sebab, di tingkat inilah, bukan fakta lapangan, sebenarnya propaganda
bekerja. Dalam propaganda dikenal teknik "pivot", sebuah analogi dalam
bidang mekanika mesin. Teknik ini mengkaitkan berbagai hal yang
mengorbit ke sebuah simpul (A pivot is that on which something turns).
Kaitan ini tidak dinyatakan secara eksplisit tapi karena diulang
terus-menerus akhirnya diterima oleh audiens sebagai korelasi langsung.

"Teror" adalah pivot itu, sebuah kata yang membundel beberapa kata
kunci seperti "Jemaah Islamiyah, Al Qaedah, Afghanistan, Irak, Moro,
Ambon, Poso, negara Islam, Syariah" seolah-olah semua kata itu
memiliki kaitan langsung dan otomatis.

Tentang Poso atau Ambon, walaupun saya pribadi lebih suka ada
penyelesaian hukum dan politik yang komprehensif, saya tak bisa
menyalahkan begitu saja sebagian orang Muslim yang bersimpati atau
berperang di pihak Muslim. Sama halnya, saya tidak bisa begitu saja
menyalahkan orang Kristen yang bersimpati atau berperang di pihak Kristen.

Konflik Ambon-Poso adalah konflik lokal yang tidak segera dibereskan.
Dalam spiral kekerasan seperti itu, konfrontasi antar penganut agama
tidak terhindarkan. Suatu hal yang menyedihkan, meski sebenarnya bisa
dihindari lebih awal.

Tapi, dalam berbagai pernyataan lima tahun terakhir ini polisi
mengkaitkan hampir secara langsung antara konflik di Ambon dan Poso
dengan Jemaah Islamiyah, karenanya dengan teror, dan sebaliknya.

Ada kecenderungan di sini polisi ingin menutupi ketidakmapuannya
menyelesaikan konflik sejak awal dengan mereduksi fenomena itu sebagai
"teror Islam". Juga ada kecenderungan untuk mengesankan bahwa hanya
simpati orang muslim sajalah yang merupakan teror, sementara
sebaliknya, dari kalangan Kristen, bukan teror.

Beberapa tahun lalu, Paul Wolfowitz (waktu itu Wakil Menteri
Pertahanan Amerika) dan Kepala BIN Hendropriyono mengatakan Al Qaedah
memiliki kamp latihan militer di Poso.

Di sini propaganda masuk ke level internasional. Ditambah lagi
kampanye beberapa pendeta Kristen Amerika, yang menyebut kasus Poso
sebagai "Christian Holocaust", maka lengkaplah: Al Qaedah, Jemaah
Islamiyah, teror dan "pembantaian sistematis terhadap orang Kristen".

Mereduksi kasus Ambon dan Poso sebagai fenomena "teror Islam" atau
"teror Al Qaedah" justru akan menjauhkan kita dari kemungkinan bisa
memahami akar sebenarnya konflik itu, dan menghalangi kita bisa
mencegah konflik serupa berulang di masa mendatang atau di tempat lain.

KETERLIBATAN JI SECARA ORGANISATORIS

Siska:

- Teror di Indonesia tidak dilakukan secara organisatoris oleh JI.
- Oleh karenanya, teror itu tidak bisa disebut terorisme JI.
- JI tidak sekuat yang dibayangkan media Barat (suatu jaringan
terorisme Asia tenggara).
- Tidak pernah ada satu garis komando khusus di JI.
- Tidak ada tokoh aktivis JI yang track record dan signifikansinya
dalam gerakan Islam kita kenali.

Farid Gaban:

Saya kira ini point terpenting dari kesimpulan penelusuran Siska. Saya
juga punya kesimpulan sama: tidak ada kaitan antara teror di Indonesia
dengan Jemaah Islamiyah (Gerakan Sungkar dan Baasyir) sebagai organisasi.

Itulah sebabnya, saya menilai upaya yang gegap-gempita, dari polisi
Indonesia dan Pemerintah Amerika/Australia, untuk mengkaitkan bom-bom
teror di sini dengan "Jemaah Islamiyah bin Al Qaedah" adalah tindakan
manipulatif, dan sarat dengan propaganda.

Manipulatif dan sarat propaganda pula usaha untuk mengesankan bahwa
Jemaah Islamiyah (Gerakan Sungkar/Baasyir) adalah sebuah organisasi
yang rapi, terstruktur, dengan satu komando khusus, omnipotent dan
omnipresent.

Struktur organisasi Jemaah Islamiyah seperti yang dimuat oleh Harian
Kompas dan Majalah Tempo pekan lalu adalah struktur yang direka
polisi. Kompas dan Tempo hanya memperkuat propaganda polisi.

Media Barat pun sebenarnya hanya menerima frame, tanpa verifikasi,
dari statement Departemen Luar Negeri Amerika, yang bisa kita baca
dalam website-nya, bahwa "Jemaah Islamiyah adalah organisasi yang
ingin mendirikan Kekhalifahan Islam se-Asia Tenggara dengan cara teror".

Statement Amerika ini diperkuat oleh "publicity stunt" polisi Indonesia.

Adegan penggerebegan di Bandung, Batu (Malang), Wonosobo dan terakhir
penangkapan Abu Dujana adalah adegan yang penuh "heroisme" dan
menggunakan kekuatan eksesif untuk memberi kesan bahwa yang ditangkap
dan dibunuh adalah orang-orang yang terlatih, bomb-loaded, cerdik, dan
sangat berbahaya, kaliber internasional ("Asia Tenggara").

Siska menyebut itu sebagai kebodohan polisi, saya justru melihatnya
sebagai kecerdikan polisi dalam memanipulasi publik.

Setiap kali penangkapan, polisi mengumumkan "buron nomor satu" untuk
memberi kesan penting: pertama Baasyir, lalu Azahari, terus Noordin
Top, kini Zarkasih, dan terakhir Abu Dujana.

Semua "buron nomor satu", meski dalam beberapa kasus yang
ditangkap/dibunuh adalah orang yang sehari-hari bekerja menjadi
penjahit, guru atau penjual kelontong keliling, dan dengan tuduhan
sesederhana "menyembunyikan tersangka teroris".

Setiap kali penggerebekan, polisi juga cerdik sekali memanfaatkan
televisi, terutama ANTV, sehingga wartawan sekaliber Siska pun
terkecoh melihat aksi polisi sebagai aksi teroris Azahari. (Kata
Siska: "Kita liat sendiri aksi heroik Azahari itu di ANTV.")

Dalam tayangan ANTV itu, seingat saya, pemirsa tidak pernah melihat
Azahari dalam keadaan hidup. Yang kita lihat adalah kesibukan para polisi.

Demikian pula ketika polisi menggerebeg "teroris Wonosobo", yang juga
ditayangkan secara "live" oleh ANTV. Mengamati langsung lokasi
penggerebegan dan mewawancara beberapa saksi di lapangan, saya
menyimpulkan, polisi jika mau bisa melumpuhkan tersangka (sekali lagi
tersangka) tanpa harus membunuhnya.

Tapi, yang dilakukan polisi adalah sebuah aksi heroik untuk memberi
kesan ada perlawanan maut dari dalam, meski dilihat secara seksama
tayangan ANTV itu sendiri bahkan tidak menunjukkan adanya perlawanan.

Penggerebegan yang heroik ini selalu menjadi perhatian media
internasional yang pada gilirannya memberi kesempatan kepada John
Howard dan George Bush untuk tampil pula menjadi pahlawan bagi
publiknya, menunjukkan "bukti otentik" keberadaan "Jemaah Islamiyah
bin Al Qaedah" dan karenanya memberi justifikasi pendudukan Irak dan
Afghanistan.

Teknik Pivot. Al Qaedah, Jemaah Islamiyah, teror, Afghanistan, Irak,
Moro, Poso, Ambon, dan syariah.

MOTIF POLITIK TEROR BOM

Siska:

- Susah dijawab pertanyaan apakah aksi teror di Indonesia sesuai
dengan motif politik JI.
- Awalnya para aktivis JI dalam fase kebingungan, sebab
setelah Sungkar organisasi ini hilang kendali. Baasyir yang ditunjuk
sebagai pengganti Sungkar, tidak terlalu tegas.

Farid Gaban:

Terlalu banyak kemungkinan bisa terjadi dari "para aktivis yang
bingung" dan sebuah organisasi yang "hilang kendali" (30 tahun lalu).
Terlebih lagi jika organisasi itu "tidak memiliki sistem komando
khusus". Random.

Siska mengatakan para aktivis JI kontemporer kemungkinan dipengaruhi
oleh fatwa Usamah bin Laden. Tapi, menurut saya, ini kaitan yang
jumping kecuali di awal kita sudah punya anggapan (yang menurut saya
prematur) bahwa Jemaah Islamiyah adalah organisasi cabang Al Qaedah di
Asia Tenggara.

Saya tidak mau berspekulasi di sini, karena saya pun tidak tahu persis
motif politik teror-teror bom yang Siska sebut dilakukan oleh "aktivis
yang bingung", dalam organisasi yang "hilang kendali" (30 tahun lalu)
dan "tidak memiliki komando khusus" itu.

Ada terlalu banyak kemungkinan di sini. Perlu ada satu sesi
investigasi lain.

Satu-satunya kesimpulan yang bisa ditarik sekarang ini: meski ada
banyak pertanyaan tak terjawab, jelas sekali ada UPAYA SENGAJA untuk
merujuk hanya ke sebuah kesimpulan saja, bahwa ini dilakukan Jemaah
Islamiyah, suatu hal yang Siska sendiri tidak setujui.

PERTANYAAN SELEBIHNYA DAN SEBUAH TARUHAN BESAR

Saya tidak melihat Siska punya jawaban pasti terhadap pertanyaan
selebihnya. Saya pun tidak. Kita sama-sama tidak memiliki akses
independen pada bukti-bukti keras (hard evidences). Yang ada hanya
bukti tak langsung (circumstansial evidences), itupun sebagian besar
dimonopoli polisi.

Jika saya menulis tentang hal ini, saya akan mengaku terus terang
kepada pembaca bahwa ada banyak hal yang "unverified" dan "yet to be
verified" dalam kasus terorisme di Indonesia.

Saya tidak ingin menjadi sok tahu dalam hal ini.

Beberapa bulan lalu kita ingat kasus jatuhnya Adam Air. Mengutip
sebuah klaim yang tanpa verifikasi, seluruh media lokal dan
internasional, terkecoh tentang lokasi jatuhnya pesawat yang ternyata
bukan.

Memberitakan secara gegabah klaim polisi dalam kasus terorisme punya
taruhan yang lebih besar dan berbahaya ketimbang klaim berita kecelakaan:

- Potensial memperuncing ketegangan antar-agama
- Menjustifikasi penindasan hak asasi manusia
- Menjustifikasi manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan

Terlalu besar taruhannya bagi bangsa ini.

Salam,
Farid Gaban

No comments: