Thursday, January 12, 2006

Fikrah

Dunia Islam vs Politik AmerikaZ
Drs. Riza Sihbudi, APU*

Peran negara-negara Barat dalam persoalan politik dan ekonomi di dunia Islam lebih banyak diwarnai oleh dominannya campur tangan Amerika Serikat (AS). Hal ini, terutama, berkaitan dengan "keberhasilan" Washington dalam penghancuran Irak (2003 s.d. sekarang –red), Afghanistan (2002), dan sebelumnya, pengusiran pasukan Irak di bumi Kuwait (1990-1991), serta dalam mensponsori ditandatanganinya perjanjian "perdamaian" antara Israel dan negara-negara Arab garis depan (front line states), yaitu Mesir, Palestina dan Yordania. Namun, campur tangan politik AS di Timur Tengah tidak selamanya berjalan mulus. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini terlihat suatu fenomena di mana semakin banyak negara di Dunia Islam, termasuk para sekutu AS sendiri, yang mulai menolak dominasi dan hegemoni politik Washington.
Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba membahas fenomena campur tangan dan hegemoni politik AS di dunia Islam. Tulisan ini akan dimulai dengan uraian tentang bagaimana hegemoni dan dominasi politik AS di Dunia Islam yang antara lain terlihat dari terwujudnya perjanjian damai Arab-Israel; serta kebijakan AS untuk mengucilkan Iran, Libya, dan Irak. Kemudian akan berturut-turut dibahas mengenai kebijakan AS yang sangat pro-zionisme dan sangat anti-Islam; serta bagaimana ummat Islam harus bersikap menghadapi hegemoni politik AS itu.

Hegemoni AS
Beberapa tahun silam, diadakan penandatanganan perjanjian perdamaian antara Palestina-Israel (1992) dan Yordania-Israel (26 Oktober 1994) yang disponsori AS. Sebelumnya, Mesir juga sudah terlebih dulu berdamai dengan Israel (1979). Dari satu sisi, perdamaian Arab-Israel bias dianggap "kejadian bersejarah" karena sejak penandatanganan perjanjian itu kedua belah pihak secara resmi mengakhiri permusuhan yang sudah berlangsung sekitar setengah abad. Bagi Yordania, misalnya, khususnya bagi (almarhum) Raja Hussein bin Talal waktu itu, perdamaian dengan Israel jelas sangat menguntungkan, terutama dari segi perhitungan praktis dan jangka pendek. Dengan berdamai dengan Israel, Yordania berharap akan diterima kembali oleh kalangan Negara-negara Barat yang telah sempat mengucilkannya akibat dukungan yang diberikan Raja Hussein pada presiden Irak (waktu itu) Saddam Hussein selama berkobar krisis dan perang Kuwait (perang Teluk II, 1990-1991). Waktu itu Washington menjanjikan akan menghapuskan utang Yordania pada AS yang berjumlah puluhan milyar dollar, setelah ditandanganinya perjanjian damai Amman-Tel Aviv. Bagi Yordania yang menghadapi problem ekonomi –sebagian besar karena dampak perang Teluk II- janji AS itu cukup menarik. Bagi Raja Hussein pribadi, ia berharap banyak warga Yordania yang keturunan Palestina di manapun mereka mendukung langkah Hussein itu, karena Presiden Yasser Arafat dan Otoritas Palestinanya juga sudah berdamai dengan Israel.
Akan tetapi yang paling diuntungkan dari setiap "perjanjian damai" Arab-Israel, tidak lain dari AS dan Israel sendiri. Bagi AS, peristiwa itu semakin meneguhkan dominasi dan hegemoni politiknya di Timur Tengah, khususnya Dunia Arab. Pada saat itu bias dikatakan tidak ada negara Arab yang berani melawan AS. Memang masih ada Sudan, Libya, dan Irak. Namun ketiganya masih harus terus menghadapi tekanan yang luar biasa kerasnya dari AS dan sekutunya. "Orde DUnia Baru" yang muncul pasca Perang Dingin memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi AS untuk memanfaatkan PBB berikut segala perangkatnya guna memaksakan kehendak Washington. Atas nama PBB, misalnya, AS "berhasil" menghancurkan Afghanistan dan Irak, mengucilkan Iran, serta membungkam Libya. Sementara itu, Sudan –yang sejak 1993 dimasukkan oleh AS dalam daftar negara-negara "pendukung terorisme" internasional hanya karena menerapkan hokum Islam – terus dibiarkan menghadapi bencana kelaparan dan perang saudara selama hokum Islam masih diberlakukan oleh pemerintah Jendral Omar Bashir[3]
"Politik Pengucilan" –berupa sanksi dan embargo – yang dilakukan AS dan PBB terhadap Iran dan Libya serta invasi dan pendudukan atas Irak cenderung terus dilakukan, kendati Negara-negara itu sebelumnya sudah bersedia mematuhi hampir semua resolusi PBB. Sementara itu, sampai pertengahan 2003 ini, Iran menjadi satu-satunya Negara Timur Tengah non-Arab yang masih menolak segala bentuk kompromi dengan Israel. Oleh sebab itu, AS pun menekan para sekutu Baratnya untuk tidak menjalin kerjasama apapun dengan Teheran. AS juga terus giat berusaha menjatuhkan pemerintahan Republik Islam di Iran, untuk digantikan dengan para pendukung bekas Syah atau kaum Mujahidin Khalq yang sekuler (komunis –red.). terhadap Kuwait, AS – yang merasa paling berjasa dalam menyelamatkan monarki itu- pun sudah berhasil menekan Emir Syekh Jaber al-Sabah agar segera membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Kuwait (juga Negara-negara monarki di Teluk Parsi lainnya) waktu itu sudah menyatakan siap membuka hubungan dengan Israel.
Hegemoni politik AS di Timur Tengah juga terlihat jelas dari penyelenggaraan KTT Ekonomi Timur Tengah dan Afrika Utara (the Middle East and North Africa [MENA] Economic Summit) secara rutin yang pertama di Cassablanca, Maroko (Oktober 1994) yang berlangsung tidak lama sesudah penadatanganan perjanjian damai Yordania-Israel. Konfrensi yang dihadiri semua Negara Arab sekutu AS dan Israel ini resminya memang membahas prospek kerjasama ekonomi regional. Namun, pesan politis dari KTT MENA sebenarnya adalah penegasan bahwa Israel sejak saat itu sudah diterima oleh para tetangga Arabnya.

Kebijakan Pro-Zionisme
Hegemoni dan dominasi politik AS di Timur Tengah tidak hanya terlihat dari tercapainya "perdamaian" antara Mesir-Palestina-Yordania dengan Israel, namun juga terlihat dari upayanya mengucilkan Iran, Irak, Libya maupun Sudan. Di depan Kongres Yahudi sedunia, 30 April 1995, misalnya, Presiden AS menyatakan akan memutuskan segala bentuk hubungan perdagangan dan investasi AS dengan Iran, termasuk pembelian minyak dari Iran yang mencapai nilai 4 milyar dolar per tahun. Dua alasan yang dikemukakan adalah; pertama, Iran dituduh sebagai Negara pendukung "terorisme" internasional; ke-dua, Iran merupakan Negara yang tengah giat mengembangkan senjata nuklir. Oleh sebab itu, AS pun berusaha membujuk dan menekan Negara-negara lain agar mengikuti jejak AS dalam melancarkan embargo ekonomi terhadap Teheran. Namun, sejumlah Negara – seperti Uni Eropa, Australia, Rusia, Pakistan dan Malaysia – menyatakan tidak bersedia mengikuti kemauan AS. Waktu itu adalah hanya Arab Saudi yang menyatakan akan mendukung AS.
Konlik AS-Iran sebenarnya memang bukan hal baru. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Gedung Putih masih menympn kaum mullah yang berkuasa di Iran, karena AS pernah "dipermalukan" Iran. Pertama, tergulingnya Dinasti Pahlevi (1979) yang mengakibatkan hilangnya sekutu dan basis utama AS di kawasan Teluk Parsi. Ke-dua, kegagalan Gedung Putih dalam membebaskan sekitar 50 diplomat mereka yang disandera di Kedubes AS di Teheran (1980) yang menjadi salah satu penyebab kegagalan Jimmy Carter – dari Partai Demokrat – dalam usaha terpilih kembali sebagai presiden AS. Ke-tiga, terbongkarnya skandal "Iran-gate" – yaitu, penjualan senjata AS secara rahasia ke Iran yang keuntungannya disumbangkan kepada para pemberontak Contra di Nikaragua (1986) – yang membuat (Presiden AS waktu itu) Ronald Reagan hampir diajukan ke pengadilan.
Sejak berkuasanya kaum mullah di Teheran, tidak ada hubungan diplomatik antara AS dengan Iran. Namun hubungan ekonomi keduanya terus berlanjut. Bahkan AS disebut-sebut sebagai pembeli minyak Iran terbesar ke-tiga setelah Jepang dan Jerman. Secara politispun, hubungan kedua Negara sudah mulai membaik, terutama sejak wafatnya Imam Khomeini dan tampilnya Rafsanjani – yang dikenal sebagai mullah "pragmatis" – sebagai presiden (1998-1992; 1993-1997), yang disusul Mohammad Khatami – yang dikenal sebagai tokoh refoemis – sebagai presiden Iran sejak 1997. pendekatan politik Iran – AS tampak mulai intensif ketika Teheran mengambil posisi netral sewaktu berkobar Perang Kuwait (Perang Teluk II), karena waktu itu Washington sangat khawatir jika Teheran ikut berperang di pihak Baghdad. Namun, hubungan kedua negara kembali mendingin akibat penolakan Iran terhadap kehadiran militer AS – dan sebaliknya, penolakan AS terhadap keikutsertaan Iran dalam pengaturan keamanan (security arrangement) – di kawasan Teluk Parsi pasca Perang Teluk II.
Puncak kemarahan Washington adalah sikap Tehran yang menentang proses "perdamaian" Arab-Israel yang disponsori AS. Pasalnya, posisi Iran sebagai najor-power (kekuatan-menengah) di kawasan Timur Tengah dan belakangan Asia Tengah semakin sulit untuk diabaikan. Setelah berakhirnya perang Iran-Irak (Perang Teluk I, 1980-1988). Tehran memang secara diam-diam berhasil membangun kembali kekuatan militernya, dan di bidang poltitik regional pun mereka secara perlahan-lahan berhasil memperbaiki hubungannya dengan para tetangga Arabnya, seperti Kuwait, Qatar, dan bahkan Mesir. Lebih dari tiu, Tehran tengah berupaya membangun "poros" Iran-India-Cina guna menghadapi apa yang disebut sebagai "hegemonisme Barat" (Western hegemonism) di kawasan ini[4]. Karenanya, bias dimengerti jika Gedung Putih kemudian gusar dengan politik kaum mullah di Tehran.
Tuduhan AS bahwa Tehran tengah mengembangkan senjata nuklir, oleh sebab itu perlu dicegah kemungkinan Iran menjadi Negara nuklir. Sebenarnya justru semakin memperjelas politik standar ganda AS di Timur Tengah. Di satu sisi AS membiarkan Israel meningkatkan kemampuan nuklinya, tapi di sisi lain AS mencegah Iran (dan Negara-negara Arab) agar tidak memiliki senjata pemusnah massal itu. Sikap AS itu justru membangkitkan antipati Negara-negara sekutunya yang masih memiliki "harga diri" di kawasan ini. Mesir misalnya, kendati sudah berdamai dengan Israel, dan menjadi Negara Arab penerima bantuan terbesar dari AS, namun menunjukkan keengganannya menandatangani NPT selama Israel juga tidak mau melakukannya. Padahal AS terus menerus menekan Mesir, tetapi sebaliknya mendukung sikap Israel yang menolak NPT. Sejumlah Negara Arab lain sekutu AS pada akhirnya memang mau menandatangani NPT, namun Mesir tetap tidak mau mengubah pendiriannya. Berbeda dengan negara-negara Arab sekutu AS, Iran memang tidak mudah diintimidasi begitu saja. Anehnya kendati Tehran sudah bersedia menandatangani NPT, tapi Iran justru yang paling ditekan AS. Padahal menurut sebagian pakar Barat, kemampuan Iran sendiri untuk memproduksi senjata nuklir masih sangat diragukan. Setelah gagal membuktikan keberadaan senjata pemusnah massal (WMD) di Irak yang sebelumnya dijadikan alasan utama untuk melancarkan invasi menggulingkan Presiden Saddam Hussein, AS tampaknya berusaha mengalihkan perhatian dengan menjadikan Iran sebagai sasaran berikutnya.
Mengapa Iran juga dituduh sebagai pendukung "terorisme"? ini sebenarnya "lagu lama" yang didendangkan Gedung Putih, walaupun bersikap sangat subjektif. Kendati AS selalu menuduh Iran sebagai sponsor "terorisme", ternyata belum sekalipun AS mampu membuktikannya, jika dukungan Irak pada para pejuang Hizbulllah di Lebanon dikategorikan sebagai dukungan terhadap "terorisme internasional", bagaimana menyebut dukungan AS kepada kelompok Contra Nikaragua pada pertengahan 1980-an? Bukankah Contra dan Hizbullah sama-sama sebagai kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan? Lagi pula, sampai saat ini PBB sendiri belum berhasil menemukan definisi tentang "terorisme". Selain Irak, contoh lainnya adalah Suriah. Selama ini Suriah, oleh AS, dimasukkan sebagai daftar pendukung "terorisme". Ketika ikut mendukung AS dalam Perang Teluk II, Suriah dikeluarkan dari daftar itu. Namun dalam daftar baru yang dikeluarkan AS, suriah bersama Iran, Irak, Libya dan Sudan, kembali dimasukkan sebagai pendukung "terorisme". Ini karena sikap Suriah tidak mau tunduk pada kemauan AS agar berdamai dengan Israel, sesuai dengan prasyarat yang diajukan oleh Israel.
Ketika hampir seluruh rakyat dan pemimpin AS melampiaskan kemarahannya terhadap pemerintahan revolusioner Iran, berkenaan dengan terjadinya peristiwa penyanderaan 50 diplomat AS di gedung kedubes mereka di Teheran, November 1979, ada sebuah joke menarik, tetapi secara substansial mengandung kebenaran yaitu: "Mengapa AS marah kepada Iran hanya karena 50 orang warganya disandera, tapi justru tidak berkutik menghadapi realita bahwa seluruh warga AS dari dulu hingga sekarang menjadi "sandera" penguasa Israel. Oleh sebab itu, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan jika AS selalu menjatuhkan hak vetonya terhadap semua rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang dianggap merugikan Israel, kendati para anggota (tetap dan tidak tetap) DK PBB lainnya menyetujuinya. Dan, karena menjadi "sandera" Israel itulah, AS cenderung akan selalu membenarkan dan melindungi apapun langkah yang ditempuh Tel Aviv, kendati harus "melawan" opini serta tat karma politik internasional.
Menurt doktrin Israel first, dasar utama dari kebijakan AS di Timur Tengah adalah mendukung dan melindungi kepentingan Israel. Karenanya, tidak akan pernah sekalipun seorang presiden AS yang berani meninggalkan Israel.[5] Itulah sebabnya mengapa di depan kongres Yahudi sedunia para pemimpin AS selalu mengeluarkan keputusan yang merugikan Negara-negara Islam, dan selalu menjatuhkan vetonya terhadap rancangan resolusi DK PBB yang dianggap merugikan Israel, yang juga tentu saja demi meraih dukungan dan simpati yang lebih luas dari kalangan Yahudi AS. Dan,meningkatkan dukungan dari kalangan lobi Yahudi, khususnya yang tergabung dalam AIPAC (American-Israeli Political Action Commitee), tentu sangat diperlukan. Sandra Mackey[6] menyebut AIPAC sebagai "the most powerful lobby in Washington." Veto AS itu menunjukkan bahwa AS tetap konsisten dalam melaksanakan kebijakannya di Timur Tengah, khususnya dalam melindungi kepentingan Israel. Apalagi sejak 14 Mei 1988, AS dan Israel sudah menandatangani perjanjian strategis jangka panjang. Di samping itu, seperti yang diungkapkan Mackey, kebijakan Washington yang semakin pro-Israel tampak mempunyai kaitan yang erat dengan gejala kebangkitan fundamentalisme Kristen di AS. Ironisnya, kata Mackey, mereka (kaum fundamentalis Kristen AS –red.) justru lebih keras dalam mendukung dan membela nasionalisme Zionis, ketimbang sebagian warga Israel sendiri. Bagi mereka Israel bukan sekedar nation-state, melainkan perwujudan pesan dari Biblical. Karenanya, mendukung Israel bukan hanya menjadi kewajiban politik tetapi juga moral. Sebaliknya, menentang kebijakan Israel – terlepas dari apakah itu menciptakan kestabilan atau justru ketidak-stabilan di Timur Tengah sama artinya dengan "menentang" tuhan.

Benarkah AS Tidak Anti-Islam?
Seorang teman non-Islam yang mengadakan riset di salah satu negara Asia, mengatakan dia yakin kalau AS di bawah Presiden George W. Bush, khususnya pasca peristiwa 11 September 2001, memang menjalankan kebijakan luar negeri yang jelas-jelas anti-Islam. Di negara yang ia teliti, katanya, pemerintah AS membiarkan begitu saja berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan rezim setempat terhadap warga muslim. Tapi, jika ada seorang warga muslim yang melakukan tindak kekerasan, ia langsung dicap sebagai teroris (untuk kasus yang masih relatif dekat, ambil contoh kasus pembantaian warga muslim Muangthay oleh aparat keamanan setempat, dan berbagai kasus lainnya yang menimpa ummat Islam di seluruh penjuru dunia – tidak terkecuali di AS dan negara-negara Barat lainnya yang menganut demokrasi-liberal –red).
Jika informasi di atas berasal dari seorang muslim, barang kali bisa dianggap sebagai suatu yang bias dan emosional. Hal senada dikemukakan oleh seorang pakar politik Jerman, yang tulisannya dimuat sebuah surat kabar Jakarta. Ia secara gamblang menyatakan bahwa AS dengan sengaja membiarkan terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Israel terhadap warga Palestina. Seorang kenalan lain menceritakan bagaimana seorang teman yang bekerja di kedubes AS dipecat tanpa alasan apapun, kecuali bahawa ia mengenakan jilbab.
Sebenarnya itu bukan cerita baru. Tapi, di bawah kepemimpinan Bush, sikap anti-Islam yang dikembangkan rezim AS tampaknya semakin menjadi-jadi dan cenderung melampaui batas. Jerman bahkan dikabarkan mengatakan – kendati kemudian dibantah – bahwa apa yang dilakukan Bush sekarang dengan kampanye anti-terorismenya (termasuk dengan terus mengintimidasi Irak dan negara-negara Muslim lainnya). Sudah mendekati apa yang pernah dilakukan pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler pada masa lalu[7]. Tudingan ke arah Bush, juga muncul dari dalam negaranya sendiri, ketika mantan presiden AS Jimmy Carter yang dikenal luas menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, menuduh Bush telah menjalankan kebijakan luar negeri yang bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Menurut Carter, Bush telah menyalahgunakan perang melawan terorisme, dan karenanya reputasi AS sebagai yang terbaik dalam soal HAM dan demokrasi pun terancam pudar.
Berulangkali Bush mengatakan bahwa perangnya melawan terorisme bukan merupakan perang melawan Islam. Lalu, ia pun getol mengunjungi sejumlah Islamic Center di negaranya. Dan ia dengan menggebu-gebu membujuk sambil mengancam negara-negara Arab/Muslim juga negara-negara non-muslim serta PBB supaya mendukung nafsu perangnya melawan Saddam Hussein yang gagal digulingkan oleh bapaknya (Bush senior). Berbagai daftar "dosa" Saddam pun disebar-luaskan, dari menolak mematuhi Resolusi PBB, menumpuk senjata pemusnah massal, hingga keterkaitannya dengan jaringan kelompok Al-Qaeda pimpinan Usamah bin Ladin. Arab Saudi yang sebelumnya menentang invasi AS ke Irak karena sadar 11 tahun silam – terpaksa ikut mendukung, lantaran takut akan dimasukkan ke dalam kategori "negara paling berbahaya" bagi AS.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah Bush "hanya" tengah memerangi terorisme internasional, dan tidak memerangi Islam? Jika benar, pertanyaan berikutnya adalah: pertama, mengapa jika hanya untuk memburu seorang Usamah Bin Ladin dan Mullah Umar, ia rela membantai ribuan warga Muslim Afghanistan yang tidak berdosa? Jika Bush konsisten memerangi terorisme, mengapa hanya teroris yang berlatar belakang Islam saja yang diperangi? Bukankah kaum teroris ada di hampir semua agama, bangsa dan negara?.
Kedua, Irak diserang habis-habisan dengan dengan dakwaan tidak mematuhi Resolusi PBB, memupuk senjata pemusnah massal, dan mendukung terorisme internasional. Setelah Irak, negara Islam lainnya, Iran, juga diancam akan diperlakukan seperti Irak. Bukankah hal yang sama juga dilakukan Israel, yang tidak pernah mau mematuhi Resolusi PBB (khususnya Resolusi DK PBB 242 dan 338), memiliki nuklir, dan secara terbuka menjalankan terorisme terhadap rakyat sipil Palestina? Apakah hanya lantaran Irak dihuni oleh penduduk yang mayoritas muslim sehingga harus dihukum, sementara Israel yang Yahudi justru dibela mati-matian oleh Bush? Tidakkah Bush sadar, siapa yang menjadi korban terlebih dulu dari setiap operasi militernya? Setelah membantai ribuan warga muslim Afghanistan dan Irak, serta membiarkan terbunuhnya ribuan warga muslim Palestina, tampaknya Bush belum juga puas. Kini ia siap-siap hendak membantai warga muslim Iran.
Bisa jadi Indonesia yang juga berpenduduk mayoritas muslim akan menjadi target berikutnya. Kampanye disinformasi yang sistematis sudah dilakukan oleh CIA (yang memang sudah menjadi bagian tugas mereka, seperti yang dilakukan CIA sebelum AS mengebom Libya pada 1986). Dari kasus Agus Budiman, penutupan Kedubes AS (kendati ini juga terjadi di 10 negara lainnya), kasus Umar Al-Faruq,[8] Bom Marriot, hingga tuduhan adanya ancaman terhadap warga AS di Yogyakarta, [9] kota yang selama ini dikenal sebagai pusat pergerakan Islam di Indonesia. Berkali-kali Dubes AS Ralph Boyce mengatakan Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat dan sangat toleran, tapi rupanya ini tidak pernah didengar oleh bosnya di Gedung Putih, sehingga Indonesia pun tetap dicitrakan sebagai “sarang dan surga para teroris Islam”.
Arahnya tampak cukup jelas terbaca, yaitu menekan Megawati (Presiden RI pada saat makalah ini ditulis –Red.) untuk menangkapi orang-orang seperti Ust. Abu Bakar Ba’asyir dan kaum “fundamentalis” anti-AS lainnya (terbukti lewat kesaksian seorang diplomat AS pada pengadilan Ust. Abu Bakar Ba’syir pada tahun 2004 –Red.). agaknya Megawati dinilai tidak mampu mengendalikan gerakan Islam politik yang makin marak di era reformasi ini. Jelas ini dianggap sebagai ancaman oleh Bush, maka perlu dikampanyekan bahwa “fundamentalis adalah teroris”. Bush tampaknya berharap, Megawati mencontoh Soeharto era 1970-an dan 1980-an, yang dengan mesin politik dan militernya mampu menggilas gerakan-gerakan Islam. Jika tidak, maka bukan mustahil jika Megawati pun akan “di-Soekarno-kan (bukankah Soekarno juga digulingkan lantaran keengganannya meredam gerakan komunis yang anti-AS?)
Jadi, Bush – atas nama kepentingan nasional AS – kini pada hakekatnya tidak hanya menjalankan kebijakan politik yang anti Islam, melainkan juga anti-demokrasi dan anti-HAM. Lalu, jika demikian, apa bedanya tingkah laku politik Bush dengan Hitler?
Pada 18 Maret 2002, Ketua Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia (UNHCR) yang juga mantan Presiden Irlandia, Mary Robinson, mengatakan bahwa dirinya tidak bersedia memperpanjang masa jabatannya. Dalam sebuah pidato pembukaan pertemuan tahunan UNHCR di Geneva, Swis, Robinson mengatakan bahwa “ini akan menjadi tahun terakhir saya berpidato dalam UNHCR sebagai Ketua Komisi, “ Robinson mengucapkan pidato perpisahannya itu ketika badan dunia dengan 53 anggota itu tengah bersiap untuk mengkaji tempat-tempat di mana terjadi pelanggaran HAM, dari konflik Palestina-Israel sampai ke Chechnya dan Zimbabwe. Robinson menjadi ketua UNHCR (United Nation Commission for Human Rights) sejak 1997.
Para pejuang HAM mengatakan bahwa pengumuman Robinson itu memperlihatkan bahwa AS telah berhasil dalam menghadapi negara-negara yang mendukung Robinson. Menurut Reed Brody, direktur advokasi Human Rights Watch, Robinson telah membayar harga bagi kemauannya untuk secara terbuka menghadapi pemerintah-pemerintah besar seperti AS ketika mereka melanggar HAM. Robinson memang sejak lama menjadi duri dalam daging bagi negara-negara besar, khususnya AS, karena pandangannya yang konsisten tentang HAM. Dalam pandangan Brody, Robinson tidak disukai Washington karena mengkritik perlakuan AS pada tawanan perang Afghanistan di Guantanamo Bay (Cuba). Juga karena Robinson memimpin konfrensi anti-rasisme di Durban, Afrika Selatan yang diboykot oleh AS, beberapa bulan sebelumnya.
Robinson, yang juga seorang pengacara itu, mendapat dukungan dari negara-negara Eropa, Arab dan negara-negara berkembang lainnya. Brody maupun Melinda Ching dari Amnesty Internasional mengatakan kekecewaan mereka atas keputusan Robinson. Menurut mereka, Robinson telah berhasil menetapkan standar keterusterangan dan energi bagi ketua UNHCR di masa depan. Sehari setelah pengumuman niat Robinson untuk mundur, para pemimpin dan pembuat opini Irlandia juga mengatakan bahwa Mary Robinson telah membayar suksesnya sebagai ketua UNHCR dengan membuat negara-negara kuat menjadi musuhnya dengan resiko kehilangan jabatannya sebagai ketua komisi.
PM Irlandia, Bertie Ahern, mengatakan, Robinson tidak pernah mundur dari menyatakan pendapat ketika dan dimana dia merasa ada sebuah ancaman terhadap hak dan kebebasan manusia. Robinson memang tidak terlibat dengan para penguasa Cina, Rusia, Aljazair, dan Kamboja mengenai desakannya agar diberlakukan norma-norma HAM setelah serangan 11 September 2001 di New York dan Washington. Konon kepada PBB pemerintah AS telah mengisyaratkan penolakan bagi perpanjangan masa jabatan Robinson, dan memaksanya untuk mundur. Walau ikut mengecam serangan ke WTC dan Pentagon, Robinson juga memperingatkan negara-negara di dunia untuk tidak membiarkan langkah balasan keamanan dan militer AS untuk menggantikan komitmen HAM dan hubungan antara keadilan dan keterlibatan politik. Itu, kata tajuk rencana The Irish Times, telah membuat Robinson tidak populer, terutama di mata rezim George W. Bush dan sekutu ideologinya.
Yang dimaksud sekutu ideologi Bush sudah tentu tidak lain dari Israel. Kasus Mary Robinson sekali lagi menunjukkan bagaimana konspirasi AS-Israel berhasil menjegal siapapun yang mencoba mengusik pelanggaran HAM mereka. Sekitar enam bulan silam, konspirasi AS-Israel juga berhasil menyingkirkan Sekjen PBB (waktu itu) Boutros Ghali. Waktu itu Ghali yang sebenarnya masih dimungkinkan untuk kembali menjabat sebagai Sekjen PBB untuk lima tahun berikutnya, dijegal oleh konspirasi AS-Israel gara-gara Ghali menyebarluaskan pelanggaran HAM yang dilakukan para serdadu Israel di Libanon Selatan. Sejarah seperti terulang kembali, AS dan Israel yang merasa gerah dengan kritikan tajam Mary Robinson atas pelanggaran HAM yang dilakukan AS paska 11 September 2001, serta yang dilakukan para serdadu (PM Israel) Ariel Sharon terhadap para warga sipil Palestina, mereka berhasil melakukan tekanan terhadap PBB untuk menyingkirkan Mary Robinson, yang selama ini dikenal luas sangat konsisten dalam memperjuangkan tegaknya HAM di seluruh dunia.
Kasus Robinson juga semakin memperjelas kemunafikan rezim AS dalam masalah HAM. Di satu sisi, atas nama HAM dan demokrasi Washington terus berupaya menebar ancaman dan tekanan terhadap negara-negara lain yang “dicurigai” (baca: dituduh) menjadi pelindung dan pendukung terorisme internasional. Iran, misalnya, belakangan terus diancam untuk dijadikan target ke-tiga (setelah Afghanistan dan Irak) serangan militer AS, karena dikaitkan dengan terorisme internasional. Tekanan dan intimidasi juga dilakukan AS terhadap negara-negara di Asia Tenggara, yang antara lain ditandai dengan lawatan Direktur FBI (Biro Investigasi Federal AS), Robert Mueller, ke kawasan ini, termasuk Indonesia. Namun di sisi lain, pelanggaran HAM yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina secara terus menerus sudah jauh melampaui norma-norma kemanusiaan, oleh pemerintah AS justru dibiarkan, bahkan terkesan direstui dan dilindungi. Padahal apa yang dilakukan para serdadu Ariel Sharon jelas tidak kalah biadabnya ketimbang yang didakwakan terhadap para pendukung Usamah bin Ladin. Bagi seorang Mary Robinson dan siapapun yang berakal sehat, serangan terhadap WTC/Pentagon dan jumlah pembantaian yang dilakukan Sharon terhadap warga Palestina serta pembantaian massal yang dilakukan AS terhadap warga sipil Afghanistan dan Irak jelas semuanya itu merupakan perbuatan yang melanggar HAM. Tapi, rupanya tidak demikian halnya bagi AS dan Israel. Bisa jadi AS dan Israel kini sudah tidak lagi dikendalikan oleh mereka yang berakal sehat.
Islam, Hegemoni Barat dan “Pembaratan”; Catatan Penutup
Edward W. Said (seorang tokoh Palestina beragama Kristen), dalam salah satu karyanya, pernah mengatakan bahwa pemberitaan dan ulasan yang disajikan media massa Barat—khususnya AS—dalam kenyataannya harus sejalan dengan kepentingan dan kebijakan luar negeri pemerintah mereka. “Pers Amerika hanya tertarik untuk menyebarkan berita-berita yang tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah.”[10] Jadi, kendali dalam perspektif yang agak berbeda, media massa di Barat pun pada hakikatnya harus “menyuarakan” kepentingan penguasa.
Noam Chomsky (seorang Yahudi “pembelot”) lebih tegas. Ia mengatakan bahwa penggunaan istilah-istilah seperti terorisme, sebagaimana yang kita kenal sekarang, disesuaikan dengan kepentingan Barat. Sehingga jika menyebut istilah terorisme—juga “fundamentalisme”, “ekstremisme”, dan “militerisme”—maka yang terbayang di kebanyakan benak kita adalah al-Qaidah, Jama’ah Islamiyah, Taliban, Libya, Irak, Iran, PLO, Hammas, Hizbullah, dan kelompok-kelompok Muslim lainnya.
Di sisi lain, kekejaman yang dilakukan Israel terhadap wanita dan anak-anak Palestina, tidak sekalipun disebut sebagai terorisme. Begitu pula kekejaman yang dilakukan para serdadu AS terhadap kaum Muslim di Irak dan Afghanistan tidak disebut sebagai teror. Bahkan semakin kuat adanya kesan bahwa Barat baru akan bertindak jika yang melakukan tindak kekerasan adalah pihak Muslim. Dengan kata lain, terorisme akan disebut sebagai terorisme jika pelakunya pihak Muslim, dan sebaliknya, terorisme tidak akan disebut terorisme jika pelakunya bukan Muslim.
Ketika Iran membeli beberapa kapal selam Rusia serta teknologi nuklir dari RRC, negeri kaum mullah itu ramai diberitakan sebagai telah muncul sebagai “ancaman berbahaya” dan Teheran pun dituduh sebagai “pemicu perlombaan senjata.” Lebih aneh lagi, pemberitaan semacam itu justru dikutip mentah-mentah, oleh sebagian media massa kita.
Beberapa contoh kasus di atas, tampaknya merupakan bagian integral dari apa yang oleh Anwar Jundi disebut sebagai proses “Pembaratan” di Dunia Islam. “Pembaratan” menurut al-Jundi, adalah istilah yang digunakan para orientalis Barat untuk menyebut garis perjuangan yang ditempuh kekuatan-kekuatan yang mengendalikan politik internasional, untuk menyeret Dunia Islam kepada paham-paham dan peradaban Barat. Gerakan pembaratan, menurut al-Jundi, adalah misi lengkap yang memiliki sistem, sasaran, dan juru dakwahnya. Gerakan ini didukung oleh berbagai macam lembaga, dan yang terpenting di antaranya adalah Orientalisme. Gerakan ini melaksanakan kegiatan perang pemikiran melalui dua jalan: pendidikan dan media massa.
Menurut al-Jundi, sedikitnya ada 15 tujuan pembaratan di Dunia Islam. Di antaranya adalah menghalangi tegaknya persatuan umat Islam; merusak sendi-sendi moral dan sosial keluarga umat Islam; menanamkan unsur asing di jantung kawasan Islam; menuliskan sejarah Islam berdasarkan sudut pandang Barat; membangkitkan kebanggan kebangsaan, kesukuan, dan sejarah pra-Islam. Di samping itu, pembaratan bertujuan memaksakan filsafat materialisme; mengingkari agama; serta menyebarluaskan perpecahan di antara agama-agama dan ras manusia.[11]
Jadi, tujuan utama gerakan pembaratan adalah “perang kebudayaan atau perang ideologi, termasuk perang pemikiran” yang, menurut al-Jundi merupakan salah satu dari berbagai bentuk serangan besar Barat terhadap pemikiran Islam di jaman modern ini, dan merupakan bagian dari daur Orientalisme. Medan perang kebudayaan itu sendiri telah meluas mencakup tiga sektor; pendidikan, kebudayaan, dan media cetak. Pada hakikatnya usia gerakan pembaratan dan perang kebudayaan yang dilancarkan terhadap Islam, menurut al-jundi, sudah setua Islam itu sendiri. Semua itu mereka lakukan dengan maksud melestarikan hegemoni dan kekuasaan mereka di Dunia Islam dan untuk menciptakan generasi baru kaum Muslim yang kosong dari ruh Islam.[12]
Ada dua jalur yang ditempuh para propagandis Barat. Pertama, melalui tuduhan-tuduhan bahwa umat Islam terbelakang dan hidup dalam kehinaan karena praktek Islam itu sendiri (belakangan ditambah dengan selalu mengaitkan Islam dengan terorisme); dan jika umat Islam ingin memiliki kekuatan, mereka harus meninggalkan ajaran Islam dan menggunakan metode bangsa-bangsa Barat.
Kedua, bahwa jika umat Islam menempuh cara-cara Barat, baik demokrasi ataupun sosialisme, berarti mereka telah berupaya merealisasikan kebangkitan mereka. Berbagai langkah yang ditempuh dalam usaha pembaratan di Dunia Islam, di antaranya adalah penyebaran kebudayaan Barat. Termasuk di antaranya, propaganda yang mengajak manusia untuk memecahkan problem mereka dengan gaya hidup Barat.[13]
Menurut al-Jundi, sekurang-kurangnya ada empat cara menangkal upaya pembaratan atau hegemoni Barat di dunia Islam.
Pertama, umat Islam harus menghindari pemikiran-pemikiran yang sesat.
Kedua, umat Islam berkewajiban memahami Islam dengan benar dalam menghadapi upaya-upaya pembaratan.
Ketiga, umat Islam harus mengetahui sejauh mana perbedaan antara konsep-konsep Islam dan Barat.
Keempat, umat Islam harus meyakini bahwa nilai-nilai asasi mereka adalah sumber kekuatan dan kehidupan mereka, yang membentuk eksistensi mereka, dan bahwa nilai-nilai mereka memiliki sendi-sendi yang bercorak khas dan unik, ilmu dan agama, akal dan hati.[14]
Lalu bagaimana peranan media massa di Dunia Islam dalam menghadapi masalah pembaratan dan hegemoni Barat? Jika berbicara mengenai pers Dunia Islam mereka yang terbayang adalah ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi hegemoni Barat. Bahkan dalam beberapa hal, baik secara disengaja atau tidak, “pers Islam” justru “ikut andil” dalam melanggengkan hegemoni (pers) Barat. Hal ini sekurang-kurangnya disebabkan karena tiga faktor.
Pertama, kelemahan dari segi manajemen. Pada sekitar pertengahan 1980-an, majalah bulanan berbahasa Inggris yaitu Arabia: The Islamic World Review, yang isinya benar-benar berusaha membela kepentingan Dunia Islam, terpaksa harus menemui “ajalnya”, karena kesulitan dana dan masalah manajemen. Tidak lama kemudian, majalah South yang berusaha menyuarakan aspirasi Dunia Ketiga (termasuk dunia Islam tentunya), juga menemui nasib yang sama. Sampai awal 1990-an, hanya surat kabar Crescent International, yang masih bertahan. Itupun dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Dalam salah satu edisinya beberapa tahun silam, editor Crescent, dengan nada memelas mengungkapkan beberapa kesulitan yang dapat mengancam kelangsungan hidup mereka. Kesulitan itu bersumber pada masalah keuangan dan keterbatasan sirkulasinya. Crescent tidak hanya dimusuhi jaringan zionisme internasional, tapi ironisnya juga dimusuhi kebanyakan pemerintah negara-negara Islam sendiri. Akibatnya, Crescent pun tak mampu bertahan.
Kedua, adanya sikap inferior terhadap Barat. Akibatnya sebagian pers hanya bisa mengutip mentah-mentah apa yang disodorkan kantor berita Barat. Di Indonesia, mereka yang mengklaim sebagai “media massa Islam” pun seringkali hanya menelan mentah-mentah apa yang diberitakan pers Barat. Umumnya alasan yang dipakai adalah “tidak adanya sumber berita alternatif.” Sehingga berbagai kejadian yang menimpa umat Islam di berbagai bagian dunia terutama dimana posisi umat Islam sebagai minoritas lebih sering menempati halaman dalam ketimbang menjadi sebuah headline.
Ketiga, kurangnya wawasan pengetahuan yang memiliki para pengelola pers Islam. Hal ini pun berakibat pada ketidakmampuan pers Islam untuk bersikap kritis dan selektif terhadap sumber berita dari Barat. Tidak jarang, misalnya, kita melihat pers Islam menggunakan istilah-istilah “fundamentalisme” dan “terorisme” dalam pengertian seperti yang dipahami pers Barat. Juga, seringkali pers Islam ikut-ikutan “latah” dalam hal melancarkan kecaman terhadap berbagai (re-)aksi yang dilancarkan kaum “Muslim fundamentalis” di berbagai belahan bumi.
Memang, persoalan yang dihadapi pers Islam sulit dilepaskan dari persoalan yang dihadapi umat Islam secara keseluruhan. Seperti dari persoalan yang dihadapi umat Islam secara keseluruhan. Seperti diketahui, salah satu persoalan utama yang dihadapi Dunia Islam adalah sulitnya mewujudkan apa yang selama ini dikenal sebagai “ukhuwah Islamiyah.” Pada tataran politik, Dunia Islam juga masih sulit melepaskan diri dari ketergantungan pada pihak luar, khususnya Barat. Kasus invasi AS ke Irak, Afghanistan, perang Irak-Kuwait, konflik Arab-Israel, masalah Palestina, Bosnia, Bosnia, Somalia dan lain-lain, memperkuat asumsi tersebut. Barangkali benar apa yang dikatakan Edward Said: “Akan salah apabila menganggap bahwa Dunia Islam akan bersatu setelah ada aksi dari pihak luar.”[15]
Wallahu a’lam.

Pamulang, 7 Agustus 2003
rizasihbudi@yahoo.com
rizasihbudi@mailcity.com
Z makalah disampaikan pada Kongres II Majelis Mujahidin di Embarkasi Haji Donohudan Boyolali, Surakarta, 11 Agustus 2003 dengan tema "TINJAUAN KRITIS TERHADAP HEGEMONI BARAT, DAN HUBUNGAN MUSLIM-NON MUSLIM, DALAM PERSPEKSTIF SYARI'AH ISLAM
* Kepala Bidang Perkembangan Politik Internasional –Pusat penelitian Politik LIPI, Dosen Program Pasca sarjana Kajian Timur Tengah –UI; Ketua ISMES (Indonesian Society for Middle East Studies), Jakarta
[3] Konon, AS hanya akan membantu Sudan, jika Negara ini bersedia meninggalkan Syari'at Islam.
[4] The Guardian Weekly (23 April 1995)
[5] George Bush senior, misalnya pada tahun1991 pernah mencoba menekan Israel dengan kebijakannya yang menunda bantuan senilai 10 milyar dolar bagi pembangunan pemukiman Yahudi (asal Rusia) di tepi Barat Sungai Yordan dan jalur Gaza. Akibatnya, Bush senior mengalami kekalahan dalam pemilu 1992. Bush yunior tentu tidak ingin bernasib seperti ayahnya. Lihat juga, Sihbudi, "US Government Remains 'Hostage' of Israel," The Jakarta Post (17 Oktober 2000).
[6] Dalam buku, Passion Politics: The Turbulent world of the Arabs
[7] BBC (20 September 2002)
[8] Times (23 September 2002)
[9] yang sudah dibantah tegas oleh Sultan Hamengkubuwono X
[10] Edward W. Said, Penjungkirbalikan Dunia Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 108.
[11] Anwar al-Jundi, Pembaratan di Dunia Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 8-9.
[12] Ibid, hlm. 10-13.
[13] Ibid, hlm. 93.
[14] Ibid, hlm. 122-136.
[15] Said, Penjungkirbalikan Dunia Islam, hlm. 67.

No comments: