Saturday, February 16, 2008

Bid’ah, Pengertian dan Hukumnya

Dr. M. Said Ramadhan al-Buthi

Di sini kami hanya ingin membahas bid’ah dengan tinjauan maknanya yang khusus yang terkadang terpisah dari masalah ‘sifat’ dan tafsirannya serta ayat mutasyabihat dan takwilnya. Juga dari masalah tasawuf dengan segala problematikanya.

Kami mulai dengan dasar yang dijadikan acuan (pijakan) ijma dan ditunjukkan oleh nash-nash yang jelas, yakni bahwa bid’ah itu adalah kesesatan yang harus dijauhi. Dan, bid’ah dalam beragama itu termasuk sebahaya-bahaya maksiat yang wajib dijauhi oleh setiap muslim. Cukuplah dengan dalil dari Kitabullah sebagai berikut.

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (asy-Syuura: 21)

“Janganlah kamu mengatakan terhadapnya yang disebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah.” (an-Nahl: 116)

Dan cukup kiranya dengan dalil dari sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh asy-Syaikhani, “Barangsiapa yang mengada-ada dalam perkara (agama) kami ini sesuatu yang tidak berasal darinya, maka dia ditolak.”

Juga sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Muslim, “Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Rasulullah. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat (diada-adakan/sesuatu yang tidak ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah) dan setiap bid’ah itu sesat.”

Akan tetapi, apa sebenarnya definisi bid’ah itu?

Ada beberapa definisi tentang bid’ah. Akan tetapi, yang ada hanyalah pengulangan-pengulangan dan kesamaan dari semua ta’rif yang didefinisikan oleh imam-imam itu. Yaitu, pada titik persamaan mereka. Dengan kemampuan kami dalam hal ini, kami akan memakai ta’rif yang mempunyai kesamaan sehingga kami dapat memfokuskan wilayah persamaan dan kesepakatan yang bersumber pada satu asal. Sehingga jika dijabarkan akan tampak bagi kita sisi-sisi perbedaannya.

Mungkin kami akan membatasi ta’rif bid’ah tapi tidak keluar dari ijmaa bahwa bid’ah yang dilarang oleh kitab dan Sunnah Rasulullah. Yaitu, ta’rif yang dipakai Imam asy-Syatibi dalam kitabnya al-I’tisham bahwa “Bid’ah adalah thariqah (jalan/bentuk ibadah) dalam agama yang baru datang dan menyerupai syari’at yang dimaksudkan sebagai bentuk amalan untuk penyembahan kepada Allah.”[1]

Bid’ah juga didefinisikan lebih luas lagi dari definisi ini yang mencakup permasalahan khilaf yang tidak yang tidak bisa dicarikan jalan temu. Yakni bahwa bid’ah adalah jalan dalam agama yang baru datang yang menyerupai syariat yang dimaksudkan sebagai bentuk amalan ibadah sebagaimana apa yang dimaksud dengan jalan syariah.[2]

Dalam hal ini kami berpijak pada definisi pertama untuk terhindar dari masalah kesepakatan dan perselisihan seperti yang telah kami sebutkan. Jika demikian, maka hal yang tidak diragukan lagi oleh imam-imam umat Islam dan ulama mereka bahwa bid’ah itu diharamkan. Dan, juga bagi segala jalan baru yang dinamakan agama, sesungguhnya di dalam akidah dan ibadahnya masuk dalam kategori bid’ah dengan penuh yakin dan ittifaq (kesepakatan). Karena yang diinginkan dari sesuatu yang baru itu hanyalah untuk beribadah kepada Allah.

Ada beberapa hal yang dikategorikan bid’ah. Misalnya, menambahkan shalat baru atas apa yang telah ditetapkan oleh syari’at pada shalat fardhu dan shalat sunnah; menambah hari pada puasa dengan tujuannya keutamaan tertentu tanpa ada dasar dalam al-Quran dan Sunnah; dan mewajibkan mengurangi makanan hanya dengan satu macam (jenis) dalam satu meja sebagai bentuk ibadah. Atau, mengeraskan suara zikir dan qasidah di depan jenazah; mengazani mayit pada waktu dimasukkan ke dalam liang kubur; penemuan (pendapat/keyakinan) baru bahwa Jahannam akan sirna dan berhenti dari menyiksa orang kafir, atau bahwa azab neraka hanyalah azab penghinaan dan penyesalan. Semua itu menurut ijma umat Islam masuk dalam kategori bid’ah. Maka dari itu, melakukan hal tersebut merupakan bentuk kesesatan sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah.

Jika demikian adanya, lalu pada bagian mana yang dimungkinkan adanya khilaf? Pada bab apa mereka akan berselisih?

Mungkin perbedaan itu dapat kita fokuskan dalam dua hal.

Pertama, adat (tradisi). Apakah adat dapat dikategorikan dalam makna bid’ah? Jika demikian, maka setiap adat/tradisi yang diciptakan manusia dan dari perbedaan adat dan tradisi para shahabat atau adat-adat yang terjadi pada masa Rasulullah masuk kategori bid’ah. Hal ini merupakan kesesatan yang wajib untuk dijauhi.

Dalam masalah ini para ulama salaf berselisih pendapat. Ada dari golongan mereka (5 sahabat dan tabi’in) yang mencegah dan melarang tradisi yang baru setelah (wafat) Rasulullah, meskipun berhubungan dengan makanan, minuman, tempat tinggal, dan lain-lain. Sebagian mereka juga ada yang berpendapat bahwa antara adat yang berkembang dalam kehidupan manusia dengan makna bid’ah yang dilarang syar’i tidak ada hubungannya, maka seorang muslim boleh untuk berbeda.

Tentang tradisi dan adat sesuai yang dikehendaki, meskipun bertentangan dengan adat-adat yang ada pada masa Rasulullah dan sahabatnya. Hal ini karena adat dengan segala definisinya tidak dapat disebut syara dan tak dapat disebut sebagai sumber syar’i, terutama adat perilaku. Sudah kita bicarakan pada bab pendahuluan dalam kitab ini banyak contoh adat baru pada masa salaf. Dan, telah kita jelaskan perbedaan sikap dan pendapat mereka sesuai dengan perbedaan ijtihad mereka dalam memandang arti tradisi yang ada pada masa Rasulullah, apakah merupakan hujjah dan masuk dalam kategori sunnah.

Berpijak pada perbedaan ini, jelas terjadi perselisihan seperti yang telah kita lihat di dalam definisi bid’ah. Maka, definisi pertama didasarkan atas pendapat orang yang memandang bahwa kebebasan tradisi yang terjadi pada masa Rasulullah tidak termasuk dalam kategori bid’ah. Tidak ada halangan bagi orang-orang untuk memilih (menyaring) adat dan tradisi yang tidak bertentangan dengan hukum yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah atau ijma imam-imam umat Islam. Dan, definisi kedua didasarkan kepada orang-orang yang berpendapat bahwa adat-adat yang ditetapkan oleh Rasulullah dan berlaku pada masa hidup beliau merupakan masdar (dasar syariat). Dan menyimpang darinya kepada adat yang lain merupakan bentuk bid’ah/kesesatan.[3]


Perbedaan pada poin pertama ini ada pada masa salaf, seperti yang telah kami

jelaskan terdahulu dengan bahasan yang cukup panjang pada bab pendahuluan dalam kitab ini. Hal ini bukanlah merupakan bentuk perbedaan antara salaf dan khalaf seperti yang diduga oleh sebagian besar orang.

Kedua, aplikasi ta’rif bid’ah terhadap realitas dan kasus-kasus. Tidaklah diragukan lagi bahwa usaha untuk menerapkan amaliah dan hukum secara terperinci banyak sekali menimbulkan persepsi dan diskusi serta menimbulkan beberapa kemungkinan. Maka, terjadi perbedaan dalam pelaksanaannya meskipun sudah disepakati prinsip-prinsip dasar yang keberadaannya merupakan pemikiran dan pemahaman-pemahaman. Inilah yang mereka sebut dalam ilmu ushul fiqih dengan “tahqiqul manath”. Sebagian besar terjadi dari perbedaan antara para imam dan ulama Islam lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan dalam penerapan konsep dasar pemikiran kepada amali (praktek) dan rinciannya atas tahqiq manath”.

Maka, pembahasan secara rinci tentang qadha qadar atau pertanyaan tentang jabar dan ikhtiar dengan manusia, apakah termasuk wilayah bid’ah yang wajib dijauhi? Atau, justru tidak termasuk dalam kategori dan definisi bid’ah sehingga tidak ada halangan untuk mengkajinya?

Mempergunakan ilmu kalam dan istilah-istilah falsafat serta kaidah-kaidah mantiq di dalam mempertahankan ushul-ushul agama dan akidah Islam, apakah masuk kategori bid’ah yang harus dijauhi ataukah tidak? Maka, tidak ada halangan (dosa) untuk mempergunakan itu semua dengan disertai (pengetahuan) kesadaran dengan tidak adanya penyimpangan dalam kebatilan yang banyak terjadi pada pembuat kaidah dan ilmu tersebut.

Berdiskusi tentang bid’ah dalam kebid’ahan mereka dan bermusyawarah tentang kebatilan yang mereka lakukan, apakah disebut sebagai bid’ah, dan masuk dalam kategori dan perincian bid’ah? Apakah sibuk berdebat dengan mereka dapat dikatakan amalan haram yang tidak boleh dilakukan, atau tidak termasuk dalam makna bid’ah? Sehingga, tidak ada larangan bermusyawarah/berdebat dengan mereka dengan tujuan untuk menyingkap kesalahan pemikiran dan kesalahannya.

Perbedaan seorang peneliti di dalam masalah Quran antara apa yang ada dengan makna nafsi (kejiwaan) dan lafazh yang diucapkan dengan menyangkut tinta, kertas dan sampul. Kita tentu akan mengatakan bahwa sesungguhnya yang pertama itu bukanlah makhluk. Dan yang kedua adalah sesuatu yang baru dan makhluk. Apakah dianggap bid’ah yang berbahaya karena perbedaan ini tidak pernah ada (diketahui) pada masa Rasulullah? Padahal, wajib secara mutlak perkataan bahwa al-Quran itu dahulu bukan makhluk tanpa perincian dan perbedaan. Karena, itu hanyalah penjelasan dan keterangan shahabat sebelumnya secara global. Maka dari itu, tidaklah ada larangan terutama pada bidang taklim (belajar) dari pembedaan dan penjelasan ini.

Tawasul ke hadirat Rasulullah setelah wafat beliau atau ke hadirat seseorang yang dikenal atas kesalehan dan istiqamah setelah wafat, apakah termasuk bid’ah karena merupakan mengada-ada perkara dalam urusan agama yang tidak diridhai oleh Allah? Apakah ia masuk dalam dasar-dasar hukum agama, bahkan bertentangan dengan dasar-dasar agama yaitu pentauhidan kepada Allah dengan tauhid yang sempurna yang mencakup tauhid Zat dan Sifat? Ataukah, hal itu dikiaskan kepada tawasul kepada Nabi sewaktu beliau masih hidup, yaitu sesuatu yang sudah jelas dalil-dalilnya dari hadits yang shahih?

Menambah dalam beribadah, apa definisi dan batasannya? Contoh dan realitas yang ada membutuhkan pemikiran (mendatangkan persepsi) dan samar-samar ketika mengambilnya masuk dalam makna tazayyud dan ikhtira’ (penemuan baru), dan samar-samar juga tidak dihilangi bagian dari ikhtira’ atau tazayyud.

Azan yang dilakukan pada masa Rasulullah di depan pintu masjid ketika beliau naik mimbar tidak sampai ke penjuru kota, maka, apakah masuk dalam kategori bid’ah azan yang baru diadakan oleh Utsman bin Affan di rumahnya di Zarwa’ ketika kota semakin meluas dan penduduknya butuh pengumuman (pemberitahuan) terlebih dahulu sebelum masuk waktu zhuhur? Ataukah, hal ini dianggap sebagai maslahat dalam Islam dan keperluan untuk mensyiarkan pelaksanaan shalat Jumat lebih baik?[4]

Ihram sunnah haji dan umrah sebagaimana kita ketahui mempunyai batasan tempat (miqat makani) yang telah ditentukan oleh Rasulullah. Maka, bagaimana hukumnya orang yang berihram sebelum sampai ke miqat tersebut? Apakah dianggap bid’ah karena melanggar batasan (ketentuan) yang ditentukan oleh Rasulullah sehingga dengan sebab itu dia melakukan sesuatu yang dilarang atau dianggap sebagai keharusan karena melanggar? Atau, hanyalah termasuk dari pelanggaran miqat, dan dia tidak melewatinya tetapi hanyalah diwajibkan bagi dirinya apa yang serupa dengan penutup antara kedua tangannya? Benar ucapan Rasulullah kepada Aisyah, “Pahalamu tergantung kepada kepayahanmu.”

Jika shalat hari raya dilakukan di masjid jami, apakah termasuk bid’ah dari para jama’ah? Pasalnya, Nabi menyuruh kepada orang-orang untuk mengerjakannya di tengah-tengah kota. Kita harus melihat (definisi) dari perkembangan masalah sesuai dengan hajat dari perbedaan kondisi, serta melihat peran (posisi) hukum dalam ibadah ini atas dasar-dasar menghilangkan kesulitan dan menjelmakan kemudahan.

Maka, contoh-contoh ini merupakan bentuk penerapan atas hal-hal yang tidak jelas dalil perbedaan dan larangan tentangnya sehingga berpeluang untuk menafsirkan dan ijtihad. Maka, di situ terjadilah perbedaan tidak hanya pada dua golongan yang mewakili dari golongan ulama salaf dan golongan ulama khalaf. Bahkan, terjadi di antara ulama sendiri mulai dari masa shahabat sampai akhir kurun ketiga.

Di sini akan kami kupas dari setiap contoh yang kami susun secara rapi dan terperinci.

Pada masalah yang berhubungan dengan asma Allah, sifat-sifat-Nya, kalam-Nya serta qadha dan qadar, para sahabat tidak menyelami (mendalami) tentang hal tersebut kecuali karena keimanan mereka atas semua itu atas apa yang datang dari al-Quran dan diterangkan dalam Sunnah[5]. Hal ini pada awal-awal kehidupan mereka. Maka, setelah Rasulullah wafat dan Islam menyebar luas, daerah-daerah penaklukan semakin luas serta banyaknya para penganut agama-agama lain yang masuk Islam, terjadilah diskusi dan perdebatan antara mereka dan umat Islam atas apa yang masih dilarang oleh para sahabat pada waktu itu untuk membahasnya.

Sehingga, golongan sahabat terbagi menjadi dua kelompok. Golongan pertama yang tetap diam dan menjauhi perdebatan tentang masalah ini dan menganggapnya sebagai hal yang bid’ah dan mungkar. Mereka diantaranya adalah Umar Ibnul Khaththab, Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan pemuka-pemuka sahabat yang lain. Golongan ini tetap diikuti sampai golongan tabi’in dan tabi’it tabi’in seperti Sofyan ats-Tsauri, al-Auza’i, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hambal.

Sedangkan, golongan kedua melakukan pembahasan, diskusi (perdebatan) dan mencari solusi atas ayat-ayat syubhat yang terlintas di benak mereka. Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan pemuka sahabat yang lain. Golongan ini diikuti sampai kelompok tabi’in dan tabiit tabi’in seperti Hasan al-Bashri, Abu Hanifah, Harits al-Muhasibi, dan Abu Tsaur.

Ali bin Abi Thalib mengajak para pelaku bid’ah untuk berdebat atas kebatilan-kebatilan yang mereka perbuat. Dia berdebat dengan seorang aliran Qadariyah tentang masalah qadar dan mengutus Ibnu Abbas untuk berdialog dengan pelaku bid’ah. Abdullah bin Mas’ud berdialog dengan Yazid bin Umairah tentang masalah iman. Padahal pada waktu itu sebagian besar sahabat berpendapat bahwa masuk dalam wilayah perdebatan dengan mereka itu adalah termasuk bid’ah yang harus dijauhi.

Dua golongan yang bertentangan dari dua fase yang kedua masuk dalam kategori salafus saleh. Yang pertama adalah Imam Malik bin Anas yang melarang perdebatan dengan ahli syubhat. Dia berkata, “Berhati-hatilah (jauhilah) terhadap bid’ah.” Dikatakan, “Wahai Abu Abdillah, apakah bid’ah itu?” Dia berkata, “Ahli bid’ah adalah orang yang membicarakan asma Allah dan sifat-sifat-Nya, kalam-Nya, ilmu dan kekuasaan-Nya, tidak diam atas suatu masalah yang mana para sahabat dan tabi’in diam tentang hal itu.”[6]

Adapun yang kedua adalah Hasan al-Bashri. Ia telah mengirim surat kepada Abdul Malik bin Marwan tentang hujjah seputar qadha dan qadar. Tersebut dalam tulisannya, tidak ada seorangpun dari ulama salaf memperdebatkan hal itu. Karena mereka semua dalam satu kata (pendapat). Adapun yang kami bicarakan dalam masalah itu hanya apa yang yang dibicarakan oleh orang atas (kesamaran/pengingkaran) tentang hal tersebut. Ketika ahli hadits mengadakan sesuatu yang baru dalam agama mereka, maka Allah menjadikannya orang yang berpegang teguh kepada kitab-Nya atas apa yang diperbuat dari perkara baru dan mereka memperingatkan dari perkara-perkara yang merusak.”[7]

Posisi sikap salaf terhadap ilmu kalam sama halnya dengan sikap mereka tentang berdebat dengan ahli syubhat tentang masalah akidah. Bagi mereka yang menganggap perdebatan perdebatan mereka tentang hal ini merupakan bid’ah, maka mereka melarang ilmu kalam populer di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, bagi mereka yang memotivasi tentang perdebatan untuk menyingkap kebatilan dan kerancuan pikiran, menganggap perlunya ilmu kalam untuk melakukan hal itu.

Kiranya definisi yang lengkap tentang ilmu kalam adalah definisi yang dibuat oleh Ibnu Khaldun dalam Kitab Mukaddimah-nya. Dia berkata, “Ilmu kalam adalah ilmu yang mencakup tentang dalil-dalil tentang masalah keimanan dengan dalil akal yang menolak pelaksanaan bid’ah dan orang-orang yang menyimpang dalam masalah-masalah akidah dari mazhab salaf dan ahlus sunnah.”[8]

Hendaknya anda memperhatikan definisi ini lebih luas dari hanya sekadar mengikuti filsafat / kaidah-kaidah logika Yunani. Juga tidaklah seperti yang disangka oleh orang-orang bodoh sekarang bahwa ilmu kalam adalah kajian (studi) tentang masalah akidah Islam dari perspektif filsafat. Inilah pandangan (gambaran) tentang ilmu kalam (dan mereka tidak punya pandangan lain) sehingga orang-orang menolak ilmu kalam dan menganggap memperlajarinya adalah perbuatan bid’ah.

Terkadang kita temukan dalam ulama salaf orang yang mengalami dua fase (sikap yang berlawanan) tentang masalah ini seperti Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. abu Hanifah melewati masa di mana dia melarang untuk mendalami masalah akidah dengan jalur ilmu kalam yakni dengan dalil-dalil akal. Kemudian pada saat tertentu dia menerima ilmu ini. Ia mempelajari tentang masalah akidah dengan jalur ilmu kalam yakni dengan dalil-dalil akal. Kemudian pada saat tertentu dia menerima ilmu ini. Ia mempelajari tentang masalah akidah dengan jalur manhaj ilmu kalam sehingga dia menulis kitab ‘Fiqih Akbar’ dan dalam masalah ini dia mengirim suratnya yang terkenal kepada Utsman al-Banni. Adapun sebab dari semua ini hanyalah mengikuti kebutuhan / hajat manusia dan kondisi yang meliputi mereka. Hal ini seperti dijelaskan dalam kitabnya Al-Alim wal Muta’allim.

Begitu juga dengan Imam Syafi’i. banyak disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa ia mencela Ilmu Kalam. Meskipun demikian, dia melakukan diskusi di majelis ar-Rasyid, al-Basyar al-Marisy membicarakan sebagian masalah ini. Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Muzny bahwa ia (al-Muzny) berkata, “Terjadilah pembicaraan antara saya dengan seseorang pada suatu kesempatan. Dia menanyaiku tentang ilmu kalam yang hampir menjadikanku ragu atas agamaku. Maka, aku datang kepada asy-Syafi’i dan berkata kepadanya, ‘Ada masalah seperti ini...’ Syafi’i berkata, ‘Masalah ini untuk orang yang anti-Tuhan dan jawabannya seperti ini...’”[9] Hal ini juga sesuai dengan perbedaan hajat manusia dan situasi kondisi mereka.

Pada masalah yang berhubungan dengan Al-Qur’an, Imam Ahmad tidaklah terlihat membenarkan untuk mengadakan perincian maupun pembedaan dalam keyakinan dan keberadaan Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang qadim antara lafazh dan makna atau membedakan antara kalam nafsi dan lafazh yang menakbirkannya. Bahkan, dia menganggap bahwa belajar (menyibukkan diri) dengan pembedaan dan perincian ini merupakan bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh sahabat Rasulullah.

Adapun Imam Syafi’i tidak menganggap adanya halangan perincian dalam masalah ini. Ia menghukumi bahwa lafazh Al-Quran dan kertas-kertasnya merupakan sesuatu yang baru dan makhluk. Akan tetapi, yang qadim di dalam Al-Qur’an adalah maknanya yang disebut dengan makna nafsi.

Kami tidaklah ragu bahwa Imam Ahmad tidaklah diliputi keraguan bahwa lafazh-lafazh Qur’an dan tinta yang dituliskan serta kertas tempat untuk menulis semua itu adalah baru tidak qadim. Akan tetapi, dia tidak mengizinkan (sebagai bentuk wara’ dan qanaah) dari dalil/kitab/sunnah/awal pemuka-pemuka shahabat atas pembagian dan pengelompokan ini.

Adapun yang berhubungan dengan tawasul ke hadirat Rasulullah atau kepada yang lain dan orang-orang saleh dan muqarribin, maka kami tidak mengetahui bentuk pembahasan atau diskusi apapun seputar ini pada masa salaf pada ketiga kurun mereka yang dimuliakan itu. Segala yang ada pada kami yang membenarkan pembahasan ini adalah hadits-hadits shahih tentang tawasul para shahabat dan tabarruk mereka dengan keringat, rambut dan air wudhu Rasulullah.

Semua ini terdapat dalam kitab Shahihain. Dalam hadits Utsman bin Hanif diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah serta an-Nasa’i dengan sanad yang shahih bahwa seorang laki-laki buta datang kepada Nabi Muhammad kemudian berkata, “Doakanlah aku kepada Allah agar Dia mengampuniku.” Nabi berkata, “Jika kami berkenan, aku akan berdoa; dan jika kamu berkenan, kamu bersabar, itu lebih baik bagimu.” Dia berkata, “Doakanlah aku.” Maka Rasulullah menyuruhnya berwudhu dan membaguskan wudhunya lalu berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad nabi (pembawa) rahmat, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanku atas hajatku agar dikabulkan padaku, ya Allah berilah dia syafaat untukku.”

Seperti yang tersebut dalam hadits shahih bahwa Umar bertawasul kepada Abbas di dalam shalat istisqa dan tidak seorangpun yang mengingkarinya.[10] Dan, seperti disebut dalam riwayat bahwa ketika orang-orang pada masa Umar ditimpa kemarau panjang (kekeringan), maka seorang lelaki datang ke kuburan Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, mintalah hujan untuk umatmu karena sesungguhnya mereka telah binasa (sangat kesusahan).” Rasulullah datang dalam mimpinya dan mengabarkannya bahwa mereka akan diberi hujan. Maka, terjadilah hujan. Dalam riwayat lain disebutkan, “Datanglah kepada Umar, berilah salam kepadanya dan kabarkan kepadanya bahwa mereka akan diberi hujan. Katakan kepadanya, “’Kamu harus belas kasih.’” Maka, seorang laki-laki datang kepada Umar dan mengabarkannya. Lalu Umar menangis dan dia berkata, “Wahai Tuhanku, mereka tak kuasa untuk melakukannya.”[11]

Kami berpegang untuk menyebutnya secara tafshil ‘rinci’ seperti sabda Rasulullah ketika Fathimah binti Asad ibu Ali meninggal. Dialah yang merawat Rasulullah sewaktu masa kecil. Beliau bersabda, “Ya Allah, ampunilah ibuku Fatimah binti As’ad. Lapangkanlah kuburannya dengan kebenaran Nabi-Mu dan nabi-nabi sebelumku.”

Inilah semua yang sampai kepada kita dari Rasulullah, sahabat-sahabatnya dan ulama-ulama salaf tentang masalah tawassul. Masalah itu terus saja bergulir (berlangsung) sampai datang Ibnu Taimiyyah yang membedakan antara tawassul dengan para Nabi dan orang-orang saleh pada waktu mereka masih hidup dengan tawassul kepada mereka setelah mereka meninggal dunia. Ibnu Taimiyyah memperbolehkan pada keadaan yang pertama (saat mereka masih hidup) dan mengharamkan pada keadaan kedua (setelah mereka mati).

Kami tidak tahu dasar apa yang disandarkan kepada masa salaf atas pembagian ini. Bahkan, kami tak pernah melihat satupun pembahasan / diskusi / perselisihan di antara ulama salaf dalam masalah ini. Apa yang ada di hadapan kami atas realitas yang kami sebutkan adalah sesuatu yang masyhur dan makruf. Yakni, tidak adanya penjelasan antara mati dan hidup selagi tawassul itu hanya dengan kedudukan Rasulullah atau orang saleh ke hadapan Allah selama yang mutlak tidak berjalan sesuai dengan kemutlakannya.

Kami akan menjelaskan sejauh mana kekuatan ilmiah untuk perbedaan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah ini yang kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Kami tidak bermaksud untuk melakukan diskusi tetang masalah khilafiyah ini atau kemudian menjadi masalah khilafiyah sesudahnya. Namun, kami hanya ingin menjelaskan kepada pembaca yang kritis bahwa masalah-masalah ini tidaklah dapat dijadikan sebagai referensi penghijab (penghalang) antara ahlus-sunnah wal-jama’ah menjadi dua golongan. Atau, menjadikan tiap satu dari mereka golongan (mazhab) tertentu yang diistimewakan. Bahkan lebih dari itu, menjadikan kesatuan jama’ah umat Islam menjadi dua mazhab. Kelompok Salafiyah dan Khalafiyah.

Meskipun kami dulu tidak mengetahui perselisihan salaf tentang masalah tawassul, tetapi kami kemukakan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah salah satu dari salaf. Jadi perbedaan itu sudah terjadi pada masa salaf. Hal itu merupakan bagian dari tahqiqul manath. Ini mungkin lebih ringan daripada menjadikan umat Islam menjadi dua mazhab / golongan kemudian berusaha menjadikan satu dari mereka menyandang gelar fasik dan menisbatkan mereka sebagai pelaku bid’ah dan kesesatan.

Adapun yang menyangkut tentang urutan-urutan ibadah dan menambah amalan-amalan ibadah atau memasukkan sesuatu ke dalam ibadah dari satu hal yang tidak bisa dikatakan sebagai bentuk bid’ah. Karena keberadaannya dalam wilayah ijtihad dalam tahqiq manath, maka banyak terjadi perbedaan pandangan menurut salaf dan ijtihad mereka.

Di antaranya seperti yang telah kami sebutkan adalah azan yang dilakukan oleh Utsman dengan amalan baru pada waktu zhuhur di hari Jum’at di rumahnya di Zarwa’ ketika daerah makin meluas dan azan yang dikumandangkan tidak sampai terdengar di penjuru kota. Ini adalah ijtihad yang dilakukan Utsman. Kemudian tidak ada seorangpun yang berselisih atau menentangnya sehingga amalan itu sampai kepada kita.

Utsman bin Affan juga tidak menganggap bahwa ikrar untuk haji dan umrah sebelum sampai ke miqat, yang sudah ditentukan sebagai bentuk bid’ah yang tidak diperintahkan dan tidak mendapatkan pahala. Pendapat ini ditentang oleh sebagian besar sahabat. Telah diriwayatkan dari al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah serta Bukhari sebagai sebuah komentar bahwa Abdullah bin Amir ketika menaklukkan Khurasan berkata, ‘”Ini adalah kemenangan dari Allah. Wajib bagi kita untuk mensyukurinya. Dan, sebagai bentuk rasa syukurku kepada Allah, aku akan keluar dari tempat ini dengan keadaan ihram (muhrim).” Kemudian dia ihram dari Nisabur dan meninggalkan Ahmad bin Qais dari Khurasan. Ketika selesai mengerjakan umrahnya, dia datang kepada Utsman bin Affan, dan Utsman berkata kepadanya, “Kamu telah salah dalam umrahmu ketika kamu ihram dari Nisabur.”’[12]

Dan bagi yang meneliti fiqih sahabat dan tabi’in, banyak terjadi permasalahan yang diperselisihkan oleh golongan salaf. Tidak ada satupun dari mereka yang berbeda mengingkari kepada yang lain, kemudian menuduhnya dengan sesat atau bid’ah. Perbedaan semua itu berada dalam naungan kitab dan sunnah. Ukuran standar mereka adalah konsistensi terhadap manhaj yang telah disepakati di dalam memahami Al-Qur’an dan as-Sunnah.

-----------------------

Salafi Sebuah Fase Sejarah Bukan Madzhab, penulis, Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi; penerjemah, Futuhal Arifin, Lc; penyunting, Harlis Kurniawan--Cet. 1--Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Hal. 177-194.



[1] I’tisham 1 / 30.

[2] Ibid. 1 / 31

[3] Lihat “i’tisham”, Syatibi 1 / 37.

[4] Lihat Shahih Bukhari pada bab “Jumat” (bab azan shalat Jumat), sedang Abu Dawud, Nasai’ dan Tirmidzi tidak membahasnya, akan tetapi Atha’ bin Rabbah berkata, “Sesungguhnya yang ditambahkan oleh Utsman itu bukanlah azannya tetapi panggilan shalat.” Abdul Razaq dalam kitabnya meriwayatkan (3 / 206) bahwa apa yang ada dalam kitab shahih tidak sesuai dengan apa yang dinukil oleh Atha’, wallahu a’lam.

[5] Muqaddimah Ibnu Khaldun, 226.

[6] Manaqib Imam Malik karangan Zawawy, 37 / 38, dan Tarikh Baghdad 1 / 223

[7] Al-Maniyyah wa Alamal karangan Ibnu Murtadha, 12, dan lihat ‘Awamil Nashyati Ilmi Kalam karangan Yahya Hasyim hlm. 79.

[8] Mukaddimah Ibnu Khaldun 225.

[9] Lihat Manaqib Imam Syafi’i karangan ar-Razy hlm. 65, dan ‘Awamil Nashyati Ilmi Kalam karangan Yahya Hasyim hlm. 82.

[10] Bukhari 2 / 16, lihatlah kisah secara rinci pada kitab Thabaqat karangan Ibnu Sa’ad 1 / 232.

[11] Thabari 4 / 224, Ibnu Atsir 2 / 274, lihat Bidayah wa Nihayah 7 / 91.

[12] Sunan Baihaqi 5 / 31, dan Bukhari ta’liq dalam kitab haji, dalam surah al-Baqarah 194.

No comments: