Saturday, January 19, 2008

Sekali Lagi Tentang Isbal

Ust. Aceng Zakaria

Tentang hukum Isbal, telah saya tulis dengan panjang lebar dalam buku “Haramkah Isbal, dan Wajibkah Jenggot?” Kemudian tulisan itu sebagiannya telah dimuat di majalah Risalah No. 4 Tahun 45 edisi Jumadi Tsani 1428 H/Juli 2007. Dari tulisan itu timbul pro dan kontra, yaitu ada yang setuju dengan pendapat saya, seperti saudara Royhan Muhammad Syafiq dan ada juga yang tidak setuju sekaligus memberikan kritikan terhadap tulisan saya dan telah dimuat dua kali dalam majalah Risalah, yaitu saudara Buldan Muhammad Fatah.

Melalui tulisan ini saya sampaikan beribu terimakasih terhadap semua pihak yang telah membaca tulisan saya, lebih khusus kepada yang telah memberikan tanggapan, baik yang pro atau yang kontra. Mudah-mudahan dapat lebih menajamkan lagi kajian dan analisa tentang masalah Isbal.

Di sini saya akan mencoba untuk menulis lagi tentang hukum Isbal, tetapi tidak berarti saya ingin memaksakan pendapat saya kepada seluruh pembaca dan tidak berarti juga saya mau menerima pendapat orang lain, karena saya juga dituntut untuk mempertanggungjawabkan masalah tersebut sesuai dengan ilmu yang saya miliki dengan menggunakan rumusan-rumusan istinbath yang berlaku. Setiap orang berhak untuk mempertahankan pendapatnya selama pendapat itu benar dan juga wajib meralat pendapatnya jika ternyata pendapat itu keliru.

Tentang Isbal

Sebagaimana telah maklum, bahwa hadits-hadits tentang isbal itu ada yang muthlaq, yaitu tanpa menyebut khuyalâ’a (sombong), dan ada hadits-hadits muqayyad, yaitu dengan menyebut sombong. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum isbal, yaitu:

Pertama, isbal itu haram, baik karena sombong atau tidak. Hanya jika dilakukan karena sombong, dosanya lebih besar.

Kedua, isbal itu haram jika dilakukan karena sombong, dan jika tidak karena sombong, maka tidak terlarang.

Dalam menanggapi dua pendapat tersebut, saya setuju dengan pendapat yang kedua, mengingat:

1. Qaidah Ushul;

يُحََْمَلُ الْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ ٳِذَا اثَّفَقَا فِى السَّبَبِ وَالْحُكْمِ

“Hendaklah ditarik yang muthlaq kepada yang muqayyad, apabila keduanya sama sebab dan hukumnya.”

Dalam hal ini, ternyata kasusnya sama yaitu isbal, dan sanksinya pun sama yaitu Allah tidak akan melihat mereka. Silahkan dibaca kembali sanksi dalam hadits yang muthlaq dan sanksi dalam hadits yang muqayyad (Haramkah Isbal dan Wajibkah Jenggot? Hal. 45).

2. Para ulama ahli hadits pun dalam hal ini sama berkesimpulan seperti itu, yaitu menarik muthlaq kepada muqayyad, diantaranya:

a. Ibnu Hajar al-‘Asqalani (lihat Fath al-Bâri, 10: 365/371).

b. Imam Syafi’i.

c. Imam Nawawi (lihat ‘Aun al-Ma’bud, 11: 142).

d. Imam Ibnu ‘Abdilbar.

e. Imam Ibnu Ruslan.

f. Imam asy-Syaukani (lihat Nail al-Authar, 2: 128).

g. Imam Abdullah bin Abdirrahman al-Bassâm (lihat Taudhîhu al-Ahkâm, 7: 314/315).

3. Jika isbal secara muthlaq tetap haram, berarti tidur memakai selimut sampai menutupi dua mata kaki karena kedinginan, juga haram.

4. Pendapat yang menyatakan, bahwa “isbal itu haram baik karena sombong atau tidak, dan bila isbal dilakukan karena sombong, maka hukumnya lebih keras dan lebih besar,” pendapat ini keliru karena kenyataannya lebih berat sanksi dalam hadits yang muthlaq daripada sanksi dalam hadits yang muqayyad.

5. Berdasarkan mafhum mukhalafah dari kata khuyalâ’a (karena sombong) yang berarti, jika tidak karena sombong, tentu tidak terlarang. Bandingkan dengan firman Allah Swt:

قَالَ اللَّه ثَعَالَ: وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا.

“Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan sombong.”

Mafhumnya, jika tidak karena sombong, tentu saja tidak terlarang.

6. Jika mafhum mukhalafah ini tidak berlaku, berarti penyebutan khuyalâ’a tidak ada artinya atau sia-sia, padahal mustahil Nabi saw menggunakan kata-kata yang laghâ atau sia-sia.

Tentang Hadits Abu Bakar

Sebetulnya tanpa hadits Abu Bakar juga sudah cukup alasan untuk menetapkan bahwa isbal yang tidak karena sombong itu tidak terlarang. Menanggapi kasus Abu Bakar, ada dua pendapat para ulama:

Pendapat pertama: Hadits Abu Bakar tidak bisa dijadikan takhshish (pengecualian) untuk membolehkan isbal tanpa sombong, mengingat:

1. Abu Bakar tidak dengan sengaja menjulurkan pakaiannya, tetapi pakaian itu sendiri yang kadang melorot.

2. Abu Bakar secara khusus telah mendapatkan rekomendasi dari Nabi saw, bahwa dia tidak termasuk sombong.

Pendapat kedua: Hadits Abu Bakar dapat dijadikan takhshish untuk membolehkan isbal yang bukan karena sombong, mengingat:

1. Ucapan Nabi saw terhadap Abu Bakar, yaitu; “Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong” ini tidak berarti khusus untuk Abu Bakar saja, mengingat ada qaidah ushul, bahwa petunjuk yang khusus untuk salah seorang dari umat ini tetap menunjukkan umum kecuali jika ada dalil yang menunjukkan khusus.

2. Para ulama hadits sama memahami hadits Abu Bakar merupakan takhshish, bahwa isbal yang tidak sombong itu tidak terlarang, seperti Imam asy-Syaukani menyatakan, bahwa “kaitan illat haram di sini adalah sombong, karena isbal itu kadang dilakukan karena sombong kadang tidak.”

Demikian juga ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam-nya menyatakan, bahwa: “Ucapan Nabi saw kepada Abu Bakar itu adalah dalil atau bukti, bahwa mafhum dalam hal ini dapat berlaku, yaitu jika isbal itu tidak karena sombong tidak terlarang.”

Demikian pula Syeikh Abdullah bin Abdurrahman dalam Taudlîh al-Ahkâm-nya menyatakan bahwa: “Hadits Abu Bakar itu dapat dijadikan takhshish akan keumuman hadits isbal.”

Demikianlah pendapat para ahli hadits dalam menanggapi hadits Abu Bakar. Berarti tidak mengherankan jika ulama yang sekarang berpendapat bahwa hadits Abu Bakar itu dapat dijadikan takhshish, karena para ulama pendahulu juga berpendapat demikian.

3. Abu Bakar menyatakan: “Kecuali jika aku menjaganya dengan cermat.” Ini menunjukkan, bahwa Abu Bakar bisa kalau mau berusaha untuk tidak isbal (seperti pakai sabuk umpamanya). Maka dengan isbalnya Abu Bakar itu menunjukkan, bahwa isbal yang bukan karena sombong itu itu boleh. Untuk perbandingan, Nabi saw memerintahkan agar makan itu dengan tangan kanan, kemudian ada seorang shahabat yang menyatakan; “Saya tidak bisa ya Rasulullah.” Rasul menjawab: “Bukan tidak bisa, tetapi kamu itu sombong.” Dalam hal ini Nabi saw tidak memberikan kelonggaran karena memang betul-betul haram.

Dalam kasus Abu bakar, andai isbal itu tetap haram walau tidak sombong, tentu saja Nabi saw akan memaksa Abu Bakar untuk tidak isbal dan apa susahnya karena hanya tinggal pakai sabuk.

4. Mengenai rekomendasi Nabi saw terhadap Abu Bakar, tentu saja bukan hak prerogatif Nabi saw saja untuk menilai seseorang sombong atau tidak, lebih-lebih karena sombong itu perbuatan hati, berarti tergantung niatnya masing-masing. Berarti bisa saja yang tidak isbal itu sombong karena tidak isbalnya atau yang isbal sombong karena isbalnya, seperti larangan dalam al-Quran tidak boleh berjalan di muka bumi dengan sombong.

Dalam hal ini Nabi saw tidak menjelaskan, bagaimana kriteria sombong dalam berjalan, tentu saja ini berpulang kepada dirinya masing-masing dan ciri khas daerahnya yang tentu saja berbeda sesuai tuntutan dan kondisi daerahnya.

Demikian penjelasan saya tentang isbal yang merujuk kepada para ulama pendahuku (ulama salaf) dan berdasarkan rumusan-rumusan yang berlaku, seperti qaidah-qaidah ushul dan yang lainnya. Mudah-mudahan bermanfaat. Untuk kesimpulan akhirnya, saya serahkan saja kepada para pembaca. Karena memang, untuk menajamkan lagi masalah ini, tentu saja diperlukan diskusi atau dialog terbuka dengan hati yang ikhlas disertai semangat untuk mencari dan menerima kebenaran dari siapapun datangnya. Wallâhu a’lam bis-shawâb.


Sumber: Majalah Risalah No. 9 Th. 45 Dzulhijjah 1428 / Desember 2007

http://pemudapersis-cs.blogspot.com

No comments: