Tuesday, July 29, 2008

Kronologi Bentrok Warga dan Mahasiswa Sekolah Theologi Injil Arastamar

Image

Berikut ini kronologi bentrok warga Pinang Ranti dan Mahasiswa Sekolah Theologi Injil Arastamar seperti yang diceritakan oleh tokoh masyarakat Risman Hadi kepada Suara Islam, Ahad (27/7) kemarin.

Jum’at malam (25/7), diawali dari tertangkapnya mahasiswa yang berada di mess gang melinjo bernama Julius, dipergoki warga karena berusaha mencuri pompa air. Dari rumah warga dia diamankan ke rumah Ketua RW. Kemudian diserahkan ke petugas dan dibawa ke Polsek Pinangranti.

Tiba-tiba dari gang melinjo, ada warga melapor ke masjid kalau rumahnya dilempari oleh mahasiswa SETIA. Kemudian, warga ingin mengecek ke mess mahasiswa, ingin tahu alasan mengapa melempari rumah warga. “Ada maling dari pihak mereka, kok seolah-olah mereka nggak terima,” ujar Risman.

Pada saat ingin mengecek, ternyata warga sudah disambut dengan batu bata dan balok (di atas balok ada paku tajam). Ini seolah ada desain dimana ada pemicu awal. Kemungkinan maling itu sebagai pemicu.

Warga yang merasa terserang akhirnya mundur. Menunggu petugas datang. Begitu petugas datang, Massa yang ada ingin mengecek lagi kenapa mahasiswa melempari warga, tapi justru dari pihak mahasiswa lebih beringas akhirnya warga melayani. Terjadilah perang timpuk-timpukan. Walhasil warga yang kalah karena warga dari bawah, sementara mereka berada di tingkat 2 mess.

Hari Sabtu (26/7) pukul 1 pagi, massa dari warga kembali ke masjid. Kemudian dari arah bawah datang 6 orang berbaju hitam dan berkulit gelap, memancing kisruh kembali dan dikejar oleh warga. Bentrok kembali terjadi. Mereka mengaku dari polisi, tetapi saat diminta ditunjukkan KTA tidak mau. Hal itu membuat curiga warga, bahwa mereka itu provokator. Mereka pun dikejar oleh warga.

Keenam orang tak dikenal tersebut diduga bersembunyi di asrama mahasiswa putri.Dari dalam asrama, terdengar provokasi dengan kata-kata kasar, maka akhirnya warga spontanitas menyerang asrama. Penyerangan tersebut semata-mata akibat provokasi.

Sabtu siang kondisi aman seperti keseharian biasa. Namun malamnya, bentrok terjadi lagi. Sekitar 8 yang diduga preman dari pihak SETIA terlihat petantang-petenteng bolak-balik di depan Masjid, sedangkan di dalam Masjid ada pengajian. Salah satu dari mereka melempar masjid. Warga pun mengejar mereka.

Delapan orang tersebut masuk kembali ke dalam asrama putri. Ternyata di dalam asrama sudah ada sekitar seratusan orang. Melihat tersebut, warga agresif lagi ingin menangkap orang tersebut. Kemudian terjadi saling menyerang. Warga pada saat itu hanya membawa alat sekadarnya, seperti gagang sapu dan pentungan. Sementara pihak mahasiswa Kristen tampak lebih siap. Hal ini terbukti dengan adanya anak panah yang diarahkan pada warga.

Walhasil 15 orang warga terluka, 2 orang terkena panah (panah tersebut diduga berasal dari kupang). Panah tersebut berbau anyir, dan begitu luka keluar darah hitam. 3 orang petugas terkena batu yang kebanyakan terkena dari belakang. Karena posisi petugas dan warga berhadap-hadapan.

Pihak yayasan kemudian memohon pihak kepolisian mengevakuasi mahasiswa yang berada di sana. “Jadi, selesai bikin masalah, mereka minta evakuasi,” kata Risman. Dia pun sempat bersitegang dengan kepolisian, menuntut preman yang berada di dalam asrama mahasiswi tersebut untuk ditangkap.

Bentrok masih terjadi. Akhirnya polisi mengeluarkan gas airmata. Evakuasi dilakukan, dan diduga ada sekitar 100 orang di dalam karena petugas membawa mereka dengan menggunakan 3 truk.

Pantauan Suara Islam langsung dari lapangan di hari Ahad (27/7) siang, kondisi kembali tegang setelah tertangkapnya 2 pemuda berkulit hitam oleh warga. Mereka berusaha masuk ke dalam kampus SETIA. Sementara itu, beredar isu akan datang preman Ambon dan Tanah Abang yang sengaja dipanggil oleh pihak yayasan untuk mengamankan kampus.

Sorenya, Walikota bersama jajaran aparat setempat menggelar rapat. Hasilnya, Walikota berjanji akan mengevaluasi keberadaan kampus SETIA dan jika dimunginkan akan direlokasi dari Pinangranti. Malamnya, pihak kepolisian mengevakuasi sekitar 1300 mahasiswa dari dalam kampus SETIA. [www.suara-islam.com]

Wednesday, July 16, 2008

Liburan Anak-anak ke Polda Metrojaya

oleh Dzikrullah *
Hari-hari ini, sebagian besar anak kita yang duduk di bangku SD sampai SMA memulai liburan kenaikan kelas dan lulusan sekolah. Sebelum berangkat ke Bandung, Pulau Seribu, Jogja atau ke Bukittinggi untuk bersenang-senang, ada baiknya Anda ajak dulu anak-anak kita ke Gedung Tahanan Narkoba Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Letaknya di bagian belakang komplek Polda Metrojaya, persis di dekat Masjid Al-Kautsar yang indah dan megah.

Untuk apa?. Untuk berkenalan dengan para pengedar dan pengguna narkotika dan obat-obat terlarang? Bukan!!.

Tetapi untuk berkenalan dan bersalaman dengan ulama dan penjuang Islam yang sedang dizalimi, dipenjara oleh penguasa negeri ini, Habib Rizieq Shihab, ulama pemimpin gerakan 'amar ma'ruf nahiy munkar Front Pembela Islam, dan Munarman, Panglima Komando Laskar Islam serta kawan-kawannya.

Kedua tokoh ini dipenjara karena dituduh mendorong anak buahnya yang sedang berdemonstrasi di depan Istana Presiden menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, untuk menyerang kelompok demonstran lain Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang hendak menyatakan pembelaannya terhadap Ahmadiyah, gerakan yang ajaran sesatnya diaku-akui Islam.

Mengunjungi Habib Rizieq dan Munarman adalah kesempatan yang baik untuk memperkenalkan anak-anak kita kepada kedua tokoh yang melawan kemunkaran dengan tangan ini.

Baik Habib Rizieq dan Munarman sama-sama bukan manusia sempurna. Banyak kekurangannya. Namun di tengah semakin suburnya penyakit al-Wahn (cinta dunia-benci mati) di kalangan tokoh Indonesia, kedua tokoh ini cukup menarik untuk dikenali lebih dekat.

Habib Rizieq Shihab adalah seorang kandidat doktor di Universiti Malaya, Kuala Lumpur. Tesis masternya yang dipuji oleh para guru besarnya itu berjudul “Pengaruh Pancasila terhadap Pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia”.

Karena dianggap baik mutu riset dan penulisan tesisnya itu, para guru besar universitas tertua di Malaysia itu langsung mendukung Habib Rizieq meneruskan pendidikannya ke jenjang doktor.

Front Pembela Islam (FPI) yang beliau pimpin sejak tahun 1999 mulai dikenal masyarakat sejak mereka memberantas preman-preman yang menjadi centeng tempat-tempat maksiat di kawasan Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.

Salah satu yang dilawannya adalah preman-preman Kristen asal Ambon berjumlah ratusan orang yang “dideportasi” pulang ke kampungnya. Mereka inilah yang kemudian mengobarkan pengusiran dan pembantaian Umat Islam di Ambon Idul Fitri tahun 1999.

Jama'ah FPI menandai keberadaannya di Jakarta sebagai kelompok yang melawan kemunkaran dengan tangan. Dalam praktiknya, FPI selalu memberikan peringatan kepada tempat-tempat maksiat agar menghentikan kegiatannya, terutama di bulan Ramadhan.

Biasanya mereka bergerak setelah peringatan mereka kepada tempat-tempat tersebut dan pemberitahuan mereka kepada pihak kepolisian diabaikan.

Inisiatif FPI tersebut sering disebut anarkisme. Namun, mereka yang menuding demikian belum ada yang benar-benar pernah menghitung betapa besar anarkisme yang diakibatkan tempat-tempat maksiat itu selama bertahun-tahun.

Waktu Tsunami menghancurkan Aceh, para da'i FPI telah mewakili umat Islam Indonesia untuk mengurus ribuan jenazah orang Aceh yang bergelimpangan dan sebagian besar telah membusuk .

Habib Rizieq sendiri turun tangan. Setiap pagi, setelah apel dan memberi nasihat di posko mereka di Taman Makam Pahlawan Banda Aceh, Habib memimpin anak buahnya berjalan kaki ke masjid di seberang posko untuk menunaikan shalat dua rakaat. Baru setelah itu mereka menyebar ke seluruh penjuru Banda Aceh untuk mengurus jenazah-jenazah, membungkusnya, menshalatkannya dan menguburkannya dengan penuh ketelatenan dan kesabaran.

Munarman dulunya dikenal sebagai aktivis HAM sampai ia menjadi Ketua Kontras dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia. Istri Munarman yang beberapa waktu lalu diwawancarai sebuah stasiun televisi mengatakan, “Sejak mengaji sungguh-sungguh, dia (Munarman) hidupnya lebih teratur dan semakin sayang kepada istri dan anak-anaknya.”

Tahun lalu, didukung oleh beberapa tokoh Indonesia, seperti Ustadz Abu Bakar Baasyir, Munarman membentuk dan memimpin Brigade Pemburu Koruptor (BPK).

Pemuda Palembang kelahiran 1968 itu secara terang-terangan menyebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai target buruannya, selain para bankir penerima dan pengemplang dana milik rakyat Indonesia lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) seperti Liem Sioe Liong, Hendra Tjipta, dan lain-lain.


Illustrasi Museum "Nahi Mungkar"

Ajaklah anak-anak kita duduk bersama Habib Rizieq dan Munarman di gedung empat lantai itu Polda Metrojaya itu. Setiap hari, kedua tokoh itu menerima tamu hampir tanpa henti sejak jam 10 pagi sampai jam 3 sore.

Sebelum memasuki gedung, Anda akan diminta meninggalkan telefon genggam dan tanda identitas seperti KTP atau SIM di pintu depan yang dijaga dua orang petugas polisi yang ramah dan sopan. Tak usah khawatir. Titipkan saja. Allah yang menjaganya.

Tas dan barang bawaan juga akan dititipkan kepada seorang petugas yang duduk di bagian dalam gedung itu. Setelah tas diberi nama pemiliknya, Anda dan anak-anak Anda akan dipersilakan menemui Habib Rizieq di sebuah ruangan berukuran kira-kira 4x7 meter yang jendelanya sempit dan sengaja dipasang setinggi mungkin.

Di pintu ruangan itu tertera tulisan “ruang rapat”. Para tamu akan dipersilakan duduk lesehan di beberapa lembar tikar dan karpet sederhana. Foto Presiden SBY dan wakilnya Jusuf Kalla yang nampak tersenyum digantung didinding dan di tengahnya ada gambar Garuda Pancasila akan menemani kunjungan Anda sampai pulang.

Jangan lupa bawa koran atau majalah yang bisa Anda gunakan menjadi kipas, karena ruangan tanpa pendingin udara dan kipas angin itu cukup membuat gerah karena panasnya. Tak usah bawa minum. Seorang santri FPI akan menyediakan segelas air minum kemasan untuk Anda dan anak-anak, lengkap dengan sedotan lancipnya.

Biarkan mata jiwa anak-anak Anda yang masih suci merekam wajah Habib Rizieq yang teduh dengan senyumnya yang hangat. Biarkan juga anak-anak Anda merekam suaranya yang ramah saat menanyakan kabar mereka. Biarkan juga mereka merekam suara Habieb Rizieq yang menggelegar saat berbicara tentang kezaliman. Bukan kezaliman atas dirinya, ia tak terlalu pusing. Tetapi kezaliman atas Islam dan umat Islam.

“Orang yang membela Ahmadiyah, yang ajaran utamanya meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, sama dengan mengatakan bahwan Muhammad Sallallaahu 'alayhi wa sallam adalah PENDUSTA! Karena beliau mewasiatkan kepada kita, “tidak ada nabi lagi sesudah aku”. Kalau karena melawan kemunkaran itu saya harus masuk penjara, ya sudah.. biarin..” kata Habib Rizieq.

Munarman akan Anda temui di lantai 3 gedung itu. Silakan minta tolong kepada petugas yang berjaga di lantai itu untuk memanggilkan beliau. Sel baja berwarna kecoklatan karena karat akan terbuka pelan saat pria langsing itu keluar dari dalamnya. Kemungkinan besar dia akan mengenakan baju koko berlengan pendek dan bersarung biru putih kotak-kotak. Yang pasti, kenal ataupun tidak Munarman dengan Anda dan anak-anak Anda, pengacara yang sering membeberkan nama-nama LSM penadah uang dari Amerika ini akan menerima Anda dengan senyum ramah.

Seterusnya, nikmati saja pembicaraan yang mengasyikkan dan penuh canda tawa.

Sebelum pulang, ajaklah Habib Rizieq dan Munarman mendoakan anak-anak Anda agar mereka tumbuh menjadi Muslim yang kuat dan pemberani seperti mereka.

Terutama agar mereka berani berpaling dari kenikmatan palsu dunia untuk berpegang teguh pada kebenaran Islam yang memang semakin berat ujiannya.

Jangan khawatir, para Nabi dan Rasul pendahulu kita sudah mengalami hal-hal yang jauh lebih berat dari siapapun di zaman kini. Kalau mau hidup nikmat, nanti di syurga. [www.hidayatullah.com]

*Penulis Wartawan di Brunei Times


sumber:
swaramuslim

Sunday, July 13, 2008

Mencegah Sekularisasi Pancasila

Oleh K.H. Ma'ruf Amin

Maklumat keindonesiaan yang digagas dalam simposium nasional bertema ''Restorasi Pancasila'' di Fisip UI pada 30-31 Mei 2006 dan dibacakan Todung Mulya Lubis pada peringatan Hari Lahir Pancasila, menarik dicermati. Maklumat itu menegaskan Pancasila bukanlah agama dan tak satu agama pun berhak memonopoli kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila. Maklumat juga menegaskan keluhuran sosialisme dan keberhasilan material yang diraih kapitalisme.




Kita tidak tahu ada apa di balik penegasan itu. Di satu sisi dinyatakan tak satu agama pun boleh mendominasi kehidup-an yang dibangun berdasarkan Pancasila, sementara sosialisme --yang dibangun berdasarkan ideologi materialisme dan antiagama, dan karenanya bertentangan dengan nilai Pancasila--- justru diagung-kan. Demikian juga dengan kapitalisme yang dibangun berdasarkan sekularisme dan 'setengah' antiagama, serta nyata-nyata melahirkan ketidakadilan global --yang bertentangan dengan nilai Panca-sila-- malah dipuja-puja.

Vision of state

Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Meski demikian, bukan berarti Pancasila antiagama, atau agama harus disingkirkan dari 'rahim' Pancasila. Karena agama diakui, dilindungi, dan dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Masing-masing agama berhak hidup dan pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya.

Dengan nilai dan visi ketuhanan, arah Indonesia bukanlah negara sekuler, juga bukan sosialis-komunis maupun kapi-talis-liberal. Sangat ganjil dan aneh jika agama --khususnya Islam-- hendak disingkirkan dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan, dengan logika tidak boleh ada satu agama (kebenaran) yang mendomi-nasi. Hak umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya selalu saja dibenturkan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Karena itu, maklumat atau logika-logika sejenisnya hanyalah tafsiran nisbi, bahkan (maaf) sangat absurd. Tapi selalu dipaksakan segelintir orang kepada ma-yoritas rakyat di negeri ini. Aneh, me-mang, mereka memaksakan tafsirannya atas kebenaran. Bahkan memonopoli tafsiran itu dan dipaksakan kepada orang lain.

Ini bentuk inkonsistensi cara berfikir. Tapi, bagi mereka, justru ini merupakan bentuk konsistensi, konsistensi menolak Islam. Karena itulah, hubungan antara agama --khususnya Islam-- dengan negara tak pernah solid karena adanya pihak yang terus-menerus membentur-kan agama dan negara.

Ketika bangsa yang mayoritas Muslim ini berhasil menyelenggarakan pemilu, mereka berteriak lantang bahwa demok-rasi kompatibel dengan Islam. Tapi giliran umat Islam menuntut syariatnya diterapkan, mereka menolak dengan menggunakan tafsir kebenaran sendiri yang (maaf) sudah klise.

Cara berpikir seperti ini tentu picik dan tidak jujur. Picik, karena selalu menggunakan Pancasila dan konstitusi sebagai pelarian. Tidak jujur, karena orang-orang itu tidak mau menerima kenyataan, bahwa demokrasi yang mereka agung-agungkan mengajarkan vox populi, vox dei (suara rakyat suara tuhan). Jika rakyat yang mayoritas menginginkan kehidupan mereka diatur syariat, mengapa mereka harus menolak?

Kalau kepicikan dan ketidakjujuran ini terus dipraktikkan, kalangan Muslim yang masih menerima demokrasi pun pada akhirnya akan muak. Pada akhirnya, umat Islam akan membuktikan sendiri bahwa demokrasi hanyalah jargon kaum kapitalis-sekuler untuk mempertahan-kan kepentingan mereka.

Sekularisasi Pancasila


Pengamat Politik LIPI, Mochtar Pabottingi, juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang menda-hului berdirinya Republik Indonesia (Republika, 1/6). Visi itu kemudian dituangkan dalam Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan ''negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa''. Artinya, dengan visi itu, para pendiri negara ingin menegaskan bahwa negara yang diba-ngunnya bukanlah negara sekuler.

Karena itu, tidak ada satupun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama dijadikan sebagai sumber hukum. Bahkan, banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan bahwa Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Maka, penegasan bahwa Pancasila bukanlah agama dan agama tidak boleh memonopoli kebenaran, jelas merupakan upaya untuk menistakan agama, dan memisahkan Pancasila dari agama.

Sebagai open idea (ide terbuka) atau open value (nilai terbuka) --sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden SBY pada 1 Juni 2006-- seharusnya kontribusi agama dalam membimbing visi yang dicita-citakan itu tidak boleh dibendung. Apalagi dengan membenturkannya.

Apakah kontribusi agama, tepatnya penerapan syariat Islam akan mengan-cam keharmonisan warga negara yang memiliki agama dan keyakinan yang plural? Mari jujur melihat fakta. Pertama, Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sedangkan agama-agama lain tidak memiliki syariat yang mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, politik luar negeri. Agama-agama itu hanya mengatur urusan-urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin, dan cerai.

Kedua, sebagai agama yang menole-ransi kemajemukan agama warganegara, Islam memiliki perspektif bahwa peng-aturan urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin, dan cerai pemeluk agama lain diserahkan kepada agama masing-masing. Islam menjamin kebe-basan mereka untuk menjalankan syariat agamanya.

Ketiga, bilamana syariat Islam --dalam posisi sebagai produk hukum sebagaimana hukum yang dihasilkan oleh ideologi kapitalisme atau sosialisme-- diadopsi suatu negara yang memiliki warga negara yang terdiri atas berbagai pemeluk agama, maka penerapan syariat Islam --sebagaimana juga produk hukum lain dari ideologi kapitalis ataupun sosi-alis-- yang bersifat mengikat dan memak-sa semua warga negara, adalah hukum-hukum yang bersifat umum. Seperti urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, dan politik luar negeri.

Dengan demikian, secara normatif tidak akan pernah terjadi benturan atau disharmoni dalam hubungan antara Muslim dan non-Muslim. Secara historis, kondisi itu telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun, ketika Spanyol hidup dalam naungan Islam. Tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan. Ma-sing-masing pemeluknya bebas menja-lankan syariat agamanya, dijamin oleh negara. Inilah yang diabadikan oleh Mc I Dimon, sejarawan Barat, dalam Spain in the Three Religion. Untuk kasus Indo-nesia, kita tidak mungkin menyingkirkan fakta bahwa: pertama, Islam telah tumbuh dan berkembang di Indonesia lebih dari 500 tahun. Kedua, Islam dianut mayoritas, sekitar 87 persen. Ketiga, hukum Islam hidup di masyarakat Indonesia lebih dari 500 tahun, sehingga hukum Islam sudah menjadi law life (hukum yang hidup). Wajar kalau syariah Islam menjadi sumber hukum peraturan perundangan di Indonesia. Aneh kalau ada yang menentangnya. Wallahu a'lam. [Dikutip dari Republika 14/06/2006/opini/syabab.com]

Friday, July 11, 2008

Gadis Berjilbab Itu Jadi Bintang Tim Sepakbola Perempuan Denmark



Zainab al-Khatib, muslimah asal Denmark, bisa jadi satu-satunya pemain sepakbola perempuan berjilbab saat ini. Kehadirannya seperti oase di tengah situasi yang masih menghangat akibat kasus pelecehan Rasulullah Saw oleh sejumlah media massa Denmark. Zainab baru-baru ini terpilih untuk memperkuat tim nasional kebelasan sepakbola perempuan Denmark, setelah Danish Football Association (DBU) memberi izin Zainab tetap mengenakan jilbabnya saat berlaga di lapangan hijau. Dan izin itu tidak hanya berlaku di Denmark, tapi juga untuk seluruh wilayah Eropa, jika Zainab memperkuat timnya di luar wilayah Denmark.

Kelihaian Zainab menggiring bola dan mencetak gol-gol yang spektakuler mengundang decak kagum. Tak heran kalau gadis berjilbab itu kini menjadi pusat perhatian para penggemar bola di Denmark. "Saya sangat senang saya bisa menjadi teladan di Denmark, " kata Zainab yang memulai karir sepakbolanya tiga tahun yang lalu.

Ia berhasil mencetak gol dan membawa kemenangan gemilang bagi timnya saat melawan tim Swedia belum lama ini. "Zainab memiliki kepribadian yang kuat, perilakunya selalu positif dan memberikan inspirasi baik di dalam maupun diluar lapangan, " kata pelatih Zainab, Troel Mansa.

"Dia adalah salah satu pemain terbaik saya. Saya senang bisa menjadi pelatihnya, " puji Mansa.

Zainab yang masih berusia 15 tahun itu, kini menempati posisi sebagai penyerang dalam timnya. Ia baru mengenakan jilbab setahun yang lalu. Ibundanyalah yang menolong Zainab mendisain jilbab yang nyaman dipakai saat ia bermain sepakbola.

"Ia memang seorang Muslim yang taat, dan kami layak mendukungnya untuk meraih impiannya dalam bidang olahraga. Saya bangga, Zainab bisa membuktikan bahwa mengenakan jilbab bukan berarti ia kehilangan haknya untuk menekuni olahraga, " kata Ibrahim al-Khatib, ayah Zainab.

Pelatih Zainab, Manas juga mengatakan bahwa jilbab Zainab tidak pernah menjadi kendala. "Kami hanya menaruh minat pada ketrampilan dan kepribadiannya. Saya tidak pernah mendengar ada pemain atau pelatih yang mengungkapkan keberatan tentang jilbabnya, " tukas Manas.

Zainab mengakui bahwa teman-teman satu timnya sangat memberikan dukungan padanya. "Mereka menerima saya, dan saya tidak mengalami hambatan apapun. Waktu tim kami melawan tim Swedia, beberapa pemain tercengang melihat jilbab saya, tapi tak satupun yang menyatakan keberatan, " kata Zainab.

Zainab menganggap masalah jilbab seharusnya tidak perlu diributkan."Saya merasa senang, bisa menyeimbangkan kewajiban agama dengan hobi saya, " sambungnya.

Menurutnya, ia ingin menunjukkan bahwa warga Muslim Denmark ingin berbaur dengan seluruh lapisan masyarakat. "Saya melihat diri saya sendiri sebagai seorang Muslim Denmark yang secara efektif memberikan kontribusi bagi masyarakat dan bangga bisa menjadi wakil negara ini di luar negeri, " tukas gadis keturunan Palestina yang juga aktif di lembaga sosial Islam di kotanya, Odense dan bercita-cita jadi dokter ini.

Zainab beruntung bisa bebas mengenakan jilbabnya tanpa harus kehilangan kesempatan berprestasi di bidang olahraga yang digemarinya. Pasalnya, beberapa muslimah berjilbab tidak seberuntung Zainab.

Pada Maret 2007, International Football Association Board (IFAB) menyatakan jilbab dilarang dalam permainan sepakbola, setelah seorang muslimah berjilbab Kanada dikeluarkan dari tim sepakbolanya karena mengenakan jilbab. Kemudian, pada Januari 2008, seorang muslimah siswa menengah di AS yang juga atlet lari, dikeluarkan dari kompetisi juga karena mengenakan jilbab. Pada November 2007, seorang anak perempuan berusia 11 tahun, dilarang ikut turnamen nasional Yudo di Kanada, karena ia mengenakan jilbab. (ln/iol/eramuslim)

Wednesday, July 02, 2008

Islam dan Pembebasan

oleh: Asghar Ali Engineer

Islam dan Negara

Konsep masyarakat politik (polity) dalam Islam terutama haruslah didasarkan pada ajaran Al-Qur'an. Dan sejauh menyangkut kitab suci ini, dapat dimengerti sepenuhnya bahwa sejak semula Al-Qur'an tidak memberikan konsep tentang negara, melainkan konsep tentang masyarakat. Perbedaan ini harus diingat dalam perdebatan tentang negara Islam. Harus diingat pula, Al-Qur'an lebih bersifat simbolik daripada deskriptif dan karena itu validitas dan vitalitasnya terletak pada interpretasi dan reinterpretasi simbol-simbol ini, sesuai dengan perubahan-perubahan situasi ruang dan waktu.

Ada perbedaan pandangan tentang konsep negara dan masyarakat politik dalam Islam.[1] Ali Abd al-Raziq dalam bukunya "Fundamentals of Government" (al-Islam wa ushul al-Hukm) berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan duniawi; hal ini diserahkan untuk dipikirkan secara bebas oleh pemeluk-pemeluknya. Lebih lanjut ia menyebutkan, bahwa Al-Qur'an tidak pernah menyebut khalifah; artinya kekhalifahan bukanlah bagian dari dogma Islam. Ide tentang kekhalifahan dibuat oleh kitab-kitab fiqh yang disusun beberapa abad setelah wafatnya Nabi.[2] Di pihak lain, ada pula pendapat yang umumnya dianut oleh ulama kita, bahwa agama dan politik merupakan dua hal yang tak dapat dipisah-pisahkan dalam Islam. Pendapat ini umumnya diterima oleh kaum Muslim ortodoks. Namun, persoalannya menjadi sangat kompleks dan berjalin dengan berbagai faktor sehingga sangat sulit dipadukan begitu saja dengan pendapat lain.

Untuk memahami masalah ini secara tepat, kita mesti mempertimbangkan beberapa kondisi politik yang ada di Mekkah sebelum Islam dan bagaimana masyarakat Islam secara bertahap mulai terwujud. Mekkah, sebagaimana telah dikemukakan pada bab yang lalu, didominasi oleh suku Quraisy, yang terdiri dari bermacam-maca klan. Tentu, ada beberapa suku lain selain Quraisy, namun posisi mereka subordinatif dan pinggiran. Menarik untuk ditelaah, bahwa meskipun merupakan pusat perdagangan internasional, Mekkah tidak mempunyai struktur pemerintahannya sendiri. Lembaga kerajaan tidak dikenal, tidak pula ada perangkat negara yang dapat dibandingkan dengan negara mana pun.

Tidak ada penguasa turun temurun, juga tidak ada pemerintahan yang dipilih secara formal. Yang ada hanyalah suatu dewan suku yang dikenal dengan mala' (semacam senat). Senat ini terdiri dari perwakilan klan yang ada. Hal penting yang mesti dicatat mengenai mala' ini, ia hanya berupa badan perundingan dan tidak mempunyai badan eksekutif. Di samping itu, setiap unsur klan yang ada di senat secara teoritik independen, dan karena itu, keputusan yang dilahirkan tidak mengikat.[3] Mala' tidak mempunyai hak untuk menarik pajak dan melengkapi dirinya dengan polisi atau angkatan bersenjata, yang merupakan perangkat bagi sebuah negara untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum. Namun, perkembangan dunia perdagangan yang begitu pesat, pada akhirnya menuntut adanya perangkat kenegaraan. Di tengah kekosongan negara secara institusional, maka tidak ada teori politik yang koheren yang bisa menjelaskannya. Paling-paling orang hanya bisa mengatakan, bahwa sebelum kemunculan Islam di Mekkah terdapat demokrasi kesukuan primitif.

Di Medinah lah Nabi mulai memberikan perhatian yang cukup serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima semua pihak untuk menangani semua urusan yang ada di kota itu. Menarik untuk dicatat, bahwa masyarakat Medinah adalah masyarakat pluralistik baik dari segi ras maupun agama. Di sana terdapat campuran ras Yahudi, Arab pengelana, terutama yang termasuk ke dalam dua suku Aus dan Khazraj, serta kaum Muslimin emigran dari Mekkah.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa heterogenitas masyarakat Medinah waktu itu, sama dengan masyarakat di negeri-negeri sekuler modern dewasa ini. Negeri dengan ragam ras, suku dan agama itu dipersatukan di bawah kepemimpinan Nabi dan itulah yang disebut ummah. Meskipun seringkali kata ummah diterapkan hanya untuk komunitas Muslim, tapi sulit bagi kita untuk mendukung klaim seperti itu.

Barakat Ahmad mengatakan, "Para orientalis membeda-bedakan perkembangan istilah Al-Qur'an tersebut. Sebagian sarjana Muslim menyatakan bahwa istilah ummah menggambarkan masyarakat Muslim, tapi ini tidak seluruhnya benar. Istilah ini menggambarkan kedudukan secara de facto. Secara teoritik, penggunaan istilah ummah selama karir kerasulan tidak terbatas pada komunitas Muslim saja.[4] Nabi membuat suatu masyarakat politik di Medinah berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang disusun oleh Nabi itulah yang dikenal dengan Piagam Madinah atau Sahifah. Dan masyarakat yang terikat dengan perjanjian itu disebut "masyarakat Sahifah".[5]

Bagi masyarakat Arab yang sebelumnya tidak pernah hidup sebagai komunitas antar-suku dengan kesepakatan bersama, dokumen seperti itu tentulah sangat revolusioner dan mendukung inisiatif Nabi untuk membangun basis bagi berlakunya prinsip hidup berdampingan secara damai (co-existence). Nicholson mengkomentari dokumen ini:

"Tidak ada seorang peneliti pun yang tidak terkesan pada kejeniusan politik penyusunnya. Nyatalah bahwa memperbaharui dengan hati-hati dan bijaksana, adalah realitas suatu revolusi. Muhammad tidak menyerang secara terbuka indenpedensi suku-suku tersebut, tetapi memusnahkan pengaruhnya dengan mengubah pusat kekuatan dari suku ke masyarakat ..."[6]

Kiranya pada tempatnya, jika kita perhatikan beberapa ketentuan dari Sahifah itu. Ibnu Hisyam menyampaikan kepada kita: "Ibnu Ishaq berkata, bahwa Rasulullah menyusun suatu persetujuan antara Muhajirin dan Anshar, di dalamnya termasuk orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi diizinkan untuk tetap memeluk agamanya dan menjaga harta kekayaan mereka. Dokumen itu dimulai dengan nama Tuhan Maha Pengasih Maha Penyayang. Ini perjanjian antara Muhammad dan orang-orang mukmin dan Muslim Quraisy dan Yastrib (Medinah) dan orang-orang yang mengikuti mereka dan orang-orang yang terikat padanya dan orang-orang yang mendukung mereka. Mereka adalah umat yang satu yang berbeda dengan umat yang lainnya. Orang-orang Yahudi akan berbagi tanggungjawab dengan orang-orang Muslim selama mereka berjuang. Orang-orang Yahudi dari Bani Auf akan menjadi satu Ummah dengan orang-orang Muslim. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi Muslim agama mereka pula..."[7]

Dokumen ini meletakan dasar bagi komunitas politik di Medinah dengan segala perbedaan yang ada: suku, kelompok-kelompok dan agama -- dengan menghormati kebebasan untuk mengamalkan agama mereka masing-masing. Dengan demikian dapat dilihat, bahwa Nabi menyusun suatu persetujuan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama, bukan mendirikan sebuah "negara teologis."[8] Semua kelompok agama dan kelompok suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi dan kebiasaan mereka masing-masing. Dengan demikian, persetujuan tersebut, lebih didasarkan pada konsensus daripada berdasarkan pada paksaan dan ini mirip dengan perkembangan politik negara modern. Berbicara secara historis, suatu kontrak yang berakar dari tradisi kesukuan, toh demokratis, baik dari segi semangat maupun prakteknya. Selain itu, aparat negara yang memaksa, belum berkembang di bagian negeri Arab itu. Meskipun begitu, tekanan-tekanan sosial sudah berfungsi.

Pendukung "negara teokratik" sering berdalih bahwa dokumen Piagam Madinah itu dibuat ketika Muslim masih menjadi minoritas dan hukum Islam memang belum seluruhnya diwahyukan, dan oleh karena itu terhapus oleh perkembangan-perkembangan kemudian. Namun dalih ini tidak dapat dipertahankan, terutama jika kita cermati ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kemudian secara terbuka. Pertama, dalam hal lain, sunnah Rasulullah tidak dibatalkan, lebih-lebih lagi dalam persoalan ini, yang merupakan persoalan yang paling vital dalam kebijakan Islam. Kedua, ayat-ayat terakhir Al-Qur'an tidak membatalkan apa yang disepakati di dalam Sahifah. Kalaulah orang-orang Yahudi dihukum, seperti diperintahkan wahyu terakhir, itu karena mereka mengingkari kesepakatan. Sahifah tidak pernah dibatalkan. Semangatnya mempunyai validitas hingga sekarang.

Dokumen itu memberikan landasan, pertama, yang menjamin otonomi bagi kelompok yang beragama, kebebasan untuk memeluk dan melaksanakan suatu agama, adat dan tradisi, serta persamaan hak bagi semua orang. Kedua, dokumen itu jelas menekankan pada sisi demokrasi dan konsensus, bukan pada tekanan dan paksaan. Dari sini, juga penting untuk dicatat, bahwa dalam masalah politik pemerintahan, Nabi tidak menggunakan otoritas teologis. Dokumen itu, setelah kita kaji, sama dengan teori kontrak sosialnya J.J Rousseau. Bagi Rousseau, kebebasan bukanlah kebebasan liberal atau kebebasan individu 'dari' masyarakat, tapi kebebasan yang dilaksanakan di dalam dan untuk seluruh masyarakat. Artinya, manusia dibebaskan oleh masyarakat yang membebaskan. Kebebasan tidak dicapai dengan cara menyingkirkan orang lain, tapi merupakan implikasi positif dari kebebasan untuk semua.[9]

Seperti disinggung di awal bab ini, Al-Qur'an memberikan konsep tentang masyarakat, bukan konsep pemerintahan. Sekali lagi ditegaskan, bahwa Al-Qur'an berangkat dari kesadaran sejarah. Pendekatannya bersifat temporal, namun juga memperhatikan nuansa spasial. Perintah-perintah Al-Qur'an di samping bersifat multi-dimensional juga bersifat transendental. Jika dilihat dalam konteks yang tepat, tidak ada dalam Al-Qur'an sesuatu yang tidak berlaku. Artinya, validitas Al-Qur'an tetap terjaga dalam kerangka spasio-temporal. Dalam mengkaji Al-Qur'an, terasa ada ketegangan antara yang eksistensial dan yang transendental. Dari ketegangan itulah dorongan ke arah kemajuan dan gerakan yang kreatif dapat terpenuhi. Berikut kita sedikit akan menguraikan masalah ini

Lalu, apa tujuan 'negara' Islam? Dengan kata lain, masyarakat yang seperti apa yang ingin diwujudkan Islam? Dalam karya-karya pemikir Islam abad pertengahan yang diikuti oleh para ulama hingga sekarang, pusat perhatiannya adalah pada konsep akhirah. Menurut mereka, seluruh perhatian tertuju pada penciptaan suatu tatanan sosial yang akan mempersiapkan manusia menuju akhirat itu. Hasi dari interpretasi seperti itu (yang sudah menjadi jamak pada periode pertengahan), adalah reduksi agama menjadi murni 'olah spiritual' yang tidak mempunyai muatan transformatif sama sekali. Sementara itu, elit kekuasaan membangun suatu aparatur negara yang refresif dan para ulama telah menjadi bagian dari kekuasaan itu. Akibatnya, Islam harus menjadi 'pelayan' kekuasaan dengan cara melakukan spiritualisasi dan mistifikasi ajarannya.

Perangkat kenegaraan yang sangat menindas (yang sangat bertentangan dengan apa yang dicontohkan Nabi dalam dokumen politiknya) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Islam, bahkan sejumlah hadist telah dibuat untuk menjustifikasi situasi itu. Ayat Al-Qur'an yang terkenal: "Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (orang-orang yang berkuasa) di antara kamu. Jika kamu berbeda tentang sesuatu, maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah dan Rasul-Nya, apabila kamu iman kepada Allah dan hari kiamat",[10] dijadikan argumen, bahwa siapapun yang berkuasa, haruslah ditaati. Dalam beberapa kasus hadist ini diberi catatan tambahan "sepanjang penguasa itu tetap melakukan shalat".[11] Ibn al-Muqaffa, seorang pemikir politik Islam yang besar, mengutip beberapa hadits Nabi untuk menekankan ketaatan yang total dan tidak bersyarat kepada khalifah. "Siapa yang taat kepadaku", ia mengutip kata-kata Nabi "sungguh telah mentaati Tuhan; dan siapa yang mentaati Imam, sungguh telah mentaati aku". (Di sini, "imam" menunjuk pada khalifah ketika itu). Menurut hadist lain lagi, "Bahkan andai seorang budak berkulit hitam dijadikan raja, maka dengarkanlah dan taatilah dia". Ibn Muqaffa lebih lanjut berpendapat bahwa loyalitas terhadap imam adalah sesuatu yang esensial, bahkan andaipun ia menjadi seorang tiran, karena imam bagaimanapun berada pada 'pengawasan' karsa Tuhan. Untuk mendukung pendiriannya, ia menggelar sebuah hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi pernah berkata:

"Bila Allah bermaksud baik terhadap suatu masyarakat, Dia mengangkat bagi mereka seorang penguasa yang baik dan meletakkan harta benda mereka di tangan orang-orang yang toleran; dan ketika Dia menghendaki memberikan cobaan berat kepada mereka, Dia mengangkat untuk mereka seorang penguasa yang tiran dan mempercayakan harta benda mereka di tangan orang-orang serakah."[12]

Namun sulit untuk mendapatkan dukungan bagi teori-teori politik itu di dalam Al-Qur'an sendiri. Al-Qur'an secara tuntas menekankan pada penciptaan masyarakat yang adil dan egalitarian. Ia berulang-ulang memperingatkan orang-orang beriman agar bersikap adil. "Dan jika engkau memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan adil, sungguh Allah menyukai orang-orang yang adil", kata Al-Qur'an.[13] Allah jelas tidak akan memberikan kekhalifahan-Nya kepada orang-orang yang tidak adil dan para tiran. Lebih lanjut Al-Qur'an mengatakan, "Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman; Sesungguhnya aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia." Dan Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) keturunanku (menjadi pemimpin bagi mereka). Allah berfirman: "janjiku tidak mengenai orang-orang yang dzalim."[14]

Inilah ayat yang paling bermakna dari Al-Qur'an. Nabi Ibrahim diangkat menjadi pemimpin (imam) hanya setelah menunaikan perintah Tuhan dan ketika ia berdo'a untuk menyertakan juga keturunannya agar menjadi pemimpin kelak, maka Tuhan menegaskan bahwa hal itu tidak mungkin bagi orang-orang yang dzalim dan tiran. Politik Islam, sebagaimana digambarkan Al-Qur'an, tidak mengizinkan memapankan ketidakadilan dan kekuasaan yang tiranik. Dzulm (penindasan) dikutuk dengan istilah-istilah yang sekeras mungkin. "Betapa banyak kota yang telah dihancurkan karena penduduknya sangat dzalim", kata Al-Qur'an.[15]

Ada kesalahan yang serius mengenai konsep Islam tentang jihad (perang suci). Jihad tidak dibenarkan untuk menyebarkan Islam secara paksa, atau untuk menjajah dan memperbudak orang lain. Apalagi dengan menjarah dan merusak kota. "Dia berkata, sesungguhnya raja-raja ketika memasuki sebuah negeri niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina. Dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.[16] Jihad yang secara harfiah berarti "berusaha keras", dimaksudkan hanya untuk menegakkan keadilan dan perang harus dilakukan sampai semua bentuk penindasan berakhir. Al-Qur'an mengizinkan penggunaan kekerasan dalam perjuangannya melawan kedzaliman dan ketidakadilan. Sebenarnya, pembalasan terhadap penindasan dan kedzaliman dianggap sebagai sebuah kebajikan. "...Selamatkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan sesudah mengalami tindak kedzaliman. Mereka yang berbuat dzalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali", kata Al-Qur'an.[17]

Aspek penting lain dari masyarakat politik Islam adalah, bahwa Islam menganggap seluruh manusia sama, tanpa perbedaan warna kulit, ras atau kebangsaan. Kriteria satu-satunya hanyalah kesalehan (tidak hanya kesalehan religius dengan melaksanakan ritual agama secara cermat tapi juga kesalehan sosial karena Al-Qur'an mensejajarkan kesalehan dengan keadilan),[18] tidak ada yang lain. "Yang paling mulia di sisi Tuhan adalah orang yang takwa,"[19] demikian Al-Qur'an menyatakan dengan gamblang. Nabi menegaskan hal ini pada saat haji terakhirnya di Mekkah. Sabdanya:

"Orang Arab tak lebih tinggi daripada orang ajam, begitu pula orang ajam tidak lebih tinggi daripada orang Arab; tidak ada perbedaan antara yang hitam dan yang putih, kecuali oleh tingkat kesalehan yang diperlihatkan dalam hubungannya dengan orang lain... Janganlah tunjukkan kepadaku kebanggaan keturunanmu, tapi tunjukkan perbuatan baikmu."[20]

Butir pokok dari masyarakat politik Islam adalah dorongan bagi kelompok lemah untuk terus berjuang melawan kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat. Nabi dalam tingkat tertentu mengatakan bahwa, "Jihad yang paling baik adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa tiranik."[21] Pidato pertama yang diucapkan Abu Bakar, khalifah pertama yang terpilih setelah wafat Nabi, adalah juga merupakan pernyataan yang luar biasa dalam masalah ini. Setelah memangku jabatan, ia berpidato:

"... Orang-orang lemah di antara kamu bisa menjadi kuat di hadapanku. Aku akan membuat para penindas menyerahkan hak mereka. Orang-orang kuat di antara kamu, bisa menjadi lemah di hadapanku. Insya Allah, aku akan melihat orang-orang tertindas memperoleh hak-haknya kembali."[22]

Adalah dalam semangat untuk melindungi orang-orang lemah, Nabi dalam pesannya pada haji perpisahan, membebaskan semua orang yang mempunyai hutang dari pembayaran bunga, walaupun modal yang dipinjam harus tetap dikembalikan.[23]

Banyak ulama dan teolog mempertahankan secara dogmatis, bahwa negara Islam adalah negara teokratik, dan dalam negara demikian, tidak ada tempat bagi inisiatif manusia dalam arena legislasi, karena Tuhanlah satu-satunya pembuat hukum. Maulana Abul A'la al-Maududi menggambarkan pemerintahan Islam sebagai "Theo-Demokrasi", dan dalam bentuk pemerintahan itu, umat Islam hanya memiliki "kedaulatan rakyat yang terbatas" di bawah kemahakuasaan Allah.[24] Ini adalah posisi yang hampir tak dapat dipertahankan kecuali kalau seseorang menerima pendapat ulama' abad pertengahan sebagai suatu kata akhir dan menganggap tertutup semua pilihan lain. Karya ulama, dengan segala keterbatasan dan kelebihan mereka yang manusiawi, tidak bisa disamakan dengan firman Tuhan.

Jika ditafsirkan dengan tepat, di dalam arena legislasi, Islam juga tidak melumpuhkan inisiatif manusia. Bila syari'ah seperti yang dikompilasikan oleh para teolog zaman-zaman Islam awal diambil sebagai corpus hukum negara Islam, saya khawatir, kedaulatan Tuhan lalu akan disamakan dengan kedaulatan ulama'. Ini juga akan menyatakan secara tidak langsung bahwa semua perkembangan yang akan terjadi di masyarakat sudah diantisipasi oleh para ulama' dengan kompilasi hukum Islam di zaman awal Islam ini. Semua sejarawan hukum Islam sepakat bahwa di dalam mengkompilasi hukum Islam, para fuqaha dipengaruhi secara dalam oleh kondisi zaman dan perkembangan yang terjadi setelah penaklukan wilayah-wilayah, dan itulah sebabnya, mengapa terjadi perbedaan mazhab pemikiran hukum.[25]

Faruq Abu Zayd dengan tepat menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah di Irak dengan pertumbuhan masyarakatnya yang cepat, lebih dihadapkan dengan problem-problem yang kompleks, daripada para ahli hukum Hijaz yang lebih dekat dengan kehidupan orang-orang Baduy, sehingga menghadapi problem yang lebih sederhana. Karena alasan ini Abu Hanifah seringkali terpaksa menggunakan ra'y danm pertimbangan akal dibandingkan para ahli hukum Hijaz dalam memutuskan hukum. Bagi orang-orang Hijaz Al-Qur'an dan Sunnah Rasul sudah mencukupi.[26]

Kini kita berada dalam masyarakat yang sedang berubah cepat. Revolusi Industri telah menimbulkan problem-problem yang jauh lebih kompleks. Sebagaimana ahli hukum Irak yang harus berbeda dengan ahli hukum Hijaz mengingat perbedaan sifat persoalan yang mereka hadapi, maka sesuai dengan situasi dunia modern yang baru dan jauh lebih kompleks, para ahli hukum modern harus berusaha merubah, kapan dan di mana perlu, corpus Islam yang diwariskan kepada mereka. Namun apa yang diperlukan adalah menegakkan semangat teks wahyu dan tujuan-tujuan yang diinginkannya. Tidak pernah menjadi tujuan Tuhan untuk memutuskan hubungan dengan yang transenden dan membawa kebekuan dalam urusan manusia. Fungsi ketuhananlah yang harus membawa pertumbuhan teologis dan pertumbuhan itu membawa serta perubahan. Pertumbuhan dan perubahan sosial demikian membutuhkan perubahan dalam hukum yang mencerminkan realitas sosial zaman permulaan.

Lantas muncul persoalan: Apa yang masih tersisa dari agama yang membentuk hukum-hukum ini? Jawabannya sederhana dan jelas: religiositas. Apakah religiositas itu? Tentu hal ini agak abstrak, namun sama sekali bukan istilah yang mengada-ada. Religiositas menyatakan secara tidak langsung keterlibatan emosi yang tulus dengan visi moral dan spiritual yang menyatakan kepada pengalaman yang agung. Setiap agama jelas menanamkan ke dalam diri pengikutnya suatu visi moral dan spiritual yang unik. Tekanan-tekanan ke arah perubahan tidaklah mempengaruhi keunikan visi ini. Fyzee mendefinisikan keunikan Islam ini dengan tiga karakteristik: Kebenaran (truth), keindahan (beauty) dan kebajikan (goodness).[27] Fyzee mengatakan:

"Islam menekankan kebenaran, keindahan dan kebajikan, nilai-nilai Platonik. Mengenai kebenaran, sedikit sekali peradaban telah menyelamatkan sastra, sains dan filsafat seperti yang telah dilakukan Islam. Ia telah menghasilkan peradaban yang agung. Sarjana-sarjana Islam telah menerjemahkan buku-buku dari bahasa Yunani dan bahasa Sanskerta dan ilmu pengetahuan Islam adalah Bapak ilmu pengetahuan modern. Mengenai keindahan, Islam telah memajukan seni, musik dan arsitektur. Menyangkut kebajikan, Islam memproklamirkan dan mempraktekkan dengan baik persaudaraan manusia. Dengan demikian ia telah membuka jalan bagi konsep demokrasi modern. Ia telah meletakkan fondasi hukum internasional. Pandangan hidupnya diwujudkan di dalam syari'ah, gudang hukum, agama dan etika yang kaya. Syari'ah analog dengan Torah di kalangan orang-orang Yahudi dan Dharma di kalangan orang-orang Hindu."[28]

Tingkat religiositas yang paling agung adalah pencarian terus menerus bentuk-bentuk baru untuk perwujudan visi yang unik ini, baik lewat usaha kreatif maupun kemampuan penalaran. Hukum bersifat empiris, sedangkan visi bersifat transendental. Keseimbangan antara keduanya akan hilang jika terjadi penekanan hanya pada salah satu sisinya. Semata-mata menekankan pada empirisme membuat hukum tidak berlaku. Sebaliknya hanya menekankan aspek transendentalnya saja, membuat ia menjadi terlalu abstrak. Dulu, para ahli hukum Islam yang besar mencapai keseimbangan antara keduanya di pandang dari sudut kenyataan empiris pada masa mereka. Sesuai dengan visi transendental Islam, komponen substantif dari hukum Islam perlu diubah jika perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sosial menghendakinya. Al-Qur'an menggunakan dua istilah yang sangat bermakna, ma'ruf dan munkar, yang menghadirkan kembali substansi (quintessence) moralitas Islam tanpa dirusak oleh kendala-kendala ruang-waktu.

Ma'ruf adalah sesuatu yang umumnya dapat diterima masyarakat dan munkar adalah sesuatu yang ditolak masyarakat demi menjaga tertib moral. Dengan menggunakan konsep-konsep ini, Al-Qur'an telah membuka peluang yang cukup bagi penafsiran kembali hukum-hukumnya agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan tatanan moral yang baik. Konsep ma'ruf dan munkar akan selalu berubah jika masyarakat berubah, berkembang dan mengalami kemajuan. Ma'ruf dan mungkar merupakan istilah yang sangat komprehensif. Dan keindahan serta keabadian Al-Qur'an terletak dalam pengungkapannya yang abstrak sehingga generasi-generasi penerus dapat mendefinisikannya menurut kebutuhan dan pengalaman mereka. Istilah-istilah ini, yang sangat fundamental bagi ajaran Al-Qur'an, juga cukup komprehensif untuk mencakup moralitas politik. Masyarakat politik (polity) menurut Al-Qur'an adalah masyarakat politik yang berorientasi moral dan dimaksudkan untuk menekankan praktek-praktek politik yang akan menghasilkan kebaikan maksimum bagi masyarakat, yaitu masyarakat Qur'ani yang secara tegas menerima yang ma'ruf dan menolak yang munkar.

Lagi-lagi untuk membangun tatanan sosial yang sehat, Al-Qur'an menggunakan dua istilah lain yang sangat bermakna: mustakbirin dan mustadh'afin yang berarti yang sombong dan yang dilemahkan. Al-Qur'an mengutuk yang pertama dan bersimpati kepada yang kedua. Al-Qur'an menyatakan orang-orang yang sombong (mustakbirin) adalah berdosa.[29] Al-Qur'an juga menegaskan bahwa mustakbirin (mereka yang kuat dan arogan) senantiasa tidak beriman, yakni berdosa karena kufur. Sedangkan mustadh'afin (mereka yang tertindas dan dilemahkan) selalu merupakan kelompok yang pertama beriman, (beriman kepada Tuhan dan melakukan yang ma'ruf). Al-Qur'an menyatakan, "Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya pada apa yang kamu imani itu".[30] Dengan demikian mustakbirin dalam bahasa Al-Qur'an adalah orang kafir sejati, sementara mustadh'afin adalah orang mukmin sejati.

Kata kafir merupakan kata yang seringkali disalahartikan. Kata tersebut selalu dipahami dengan pengertian yang tidak sejalan dengan terminologi Al-Qur'an. Selama ini ia selalu digunakan dalam pengertian yang formal sekali. Sesungguhnya kata kafir dalam Al-Qur'an merupakan istilah yang fungsional, bukan formal. Orang kafir yang sesungguhnya adalah orang yang arogan dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan perbuatan-perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma'ruf, tetapi sebaliknya membela yang munkar. Demikian juga sebaliknya. Orang mukmin yang sejati, bukan mereka yang hanya mengucapkan kalimat syahadat saja,[31] tetapi mereka yang menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas dan lemah, yang tidak pernah menyalahgunakan posisi kekuasaan mereka atau menindas orang lain atau memeras tenaga orang lain, yang menegakkan kebaikan dan menolak kejahatan.

Dengan demikian masyarakat Qur'ani tidak memberikan tempat bagi penindasan dan pemerasan terhadap yang lemah oleh yang kuat. Perjuangan orang-orang yang lemah (mustadh'afin) akan terus berlangsung melawan mereka yang berkuasa dan arogan (mustakbirin), selama perbedaan antara keduanya tidak dihapuskan. Budaya politik Islam didasarkan pada simpat kepada mereka yang lemah dan dieksploitasi dan benci terhadap mereka yang berkuasa dan menindas. Dr. Habibullah Payman dari Iran mengatakan, "dalam Ideologi Islam permanensi dan kesinambungan revolusi (sampai perbedaan antara yang menindas yang ditindas tidak ada lagi) lebih penting daripada revolusi itu sendiri. Revolusi merupakan salah satu dari beberapa alternatif bagi manusia yang bertanggung jawab. Artinya, manusia harus berusaha mengubah sistem yang didasarkan atas istikbar (keangkuhan kekuasaan dan eksploitasi) dan istidh'af (yakni penekanan dan penindasan) dan penolakan terhadap yang munkar (ketidak-adilan). "Revolusi yang permanen" semacam itu dan perlawanan terhadap arogansi kekuasaan secara terus menerus merupakan bagian dari kultur politik Islam."[32]

Khalifah Ali, salah seorang dari beberapa tokoh terbesar yang dilahirkan Islam pada masa awal, menggambarkan konsep revolusi Islam dengan sangat ringkas dalam salah satu khotbahnya: (Revolusi Islam akan terus berjalan) sampai mereka yang berada dalam status paling rendah di antara kamu menjadi yang paling tinggi dan mereka yang paling tinggi di antara kamu akan menjadi yang paling rendah dan mereka yang melampaui akan dilampaui".[33]

Dasar-dasar masyarakat politik Islam yang ideal, sebagaimana yang diderivasikan dari Al-Qur'an, sangat berbeda dengan apa yang sudah dan masih dilakukan atas nama Islam oleh kelompok kepentingan yang kuat di negara-negara Islam dewasa ini.

Catatan

1 Lihat Qamaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory on the State, (Lahore, t.t.), hal. 4

2 Ali Abdul Raziq, Al Islam wa Usul al-Hukm, (Cairo), bandingkan dengan tulisan Islamolog asal Hongaria, Gyula Germanus, Contribution of Islam to World Civilization and Culture, ed. Cyula Wojtilla, (Delhi, 1981) hal. 152.

3 Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, (Bombay, 1980), hal 45-46.

4 Barakat Ahmad, Muhammad and the Jews, A Re-Examination, (Delhi, 1979), hal. 39. Bandingkan dengan Abul A'la Maududi, Islamic Way of Life (Delhi, 1967), hal. 17.

5 Barakat Ahmad, op. cit., hal. 39.

6 R.A. Nicholson, A Literary History of the Arabs, (Cambridge, 1907), hal. 173.

7 Lihat Ibnu Hisyam, Sirah, vol. 1. (Cairo, 1332 A.H.) Lihat juga Alfred Guillaume, The Life of Muhammad: a Translation of Ibn Ishaq's Sira Rasul Allah, (London, 1955).

8 Penting dicatat bahwa 'Ulama Deobandi yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan India bersama dengan partai Indian National Congress, mengambil inspirasi dari dokumen yang luar biasa ini untuk membentuk negara sekuler di India dengan minoritas dijamin hak-haknya untuk memeluk dan mempraktekkan agamanya.

9 Lucio Colleti, From Rousseau to Lenin - Studies in Ideology and Society, (Delhi, 1978), hal. 151-152.

10 Al-Qur'an 4:59.

11 Asghar Ali Engineer, The Islamic State, (Delhi, 1980) hal. 69.

12 Lihat Qmaruddin Khan, Al-Mawardi's Theory of the State, Bazman Iqbal, Lahore, t.t.

13 Al-Qur'an 5:42.

14 Al-Qur'an 2:124.

15 Al-Qur'an 22:45.

16 Al-Qur'an 27:34.

17 Al-Qur'an 26:227.

18 Al-Qur'an 5:8.

19 Al-Qur'an 49:13.

20 Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Vol. V. hal. 411.

21 Al Fath al-Kabir, Vol. I, hal 208. bandingkan Islam at a Glance, ed. Hakim Abdul Hamid, (Delhi, 1981), "Islam and Human Rights" oleh V.A. Syed Muhammad, hal. 83.

22 Lihat Ibnu Hisyam, Vol. III, (Cairo, 1332 A.H.), hal. 473.

23 Tabari, Tarikh, Vol. III (Cairo, 1362), hal. 150.

24 Syed Abul A'la Maududi, Islamic Riyasat, Dikumpulkan oleh Khursyid Ahmad, Lahore (Lahore, 1974), hal. 129-30.

25 Muhammad al-Khudari, Tarikh at Tasyri' al-Islam, edisi Urdu diterjemahkan oleh Maulana Abdus Salam Nadwi, Azam Garth, 1973, dan Faruq Abu Zayd, As Syari'at al-Islami Bayn al-Muhafizin wa al-Mujaddidin, Cairo, t.t.

26 Dr. Faruq Abu Zayd, op. cit., hal. 21.

27 A.A. Fyzee, A Modern Approach to Islam, Asia Publishing House, (Bombay, 1963), hal. 112.

28 Fyzee, Ibid.

29 Al-Qur'an 7:133.

30 Al-Qur'an 7:76.

31 Formula dasar adalah La ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah, yakni Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.

32 Dr. Habibullah Payman, Istidh'af wa Istikbar, Teheran, 1352, hal. 55. Ini adalah terjemahan bebas dari teks Persia.

33 Lihat Ali Bin Abu Thalib, Nahju al-Balaghah, tanda nomor 14 dan 15. Bandingkan dengan Inqilab az Didgah-i-Ali, Teheran, t.t. hal. 20.



source: http://media.isnet.org

Lorong Gelap Dunia Wilders

ImageGeert Wilders bukan hanya pongah dan naif. Politikus ultrakanan Belanda itu sungguh telah menyemburkan atmosfir kebencian terhadap 1,3 miliar umat Islam sedunia. Ini terkait film Fitna yang diproduksinya telah memfitnah Alquran sebagai kitab fasis sebanding Mein Kampt-nya Hitler, seraya menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW sebagai barbar.

Banyak pihak yang juga dibuat tidak nyaman dengan karya provokatif Wilders yang bombastis itu. Siapa yang sebenarnya fasis dan barbar? Boleh jadi, Wilders-lah sang fasis dan barbar itu. Karena, sedemikian vulgar mengekspresikan kebencian terhadap Islam, nyaris tanpa keadaban.

Bagaimana mungkin di sebuah zaman modern ketika nilai-nilai penghormatan terhadap keyakinan siapa pun sangat dijunjung tinggi, malah lahir pikiran naif penuh kebencian sebagaimana diperagakan Wilders? Dengan jaminan kebebasan yang liar, tidak mengherankan jika pemerintah di negeri-negeri yang mengaku berperadaban modern itu selalu berkelit ketika dituntut untuk bertindak tegas. Sikap Pemerintah Belanda adalah salah satu contohnya.

Negeri Kincir Angin itu mengkritik dan tidak setuju dengan perbuatan Wilders, tetapi tidak dapat menindak karena dijamin oleh undang-undang. Demi dan atas nama kebebasan setiap pernyataan dan ekspresi warga negara diperbolehkan dan dijamin konstitusi.

Itulah hak asasi manusia (HAM) yang tidak boleh direnggut siapa pun, termasuk oleh negara. Itulah alam pikiran liberalisme Barat yang naif, yang telah mendarah daging menjadi world view atau pandangan hidup yang kokoh. Suatu paham yang mendewakan kebebasan absolut tanpa batas.

Namun, liberalisme absolut itu dalam praktiknya memiliki banyak ironi. Menjamin orang untuk menyatakan pendapat dan berekspresi, tetapi tidak pernah mau menjamin, apalagi menindak kesewenang-wenangan atas nama kebebasan yang sesungguhnya merugikan pihak lain. Jika penghinaan, pelecehan, dan penistaan terhadap agama apa pun dan umat beragama mana pun dibiarkan atas nama kebebasan, lantas di mana perlindungan terhadap kebebasan orang lain. Jika umat Islam, misalnya, ingin agama dan kegiatan keagamaannya dijamin hak-haknya oleh prinsip kebebasan tanpa cercaan, hinaan, dan penistaan, di mana letak perlindungan oleh prinsip liberalisme?

Jadi dogma
Liberalisme naif lantas menjadi dogma, bahkan doktrin yang membiarkan anarkisme. John Stuart Mill lewat karya monumentalnya On Liberty memang mengakui kebebasan yang bertanggung jawab. Tapi, filsuf positivisme ini pun tak menghendaki negara membatasi kebebasan warganya, lebih-lebih merenggut kebahagiaan individu.

Orang lantas berhak sewenang-wenang atas nama kebebasan, sedangkan negara tak mampu menghukumnya karena akan bertentangan dengan asas kebebasan itu sendiri. Di sinilah blundernya liberalisme naif, hingga terseret ke lorong gelap dan buntu.

Hingga di sini, liberalisme juga menjelma menjadi dogma baru yang tak kalah doktrinalnya ketimbang agama zaman pertengahan di negeri Barat. Paham ini sangat sensitif terhadap pembelengguan, tetapi membiarkan orang menista.

Paham ini sangat alergi terhadap setiap pikiran dan keyakinan yang absolut, tetapi menjadikan dirinya memiliki hukum besi absolutisme. Paham yang naif ini sangat menjunjung tinggi kenisbian, tetapi memfosilkan dirinya menjadi sebuah sistem yang serba pasti dan tidak mau menjadi nisbi.

Anehnya, kaum liberalis naif sering kali sensitif terhadap dogma dan doktrin agama, seraya melupakan dirinya telah memfosil menjadi super-dogma. Liberalisme naif takut terhadap dogma dan doktrin agama yang bersifat absolut, tetapi dirinya menjelma menjadi dogma dan doktrin baru yang tidak kalah absolutnya.

Anti dan takut terhadap agama, tetapi menjadikan dirinya melampaui dogma agama. Takut dan anti terhadap Tuhan yang dibawa oleh misi setiap agama, tetapi menjadikan liberalisme sebagai paham absolut yang menjelma menjadi tuhan buatan mereka sendiri. Berontak terhadap setiap bentuk kebenaran absolut, tetapi menjadikan dirinya sangkar besi kebenaran absolut yang sangat pongah.

Standar ganda
Kenyinyiran liberalisme naif juga terjadi dalam menyikapi kebebasan. Gemar tebang pilih. Ketika kaum muslimah di negeri-negeri Eropa, seperti di Inggris dan Prancis, ingin mengekspresikan kebebasan beragama dengan memakai jilbab, justru dilarang dan tidak memperoleh ruang publik.

Padahal, kaum muslim itu tidak memaksakan agamanya untuk orang lain, sebatas untuk dirinya sesuai ajaran agama yang semestinya diberi hak hidup, sebagaimana layaknya di negeri-negeri liberal dan berperadaban mulia. Kebebasan tidak berlaku untuk semua orang. Para tokoh Islam menunjuk sebagai standar ganda liberalisme Barat. Kebebasan hanya berlaku bagi kaumnya, tidak berlaku bagi yang lain.

Kita tidak tahu persis kapan lorong gelap liberalisme naif itu akan berakhir. Ketika liberalisme seharusnya memberi kebebasan pada setiap individu, dalam praktiknya banyak individu yang dimatikan haknya. Mana kala liberalisme seharusnya menjunjung tinggi kebenaran yang terentang panjang dan serba melampaui, dikerangkengnya hanya berlaku untuk alam pikiran produk peradabannya sendiri, seolah memelihara benteng chauvinisme sejarah dan budaya lapuk. Di saat penghormatan akan pluralisme beragama dan menganut ajaran agama seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia yang menganut paham kebebasan, justru yang terjadi membiarkan pelecehan, penistaan, dan fitnah terhadap mereka yang ingin beragama sesuai pilihannya.

Liberalisme naif (radikal) bahkan melahirkan nihilisme. Ludwig Feuerbach menihilkan tuhan sekadar konstruksi manusia yang bingung dan ilusionis. Sedangkan, Friedrich Nietzsche dengan pongahnya meneriakkan, "tuhan telah mati."

Jangan-jangan, para pengusung liberalisme naif itu juga memproduksi nihilisme baru atas nama kebebasan yang dilindungi negara. Seraya menuhankan kebebasan yang diyakininya, mereka juga menistakan kebebasan umat beragama. Persis ketika kaum Jahiliyah mereaksi dan menolak risalah Nabi Muhammad yang membawa agama monoteisme (Islam) sebagaimana Ibrahim. Karena, mereka harus melindungi 'arbab' atau tuhan-tuhan bikinan mereka sendiri, yakni Latta dan Uzza.

Alternatif
Karena itu, liberalisme naif ala Wilders harus dijawab dengan tegas, tetapi cerdas. Sikap fasis dan barbar tak perlu direspon dengan tindakan serupa. Jangan mengikuti arus trauma Barat ke hulu dan hilir yang sebaliknya. Bahwa liberalisme naif yang membawa gelombang absolutisme yang mendewakan humanisme antroposentrisme sekuler dijawab dengan antitesis teosentrisme Islam yang serba absolut dan monolitik, baik di dunia pemikiran keagamaan hingga ke tawaran-tawaran ideologi politik Islam yang sama bercorak teosentris dan monolitik. Kebencian dilawan amarah. Liberalisme naif dijawab dengan agama monolitik. Nanti, Islam menjadi sama kerdil dan ekstremnya.

Islam di abad modern dan sarat pertaruhan yang keras sekarang ini tidak boleh kehilangan jangkar keseimbangannya, yang terbukti mampu menghadirkan peradaban alternatif sejak Nabi Muhammad hingga era kejayaan Islam di abad yang lampau. Berikan jawaban alternatif dengan format Islam dan peradaban umat Islam yang puncak menaranya lurus menjulang ke langit dalam ikatan hablu min Allah (teosentrisme tauhid) kokoh, sementara akarnya menancap ke bumi yang nyata dalam rajutan hablu min al-nas (humanisme antroposentrisme profetik) yang mencerahkan dan menyebarkan rahmatan lil-'alamin.

Ghirah keberagamaan boleh membara, tetapi orang Islam jangan sampai mengikuti lorong gelap dunia Wilders dan kaum liberalis naif

Republika, 13 April 2008

dikutip dari: www.muhammadiyah.or.id