Friday, June 27, 2008

Batalkan Kenaikan Harga BBM! Bubarkan Ahmadiyah!



Bandung – Jaringan Komunikasi Ummat (JKU), pada hari Rabu 25 Juni yang lalu, melakukan unjuk rasa menuntut pembubaran Ahmadiyah, nasionalisasi aset-aset bangsa yang dikuasai asing, dan pembatalan kenaikan harga BBM.

Unjuk rasa tersebut dimulai di PUSDAI Jabar pada pukul 10.00 WIB, kemudian diteruskan dengan long march menuju Gd. Sate.

Puluhan massa aksi berasal dari berbagai kelompok masyarakat, baik pemuda, mahasiswa, buruh, petani, guru, dan lainnya. Di gedung sate, sementara massa aksi lainnya melakukan orasi dan mensosialisasikan permasalahan-permasalahan tadi kepada masyarakat yang berada di Gd. Sate dan sekitarnya, perwakilan massa yang berjumlah 6 orang di terima Komisi E DPRD Jawa Barat, dan beraudiensi dengan para anggota Dewan tadi.

Menurut perwakilan massa, aksi tersebut dilatari oleh keresahan dan keprihatinan melihat kondisi bangsa hari ini. Harga BBM yang setinggi langit, tak terjangkau kalangan bawah, Ahmadiyah yang terkesan dipelihara dan diawetkan sebagai peluru kepentingan elit, aset-aset bangsa yang dikuasai asing, dan setumpuk masalah lain negeri ini.

Masalah Ahmadiyah misalnya, masih menurut perwakilan massa, jika pemerintah tidak tegas menyikapinya, maka akan terus bergulir bak bola panas yang suatu saat akan mengancam kesatuan ummat. SKB yang dikeluarkan pemerintah tidak tegas menindak atau membubarkan Ahmadiyah, terkesan bahwa pemerintah malah merawat biang konflik.

Komisi E DPRD Jawa Barat yang di wakili oleh H. Marwan dari fraksi Golkar dan Taqiudin dari fraksi PPP, menyatakan bahwa DPRD Jawa Barat sepakat dengan tuntutan para pengunjuk rasa, mereka juga menyatakan bahwa Ahmadiyah memang harus dibubarkan, masalahnya kemudian keputusan itu ada di Pemerintah Pusat, bukan di Daerah.

Perwakilan massa aksi JKU yang dipimpin oleh TB Syukri Rahman, S.Th.I

berdialog dengan perwakilan Komisi E DPRD Jawa Barat


Untuk menyikapi masalah tersebut, DPRD Jawa Barat sudah melayangkan surat kepada DPR yang salah satu point nya menuntut dibubarkannya Ahmadiyah. "kami sangat bertanggung jawab, saya hargai, saya dukung, bila perlu kita ke Jakarta, ini adalah tanggung jawab bersama, DPRD siap turun". Ujar Marwan meyakinkan.

Dialog tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, diantaranya akan ditindak lanjutinya aspirasi tersebut ke Pusat, dan kesiapan DPRD untuk turun kejalan berunjuk rasa bersama masyarakat menyampaikan aspirasinya.

Kita tunggu saja apakah benar para “wakil rakyat” ini benar-benar siap bersama memperjuangkan aspirasi ummat. Namun, bagi kita umat Islam, tentunya tidak cukup hanya menunggu para elit politik menepati janji mereka, kita harus terus bergerak memperjuangkan kepentingan-kepentingan ummat.

Setelah selesai beraudiensi dan melanjutkan orasi-orasi di depan pagar “gedung rakyat” yang dijaga ketat oleh aparat keamanan, massa Jaringan Komunikasi Ummat kemudian melanjutkan long march mereka kembali ke arah Gd. PUSDAI, yang kemudian ditutup di sana pada pukul 13:00 wib. Sepanjang jalan massa aksi JKU juga tidak henti-hentinya meneriakkan tuntutan mereka, “Batalkan Kenaikan Harga BBM! Nasionalisasi Aset-aset Bangsa! dan Bubarkan Ahmadiyah Pemecah-belah Ummat! (odn/rsp)



Thursday, June 26, 2008

Lawan Imperialisme-Liberalisme Zionis-Kapitalis!






Bismillahirrahmanirrahim


Kurang dari satu abad yang lalu, selama ratusan tahun kekayaan negeri ini dijarah para penjajah. Banyak raja dan bangsawan yang seharusnya melindungi kedaulatan negeri ini justru menjadi kaki tangan penjajah, sementara rakyat hidup melarat. Hingga umat Islam yang dipimpin para ulama dan pemimpin umat bangkit melawan dan merebut kembali negeri ini dari cengkraman Kolonialis-Salibis Belanda.

Ironisnya, setapak demi setapak tanah air yang dulu diperjuangkan dengan darah para ulama dan pengorbanan para syuhada kini digadaikan kembali, tambang-tambang dan BUMN-BUMN yang seharusnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat kini diobral dengan harga yang murah kepada para penjajah.

Keputusan negara untuk menaikkan harga BBM baru-baru ini tidak ada hubungannya dengan kenaikan harga minyak dunia, karena “kebijakan” yang sama sekali tidak bijak ini dilakukan hanya untuk melancarkan kepentingan kapitalis asing yang ingin menguasai sektor hilir migas Indonesia, setelah mereka berhasil menguasai tambang-tambang dan ladang eksplorasi minyak (sektor hulu migas) kita. Makar atas rakyat Indonesia ini telah direncanakan sejak bertahun-tahun yang lalu (sebagaimana diisyaratkan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dalam salah satu surat kabar nasional, 14 Mei 2003).

Jika pada saat berhadapan dengan rakyat negara begitu angkuh dan keras, sikap ini berubah total ketika mereka berhadapan dengan tangan-tangan imperialis – IMF, WTO dan lembaga-lembaga lainnya, VOC-VOC baru yang memaksakan kehendak mereka untuk meliberalisasi – tidak hanya tata ekonomi kita, tetapi juga bahkan tata kehidupan kita seluruhnya, agar kita semakin kehilangan diri kita dan mereka semakin berkuasa.

Negara tampak begitu tegas terhadap aliran-aliran sempalan yang meresahkan masyarakat seperti kelompok Lia Eden dan Ahmad Mosadeq, sesaat kelompok-kelompok ini difatwakan sesat oleh MUI dan dilaporkan oleh masyarakat. Sayangnya, ketegasan yang diharapkan setelah MUI menyatakan juga fatwa yang sama terhadap Pluralisme dan Ahmadiyah tidak kita temukan, karena negara ternyata lebih tunduk kepada kepentingan Asing – terutama pemerintah Amerika Serikat yang merupakan kepanjangan tangan kaum fasis zionis – yang memang memelihara dan mengembang-biakkan kelompok-kelompok tadi untuk terus menimbulkan keresahan dan perpecahan di tengah umat Islam yang memang sadar akan bahaya dan menolak keberadaan antek-antek penjajah ini.

Demi tegaknya persatuan ummat dan kedaulatan rakyat, kami Jaringan Komunikasi Ummat (JKU) menyatakan:

1. Bubarkan Ahmadiyah: Antek Penjajah – Pemecah-belah!

2. Nasionalisasi aset-aset bangsa yang dikuasai Asing!

3. Batalkan kenaikan harga BBM!


Lawan Imperialisme-Liberalisme Zionis-Kapitalis!


Bandung, 25 Juni 2008

Jaringan Komunikasi Umat

Sekjen

TB. Syukri Rohman, S.Th.I











Saturday, June 21, 2008

MESIR DAN INDONESIA: SATU CATATAN

Khalif Muammar

Banyak persamaan sosioekonomi dan geopolitik antara Mesir dengan Indonesia. Yang pertama adalah pusat dunia Arab dan yang kedua adalah pusat dunia Melayu. Kedua-duanya memiliki populasi yang besar dan berpotensi menjadi tonjak kebangkitan Islam. Kedua-duanya telah lama diperintah oleh pemerintahan kuku-besi dan yang paling penting identitas kedua-dua bangsa tidak dapat dipisahkan daripada Islam. Oleh itu tidak berlebihan kalau dikatakan bahawa dengan menguasai Mesir dan Indonesia maka sesiapapun akan menguasai dunia Islam. Dengan melemahkan dan menundukkan kedua-dua negara ini maka Islam dan tamadun Islam akan lemah dan tunduk. Mungkinkah musuh- musuh Islam telah merancang semua ini? Ataukah ia karena kelalaian pemimpin-pemimpin bangsa ini sehingga harga diri dan nasib bangsa terjual?

Pada pagi 27 Mei aku tiba di bandara/lapangan terbang Kaherah, Mesir. Bagaikan berada dalam mimpi, aku tidak percaya ternyata bumi mesir telah terbentang dihadapanku. Keunikan bumi Mesir menggamit keinginan sesiapa sahaja yang menginginkan kelainan. Dari Malaysia yang ku cari bukan pengalaman yang menyeronokkan berada di bumi Fir’aun tetapi untuk memahami dengan lebih mendalam mengapa kemelut bangsa Mesir, yang majoritinya Islam, tidak kunjung berakhir. Aku ingin menyelami mengapa setengah penduduk Mesir berada dibawah paras kemiskinan? Bagaimana sistem despotik penguasanya telah melumpuhkan jiwa dan minda bangsa ini?

Pagi yang dingin disejukkan lagi dengan perwatakan pegawai imegresen yang tidak ramah. Dengan kesombongan yang masih diwarisi dari Fir’aun nenek moyangnya, pegawai itu memperlakukan semua orang seperti bocah yang pantas dibentak-bentak. Moto mereka yang aku fahami adalah “segala urusan adalah susah kecuali dengan uang” sedangkan di Negara-negara maju yang aku tahu motonya adalah “segalau urusan harus dipermudahkan tanpa apa-apa pertimbangan” . Mindaku terus menangkap beberapa fenomena luar biasa yang membawaku menyelami budaya masyarakat Mesir.

Dengan sopir/ pemandu aku berbual panjang. Aku simpati dengan nasibnya yang hanya mampu menyaksikan bagaimana hasil bumi mesir diratah oleh kapitalis-kapitalis yang rakus. Memang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, bumi Mesir bukan milik anak Mesir tetapi milik segolongan kaum elit yang bersekongkol dengan para pemimpin menindas bangsa sendiri. Saudaraku ini tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan formal. Sejak umur 10 tahun terpaksa bekerja di kilang/pabrik. Walaupun umurnya masih muda dia merasakan pendidikan bukan ditakdirkan untuknya. Setelah dikurniakan anak dia hanya berharap anak-anaknya nanti tidak menjadi sepertinya yang hanya mampu menjadi orang suruhan. Antara luahan hatinya ialah dia mengatakan kepadaku bahawa walaupun dia adalah orang Mesir tetapi dia merasa asing di bumi sendiri. Dia merasakan dirinya terpaksa mengharap ihsan daripada orang luar kerana pemimpin-pemimpin bangsa ini tidak berbuat apa-apa untuk membela nasib orang-orang sepertinya. Ramai teman-temannya terpaksa berkelana ke negara-negara teluk untuk menjadi buruh kasar dan sanggup diperlakukan seperti budak/hamba. Ku katakan padanya aku sangat memahami penderitaan bangsa ini. Karena ia adalah satu permasalahan yang tidak pernah luput dalam perhatian pemikir-pemikir Islam. Para tokoh pemikir Islam telah silih berganti mengingatkan pentingnya umat Islam bangkit merubah keadaan agar keterpurukan bangsa dan umat ini bertukar menjadi kemajuan dan kegemilangan.

Terlalu berat untuk aku katakan kepadanya bahawa apa yang berlaku adalah kegagalan nasionalisme dan sosialisme yang telah mengakar dalam masyakarat Mesir selama setengah abad. Jelas bagiku nasionalisme dan sosialisme telah gagal menyelamatkan bangsa Mesir daripada kemunduran dan keterpurukan. Bahkan ideologi-ideologi asing ini sering digunakan sebagai tameng untuk menjustifikasikan pemerintahan absolutis pihak berkuasa. Bagi orang sederhana seperti dia cukup aku katakan semua yang kita saksikan ini bertentangan dengan prinsip keadilan, kebebasan dan hak-hak asasi manusia, yang dicanangkan oleh Islam. Bahawa penting agar umat Islam menyedari kebejatan, ketidakadilan dan kesilapan yang telah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin ini agar tidak terus tertipu dan mengulangi kesilapan yang lalu.

Bangsa Mesir seharusnya mendengar peringatan Sayyid Qutb puluhan tahun yang lalu, yang telah dengan cerdas mengkritik kapitalisme dan para pendukungnya:

“Aku menuduh sistem sosial yang berlaku hari ini (kapitalisme) meruntuhkan kemuliaan manusia dan menghancurkan hak asasi manusia. Siapa yang berani berkata bahwa jutaan manusia peladang itu, yang lapar, tidak berbaju, dan bersepatu, yang rumahnya dimakan ulat, makanannya dipenuhi lalat, dan darahnya dinikmati serangga, adalah manusia yang bisa menikmati kemuliaan manusia dan hak asasi”. (Ma’rakat al-Islam wa al-Ra’smaliyyah, 10)

Sedih dan pilu melihat nasib ummat Islam di Mesir, lebih sedih dan pilu lagi melihat kondisi umat Islam di Indonesia. Kenaikan harga makanan (BBM) telah menyebabkan kondisi rakyat kian terhimpit. Rakyat Indonesia telah berdekad lamanya mengemis di negeri sendiri. Tidak cukup dengan itu mereka juga telah puluhan tahun mengemis di negeri orang lain. Mereka terpaksa mengemis untuk mendapatkan hak tempat tinggal dan pangan yang seharusnya disediakan atau dipermudahkan oleh pemerintah. Semua orang tahu hasil bumi Indonesia bukan milik bangsa Indonesia, ia telah tergadai dan dibeli oleh kapitalis-kapitalis asing yang habuannya dinikmati oleh segolongan kecil. Bahkan setiap bayi yang dilahirkan memiliki hutang yang dia tidak tahu-menahu tentangnya, hutang yang dibebankan oleh nenek moyangnya tanpa kerelaannya.

Kita menyaksikan penguasa-penguasa yang tidak tahu bagaimana meringankan beban rakyat. Tidak peduli dengan penderitaan rakyat. Bahkan dalam pemerintahan Orba Lebih prihatin dengan keluhan golongan kapitalis yang menjadi sahabat-sahabat mereka dalam menindas rakyat. Tidak kurangnya setelah reformasi, pemimpin-pemimpin yang dipilih melalui sistem demokrasi liberal, lebih mementingkan kedudukan dan masa depan diri masing-masing berbanding tugas dan tanggungjawab mereka terhadap rakyat.

Faham nasionalisme dan Pancasila telah gagal mengangkat martabat dan nilai bangsa ini. Nyata sekali ideologi ini tidak difahami dan dihayati baik oleh pemimpin mahupun rakyatnya. Karena ia tidak lebih dari simbol yang kering nilai keintelektualan dan kebudayaan. Tidak memberi semangat kebangkitan, solidaritas, dan persatuan. Tidak mampu sama sekali untuk menjadi wahana pentamadunan dan kemajuan bangsa. Para pendiri ideologi ini telah meremehkan peran agama, menerima ideologi sekularisme dan nilai-nilai Barat. Mereka telah silap dalam memahami agama mereka sendiri. Telah bertanggungjawab menyelewengkan sejarah bangsa, membutakan mata terhadap fakta-fakta sejarah yang benar, bahkan terus mendukung gagasan-gagasan para penjajah.

Sama dengan bangsa Mesir, bangsa Indonesia dicengkam perasaan takut dan khuatir. Takut kehilangan punca rezki, takut masa depan, takut ide-ide baru yang datang dari luar, takut dengan gerakan Islam dan kebangkitan Islam. Tanpa menyadari bahwa semua ketakutan itu telah dicipta sendiri dan dipaksakan ke dalam sanubari bangsa yang tidak berdaya. Yang mereka tidak takut hanyalah menuruti ide-ide kuasa besar karena dijamin tidak akan rugi. Walaupun terpaksa mengorbankan kepentingan rakyat, kepuasan kuasa besar adalah segalanya. Dengan membiarkan perasaan takut menghantui diri, bangsa ini mencipta banyak lagi ketakutan-ketakutan baru. Walhal sebenarnya mereka mampu untuk membuang perasaan takut itu dengan bergantung kepada Allah dan petunjukNya.


Wassalam
K.Muammar
www.khairaummah.com

Ahmadiyah: Aliran Sesat dan Menyesatkan


Klaim Sesat Mirza Ghulam Ahmad

‘Bul ‘ala Zam-Zam fatu’raf’. “Kencingilah sumur Zam-Zam, niscaya engkau akan terkenal”. Kiranya adagium ini sangat tepat bagi para pembela kesesatan aliran sempalan Ahmadiyah. Bagaimana tidak, Ahmadiyah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. malah dibela habis-habisan atas nama “kebebasan beragama” dan “berkeyakinan”. Mereka berlagak jadi ‘pahlawan kesiangan’ dalam membela kesesatan Ahmadiyah. Dalam beberapa bukunya, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai “nabi”. Lihat misalnya: al-Istifta’ (Rabwah-Pakistan: Maktabah al-Nashrah, edisi Jumadal Ukhra, 1378, hlm. 17, 61, dan 66). Mirza juga mengklaim dirinya sebagai “rasul” dan mendapat “risalah” (Lihat, al-Istifta’, hlm. 86 dan 87; Tadzkirah, hlm. 274, 352, 387, 486, 489, 628, dan 629).

Mirza juga mengklaim dirinya mendapat “wahyu” di daerah Qadyan, tempat dimana dia dilahirkan, dibesarkan, dan dibela oleh Inggris sampai dia diangkat sebagai ‘nabi’ dan ‘rasul’. (Lihat, al-Istifta’, hlm. 82 dan Tadzkirah, hlm. 275). Dalam kedua karyanya itu, Mirza mengatakan, “Innaa anzalnaahu qariiban minal Qadyaan.” Karena kenabian Mirza didukung penuh oleh sang penjajah (Inggris), maka dia pun harus menjadi ‘nabi’ yang tunduk kepada tuannya. Karena Mirza berhutang budi kepada Inggris. Oleh karenanya, dia menganjurkan umat Islam di negerinya untuk tidak melawan dan memerangi Inggris atas nama “jihad”. (Lihat bukunya, Mawaahib al-Rahmaan, (Rabwah-Pakistan: Wakalah al-Tabsyir li al-Tahrik al-Jadid li al-Jama’ah al-Ahmadiyah, cet. II, 1380 H/1960 M, hlm. 25. Di sana Mirza mengatakan, “...wa lidzaalika wajaba ‘alaa kulli Muslimin wa muslimatin syukru haadzihi al-dawulah (al-Barithaniyyah) ...wa haraamun ‘alaa kulli Mu’minin an yuqaawimahaa “biniyyat al-jihaad”, wa maa huwa jihaadun bal aqbahu aqsaami al-fasaad.”) Jadi, haram hukumnya umat Islam India untuk memerangi Inggris, karena itu bukan “jihad”, melainkan seburuk-buruk jenis kerusakan.

Dari beberapa klaim Mirza di atas, masih adakah umat Islam yang berakal sehat dan ‘sehat’ akidahnya yang menyatakan bahwa ajaran Mirza (dan Ahmadiyah) tidak sesat? Bukan para pembela kesesatan itu lebih sesat dari yang dibelanya?

Kontroversi SKB Tiga Mentri

Prediksi banyak kalangan tentang SKB ternyata menjadi kenyataan. Bahwa akan semakin banyak orang (pihak) yang berusaha untuk membubarkan Ahmadiyah. SKB yang dikeluarkan (9/06/2008) tidak menyelesaikan masalah, bahkan memperuncing permasalahan yang ada. Nyatanya memang SKB tersebut tidak menyentuh permasalahan inti. SKB hanya memberikan peringatan, bukan pembubaran. Dan ini diakui sendiri oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji (Media Indonesia, 10/06/2008). Orang-orang yang membela Ahmadiyah, sejatinya tidak mengerti inti permasalahan. Setiap mereka mengandalkan ‘jurus’ HAM dan konsep kebebadan beragama. Tentu berbeda dengan Ahmadiyah. Ahmadiyah justru dengan bebas “mengobok-obok” agama Islam. Memang, pada poin kedua dari SKB itu dicatat: “Seluruh penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) diingaatkan agar menghentikan pengakuan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW”. Karena disinyalir bahwa JAI tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad (w. 1908) sebagai “nabi”, hanya sebagai “mujaddid” saja. Tapi nyatanya tidak. Mereka tetap mengakui bahwa Mirza adalah “nabi”.

Dalam buku Kami Orang Islam (KOI) (Penerbit: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, cet. V, 1985, hlm. 27) disebutkan: “Keadaan sebenarnya hanyalah ini: bila saya (Mirza-red) menyebutkan diri saya seorang Nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah s.w.t. berbicara dengan saya, bahwa Dia sangat sering berkata-kata dengan saya dan Dia bercakap-cakap dengan saya dan menerima pengabdian saya dan mewahyukan kepada saya hal-hal ghaib dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan dengan masa datang dan yang tidak Dia bukakan kepada orang yang tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya Dia mengangkat saya sebagai nabi dalam arti itu.”

Pengutipan pengakuan nabi oleh Mirza menunjukkan keyakinan JAI akan kenabiannya. Dalam buku KOI, hlm. 65, JAI mengemukakan ayat 6 dari surat as-Shaf yang artinya: “Dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata: Hai Bani Isra’il, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumnya yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (akan datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku yang namanya Ahmad.” JAI berkomentar, ‘Dalam ayat ini nama Ahmad adalah diperuntukkan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad karena beliau sama dengan nabi Isa a.s. dalam sifat-sifatnya’. Ini juga berarti pembenaran JAI akan kenabian Mirza. (Lihat: Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA, Benarkah Jemaah Ahmadiyah Indonesia Tidak Mengakui Mirza Ghulam Ahmad Sebagai Nabi,(Waspada, 06/06/2008). Karena jika JAI tidak mengakui Mirza sebagai “nabi”, maka mereka ‘kufur’ kepada Mirza. Dan ini tidak mungkin. Padahal Mirza dalam tiga bukunya: Maktub Ahmad, al-Istifta’ dan Mawahib al-Rahman mengklaim dirinya sebagai “nabi”, bahkan sebagai “Kristus yang dijanjikan” (al-Masih al-Maw’ud).

Menarik apa yang dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra. Bahwa SKB tidak perlu dikeluarkan untuk membubarkan Ahmadiyah. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono punya wewenang sendiri dalam membubarkannya. (Analisa, 14/06/2008). Apalagi jika dilihat komposisi pemeluk agama yang ada di Indonesia, maka presiden harus melihat mayoritas umat Islam. Presiden juga harus mengerti mana yang menjadi persoalan politik, dan mana yang berkaitan dengan “akidah”. Masalah “akidah” harus menjadi supreme di atas yang lainnya. Penulis yakin, ‘naluri akidah’ Bapak Presiden juga ‘menjerit’ ketika akidahnya diacak-acak dan diutak-atik oleh Ahmadiyah.

Pesan untuk Presiden dan Mentri Agama!

Kepada Bapak Presiden, SBY dan Mentri Agama, Maftuh Basyuni penulis menyampaikan ‘suara kebenaran’. Bahwa Indonesia sudah sejak lama ingin dijadikan sebagai ‘humus’ penyebaran ajaran sesat Ahmadiyah. Hazrat Amirul Mukminin Khalifah Al-Masih (baca: Mirza Ghulam Ahmad) ke 4 sudah mengagendakan “renca jahat” ini di Inggris. Mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai “negara Ahmadiyah terbesar di dunia”. (Lihat: M. Amin Jamaluddin, Ahmadiyah Menodai Islam (Kumpulan Fakta dan Data), (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LIPI), cet. II, 2007, hlm. 16 dan 17). Ajaran Mirza dan alirannya Ahmadiyah bertentangan dengan nash Al-Qur’an kita yang mulia (Qs. Al-Ahzab [33]: 40). Nabi s.a.w. juga menjelaskan dengan sangat tegas bahwa, ‘laa nabiyya ba’dii’ (tidak ada seorang nabi pun setelah aku). (HR. Al-Bukhari). Beliau juga menjelaskan, “Kerasulan dan kenabian telah berakhir; karena itu, tidak ada rasul maupun nabi sesudahku.” (HR. Al-Tirmidzi) . Sejak lama, Ahmadiyah dikafirkan di negerinya sendiri. Sampai hari ini, negara Saudi Arabia tidak memberikan kesempatan para Ahmadi (penganut aliran Ahmadiyah) untuk menunaikan ibadah haji, karena memang menyimpang akidahnya. Oleh karena itu, para ulama kita di MUI sejak 1980 hingga 2005 “tidak keliru” ketika menyatakan bahwa Ahmadiyah “di luar Islam”, “sesat dan menyesatkan”, dan orang Islam yang mengikutinya adalah “murtad” (keluar dari Islam). Bahkan para ulama kita itu menyatakan bahwa pemerintah “berkewajiban” untuk “melarang” penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. (Lihat: Fatwa Munas VII Majelis Ulama Indonesia, (edisi kedua, 2005, hlm. 97).

Dapat disimpulkan di sini bahwa aliran dan faham Ahmadiyah ibarat ‘duri dalam daging’ dalam tubuh akidah Islam. Pengaruhnya sudah ‘berurat berakar’ dan ‘menggurita’. Padahal ajaran dan fahamnya begitu sesat dan menyesatkan. Fakta itu tidak mungkin disemubunyikan bagi siapa saja yang memiliki akidah yang benar (salamat al-‘aqidah). Kewajiban setiap Muslim adalah menjaga akidah dirinya, keluarga dan sudaranya. Dan memang SKB tidak menyelesaikan persoalan. Semestinya, pemerintah mengeluarkan “keppres” yang menyatakan bahwa: ‘Ahmadiyah sesat dan menyesatkan, maka mulai hari ini Jemaat Ahmadiyah dibubarkan’. Wallahu a’lamu bi al-shawab. [Q].


http://hujjahbalighah.wordpress.com/ http://qosim-deedat.blogspot.com

Thursday, June 19, 2008

KH. Athian Ali: Saya Akan Sangat Menghormati Kebebasan Manusia untuk Sesat

Tanjungsari – Forum Ulama Ummat Islam (FUUI) Tanjungsari mengadakan acara Tablig Akbar bertempat di masjid agung Tanjungsari Sumedang, yang menghadirkan K.H. Athian Ali M. Da`i sebagai pembicara.

Acara yang berlangsung dari pukul 13:00 s/d 14:45 pada hari Rabu, 18 Juni kemarin tersebut, dihadiri Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tanjungsari, Camat Tanjungsari, serta ummat Islam yang berasal dari berbagai kelompok dan latar belakang. Acara tersebut juga tidak hanya dihadiri warga dari Kecamatan Tanjungsari saja, tetapi juga dari Bandung dan sekitarnya.

Secara umum, menurut panitia pelaksana acara, tablig akbar tarsebut diarahkan sebagai wahana silaturrahmi ummat, khususnya masyarakat sekitar Tanjungsari. Selain diisi dengan tausyiah alim ulama, juga ada acara pemberian bantuan bagi keluarga pra-sejahtera, ditengah badai krisis yang melanda negeri ini akibat kenaikan harga BBM.

Dalam tausyiahnya, K.H. Athian Ali M. Da`i yang juga sebagai Ketua Umum Forum Ulama Ummat Islam (FUUI), mengungkapkan tentang perlunya menjaga kesatuan dan persatuan ummat, bukan sebagai kelompok atau faham, tapi sebagai jama`ah ummat Islam.

Ummat Islam terbagi kedalam berbagai madzhab pemikiran, baik itu dari sisi ijtihad fiqh, kalam dan lain-lain. Keadaan ini, menurut K.H. Athian Ali, sangat rentan perpecahan, kalau tidak ada kesadaran dari ummat itu sendiri untuk menjaga kesatuan.

Selain sangat rentan perpecahan dari dalam, juga sangat rentan dimanfaatkan oleh fihak-fihak yang tidak bertanggung jawab. Banyak indikasi yang menunjukkan hal tersebut. Atas nama kebebasan berfikir dan hak asasi manusia, mereka membuat kelompok atau aliran yang berbaju Islam, tapi sesungguhnya sangat jauh dari ajaran Islam yang sesungguhnya.

Terlepas dari motif apapun, baik itu politik, ekonomi dsb. Semua kelompok sesat tersebut, sudah mencemari agama Islam. Menurut K.H. Athian Ali, beliau akan sangat menghormati kebebasan manusia untuk sesat, selama itu tidak bersangkut paut dengan Islam.

Fenomena Ahmadiyah, masih menurut K.H. Athian Ali, perlu ditanggapi dengan serius. Bukan masalah tidak menghormati hak-hak mereka untuk berfikir dan berkelompok, seperti yang didengungkan media-media massa, tapi ini masalah ajaran dan Islam yang disalah gunakan. Jadi wajar kalau ada reaksi keras dari ummat Islam atas Ahmadiyah ketika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah, karena Ahmadiyah memakai Islam sebagai tameng kelompoknya.

Ahmadiyah dari sisi ajarannya berbeda dengan Islam, nabi mereka Mirza Ghulam Ahmad, bukan Nabi Muhammad sebagai Nabi Ummat Islam, kitab suci mereka Tadzkirah, bukan kitab suci al-Qur`an sebagai kitab suci ummat Islam.

Tuntutan untuk membubarkan Ahmadiyah dari ummat Islam sangat wajar, karena Ahmadiyah yang mengaku bagian dari Islam, berbeda pegangan dan Nabi-nya dengan Islam. Akan sangat dihormati kebebasan mereka berkeyakinan untuk sesat, jika saja mereka tidak mengaku bagian dari apapun yang berbeda dengan mereka, bagaimana mungkin sesuatu yang berbeda bisa disebut satu? Terkecuali Ahmadiyah berdiri sendiri sebagai agama yang berbeda dan tidak tersangkut paut dengan Islam.

Acara tersebut kemudian diakhiri dengan pemberian sumbangan pendidikan bagi beberapa sekolah di Tanjungsari berupa bantuan untuk pembangunan sarana dan prasarana, dan juga bantuan untuk keluarga-keluarga pra-sejahtera di lingkungan Tanjungsari.

Monday, June 16, 2008

Please Sit Back and Relax

and enjoy the show ^_^


stupid American forces


White House Talks


Let's hear what the American People say


Can't they be more stereotypical??




Semoga hari anda semakin menyenangkan ^^V

Sunday, June 15, 2008

Format Politik Indonesia -- Bag. 2

Aliran: Struktur Vertikal Masyarakat

Sebelum para penyiar agama Islam datang, di Indonesia sudah berkembang berbagai kepercayaan baik berupa kepercayaan asli seperti animisme, maupun agama-agama Hindu dan Budha yang berasal dari Asia Selatan. Malah semacam percampuran (sinkretisme) dari berbagai kepercayaan dan agama-agama tersebut sudah berkembang. Hal ini mengandung pengertian bahwa bagian masyarakat tertentu mencampuradukkan unsur-unsur dari ajaran serta upacara-upacara dari kepercayaan dan agama-agama di atas.

Besarnya peranan agama di dalam kehidupan masyarakat ternyata dari penggunaan agama-agama tersebut untuk melandasi kekuasaan raja-raja di masa lalu. Perhatikanlah bagaimana raja-raja Syailendra membangun candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan dan Sari dengan teknologi yang sederhana. Peninggalan-peninggalan sejarah memperlihatkan kepada kita bagaimana hubungan peranan agama dengan kekuasaan dan susunan masyarakat di kepulauan nusantara pada masa lalu.

Masuknya agama Islam, tidak mengubah hubungan agama dengan kekuasaan. Seperti raja-raja terdahulu, kerajaan-kerajaan Islam sesuai dengan ajaran agama Islam mempergunakan agama sebagai landasan kekuasaan raja. Akan tetapi perkembangan Islam menumbuhkan pengelompokan baru di kalangan masyarakat Indonesia. Perkembangan agama yang relatif cepat yang disertai pula oleh pemupukan kekuasaan di sekitar raja-raja Islam, kemudian menimbulkan pengelompokan baru di dalam masyarakat; yakni antara Islam dan non Islam atau antara santri dan abangan.

Selama hampir 300 tahun di bawah kekuasaan kolonial Belanda, pandangan masyarakat mengenai hubungan antara kekuasaan kolonial Belanda berdiri di atas dua sistem yang sama sekali berbeda. Di satu pihak Belanda membangun sistem kekuasaan yang sekuler dengan segala aparat birokrasinya. Di lain pihak masyarakat dikukuhkan di dalam sistemnya yang semula, di mana perkaitan antara agama dengan organisasi dan sistem kekuasaan di dalam masyarakat begitu erat. Demikianlah dengan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule) Belanda mengatur wilayah Indonesia melalui kaum aristokrat dan kaum adat yang sudah sejak lama merupakan lapisan atas dari masyarakat Indonesia. Tentu saja kaum aristokrat dan kaum adat tidak hendak mengubah susunan masyarakat yang ada, karena hal itu berarti akan membahayakan kedudukan mereka yang secara formal sudah diperkokoh oleh kekuasaan kolonial Belanda.

Politik Balas Budi (etische politiek) yang dijalankan Belanda, ternyata juga memberi kesempatan yang lebih menguntungkan kepada golongan arostokrat dan adat ini. Pendidikan yang lebih baik menyebabkan mereka lebih mampu mengisi kebutuhan Pemerintahan Kolonial Belanda akan tenaga-tenaga administratif. Dengan demikian secara tidak langsung, kekuasaan kolonial Belanda telah membantu pemberian mereka kepada suatu golongan masyarakat Indonesia yaitu golongan aristokrat dan adat dengan ciri kebangsawanan dan birokrat yang oleh Geertz disebut sebagai golongan priyayi.

Disamping itu kekuasaan kolonial Belanda dengan politik Balas Budinya telah mendorong terbentuknya semacam penggolongan lain di dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan elit; yakni antara kelompok yang asyik mengagumi teknologi dan peradaban Barat dan kalangan yang mendambakan keaslian timur Indonesia. Demikianlah di dalam membayangkan bagaimana negara dan masyarakat Indonesia diorganisir dan digerakkan untuk mencapai taraf perkembangan masyarakat yang maju, terdapat dua kelompok elit. Yang pertama adalah mereka menghendaki penggunaan teknologi dan sistem politik yang telah berhasil diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika. Dan yang ke-dua ialah mereka yang beranggapan bahwa pengembangan masyarakat Indonesia hendaklah dicapai dengan lembaga-lembaga tradisional. Berbagai aliran dan golongan tersebut, terus mempengaruhi kehidupan organisasi sosial dan politik Indonesia di masa-masa selanjutnya (Arbi Sanit, 1981).

Pergulatan Kemerdekaan (1945 – 1955)

Setelah Amerika Serikat menjatuhkan Bom Atom pemusnah massal di Hiroshima dan Nagasaki pada 14 Agustus 1945, yang meluluhlantakkan dua kota itu dan dan mengakibatkan jumlah korban yang sangat besar dari warga sipil, keesokan harinya Jepang segera menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, namun kapitulasi (penyerahan diri) Jepang secara resmi ditandatangani tanggal 2 September 1945, pukul 09.04, di atas kapal perang AS Missouri, di teluk Tokyo. Serah terima dari tentara Jepang di Asia Tenggara dilaksanakan di Singapura pada tanggal 12 September 1945, pukul 03.41 GMT. Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command, mewakili Sekutu, sedangkan Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Seishiro Itagaki, yang mewakili Marsekal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Balatentara Kekaisaran Jepang untuk Wilayah Selatan. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus 1945 dan 2 September 1945 terjadi vacuum of power di seluruh wilayah yang diduduki oleh Jepang, karena pasukan sekutu yang mengambil alih kekuasaan dari Jepang belum dapat segera dikirim ke negara-negara yang diduduki oleh tentara Jepang.

Di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia, pada 17 Agustus 1945 menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, sehari kemudian pada 18 Agustus mensahkan UUD ’45 dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, sesuai dengan konferensi Montevidio 1933, maka terpenuhi sudah persyaratan pembentukan suatu negara, yaitu:

1. Ada wilayah,
2. Ada penduduk, dan
3. Ada pemerintahan.

Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai

Sebelumnya, Jepang yang telah menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia telah membentuk “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI) pada tanggal 29 April 1945, hari ulang tahun Kaisar Jepang. Badan Penyelidik yang beranggotakan 62 orang ini termasuk Dr. Radjiman Wedyodiningrat dan R.P. Soeroso –masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua – dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 dan menyelesaikan tugasnya di Gedung Pejambon dalam dua sidang. Sidang pertama berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, dan yang kedua dari tanggal 10 sampai 16 Juli 1945. Pada hari terakhir sidang pertama, Soekarno, salah seorang anggota Badan Penyelidik, menyampaikan pidato yang kemudian mempunyai makna sejarah. Kemudian Soekarno mengajukan lima asasnya sebagai dasar negara, yaitu: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Dia menamakan lima asasnya ini dengan “Pancasila”. Soekarno kemudian menyampaikan “teori perasan”: lima sila itu diperasnya menjadi tiga sila (Tri Sila): sosio nasionalisme (yang mencakup demokrasi dan kesejahteraan sosial), dan ketuhanan. “Tri Sila” Soekarno inipun pada gilirannya diperas pula menjadi satu sila (Eka Sila), yaitu gotong-royong. Ketika pidato Soekarno tadi diterbitkan pertama kali sebagai buku kecil pada tahun 1947, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, yang memberinya kata pengantar, menamainya Lahirnya Pancasila.

Apakah Soekarno benar-benar perumus yang pertama sekali lima sila itu? Jawabannya adalah negasi. Tiga hari sebelum Soekarno menyampaikan pidatonya yang terkenal itu, Muhammad Yamin telah menyampaikan, pada tanggal 29 Mei 1945, di depan sidang Badan Penyelidik itu lima asas sebagai dasar bagi Indonesia Merdeka sebagai berikut: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, per keTuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan sosial. BJ. Boland, seorang sejarawan, mencatat bahwa atas dasar kesamaan ini, maka orang sampai pada kesimpulan bahwa “The Pancasila was in fact a creation of Yamin’s, and not Soekarno’s.” (Pancasila itu ternyata karya Yamin dan bukan karya Soekarno).

Jika dirunut kembali ke belakang, baik “Pancasila” Soekarno maupun “Lima Asas” Yamin tidak lain kecuali pernyataan kembali empat segi Marhaenisme Soekarno yang dirumuskan pada tahun 1933 ditambah ketuhanan. Marhaenisme Soekarno itu sendiri tampak jelas merupakan pernyataan kembali The Three People’s Principles dari San Min Chu I yang ditulis oleh dr. Sun Yat Sen, pendiri negara Tiongkok pada tahun 1912 (Mintsu, Min Chuan, Ming Sheng –nasionalisme, demokrasi, sosialisme) ditambah internasionalisme. Prinsip Soekarno yang terakhir ini jelas diilhami oleh kosmopolitanisme A. Baars yang “dikritik dan dikoreksinya” kemudian diubahnya menjadi internasionalisme. Pertanyaan selanjutnya, dari mana Soekarno dan Yamin mengambil prinsip ketuhanan?[1]

Piagam Jakarta

Pembicaraan selama persidangan Badan Penyelidik mencerminkan adanya dua posisi kelompok. Pada tanggal 31 Mei 1945 Mr. Supomo berkata: “Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah: paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam.[2]

Badan Penyelidik itu beranggotakan 62 orang, sedangkan golongan yang mewakili umat Islam hanya 25% dari jumlah keseluruhannya. Mengenai bentuk pemerintah (negara), 53 suara memilih bentuk republik dan 7 suara memilih bentuk kerajaan. Sedangkan mengenai dasar negara, suara terbanyak (45 suara) memilih dasar kebangsaan dan 15 suara memilih dasar Islam.

Segera setelah sidang pertama berakhir, 38 orang anggota melanjutkan pertemuan. Kemudian mereka membentuk panitia yang terdiri atas sembilan orang yang dipilih, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, A. Kahaar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, Abdul Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Setelah melalui pembicaraan serius akhirnya panitia kecil ini berhasil mencapai satu modus vivendi antara para nasionalis Islami pada satu pihak, dan para nasionalis sekuler pada lain pihak. Dalam pidatonya pada 10 Juli dalam sidang paripurna Badan penyelidik, Soekarno menyatakan betapa beratnya tugas panitia kecil sehubungan adanya perbedaan pendapat antara dua kelompok anggota, dan kemudian dia menyampaikan kesepakatan rancangan preambul yang telah dicapai dalam Panitia Sembilan itu, yaitu, “...Pembukaan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dst... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Karena preambul itu ditandatangani oleh sembilan anggota pada 22 Juni 1945 di Jakarta, maka ia terkenal sebagai Piagam Jakarta (the Jakarta Charter), nama yang tampaknya pertama kali digunakan oleh Yamin. Piagam ini merupakan kompromi yang disepakati oleh para tokoh kebangsaan dan Islam sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Namun bagi SM. Kartosoewirjo yang bersama-sama tokoh-tokoh lainnya mendorong agar syari’at Islam diakomodasi sebagai dasar negara dalam sidang yang berlangsung sengit pada Juni 1945 itu, pembentukan BPUPKI yang menurutnya dikuasai oleh non-muslim dan muslim sekuler sesungguhnya telah meninggalkan ummat Islam. Akhirnya tindakan diskriminatif itupun berujung hilangnya tujuh kata yang telah disepakati dalam piagam Jakarta 22 Juni 1945. (Sabili, edisi khusus Juli 2004).

Blunder Hatta

Tanggal 17 Agustu 1945, naskah baru Pernyataan Kemerdekaan dirumuskan dalam suatu pertemuan yang berlangsung di rumah Kolonel Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang, Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Pada jam 10.00 (pagi) di hari yang sama, di Jalan Pegangsaan Timur 56 (tempat kediaman Soekarno ketika itu), proklamasi ini ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, dengan resmi dibacakan oleh Soekarno.

Keesokan harinya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk tanggal 7 Agustus 1945, dipimpin oleh Soekarno sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua, mengadakan rapat. Pertemuan pertama Panitia Persiapan ini direncanakan dalam agenda pada jam 09.30, akan tetapi belum juga dimulai sampai pada jam 11.30.

Apa yang terjadi dalam dua jam tersebut ternyata suatu yang sangat penting bagi sejarah Indonesia umumnya, dan bagi sejarah konstitusi Indonesia khususnya.

Semula, Panitia Persiapan ini berangotakan dua puluh satu orang, termasuk Ketua dan Wakil Ketua. Atas saran Soekarno, enam orang anggota ditambahkan. Hatta dipersilahkan untuk menyampaikan empat usulan perubahan:

1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”.

2. Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “Berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

3. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.

4. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta menyatakan keyakinannya: “Inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa.” Setelah mengambil alih pimpinan, Soekarno menambahkan bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat ini Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat Revolutiegrondwet. Soekarno menambahkan, “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna.”

Hanya beberapa jam kemudian, yakni jam 13.45, Panitia Persiapan menerima dengan bulat teks perubahan Preambul dan batang tubuh Undang-Undang Dasar ini. Preambul dan batang tubuh Undang-Undang Dasar dengan beberapa perubahan ini dikenal luas sebagai “Undang-Undang Dasar 1945.” (Endang Saifuddin Anshari, 1991).[3]

Gempita merdeka yang telah diproklamasikan cacat bernila. Tujuh kata tentang keharusan penerapan syariat Islam bagi para pemeluknya dihapus dari Pembukaan UUD 1945. Alasannya, hanya demi merayu hati minoritas Kristen agar urung memisahkan diri. Riwayatnya pun aneh bin ajaib. Gara-gara kedatangan seorang opsir Jepang yang mengaku wakil dari Kaigun. Jika tujuh kata itu berlaku, katanya, wakil-wakil Katolik dan Protestan di daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan Angkatan Laut Jepang akan memerdekakan diri. Bukan hanya identitas opsir itu yang tak jelas, tapi juga sejak kapan Jepang menjadi wakil bagi kaum Kristen? (Sabili, edisi khusus Juli 2004). Demikianlah, awal kemerdekaan RI menjadi awal pula bagi pengkhianatan kaum sekuler atas demokrasi dan ummat Islam. (Sabili, edisi khusus Juli 2004).

Arus Balik Kemerdekaan (1947-1949)

Dalam perjalanannya, Indonesia telah mengalami beragam sistem pemerintahan, dimulai dengan masa yang menurut para cendikiawan biasa disebut Era Demokrasi Konstitusional, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidentiil/presidensial (1945-1946), yang kemudian dilanjutkan dengan sistem parlementer (1946-1947).

Setelah penandatanganan hasil Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947 di Batavia oleh pemerintah RI, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup wilayah dari Sabang sampai Merauke sebagaimana diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dengan resmi dibubarkan. Dengan penandatanganan perjanjian ini Indonesia menggugurkan kemerdekaannya dan menyerahkan kedaulatannya kembali kepada Belanda. Republik Indonesia bersama-sama dengan Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan meleburkan diri dalam Republik Indonesia Serikat, yang diwadahi dalam Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda sebagai Ketuanya (menyerupai hubungan antara Hindia Belanda/Nederland Indies dengan Kerajaan Belanda pada masa kolonial). Wilayah RI yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura –yang semula diakui secara de facto oleh Belanda, melalui Perjanjian Renville (17 Januari 1948) diperkecil kembali hingga hanya tersisa wilayah Jogja plus delapan karesidenan di sekitarnya dan Banten.

Uni Indonesia – Belanda yang berada di bawah kekuasaan Ratu Belanda akhirnya bubar setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (minus Irian Barat) pada Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949) di Den Haag, Belanda. Penyerahan kedaulatan (soevereiniteitsoverdracht) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.

Pada titik ini Republik Indonesia Serikat memasuki babak perjalanannya yang baru sebagai negara yang merdeka dan berdaulat (kembali).

Pada awalnya RIS menggunakan UUD Sementara RIS (sebagai salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar yang berlaku sejak 27 Desember 1949 yakni tanggal diakuinya kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS). Atas dorongan M. Natsir (pemimpin Masyumi) yang mengeluarkan Mosi Integral, melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia (Yogyakarta), Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950 yang memberlakukan UUD Sementara 1950.

Pada tanggal 15 Desember 1955 dilaksanakan Pemilihan Umum pertama dalam sejarah Indonesia, dan sesuai dengan amanat pasal 135 UUDS 1950 untuk membentuk Dewan Konstituante sebagai perumus Konstitusi bagi Republik Indonesia yang baru, Soekarno kemudian melantik Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Partai-partai Islam meraih 230 kursi; sedangkan partai-partai lainnya (Nasionalis, Protestan, Katolik, Sosialis, dan Komunis) mendapat 286 kursi. Dengan demikian, perimbangan antara kedua kelompok tersebut sekitar 4:5. Berdasarkan hasil pemilihan umum ini, ternyatalah bahwa pihak Islam sama sekali tidak terwakili secara layak, baik dalam Badan Penyelidik (25 persen) apalagi dalam Panitia Persiapan (12 persen); hanya dalam Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta-lah kelompok Islam terwakili secara memadai (44 persen) (Endang Saifudin Anshari, 1997).

Partai

Suara yang sah

% Suara yang sah

Kursi Parlemen

% Kursi Parlemen

PNI

8.434.653

22,3

57

22,2

Masyumi

7.903.886

20,9

57

22,2

NU

6.955.141

18,4

45

17,5

PKI

6.176.914

16,4

39

15,2

PSII

1.091.160

2,9

8

3,1

Parkindo

1.003.325

2,6

8

3,1

Partai Katolik

770.740

2,0

6

2,3

PSI

753.191

2,0

5

1,9

Murba

199.588

0,5

2

0,8

Lain-lain

4.496.701

12,0

30

11,7

Jumlah

37.785.299

100,0

257

100,0

Perolehan Suara pada Pemilihan Umum 1955 (Sumber: M.C. Ricklefs, 1998)

Dewan Konstituante (1955 – 1959)

Majelis Konstituante memang menghadapi masalah-masalah berat dalam melaksanakan tugasnya karena beragamnya aliran-aliran politik di dalam tubuh Majelis itu. Kesepakatan-kesepakatan dalam merumuskan batang tubuh konstitusi lebih mudah dicapai dibandingkan dengan usaha untuk mencapai kesepakatan mengenai dasar negara, yaitu Pancasila, Islam, dan Sosial Demokrasi.

Dasar Pancasila diusulkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan sejumlah partai kecil, dengan kekuatan 273 kursi. Sementara dasar Islam diusulkan oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan empat partai kecil lain, dengan dukungan 230 kursi. Sementara Partai Murba dan Partai Buruh, dengan dukungan suara 9 kursi, mengusulkan dasar Sosial Ekonomi. Menyadar dukungan suara kelompok terakhir ini sangat kecil, mereka kemudian menarik usulannya dan bergabung dengan para pengusul dasar Pancasila.

Berdasarkan komposisi dukungan di atas, tidak satupun usul tentang dasar negara itu yang mendapatkan 2/3 suara untuk ditetapkan sebagai keputusan, sebagaimana disyaratkan oleh pasal 137 ayat 2 UUD Sementara 1950. Meskipun para pendukung dasar negara Pancasila lebih banyak daripada pendukung dasar Islam, jumlah suara mereka belum mencapai mayoritas 2/3 suara. Oleh karena itu, tanpa adanya usaha kompromi antara pendukung dasar Islam, telah dapat diduga sejak awal bahwa kemungkinan besar Konstituante tidak akan berhasil mengambil keputusan mengenai dasar negara.

Usaha-usaha untuk kompromi memang telah diperlihatkan sejak awal dimulainya perdebatan tentang dasar negara pada pertengahan tahun 1957. Setelah semua pihak diberikan kesempatan seluas-luasnya mengemukakan argumentasi mengapa mereka mengajukan Pancasila atau Islam, maka Konstituante akhirnya membentuk Panitia Perumus Dasar Negara yang terdiri atas 18 orang mewakili berbagai fraksi besar dalam majelis itu. Pada tanggal 6 Desember 1957, Panitia menyampaikan rancangan rumusan kompromi mengenai dasar negara kepada sidang paripurna Konstituante.

Rumusan tersebut diantaranya menetapkan bahwa “agama yang dianut oleh jumlah rakyat yang mutlak terbanyak menjadi agama resmi negara...”. tokoh-tokoh golongan Islam pada umumnya dapat menerima rumusan kompromi itu dan menganggapnya sebagai itikad baik bersama untuk menyelesaikan masalah besar yang dihadapi oleh Konstituante. Rumusan kompromi itu memang belum disahkan oleh sidang paripurna Konstituante karena semua pihak bersepakat untuk menunda dahulu pembicaraan mengenai dasar negara sambil menyelesaikan materi pasal-pasal dalam batang tubuh konstitusi. Pada tanggal 18 Februari 1959., Ketua Majelis Konstituante, Mr. Wilopo, mengemukakan keyakinannya bahwa majelis itu akan mampu menyelesaikan tugasnya sampai batas akhir waktu yang telah disepakati bersama.

Demokrasi Terpimpin (1957-1965)

Ketika Konstituante memasuki masa sidang tahun terakhir pada tanggal 24 April 1959, masih tersedia waktu sekitar delapan bulan bagi majelis ini untuk menyelesaikan perkerjaannya. Tetapi suatu provokasi yang datang dari luar Majelis Konstituante akhirnya membuat majelis itu terbelah menjadi dua kubu yang saling berlawanan. Provokasi dari luar itu datang dari Presiden Soekarno, Dewan Menteri pimpinan Perdana Menteri Djuanda, dan kalangan TNI Angkatan Darat yang dipimpin oleh Mayjen A.H. Nasution.

Soekarno sejak awal tahun 1957 telah gencar mengkampanyekan gagasannya untuk menerapkan “Demokrasi Terpimpin” yang dianggapnya sebagai demokrasi Timur yang sesuai dengan “jiwa dan kepribadian bangsa.” Soekarno tampaknya kurang puas dengan perkembangan demokrasi di Indonesia ketika itu, yang dinilainya bercorak “liberal” dan sering “menimbulkan gontok-gontokan” antara partai-partai politik yang bersaing. Dengan bubarnya Kabinet Ali Sastroamidjojo II yang dibentuk sebagai hasil Pemilihan Umum 1955, Soekarno mulai menerapkan gagasan Demokrasi Terpimpin itu. Mula-mula ia menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet, yang disebutnya sebagai Kabinet Darurat Ekstra Parlementer. Kabinet ini dipimpin oleh Ir. Djuanda dengan menyertakan semua golongan politik dan golongan fungsional dari kalangan tentara, seperti Kolonel M. Nazir dan Kolonel dr. Azis Saleh.

Meskipun Kabinet ini secara teoritis bersifat nonpartai, namun pada hakekatnya kabinet tersebut merupakan suatu koalisi antara PNI dan NU. Tidak satupun anggota PSI atau PKI di dalamnya, tetapi pihak komunis mempunyai beberapa simpatisan. Dua anggota Masyumi menjadi anggota kabinet tetapi partai tersebut mengeluarkan keduanya karena menerima kedudukan itu (M.C. Ricklefs, 1998)

Di samping membentuk Kabinet Djuanda, Soekarno juga membentuk sebuah dewan, yang semula ingin dinamakannya Dewan Revolusioner, tetapi kemudian diganti dengan Dewan Nasional. Dewan ini diketuai oleh Presiden, tetapi dalam praktik sehari-hari, pimpinannya diserahkan kepada Roeslan Abdulgani. Walaupun Dewan Nasional ini tidak ada dasarnya dalam konstitusi, perannya cukup menentukan sebagai “penasihat” pemerintah, yang dalam praktiknya telah menjadi semacam DPR bayangan di samping DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Ketidakpuasan sebagian tokoh politik terhadap langkah-langkah inkonstitusional Presiden Soekarno ini akhirnya semakin memperkeras tuntutan-tuntutan dari daerah.

Dalam pada itu, sejalan dengan penerapan gagasan Demokrasi Terpimpin, kalangan tentara di bawah Mayjen A.H. Nasution juga aktif berkampanye tentang perlunya kembali kepada nilai-nilai dan semangat 1945. Nilai-nilai dan semangat demikian menurut Nasution, akan tetap terpelihara jika negara kembali kepada UUD Proklamasi, yakni UUD 1945. Ide Nasution ini tampaknya bertemu dengan ide Soekarno dalam rangka menerapkan Demokrasi Terpimpin. Sebab demokrasi jenis itu memang menghendaki adanya pemusatan kekuasaan di tangan presiden, sementara UUD 1945 memungkinkan perwujudan hal itu. Sebaliknya, jika menunggu konstitusi baru belum tentu sejalan dengan gagasan Demokrasi Terpimpin tadi.

Gabungan ide Soekarno dan Nasution tadi akhirnya dibawa ke sidang Dewan Nasional. Dewan ini akhirnya sependapat bahwa butir-butir Demokrasi Terpimpin sebagaimana dirumuskan oleh Dewan itu, akan dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya jika negara kembali ke UUD 1945. Pendapat Dewan Nasional ini kemudian disampaikan kepada kabinet yang kemudian ternyata juga menyetujui gagasan tersebut. Wakil Perdana Menteri Idham Chalid, seorang tokoh NU, tidak memberikan komentar apa-apa terhadap usulan Dewan Nasional ini, sehingga Perdana Menteri Djuanda mengira, NU setuju dengan gagasan itu.

Keputusan Dewan Menteri itu disampaikan oleh Perdana Menteri Djuanda kepada sidang paripurna DPR dalam bentuk keterangan pemerintah yang berjudul “Putusan Dewan Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam Rangka Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.” Dalam keterangan itu, Perdana Menteri Djuanda mengatakan, “Untuk mendekati hasrat golongan-golongan Islam, berhubung dengan penyelesaian dan pemeliharaan keamanan, diakui adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 sebagai dokumen historis.” Dengan kembali ke UUD 1945, tambahnya, pelaksanaan Demokrasi Terpimpin akan lebih terjamin, di samping akan mampu mengembalikan seluruh potensi nasional “termasuk golongan Islam”, guna “diputuskan kepada penyelesaian keamanan dan pembangunan di seluruh bidang.”

Reaksi Golongan Islam

Setelah menyampaikan keterangan itu, pemerintah secara resmi mengajukan usul kembali ke UUD 1945 itu kepada Konstituante dengan suatu amanat presiden, di hadapan sidang paripurna luar biasa, tanggal 22 April 1959. Dalam amanat yang menghabiskan waktu selama dua jam sepuluh menit, Soekarno kembali menegaskan tekad pemerintah kembali ke UUD 1945 dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Ia menyarankan agar Konstituante menerima naskah UUD 1945 secara utuh tanpa perubahan. Setiap usul perubahan, menurut Presiden Soekarno, dapat disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dibentuk setelah UUD 1945 berlaku kembali. Sekiranya Konstituante dapat menerima usul pemerintah ini, maka semua pihak: Presiden, perdana menteri, seluruh anggota kabinet, dan semua anggota Konstituante akan mendatangani naskah yang dinamakan “Piagam Bandung” yang memuat kesepakatan semua pihak tadi untuk kembali ke UUD 1945.

Beragam reaksi muncul terhadap usul pemerintah tadi. Fraksi PNI, PKI, Parkindo, Katolik, Murba, dan partai-partai lain menyambut baik. Ada juga yang mengusulkan agar materi hak-hak asasi manusia yang telah disepakati oleh Konstituante, dimasukkan ke UUD 1945 karena konstitusi itu dianggap hanya sedikit memuat pasal-pasal mengenai materi itu. Tetapi usul itu ditolak oleh pemerintah.

Reaksi keras yang cenderung menolak usul pemerintah datang dari empat anggota Fraksi Masyumi, yaitu Prawoto Mangkusasmito, Djamaluddin Datuk Singomangkuto, A. Kahar Muzakkir, dan Hamka. Keempat tokoh Masyumi ini pada intinya meragukan itikad baik Soekarno melaksanakan UUD 1945, melainkan untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin di bawah payung UUD 1945 itu. Sedangkan Demokrasi Terpimpin itu, menurut keempat tokoh Masyumi ini, tidak lain adalah “kediktatoran”.

Pemungutan suara tentang apakah setuju kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen, dilakukan tiga kali. Pemungutan suara terakhir (2 Juni 1959), menghasilkan 263 setuju dan 204 menolak. Jadi, meskipun suara yang setuju kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen lebih banyak dari suara yang menentangnya, suara itu belum mencapai jumlah 2/3 anggota untuk sahnya suatu keputusan Konstituante. Dengan demikian, usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tanpa amandemen ditolak Konstituante.

Sesudah pemungutan suara tersebut, Konstituante menjalani masa reses selama sebulan. Sebagian besar anggotanya pulang ke daerahnya masing-masing, kecuali anggota Panitia Perumus Konstitusi. Ketua Konstituante, Mr. Wilopo, masih berharap agar dalam masa reses itu, berbagai pendekatan dapat dilakukan terhadap para pemimpin fraksi di Konstituante untuk mencari jalan keluar agar Konstituante dapat melanjutkan tugasnya menyusun konstitusi.

Tetapi, perkembangan politik rupanya bergerak ke arah yang lain. Pada masa reses Konstituante itu, Mayjen Nasution segera mengumumkan keadaan darurat (S.O.B). Rapat-rapat umum dilarang dan pemberitaan pers mulai disensor. Namun, Nasution sendiri dengan leluasa mengemukakan pendapatnya tentang perlunya UUD 1945 diberlakukan kembali untuk mengatasi keadaan. Sebagian anggota Konstituante – terutama yang mendukung usul pemerintah – menyatakan bahwa mereka tidak ingin lagi menghadiri sidang-sidang Konstituante.

Demikianlah, sejak awal keterlibatannya dalam politik, militer memang telah berusaha untuk menjegal demokrasi dan pelaksanaan syari’at Islam untuk mendukung pembentukan kediktatoran Demokrasi Terpimpin di bawah payung UUD 1945.

Dekrit Presiden (1959)

Dalam situasi semacam itulah, beberapa pimpinan partai, terutama PKI, PNI, dan IPKI mulai melontarkan gagasan agar Soekarno mengambil langkah-langkah luar biasa untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Sekembalinya Soekarno dari luar negeri pada tanggal 29 Juni 1959, ia segera disambut oleh demonstrasi dan poster dari para pendukungnya agar UUD 1945 diberlakukan kembali. Pihak tentara pimpinan Mayjen A.H. Nasution bahkan memerintahkan rakyat untuk menaikkan bendera selama sepuluh hari untuk mendukung gagasan pemberlakuan kembali UUD 1945. Atas dukungan partai-partai yang pro kembali ke UUD 1945 dan tentara, maka pada tanggal 2 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan resmi memberi tahu kabinet bahwa ia akan mendekritkan berlakunya UUD 1945.

Tiga hari kemudian, 5 Juli 1959, dekrit itu dibacakan oleh Presiden dan disiarkan oleh radio ke seluruh tanah air. Dua hal penting dalam isi dekrit itu adalah pembubaran Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUD Sementara 1950. Sebagai konsideransnya disebutkan antara lain bahwa tindakan dekrit dilakukan mengingat usul pemerintah kepada Konstituante agar menetapkan UUD 1945 “tidak memperoleh keputusan” dari majelis, dan sebagian besar anggotanya menyatakan tidak bersedia lagi menghadiri sidang-sidang majelis. Keadaan demikian telah “menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara.” Disebutkan juga bahwa tindakan dekrit itu mendapat “dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia.” Dalam konsiderans dekrit itu, Soekarno mengemukakan keyakinannya bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945” dan “merupakan suatu rangkaian kesatuan” dengan konstitusi tersebut.

Menurut Dr. Yusril Ihza Mahendra, dalam sejarah ketatanegaraan RI, satu-satunya keadaan staatsnoodrechts adalah ketika terjadi Agresi Militer II pada bulan Desember 1948. Ketika itu, Presiden, Wakil Presiden, dan sebagian besar menteri ditawan oleh tentara Belanda. Argumen noodstaatsrechts juga mempunyai kelemahan. Hukum kenegaraan RI pada masa itu tidak berada dalam keadaan darurat. Yang terjadi hanyalah penolakan Majelis Konstituante terhadap usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Secara hukum, andai pun Majelis Konstituante gagal membuat UUD tetap, maka UUD Sementara 1950 masih berlaku sebagai UUD RI yang sah. Secara akademis, tindakan dekrit bukannya harus dilihat atas staatsnoodrechts ataupun noodstaatrechts, melainkan sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Logeman, adalah suatu “revolusi hukum”. Jadi, sebagai suatu tindakan revolusioner, keabsahannya harus dicari secara post pactum, yaitu sejauh manakah Soekarno mampu mempertahankan langkah yang diambilnya. Kalau ia berhasil mempertahankan keputusannya, maka keputusan itu akan menjadi sah. Sebaliknya, jika gagal, ia mungkin akan didakwa melakukan tindakan coup de ‘etat atau sekurang-kurangnya melakukan tindakan inkonstitusional seperti dikatakan Mohammad Hatta (Yusril Ihza Mahendra, 1996).

Meskipun Republik Indonesia telah mendapatkan kemerdekaannya kembali melalui perjanjian KMB (1949) dan “memproklamasikan” kembali negara kesatuan pada 17 Agustus 1950[4], Republik yang baru lahir ini tidak bisa segera menunaikan janjinya kepada masyarakat untuk membangun Indonesia Merdeka dengan mewakili seluruh golongan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya. Berbagai perdebatan dan perselisihan mengenai Weltanschauung (worldview – pandangan dunia/ideologi) apa negara baru ini didasarkan yang sempat terhenti pada periode awal kemerdekaan antara kaum sekuler dan nasionalis Islam, kembali mengemuka setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya kembali.

Kalangan tentara dan Soekarno yang sama-sama sekuler tentu saja memihak kepada golongan sekuler dan menjegal proses demokrasi dan konstitusional dengan memberlakukan Dekrit Presiden dan membubarkan Konstituante. Sejak saat itu, Indonesia memasuki era kediktatoran dan berbagai macam korupsi, persekongkolan, intrik, dan konflik politik antara pihak tentara yang ingin turut mempengaruhi jalannya kekuasaan, Soekarno yang ingin mempertahankan kekuasaan dan takut kalau pengaruhnya tergeser oleh tentara, dan PKI yang semakin menguat posisinya.

Pada bulan Juli 1959 Dewan Nasional dibubarkan dan dibentuklah Dewan Pertimbangan Agung dan suatu lembaga baru yang disebut Dewan Perancang Nasional untuk memperkuat Demokrasi Terpimpin dan pemusatan kekuasaan di tangan Soekarno dengan memanipulasi konflik antara tentara dengan PKI.

Tetapi tentara (terutama Angkatan Darat) yang dipimpin oleh Nasution juga terus berebut pengaruh dengan membentuk berbagai macam organisasi kerjasama sipil militer, berbagai kebijakan serta operasi militer, dan campur tangan ekonomi yang kemudian sangat berdampak pada semakin hancurnya perekonomian Indonesia dan rasialisme (sentimen anti Cina)[5].

Dalam pidato pada peringatan hari kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1959, Soekarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin, yang beberapa bulan kemudian dinamakan Manipol (manifesto Politik). Dia menyerukan dibangkitkannya kembali semangat revolusi, keadilan sosial dan retooling lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi berkesinambungan. Pada awal 1960 keyakinan yang samar-samar ini menjadi semakin rumit karena ditambahkannya kata USDEK, yang berarti Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

Sementara itu, PSI dan Masyumi dilarang pada bulan Agustus 1960 karena permusuhan para pemimpin mereka terhadap Soekarno selama bertahun-tahun, oposisi mereka terhadap demokrasi terpimpin, dan keterlibatan mereka dalam PRRI.[6] Kini Soekarno mulai memberikan penekanan pada tema-tema yang sudah terlihat dalam tulisan-tulisannya pada tahun 1926, yang menghendaki persatuan antara nasionalisme, Islam dan Marxisme. Tema itu sekarang dinamakan doktrin Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Tampaknya doktrin ini mengandung arti bahwa PNI (untuk Nasionalisme), NU (untuk Agama), dan PKI (untuk Komunisme) akan sama-sama berperan dalam pemerintahan di segala tingkatan, sehingga menghasilkan suatu sistem yang antara lain, akan didasarkan pada koalisi kekuatan-kekuatan politik yang berpusat di Jawa. Karena PNI dan NU sudah bernar-benar terwakili, maka satu-satunya masalah yang ditimbulkan oleh Nasakom pada tahap ini adalah dimasukkannya para menteri PKI di dalam kabinet. Inilah yang tidak disetujui oleh pihak militer.

Kampanye “Pembebasan Irian Barat” (1962) dan “Ganyang Malaysia” (1963-1965) yang pada awalnya digunakan oleh Soekarno, Nasution (AD) dan PKI untuk saling berebut pengaruh akhirnya dimenangkan oleh pihak tentara dengan meraih banyak keuntungan politik.

Gerakan 30 September

Kondisi ekonomi dan politik yang semakin tidak menentu menjadikan tahun 1965 sebagai puncak dari persaingan antara tiga kelompok tadi dengan meletusnya Gerakan 30 September, suatu upaya kudeta gagal dari pihak militer pro PKI, yang pada gilirannya justru semakin memperkuat posisi tentara, dan melahirkan Letjen Soeharto sebagai satu-satunya perwira AD yang berpengaruh pada saat peristiwa itu terjadi.

Pada tanggal 30 September malam itu satu batalyon pengawal Istana yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung (sebelumnya dari Divisi Diponegoro), satu batalyon lagi dari Divisi Diponegoro, satu batalyon dari Divisi Brawijaya, dan orang-orang sipil dari Pemuda Rakyat PKI meninggalkan pangkalan udara Halim. Mereka pergi untuk menculik Nasution, Yani , Parman, dan empat orang jenderal senior angkatan darat lainnya dari rumah mereka di Jakarta. Pemimpin-pemimpin usaha kudeta tersebut termasuk Brigadir Jenderal Supardjo dari Divisi Siliwangi dan kepala intelejen Divisi Diponegoro. Untung tampaknya hanya menjadi pion. Mereka mendapatkan dukungan dari Marsekal Udara Omar Dhani (orang yang paling berpengaruh di AU), yang telah memberikan pangkalan udara Halim sebagai markas besar mereka dan dia sendiri hadir di sana. Mereka juga menjalin hubungan dengan Biro Khusus PKI Sjam dan beberapa anggota politbiro PKI (yang setidaknya secara samar-samar mengetahui rencana-rencana mereka). Akan tetapi, hanya Aidit lah satu-satunya pimpinan senior PKI yang hadir di Halim. Njoto dan Lukman sedang tidak berada di Jakarta, seperti halnya Subandrio, Chaerul Saleh, dan Ali Sastroamidjojo.

Tepat sesudah pukul tujuh pihak yang mengklaim telah melakukan aksi tersebut mengumumkan melalui radio bahwa ‘Gerakan 30 September’ adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk melindungi Sukarno dari kudeta yang direncanakan oleh suatu dewan yang terdiri dari jendral-jendral Jakarta yang korup dan menikmati penghasilan tinggi dan menjadi kaki tangan CIA. Kira-kira dua jam kemudian, Sukarno yang sebenarnya telah berangkat menuju istana kepresidenan tetapi membelokkan arah perjalanannya setelah mendengar tentang adanya pasukan-pasukan tak dikenal, tiba di Halim; di kemudian hari dia mengatakan bahwa tindakan ini dilakukan supaya berada di sebuah pesawat terbang seandainya dia harus meloloskan diri. Apa yang telah diketahui Soekarno mengenai rencana-rencana kudeta tidak pernah jelas.

Dengan “lolosnya” Nasution dari penculikan dan pembunuhan, malam itu juga telah memusnahkan para jenderal senior yang menjadi kelompok Yani, sehingga angkatan darat justru jatuh ke tangan orang-orang yang lebih bersedia menentang Soekarno dan musuh-musuh angkatan Darat. Sementara itu sekitar 2000 prajurit dari kelompok kudeta menempati ketiga sisi dari Medan Merdeka yang menguasai istana kepresidenan, stasiun radio, dan pusat telekomunikasi, tetapi tidak menduduki sisi timurnya di mana terletak markas besar Kostrad (Soeharto).

Divisi Diponegoro di Jawa Tengah merupakan basis orang-orang militer yang terlibat dalam kudeta itu. Terjadinya serangkaian kudeta dalam tubuh angkatan darat selama 1 Oktober mengakibatkan jatuhnya lima dari ketujuh batalyon infanteri Diponegoro ke tangan Gerakan 30 September. Walikota Surakarta yang beranggotakan PKI menyatakan dukungannya dan pada tanggal 2 Oktober, setelah kudeta yang mengalami kegagalan total di Jakarta, PKI bangkit di Yogyakarta dengan mengadakan suatu pawai untuk mendukung gerakan tersebut. Juga pada tanggal 2 Oktober harian PKI di Jakarta, Harian Rakyat, secara hampir tidak dapat dipercaya menerbitkan suatu tajuk rencana yang memuji-muji Gerakan itu, yang dilukiskannya sebagai urusan intern angkatan darat. Kejadian-kejadian tersebut, bersama-sama dengan peranan Gerwani dan Pemuda Rakyat dalam pembunuhan-pembunuhan di Halim (Lubang Buaya), telah mentukan nasib PKI. Para perwira angkatan darat yang anti PKI bukan lagi hanya ingin membatasi dan melarang PKI, melainkan kini mereka mempunyai alasan untuk menghancurkannya. Orang-orang sipil yang anti PKI, khususnya para aktivis Islam, menyetujuinya dengan sepenuh hati.

Sekali lagi Indonesia berada di persimpangan jalan. Soekarno dan PKI, dengan dukungan angkatan udara, melanjutkan suatu kebijakan yang bertujuan untuk menghancurkan dominasi angkatan darat, yang setelah krisis tahun 1956-1957 telah tampil sebagai kekuatan politik, ekonomi dan administrasi yang paling besar di Indonesia. Karena itu, mereka telah menimbulkan permusuhan dari angkatan darat. Pimpinan angkatan darat telah memanipulasi sistem yang kacau-balau itu untuk keuntungannya sendiri, tetapi pada tahun 1965, dengan semakin menguatnya pengaruh dan peran PKI[7], sudah tampak jelas bahwa kecuali jika mereka kuat menentang Soekarno dan PKI, maka angkatan darat akan menghadapi ancaman-ancaman yang serius terhadap posisinya. Demikian pula NU berusaha memanipulasi krisis antara Islam modernis (Masyumi) vs kaum sekuler tersebut untuk mempertahankan Islam Tradisional tetapi terpaksa menjadi oposisi yang aktif dan keras, bahkan sebelum angkatan darat, ketika PKI mengancam kepentingan agama dan ekonomi para pendukungnya[8].

Pada tanggal 30 September 1965 malam itu struktur yang lemah tersebut hancur. Kejadian ini berlangsung berbulan-bulan sebelum akibat-akibatnya menjadi jelas, tetapi pada malam itu perimbangan kekuatan yang bermusuhan yang mendukung demokrasi terpimpin telah berakhir. Banyak pengamat melihat peristiwa yang menyedihkan pada kurun waktu itu, terutama tragedi Soekarno, orang yang hidup lebih lama dari zamannya dan memanfaatkan dukungan rakyatnya untuk mempertahankan suatu rezim korupsi dan kemunafikan yang berlebihan. Akan tetapi, tragedi yang jauh lebih berat terletak dalam penderitaan rakyat Indonesia (M.C. Ricklefs, 1998).

Demikianlah, gambaran singkat mengenai dialektika format politik Indonesia di era Orde Lama (Soekarno), yang pada gilirannya tetap memiliki pengaruh (setidaknya menjadi latar belakang) pada perkembangan format politik Indonesia pada masa Orde Baru, dan masa-masa selanjutnya, yang mudah-mudahan akan kita bahas pada bagian berikutnya.

Daftar Rujukan

Anshari, H. Endang Saefuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 : sebuah konsensus nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta, Gema Insani Press, 1997.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia

Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia: kompilasi aktual masalah konstitusi, dewan perwakilan dan sistem kepartaian, Jakarta, Gema Insani Press, 1996.

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1998.

Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia: kestabilan, peta kekuasaan politik, dan pembangunan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Bacaan Lanjutan

1. Dasar-dasar Ilmu Politik, Prof. Dr. Miriam Budiardjo, UI Press

2. Teori Negara, Arief Budiman, Gramedia

3. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Alfian

4. Politik; Birokrasi dan Pembangunan, Mochtar Mas`oed

5. Politik Internasional Dewasa Ini, M Amin Rais

6. Teori Politik Modern, S.P. Varma

7. Transisi Menuju Demokrasi, LP3ES

8. Teori Politik Islam, Dr. Khalid Ibrahim Jindan

9. Bisnis dan Politik, Yahya Muhaimin


Kesadaran adalah Matahari

Kesabaran adalah Bumi

Keberanian menjadi Cakrawala

Dan Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-kata...

(W.S. Rendra)




[1] Pada masa Soeharto, dibentuk Panitia Pancasila yang terdiri dari lima orang, yakni: Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario, dan A.G. Pringgodigdo, yang dianggap dapat memberikan pengertian sesuai dengan alam pikiran, dan semangat lahir batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Di dalam sidangnya pada tanggal 10 Januari 1979, terjadilah diskusi sehubungan dengan masalah sumber pengambilan sila ketuhanan. Professor Sunario, seorang tokoh penting PNI berkata: “Bung Karno mengatakan bahwa beliau adalah merupakan salah satu penggali Pancasila; saya kira ini benar.” Hatta langsung menyambut: “Mungkin saja, tetapi yang jelas Bung Karno banyak mendapat ilham. Ya, memang demikian halnya, misalnya saja asas ketuhanan dari pihak PSII merupakan asas perjuangan partai.”

[2] Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I, dalam Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: sebuah konsensus nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta, 1997.

[3] Lebih dari sepuluh tahun kemudian, tahun 1957, K.H.M. Isa Anshari berkata dalam sidang Majelis Konstituante, bahwa: “Kejadian yang mencolok mata itu, dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu “permainan sulap” yang masih diliputioleh kabut rahasia sebagai permainan politik pat-pat gulipat terhadap golongannya; akan tetapi mereka diam tidak mengadakan tantangan dan perlawanan, karena jiwa toleransi mereka.”

[4] DR. Mohammad Noer, seorang Political Scientist, dari Universitas Nasional Jakarta, mantan aktivis PII Tanjung Pura, menyatakan dalam sebuah seminar nasional baru-baru ini di kota Padang (11 Agustus 2007), Indonesia sebenarnya memiliki dua buah proklamasi: Pertama Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dan yang kedua Proklamasi Berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada 17 Agustus 1950, yang diproklamirkan oleh orang yang sama, yaitu Soekarno dan Hatta.
Bedanya pada proklamasi pertama Soekarno-Hatta menyatakan dirinya atas nama bangsa Indonesia, sedang pada proklamasi kedua, ketika itu, Soekarno adalah Presiden RIS dan Hatta adalah Perdana Menteri RIS. (Prof. Usman Pelly, MA, Ph.D, http://www.waspada.co.id/Opini/Artikel/Indonesia-Miliki-Dua-Proklamasi.html)

[5] Pada bulan Mei 1959 diputuskan bahwa mulai tanggal 1 Januari 1960 orang-orang asing dilarang melakukan perdagangan di pedesaan. Walaupun ketetapan ini mempengaruhi pedagang Arab dan India, tetapi pada dasarnya merupakan suatu langkah yang didorong oleh pihak militer untuk merugikan orang-orang Cina, melemahkan persahabatan Jakarta dengan Cina, dan mempersulit PKI. Keluarnya orang-orang Cina dari pedesaan dan bahkan dari Indonesia mengakibatkan terjadinya dislokasi ekonomi, penimbunan barang, dan gelombang inflasi baru yang serius.

[6] Pada bulan Januari 1958 PSI dan Masyumi menuntut dibentuknya suatu kabinet baru, yang ditolak oleh PNI dan NU. Ketika Soekarno berada di luar negeri (6 Januari – 16 Februari), diselenggarakanlah suatu pertemuan di dekat Padang antara Simbolon, Lubis, para perwira lainnya di Sumatera, pemimpin-pemimpin Masyumi Natsir dan Sjafrudin, dan Sumitro Djojohadikusumo dari PSI. Setelah ultimatum mereka pada tanggal 10 Februari 1958 agar dibentuk kabinet baru ditolak oleh pemerintah, pada tanggal 15 Februari diumumkanlah suatu pemerintahan baru dengan markasnya di Bukit Tinggi dengan nama PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).

[7] Pada bulan Juli 1962 jumlah anggota front kaum tani PKI (BTI) mencapai 5,7 juta orang yang konon merupakan seperempat dari keseluruhan jumlah petani dewasa. Pada akhir tahun itu jumlah anggota SOBSI mencapai hampir 3,3 juta orang. Pada awal tahun 1963 jumlah anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia, yang didirikan tahun 1954) masing-masing mencapai 1,5 juta orang. jumlah anggota front intelektual PKI (Lekra) mencapai 100.000 orang pada bulan Mei 1963. Jumlah anggota PKI sendiri pada akhir tahuhnn 1962 mencapai lebih dari 2 juta orang, sehingga menjadikannya sebagai partai komunis terbesar di negara nonkomunis manapun di dunia.

[8] Pada akhir tahun 1963 PKI melancarkan kampanye ‘aksi sepihak’ guna memberlakukan undang-undang land reform dari tahun 1959-60 yang pelaksanaannya hampir belum pernah terwujud. Ketika para penduduk pedesaan anggota PKI mulai merampas tanah – terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan juga Bali, Jawa Barat, dan Sumatera Utara – mereka terlibat dalam pertentangan sengit dengan para tuan tanah (yang kebanyakan adalah kaum muslim tradisional atau para pendukung PNI feodal), kaum birokrat, para pengelola yang berasal dari kalangan tentara, dan khususnya di Jawa Timur dengan para santri NU.