Monday, March 24, 2008

Melacak Jejak Islib

Farag Fauda menarik perhatian Barat dan kalangan Islib karena ia dibunuh pada April 1993, di Mesir. Tepat 6 bulan setelah ia bersama Muhammad Khalafullah—dari pihak sekuler—berdebat dengan Muhammad al-Ghazali, Muhammad Imarah dan Muhammad al-Hudlaibi dari pihak muslim. Yusuf al-Qaradlawy, sebagai pihak yang juga sering terlibat perdebatan dengan kalangan sekuler, menceritakan dalam salah satu bukunya.

Pada waktu itu, Syaikh Muhammad al-Ghazali, Guru Besar Universitas al-Azhar Mesir yang menjadi lawan debat Farag Fauda, didatangkan oleh pengadilan sebagai saksi. Berikut ini kutipan dialognya:

Pengadilan (P): Apa hukuman yang menimpa orang yang mengajak untuk mengganti hukum Allah dengan hukum positif (syari’at wadl’iyyah) di wilayah yang hukum positif itulah yang berhak untuk memutuskan segala sesuatu “halal” atau “haram”?

Al-Ghazali (G): Secara keyakinan orang itu bukan muslim. Allah berfirman tentang orang seperti ini, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah berfirman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada thagut, padahal mereka telah diperintah mengngkari thagut itu...” (QS. An-Nisâ’ [4]: 60).

P: Apakah tindakan semacam itu bisa dikatakan kekufuran hingga pelakunya praktis telah keluar dari agama?

G: Ya, sebab siapa yang menolak hukum Allah karena ia mengingkarinya atau mengejeknya jelas ia keluar dari agamanya.

P: Adakah orang-orang yang melakukan tindakan atau ucapan kekufuran tersebut telah mengganti agamanya dan meninggalkan “jama’ah”?

G: Ini sama dengan kekafiran Fir’aun. Ia mengingkari keberadaan Allah dan durhaka kepada Musa. Ini adalah kemurtadan yang nyata-nyata.

P: Siapa yang berhak memberlakukan hadd atas orang murtad yang wajib dibunuh itu?

G: Sebenarnya pihak kehakiman yang berwenang dalam hal ini. Mereka yang berhak menjalankan hukuman dan qishash. Hak seperti ini tidak berlaku bagi individu-individu agar tidak terjadi kekacauan.

P: apa yang akan terjadi jika undang-undang yang berlaku tidak menghukum orang yang murtad dan karenanya pengadilan tidak menjatuhkan vonis (putusan hukum)?

G: Ini adalah kesalahan pengadilan dan orang-orang yang bertanggungjawab atasnya. Undang-undangnya juga salah.

P: Bagaimana bila hadd itu dilakukan seseorang dari umat Islam. Adakah pelaksana itu bisa dianggap telah melakukan tindakan kriminal atau merongrong penguasa?

G: Ia dianggap merongrong penguasa, tapi sekaligus ia telah melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan oleh penguasa.

P: Apakah orang yang merongrong penguasa tersebut, dengan asumsi bahwa kekuasaan memberlakukan hadd ada pada penguasa, adakah orang itu mendapat hukuman dalam pandangan Islam?

G: Saya tidak pernah tahu bahwa orang seperti itu akan mendapat hukuman dalam ajaran Islam.

Menurut al-Qaradlawy, kesaksian itu menimbulkan kegemparan. Seorang menteri Mesir yang bertanggungjawab atas kasus itu mendatangi rumah al-Ghazali dan menekan agar ia mencabut kesaksiannya. Tapi al-Ghazali malah menyatakan, “Saya tidak menulis artikel di surat kabar, atau menyampaikan khutbah di sebuah masjid, atau ceramah di depan sebuah perkumpulan. Saya ini dipanggil untuk menyampaikan kesaksian di depan pengadilan. Saya lalu bersaksi dengan sesuatu yang saya yakini benar sesuai dengan ajaran agama Allah. Kalau dalam kesaksian itu memang ada yang belum jelas, maka pengadilan silahkan memanggilku kembali untuk menjelaskan sikapku.” (Syekh Muhammad al-Ghazali yang saya kenal, hlm. 390-398).

Petikan dialog tadi menggambarkan bahwa perdebatan pemikiran Islam antara kubu sekuler dan Islamis terjadi juga di Mesir. Tapi

sebagaimana kita lihat, para ‘ulama tetap teguh dengan keyakinan agamanya walau ditekan oleh penguasa sekalipun. Sebagaimana yang kita lihat juga, para ‘ulama di sana menyuburkan budaya ilmiah (dengan dialog terbuka) dan menjauhi anarkisme. Mereka tidak menganjurkan umat, baik itu lewat tulisan atau khutbah, untuk menyerang pihak yang berbeda pendapat secara fisik. Demikian, Syekh al-Ghazali juga tidak menyembunyikan kebenaran atau mencari-cari cara dan dalil untuk menyalahkan pembunuh Farag Fauda hanya untuk menyelematkan dirinya dari tekanan penguasa ataupun kepentingan-kepentingan duniawi lainnya.

Jejak Pemikiran Islib

Pemikiran Islam di Mesir ini menarik untuk dicermati, karena sebagaimana dikemukakan Syamsuddin Arif, pemikiran sekuler berkembang di negeri-negeri muslim pasca-kolonialisasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Sebelumnya hampir tidak akan ditemukan intelektual muslim yang berhaluan sekuler. Yang ada paling hanya para orientalis yang memang mempunyai misi untuk memasyarakatkan sekularisasi pemikiran keagamaan, seiring dengan misi penjajahan kolonial itu sendiri.

Di Mesir misalnya, proses sekularisasi berlangsung setelah masuknya penjajah Prancis pada tahun 1798 dan Inggris pada tahun 1802. Tidak sampai seratus tahun kemudian lahirlah tokoh-tokoh yang menyerukan pembaruan a la Barat. Diantara pionirnya adalah Rifa’ah ath-Thahthawi (1801-1873) yang pernah tinggal di Paris selama lima tahun dan mengenyam karya-karya pemikir Prancis terkemuka seperti Voltaire, Condillac, Rousseau, dan Montesquieu. Menurutnya, ketika negeri muslim tidak berdaya menghadapi invasi bangsa Eropa, modernisasi dan sekularisasi menjadi keharusan agar bisa “maju” seperti bangsa Eropa.

Qasim Amin (1863-1908) kemudian menyusul dengan idenya bahwa syari’at Islam telah menghambat kemajuan. Lalu ‘Ali ‘Abdur-Raziq yang mengklaim bahwa politik Islam tidak ada dasarnya dalam al-Quran, hadits maupun ijma’ ‘ulama. Ia menuding bahwa sistem khilafah bertanggungjawab atas ketertinggalan umat umat Islam. Ada juga Thaha Husain (1889-1976) yang menyerukan sekularisasi bukan hanya dalam politik, tetapi juga dalam pendidikan dan pengajaran. Kemudian disambut oleh Gamal Abden Nasser (1952-1970), seorang presiden yang memberangus al-Ikhwan al-Muslimun dan menghukum mati para tokohnya, antara lain Sayyid Quthb.

Di India, pemerintah kolonial Inggris secara bertahap mencabut undang-undang (syari’at) Islam dan menggantikannya dengan hukum mereka. Sehingga mulai tahun 1870, hukum Islam hanya terbatas pada urusan pribadi seperti perkawinan dan warisan. Hal ini disokong oleh sejumlah pemikir liberal pada masa itu, seperti Sir Sayyid Ahmad Khan, Nawwab Abdul-Latif, Mustafa Khan, dan Khuda Bakhsh. Sayyid Ahmad Khan misalnya mengatakan bahwa tafsir al-Quran harus rasional dan agama harus ditarik dari ruang publik. Hal serupa kemudian diikuti oleh Fazlur Rahman di negara tetangganya, Pakistan. Hanya karena upaya Fazlur Rahman ini agak kesiangan, ia tidak kuat bertahan lama menghadapi kuatnya pengaruh para ‘ulama Pakistan. Akhirnya ia pun memilih terbang ke Chicago, Amerika.

Di Turki, kekalahan dalam perang melawan Rusia tahun 1774 dan kegagalan Mesir dari invasi Napoleon tahun 1798 telah memaksa imperium Turki Utsmani untuk melakukan modernisasi dalam semua aspek. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Mustafa Kemal Ataturk yang menggulirkan sekularisasi demi “kemajuan” bangsa Turki. Akibatnya khilafah diberhentikan, hukum Islam dihapuskan, dan simbol-simbol Islam dilarang.

Jejak Islib di Indonesia

Di Indonesia, kasusnya tidak jauh berbeda. Pemikiran liberal dengan tajuk ‘sekularisasi’ dan ‘pembaruan’ dengan pionir Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan Harun Nasution juga dalihnya modernisasi. Ide-ide yang dipasarkan tidak jauh beda dengan para pendahulunya. Nurholis bergerak di kalangan anak muda dan terjun ke berbagai NGO dan organisasi mahasiswa. Abdurrahman Wahid bergerak di lingkungan internal NU. Sementara Harun Nasution bergerak di lingkungan kampus dengan melakukan liberalisasi IAIN (UIN). Ketiga tokoh ini kemudian dijadikan panutan oleh anak-anak muda beriutnya yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL).

Menarik untuk mencermati analisa Yudi Latif dalam disertasi doktoralnya tentang Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Di mana ia menyatakan bahwa lahirnya gerakan liberal merupakan respons akomodasionis (kompromi) terhadap rezim Orde Baru yang meminggirkan Islam (baca: sekularisasi) dan mengutamakan “pembangunan” (pertumbuhan angka ekonomi). Senada dengan analisa Syamsudin Arif sebelumnya. Menurut Yudi Latif, pada waktu itu ada dua faksi utama: (1) para penganjur gerakan dakwah Islam dan (2) para penganjur gerakan liberal Islam yang sering disebut “gerakan pembaruan”. Faksi pertama bersikap rejeksionis/kurang pro (terhadap orientasi pembangunan ORBA), sementara faksi ke-dua bersikap akomodasionis/pro. Para aktivis Islam yang pada umumnya berasal dari universitas “sekuler” (umum/non-agama) justru merupakan penyokong utama faksi pertama (gerakan/lembaga dakwah kampus), sedangkan banyak aktivis Islam dari IAIN dan lembaga pendidikan NU malah merupakan penyokong utama faksi ke-dua (gerakan liberalisasi-sekularisasi).

Lembaga Mujahid Dakwah (LMD), Lembaga Dakwah Kampus (LDK), lingkaran-lingkaran keagamaan di kampus umum, masjid-masjid “independen” dan harakah Islam yang bersifat global serta program-program mentoring Islam merupakan saluran-saluran utama bagi transmisi ideologi dakwah. Di sisi lain, HMI, PMII, NGOs/LSM-LSM, dan lingkaran-lingkran mahasaiswa dan intelektual di IAIN dan NU menjadi katalis utama bagi proses transmisi ide-ide liberal-sekular. Yudi Latif pun kemudian menyebutkan nama-nama Hatta Radjasa, Hidayat Nur Wahid, Adian Husaini, dan Anis Matta sebagai contoh intelegensia faksi pertama; dan Azyumardi Azra, Masdar Farid Mas’udi, Komarudin Hidayat, Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Asysyaukanie sebagi contoh intelegensia faksi ke-dua (Intelegensia Muslim dan Kuasa, hlm. 661-663).

Berbagai penelitian di atas mengisyaratkan bahwa pemikiran Islam Liberal adalah produk kolonialisasi dan sekularisasi yang dilancarkan Barat. Karena tidak akan ditemukan mata rantai yang menghubungkan mereka dengan jejak pemikiran Islam yang salaf. Ia juga tidak lebih dari sikap akomodasionisme (kompromi) terhadap penguasa sekuler dan kering dari nilai-nilai kritis. Walau mereka sering melakukan justifikasi dengan mengetengahkan ayat al-Quran, hadits, ijma’ atau atrsar salaf, akan tetapi kesan “terlalu dipaksakan” tidak dapt disembunyikan. Dan seringnya mereka memperlihatkan kejujurannya dalam menyandarkan pendapat kepada para orientalis semakin mengukuhkan asumsi bahw memang pemikiran itu lahir dari rahim Barat yang sekular-liberal. Jadi terpaksa kita harus mengatakan lagi, Islam kok liberal? Wallahu a’lam bis-shawab.



[i] Disadur dari artikel dengan judul yang sama dalam Risalah No. 12 Th. 45 Rabi’ul Ula 1429 / Maret 2008, dengan beberapa perubahan redaksi.


sumber:http://pemudapersis-cs.blogspot.com/