Thursday, January 12, 2006

Fikrah

TINJAUAN KRITIS TERHADAP HEGEMONI BARAT
DAN HUBUNGAN MUSLIM DENGAN NON-MUSLIM
DALAM PERSPEKTIF SYARI’AH ISLAM
Jend. (Purn.) Z. A. Maulani (Alm.)

“...masa-masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia”, (QS. Ali Imran : 140)

“Kenabian akan terjadi di tengah-tengah kalian seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah menghapusnya... Kemudian akan ada khilafah (yang tegak) di atas manhaj nubuwah, lalu khilafah itu menjadi seperti yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian Allah menghapusnya... Kemudian akan ada kerajaan yang memegang teguh Islam, lalu kerajaan itu menjadi seperti yang dikehendaki Allah. Kemudian Allah menghapusnya... Kemudian (pada akhirnya) khilafah itu akan terjadi (lagi) di atas manhaj nubuwah”. (al-Hadits)

MASA KEEMASAN ISLAM
Masa keemasan Islam adalah jaman kegelapan di Eropa. Selama 700 tahun lebih Dunia Islam dan kaum muslimin menjadi penguasa dunia, yang membentang dari Samudera Atlantik sampai ke Samudera Pasifik, menjadi mercu-suar peradaban yang mencerahkan dunia dengan ilmu pengetahuan. Pada masa yang bersamaan bangsa-bangsa Eropa masih menganggap mandi itu sebagai kebiasaan setan, pengobatan masih di tangan para dukun, dan para rohaniawan merintangi segala usaha untuk kemajuan dunia dan memandangnya sebagai bid’ah. Gereja sibuk dan tenggelam mengeluarkan surat-surat indulgensi, semacam sertifikat pengampunan dosa dan visa untuk ke surga.
Di bagian lain dunia, para filosof, ilmuwan, sastrawan, dan tokoh-tokoh Dunia Islam menjadi tempat belajar dan menuntut ilmu dari segala penjuru dunia dan menjadi inter-loquator ke Barat. Pada pantheon tokoh-tokoh besar di dunia sains dikenal nama-nama Bairuni, Khawarizmi, Ibnu Haitsam, Abu Bakar ar-Razi, dan Zahrawi. Di bidang disiplin ilmu filsafat, dunia mengenal nama-nama besar seperti Ibnu Sina (Avesina), Ibnu Rusyd (Averus), dan Ibnu Tufail. Dalam bidang agama, ada tokoh Imam al-Ghazali dan Syaeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalam sastra dikenal nama Muttannabi, Abu A’la Al-Marie, Abu Hayyan Al-Tauhidi, dan Jalaludin Rumi. Sementara nama-nama Nurudin, Mahmud Asy-Syahid, dan Salahudin Al-Ayyubi, sebagai pakar politik, ketata-negaraan, dan kemiliteran. Dan masih banyak lagi nama-nama yang tidak bisa disebutkan, yang menghiasi sejarah keemasan Dunia Islam dan kaum muslimin dengan prestasi-prestasi mereka.
Pada paruh ke-dua millenium pertama, orang tidak dapat memungkiri masa keemasan itu mulai memudar dan keunggulan itu berangsur-angsur beralih ke tangan-tangan negeri-negeri Barat.

MASA KEMUNDURAN
Sejak kekalahan Christendom dalam Perang Salib yang berlangsung selama hampir 150 tahun (1099-1247) dan kemudian ditutupnya “jalan sutera” ke timur oleh Timurleng (1487), memaksa negeri-negeri Christendom mencari jalan alternatif ke timur melalui rute laut. Vasco da Gama, seorang pelaut Portugis, menyusuri pesisir Afrika dan pada tahun 1487 ia berhasil mencapai Tanjung Harapan. Setelah itu, dengan dipandu oleh para pelaut muslim yang telah lama menguasai kawasan Lautan Hindia, dengan menelusuri pulau Madagaskar, dua belas tahun setelah meninggalkan pelabuhan Lisabon, pada tahun 1498, Vasco da Gama sampai ke India, di mana ia meninggal di sana.
Enam tahun setelah Vasco da Gama berlayar ke arah selatan, dengan dibiayai oleh sekelompok ‘marano’ kaya (orang Yahudi Spanyol), seorang pelaut Portugis lain, Columbus, yang mengabdi kepada raja Spanyol, menjalankan ekspedisinya ke barat (1492) mencoba menemukan jalan lain ke “kepulauan rempah-rempah” di Hindia Timur. Ia bukannya sampai ke Maluku sebagaimana yang diharapkannya, tetapi mendarat di Waiting Island, Bahama, dan tercatat konon sebagai orang pertama yang menemukan “benua baru” Amerika.
Seorang mualim Portugis lain lagi, Magellan, yang juga mengabdi kepada raja dan ratu Spanyol, mengulang perjalanan Columbus ke barat, tetapi kali ini ia menyusuri pesisir anak-benua Amerika Latin ke arah selatan melalui tanjung yang kemudian diberi nama menurut namanya, Tanjung Magellan. Ia meneruskan berlayar ke barat dan berhasil mencapai kepulauan yang kemudian dinamainya Filipinas, sebagai penghormatan kepada raja Spanyol, Phillip. Magellan mengalami nasib apes, ia terbunuh di sana.
Sejak petualangan Vasco da Gama, Columbus, dan Magellan itu tujuh samudera berhasil dihubungkan oleh pelaut-pelaut Barat dengan kapal-kapal yang mampu mencapai segenap penjuru dunia. Christendom berangsur-angsur menguasai lautan. Untuk mengatasi perjalanan jauh dan waktu yang lama, dengan perbaikan desain dan teknologi pada lunas dan komposisi layar, kapal-kapal Eropa berkembang menjadi lebih besar, lebih ramping, lebih lincah, dan lebih tinggi kecepatannya.
Dengan dalih “to fight piracy on the high seas” (sama seperti sekarang – to fight international terrorism), kekuatan laut Christendom mulai bergerak menguasai lautan, yang pada gilirannya menguasai negeri-negeri Dunia Islam. Kekuatan laut Barbari Maroko di Laut Tengah berhasil mereka hancurkan, Malta dan Sisilia jatuh ke tangan Barat, angkatan laut kesultanan Aceh, Demak, Bugis – Makassar dan Ternate dilumpuhkan.

AWAL HEGEMONI BARAT ATAS DUNIA ISLAM
Tiga ratus tahun berlalu setelah tujuh samudera dikuasai oleh kapal-kapal Barat, pada pagi hari 1 Juli 1798, kaum muslimin di Iskandariah, Mesir, terkesiap melihat 300 kapal perang yang dipimpin langsung oleh Kaisar Napoleon lego jangkar mendaratkan pasukannya. Hari itu dicatat sejarah sebagai awal dari berakhirnya kekuasaan kaum muslim atas dunia, baik penguasaan atas kekayaan sumber-sumber daya, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berawal dari Mesir pada tahun 1847 Aljazair dikuasai oleh Perancis, menyusul Tunisia dan Maroko. Melalui serentetan pergulatan melawan kekuasaan Barat, akhirnya Mesir sepenuhnya jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1882. Penguasaan kompeni Inggris, The East India Company, atas kerajaan Islam Mogol di India, tuntas pada tahun 1850. menjelang berakhirnya abad ke-19, pada tahun 1899, Sudan jatuh ke bawah penjajahan Inggris, melengkapi dikuasainya negeri-negeri Islam di benua Afrika oleh Barat.
Melalui tekanan poliik dan diplomasi oleh Prancis dan Inggris, Sultan Abdul Majid (1839 – 1861) tunduk dan melaksanakan kebijakan tanzhimat (reorganisasi), yaitu mendirikan sekolah-sekolah yang berciri sekuler untuk kalangan militer dan birokrasi. Ketentuan hukum peradilan “dimodernisasi” berdasarkan kode hukum Napoleonik untuk mengatur masalah perdata dan perdagangan menggantikan hukum Syari’ah berdasarkan dekrit Al-Ahkam Al-Adliyah yang dikeluarkan pada 10 Maret 1885. Inilah subversi Barat yang pertama dan berhasil menyusupkan pikiran-pikran sekuler ke Dunia Islam dan bersamaan dengan itu berhasil menanamkan paham nasionalisme pada bangsa-bangsa Arab, Turki, dan bangsa-bangsa Islam lainnya, terutama melalui intelektual muslim yang belajar di Eropa.
Semangat nasionalisme itu menyulut berbagai pemberontakan di dunia Arab terhadap Daulah Utsmaniyyah. Di Hijaz pemberontakan pecah di bawah pimpinan Muhammad bin Saud (1703 – 1791) yang dikooptasi Inggris. Gerakan yang diilhami oleh semangat kebangsaan Arab itu memberi pengaruh kepada munculnya gerakan Sanusiyyah (1787 – 1859) dan Al Mahdiyyah (1844 – 1885) di Sudan. Di Iraq pecah pemberontakan yang dipimpin oleh Mamalik (1817 – 1831), yang juga dihasut oleh Inggris. Pemberontakan di Sudan bekerjasama dengan Muhammad Ali di Mesir dan gerakan Syaukaniyyah (1758 – 1835) di Yaman. Di Mesir dan Syam pemberontakan yang dipimpin oleh Muhammad Ali pecah sebagai hasil provokasi Prancis. Semangat nasionalisme (ashabiyyah) itu akhirnya berhasil memecah belah Khilafah Islamiyyah terakhir menjadi lebih dari 50-an negara-negara berpenduduk muslim yang umumnya bermusuhan satu dengan yang lain.
Puncak dari kemunduran Dunia Islam terjadi pada tanggal 29 Oktober 1923, tatkala Khilafah Islam terakhir, Daulah Utsmaniyah tumbang melalui konspirasi negara-negara Barat dengan kaum sekuler Turki, dan darinya berdiri Republik Turki yang sekuler di bawah Mustafa Kemal.
Di depan Majelis Nasional, Mustafa Kemal, seorang anggota Freemasonry zionis, yang beribukan seorang wanita Yahudi, dengan lantang berucap, “Saya telah memutuskan bahwa Turki harus menjadi sebuah republik dipimpin oleh seorang presiden terpilih.” Melalui pernyataannya itu Kemal mengangkat dirinya sebagai diktator, ia menghapus segala yang berbau Islam. Ia melarang digunakannya huruf Arab, perempuan Turki dilarang mengenakan jilbab dan diharuskan mengenakan busana Eropa, sementara para prianya dilarang menggunakan tutup kepala tarbus yang selama itu menajdi identitas pria muslim Turki. Bahkan adzan harus diucapkan dalam bahasa Turki. Pelajaran agama dilarang diberikan di sekolah-sekolah, madrasah dihapuskan. Kemal dengan tangan besi menjadikan Turki sebuah negara sekuler penuh.
Sejak abad ke-16 negara-negara Barat mulai menancapkan kuku penjajahannya di negeri-negeri Islam. Satu-persatu negeri-negeri Islam itu ditaklukkan dan dikuasai, di Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Barat, Afrika, dan Timur Tengah, terkecuali Hijaz dan Yaman. Penjajahan Barat bukan saja bertujuan untuk mengeruk kekayaan dari tanah-tanah jajahannya, tetapi dengan semboyan “Gold, Glory, Gospel” (pemupukan Kekayaan, pembangunan Kekuasaan, dan penyebaran Injil), penjajahan Barat menguasai secara total materiel dan immateriel, dalam wujud penjajahan politik, penjajahan ekonomi, dan penjajahan budaya, menindas negeri-negeri Islam dan komunitas muslim.
Untuk mengukuhkan kekuasaan politik, kaum kolonialis menerapkan politik devide at impera (pecah-belah dan kuasai). Pemecah-belahan yang paling dahsyat di Dunia Islam terjadi melalui Kesepakatan Syker-Picot (Inggris dan Prancis) pada tahun 1927, yang memecah wilayah Islam peninggalan Daulah Utsmaniyyah ke dalam beberapa negara kecil, menjadi Iraq, Suriah, Hijaz (kemudian menjadi Saudi Arabia), Libanon, Mesir, dan keemiran negara-negara Teluk, yang melalui keputusan Liga Bangsa-Bangsa diletakkan di bawah mandat Inggris dan Prancis. Negara-negara Arab itu dibuat bersaing dan bermusuhan satu dengan lainnya, dan senantiasa tergantung dan membutuhkan campur tangan dari kedua negara Barat tersebut dalam mengatasi perselisihan mereka. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tidak terkecuali, dipecah-belah Belanda, dan akhirnya tergantung pada belas-kasihan pemerintah kolonialis Belanda.
Sampai dengan hari ini pola itu belum berubah. Agresi Amerika Serikat ke Iraq, misalnya, 19 Maret 2003 yang lalu medapatkan dukungan dari negara-negara Arab tetangga Iraq – Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Jordania, dan Mesir. Pecah-belah itu bertujuan untuk mengukuhkan kekuasaan politik atas kawasan tersebut dalam rangka menguras sumber daya ekonomi daerah jajahan, baik hasil bumi, perkebunan, serta minyak dan bahan tambang lainnya.
Pasar dunia yang nota-bene dukuasai oleh kartel negara-negara kolonialis Barat, menekan upah buruh para kawula jajahan di Dunia Islam serendah mungkin, menyebabkan rendahnya pendapatan, sehingga kaum muslimin dicekik kemiskinan, dan pada akhirnya menjadi kaum mustadh’afin, kaum marjinal.
Politik pecah-belah bukan hanya secara horisontal, tetapi juga dilaksanakan secara vertikal. Kelas penguasa pribumi yang bersedia bekerjasama, diberi privelese, dalam rangka membangun jurang sosial-politik dengan rakyatnya, seraya menopang tetap tegaknya feodalisme, yang mereka tuduhkan sebagai “oriental feodalism”. Pengaruh budaya politik kolonial itu samapai kini masih terliahat kuat mewariskan karakter umum pada rejim-rejim di Dunia Islam.
Penjajahan Barat yang paling berhasil adalah penjajahan pada bidang budaya. Melalui sistem pendidikan kolonial yang sepenuhnya berorientasi kepada nilai-nilai budaya Barat, ditanamkan pandangan untuk menerima supremasi dan superioritas nilai-nilai dan peradaban Barat. Para elit di berbagai negeri muslim merasa lebih “beradab” bila berbicara dalam bahasa Perancis (Francophone), atau bahasa Inggris (Anglophone), dan di Hindia Belanda berbahasa Belanda, makan dengan tata cara Barat, dan berpakaian dalam busana Barat. Rasa rendah diri, mental “jongos”, dan sinisme terhadap agama sendiri – Islam – ditanamkan. Di Indonesia, istilah-istilah derogatif seperti “kaum sarungan”, “kaum bakiak”, “kampungan”, dan sebagainya, adalah ucapan yang ditujukan kepada kaum muslimin. Anak-anak kaum muslimin direnggut dari akar budaya mereka, yang melahirkan kelompok ‘split personality’, karakter terbelah, suatu jenis kelainan jiwa – mereka mengaku Islam, tetapi merasa asing dengan Islam, bahkan memusuhi Islam. Mereka tidak memiliki komitmen dengan agamanya, tidak memahami budaya, peradaban dan missi historis mereka. Mereka ini, ke bumi tidak mengakar, ke atas tidak menggantung, di tengah-tengah digerek kumbang.

KOLUSI DAN KONSPIRASI BARAT DENGAN ZIONISME DAN ISRAEL
Kemunduran dan kemudian keruntuhan Dunia Islam tidak dapat dipisahkan dengan kolusi dan konspirasi antara Barat dengan gerakan zionisme internasional. Pada bulan November 1917 menteri luar-negeri Inggris Lord Balfour mengeluarkan Balfour Declaration yang terkenal, yang isinya menyatakan bahwa pemerintah Inggris menyetujui untuk memberikan seuatu “Tanah Air bagi Orang Yahudi” di tanah Palestina. Motif di belakang kebijakan ini bertujuan, pertama, untuk memperkuat posisi Inggris menghadapi Daulah Utsmaniyah yang pada waktu itu menguasai kawasan Timur Dekat. Dalam Perang Dunia ke-1 (1914 – 1918) itu Turki memihak Jerman, dan dengan itu membukakan akses bagi Jerman kepada sumber-sumber minyak di Timur Tengah; ke-dua, menjamin keamanan Terusan Suez bagi arus pasokan minyak dan perdagangan Inggris dari Persia dan Timur Jauh; dan terakhir, yang ke-tiga, menjadikan negara Yahudi di Palestina sebagai ‘bastion’ (benteng) Inggris untuk mengontrol kawasan Afrika Utara, Laut Tengah, dan Timur Tengah. Persetujuan Inggris memberikan tanah Palestina sebagai “Tanah Air bagi Orang Yahudi” merupakan awal dari konspirasi yang berkelanjutan antara Barat dan kaum Zionis.
Sementara itu, sejak 1918, dengan kampanye “kembali ke Palestina”, orang Yahudi mulai melakukan berbagai upaya untuk merebut tanah dari tangan Palestina baik dengan cara halus, maupun kasar, sampai dengan melalui cara-cara terorisme untuk mengusir penduduk Arab-Palestina dari desa-desa mereka secara paksa. Selama dasawarsa 1940-an saja kelompok teroris Yahudi berhasil mengusir tidak kurang dari 600.000 orang Arab-Palestina dari desa-desa mereka. Pada tahun 1918, 90,0 persen dari tanah Palestina dimiliki oleh swasta Arab-Palestina. Kini, setelah sembilan puluh tahun berlalu, 90,0 persen tanah Palestina dikuasai oleh orang Yahudi dan pemerintah Israel. Dan untuk kepentingan membangun Erzt Israel, Negara Israel Raya itu, state terrorism terus berlangsung hingga saat ini dijalankan oleh pemerintah Israel tanpa perasaan.
Pada bulan Mei 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan sebuah resolusi yang memutuskan partisi (pembagian) tanah Palestina, bagi berdirinya negara Israel bersama-sama dengan negara (Arab) Palestina. Sebagai akibat dari keputusan partisi PBB yang ditolak oleh negara-negara Arab itu, pada Mei 1948 itu juga pecah Perang Arab – Israel yang pertama, dengan akhir wilayah Israel meluas dua kali lipat daripada wilayah yang ditentukan oleh resolusi PBB. Setelah itu perang antara Arab melawan Israel berlangsung lima kali dengan hasil wilayah Israel bukan kian surut, tetapi kian meluas. Dalam perang 1967, daerah-daerah strategis miliki Arab, seperti Jerusalem Timur, Jalur Gaza, daerah Tepi barat, dataran tinggi Golan, dan kawasan Libanon Selatan, jatuh ke tangan Israel. Kesemuanya dapat terjadi karena dukungan Amerika Serikat dalam bentuk subsidi untuk anggaran belanja nasional Israel sebesar 2,8 milyar dolar setahun, ditambah bantuan ekonomi dan peralatan militer senilai 6 milyar dolar setahun, ditambah bantuan ekonomi dan peralatan militer senilai 6 milyar dolar setahun, yang setara dengan sepertiga dari seluruh bantuan luar-negeri Amerika Serikat.
Selama konflik Perang Dingin, kecewa akan sikap Amerika yang mendukung tanpa-reserve kepada Israel, mendorong sebagian besar negara-negara Arab di Timur Tengah memihak kepada Uni Sovyet, kecuali negara-negara Arab monarki, seperti Saudi Arabia, Jordania, Maroko, dan Tunisia. Sebagaimana Inggris dalam Perang Dunia ke-1, kali ini Amerika pun memandang Israel sebagai “benteng demokrasi” di Timur Tengah. Sejak 1967 pada pemerintahan Lyndon B. Jhonson, Amerika Serikat memberikan dukungan penuh kepada Israel, baik di bidang politik, ekonomi, keuangan, militer, serta diplomasi dalam peran sebagai agen untuk menghadapi negara-negara Arab yang kekiri-kirian, seraya untuk menahan gerak maju pengaruh Uni Sovyet di kawasan tersebut. Presiden Johnson juga memberikan persetujuannya untuk penjualan sejumlah besar pesawat tempur dan kendaraan tank kepada Israel jauh sebelum Perang Arab – Israel 1967, yang dengan kebijakan itu mendongkrak negara Yahudi itu ke posisi hegemonik dan kecongkakannya di Timur tengah.
Namun pengaruh dan peran lobby Yahudi di Washington tidak pernah sedahsyat seperti pada pemerintahan presiden George W. Bush dewasa ini. Berawal pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an, lobby Yahudi seperti AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) berhasil menguasai Kongres, sementara WINEP (Washington Institute for Near-East Policy) yang didirikan oleh William Indyk, seorang lobbyist Israel yang handal, dengan cerdik membangun sikap pro-Israel di kalangan perumus kebijakan Amerika sambil menyusupkan orang-orangnya di posisi-posisi penting pemerintahan. Sebagai contoh, Dennis Ross, sahabat kental Indyk di WINEP dan seorang tokoh perunding bagi presiden George Bush I, berhasil ditempatkannya sebagai koordinator perundingan Arab-Israel masa presiden Clinton. Tidaklah mengherankan bila perundingan perdamaian yang dikoordinasikan Dennis Ross itu tidak pernah jelas arah dan juntrungannya.
Sederet nama tokoh pendukung keras Israel dalam pemerintahan presiden Bush sekarang ini, banyak di antaranya adalah pemegang dwikewarganegaraan Israel-Amerika, seperti Paul Wolfowitz, deputi menteri pertahanan; dan Peith, menteri muda pertahanan urusan perumusan kebijakan, dua-duanya dikenal sebagai “rajawali garis keras” dari barisan neo-konservatif partai Republik. Kemudian nama kondang lain seperti Richard Perle, tokoh Yahudi, mantan ketua dan sekarang ini masih tercatat sebagai anggota Defense Policy Board yang sangat berpengaruh di Pentagon. Selanjutnya Elliot Abrams, direktur senior Urusan Timur Tengah di National Security Council Gedung Putih; kemudian John Bolton, Libby Lewis, keduanya juga tokoh di National Security Council, dan sejumlah nama lagi sebagai ‘think-tanks’ pro-Israel, seperti Frank Gaffney yang mengetuai Center for Security Policy. Selain nama-nama tadi ada lembaga-lembaga lobby, seperti the American Enterprise Institute, the Jewish Institute for National Security Affairs, the Project for the New American Century, the Center for Middle East Policy di Hudson Institute, dan tentu saja the Washington Institute for Near-East Policy, dan masih banyak lagi.
Dengan dukungan kaum Yahudi neo-konservatif yang berperan sebagai “rajawali” di pemerintahan Amerika Serikat dan sekaligus sebagai pendukung kuat partai sayap kanan Israel likud, mereka berhasil menggiring pendapat pemerintah dan Kongres Amerika Serikat menempatkan Dunia Islam sebagai musuh Ideologi Amerika Serikat berikutnya sesudah Uni Sovyet. Mereka berhasil meyakinkan Washington bahwa Israel yang kuat di kawasan tersebut, bukan hanya berperan untuk mengontrol negara-negara Arab yang memusuhi Amerika “karena iri kepada kemakmuran Amerika”, tetapi juga untuk menjamin keamanan pasokan minyak dari Timur Tengah. Dalam hubungan ini menjadi jelas mengapa setelah terbentuknya pemerintahan interim di Iraq, tugas dari pemerintahan Amerika di Iraq yang ditetapkan oleh kaum ‘neo-cons’ itu tadi adalah untuk menjamin terlaksananya pengakuan dan hubungan diplomatik Iraq dengan Israel. Presiden Bush telah memberikan peringatan, bahwa “Kejadian di Iraq harus menjadi pelajaran bagi negara-negara Arab lainnya yang ada di Timur Tengah.”
Untuk keperluan itu, sejak tahun 1960-an di bawah presiden Lyndon B. Johnson, Amerika Serikat memberikan lampu hijau kepada Israel untuk mengembangkan dirinya sebagai kekuatan yang berperan sebagai ‘nuclear blackmail’ terhadap negara- negara Arab. Bagi Amerika Serikat, menjamin eksistensi negara Israel sebagai penangkal di kawasan Timur Tengah, dan menundukkan rejim-rejim Dunia Islam, tidak peduli yang mengaku tradisional, yang sekuler, ataupun yang mengklaim sebagai negara murni Islam, telah menjadi kepentingan nasional utama bagi Amerika Serikat.

DASAR DAN WATAK HUBUNGAN MUSLIM DENGAN NON-MUSLIM
Kualitas hubungan antara komunitas muslim dengan non-muslim tidak pernah mesra. Rasulullah saw. Menyebutnya sebagai “perdamaian semu” (Hadits shahih Bukhari, dari ‘Auf bin Malik, serta Ahmad dan Thabrani, dari Mu’adz). Watak hubungan semacam itu pada dasarnya dilatar-belakangi oleh ketidak-mampuan memahami, yang melahirkan pandangan yang distortif tentang Islam, dan sikap khianat Barat terhadap kaum muslimin, sejak kontak pertama antara kedua komunitas tersebut lima-belas abad yang silam. Paus Urbanus II (1042 – 1099) dalam khotbahnya di Clermont (1099), Perancis, menyebut kaum muslimin sebagai “para penyembah setan... yang menghancurkan gereja-gereja... dan membunuhi kaum Kristen...” Dari fakta kesejarahan, tuduhan ini tentu saja sama sekali tidak berdasar dan tidak masuk akal.
Di masa kini kaum Evangelis, sama seperti halnya Paus Urbanus II di jaman Kegelapan Eropa, masih gemar menggambarkan Islam dan kaum muslimin berdasarkan selera liar mereka tanpa dasar. Misalnya, tidak kurang dari seorang guru-besar ilmu pemerintahan di salah satu perguruan tinggi paling bergengsi, Harvard University, profesor Stanley Hoffman, dalam bukunya yang berjudul A New World and Its Troubles’ yang terbit pada 1989, menulis, “...masih ada satu ideologi berdasar konflik kekerasan, yakni Islam.” (there is at least still one ideology of violent conflict – i.e. Islam”).
Meskipun ada intelektual Barat yang berusaha meluruskan pandangan yang distortif tentang Islam dan kaum muslimin, seperti Edward Said, Esposito, dan lain-lain, tetapi para pemuka Kristen, kaum orientalis, dan politisi Barat pada umumnya, sampai hari ini masih terus menggambarkan Islam menjadi ideologi dan kekuatan yang nilai-nilainya secara diametral bertentangan dengan sistem nilai Barat. Samuel F. Huntington mengemukakan mengemukakan perbedaan mendasar antara peradaban Barat dengan Islam yang menjadi sumber konflik. Barat yang mewarisi peradaban Yunani-Romawi-Kristen mendasarkan pahamnya pada adagium ‘Berikan apa yang menjadi hak tuhan kepada tuhan, dan yang menjadi hak kaisar kepada kaisar”, yang menjadi dasar paham sekularisme (secolarum – dunia), yang konsekuensinya adalah ‘pemisahan kekuasaan negara dari kekuasaan gereja (hukum agama)’, sementara Islam menolak “pemisahan kekuasaan Tuhan dari kekuasaan kaisar”. Dengan kata lain, Islam tidak mempertentangkan kekuasaan negara dengan kedaulatan Tuhan. Islam menjadi agama yang “anti-demokrasi”.
Pandangan Huntington itu mewakili pandangan masyarakat Barat umumnya yang direfleksikan pada pemikiran mutakhir para ideolog Barat sebagaimana terbaca pada rancangan preambul konstitusi Uni Eropa, sebagai berikut:
“Our constitution is called a democracy, because power is not in the hands of a minority, but in the hands of the people.”
“Conscious that Eroupe is a continent that has brought forth civilizations; that its inhabitants arriving in succesive waves since the first ages of mankind, have gradually developed the values underlying humanity: equality of persons, respect of reason, drawing inspiration from the cultural, religious and humanist inheritance of Europe, which nourished first by the civilizations of Greece and Rome, characterized by spiritual impulse always present in its inheritage and later by the philosophical currents of the enlightment, has embedded within the life of society its perception of the central role of human person and his inviolable and inalinable rights and respect for law.”(Rancangan Preambule of The European Convention, 28 Mei 2003)
“Konstitusi kita disebut demokrasi, karena kekuasaan bukan di tangan sekelompok minoritas , tetapi ada di tangan rakyat.”
(Dengan) menyadari bahwa Eropa adalah benua yang telah melahirkan peradaban, yang penduduknya datang dalam gelombang yang silih berganti sejak abad-abad awal umat manusia, secara berangsur-angsur telah mengembangkan nilai-nilai yang kini menjadi dasar humanisme, yaitu: kesetaraan manusia, serta penghormatan kepada akal. (Konstitusi ini) menarik inspirasinya dari warisan budaya, agama, dan humanisme Eropa, yang dilahirkan pertama kali oleh peradaban Yunani dan Romawi, yang memiliki karakter spiritual yang melekat pada warisan itu, dan kemudian oleh arus filsafat pencerahan, telah tertanam dalam kehidupan masyarakat; pandangan tentang peranan penting pribadi manusia serta hak-haknya yang tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dipisahkan, serta penghormatan kepada hukum.”
Pandangan dalam rancangan preambul kontitusi Eropa di atas, yang menyatakan bahwa demokrasi itu sesuatu yang modern, sedang Islam itu terbelakang adalah tidak benar. Sebagaimana diakui oleh rancangan preambul konstitusi Eropa di atas demokrasi adalah produk dari kekaisaran Yunani dan Romawi jauh sebelum Islam tampil. Kenyataan sejarah membuktikan kekaisaran Yunani dan Romawi runtuh tatkala berhadapan dengan sistem politik Islam yang lebih unggul. Adalah peradaban Islam yang dengan sistem politik Islam yang memanggul panji-panji kemajuan dan perkembangan kemanusiaan ke tingkat yang belum pernah dicapai sebelumnya. Adalah Islam yang mengusung ilmu pengetahuan ke puncaknya yang kemudian membukakan peluang kepada Eropa mendapatkan dan mengembangknnya.
Argumen bohong ke-dua dalam rancangan preambul konstitusi Eropa itu bahwa kemajuan Eropa diilhami oleh Yunani dan Romawi yang berlanjut dengan gerakan rennaissance. Argumen itu menyembunyikan fakta sejarah 800 tahun kekuasaan Islam di Andalusia yang memberi pengaruh luar biasa kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan bagi Eropa.
Kebohongan ke-tiga yang sering dikemukakan Barat, termasuk dalam rancangan preambul konstitusi Eropa itu, gagasan yang menyatakan bahwa demokrasi itu bersifat universal, berlaku bagi semua tempat dan budaya. Kenyataan menunjukkan, sistem politik demokrasi yang ‘stabil’ ditemukan terbatas hanya di kawasan Eropa Barat dan Amerika utara. Demokrasi ternyata gagal mengakar di Amerika Latin, di Eropa Timur, di Rusia dan di negeri-negeri bekas Uni Sovyet, di Afrika, di dunia Arab atau Asia, termasuk di Indonesia. Kebangkitan Eropa Barat sebagai sebuah peradaban tidak ada sangkut-pautnya dengan demokrasi, kebangkitan itu lebih banyak karena didukung oleh kekuatan militer Barat, kolonialisme, imperialisme, dan secara khusus dapat berlangsung, karena kekuasaan Islam dan penjarahan atas kekayaan sumber-sumber daya alamnya oleh Barat
Demokrasi Barat yang sekuler juga tidak membuat kondisi kemanusiaan dan ummat manusia bertambah baik. Di luar perbatasannya Barat lebih memperlihatkan wajahnya sebagai peradaban predator, yang menyebabkan bagian bagian terbesar dari ummat manusia terpuruk ke dalam kondisi yang memilukan.
Argumen lain yang dikemukakan oleh Barat dan kaum sekuler yang seiring tatkala mereka mempromosikan paham demokrasi sekuler, bahwa agama tidak kompatibel dan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan serta kemajuan ummat manusia. Argumen ini sebenarnya lebih cocok untuk menggambarkan Eropa Kristen, dan jauh panggang dari api bila bila dinisbahkan kepada Islam. Di bawah kekuasaan Islam, para ilmuwan muslim dan masyarakat ilmiah telah mempersembahkan dan menukilkan kemajuan terbesar dalam ilmu pengetahuan dan kemanusiaan bagi Eropa.
Mithos lebih lanjut yang perlu dikemukakan berkenaan dengan demokrasi Barat. Seperti dikemukakan dalam rancangan preambul konstitusi Eropa di atas adalah pikiran bahwa kekuasaan bukan pada sekelompok minoritas tetapi ada di tangan rakyat. Dikatakan juga, dengan demokrasi korupsi akan menjadi sangat minim, pemerintah tidak akan nepotistik, kekuasaan akan lebih transparan, dan bertindak demi kepentingan rakyat banyak (sebagai lawan dari pemerintahan diktator atau totaliter). Kenyataannya adalah dalam sistem demokrasi korupsi menjadi lebih canggih dan tidak mudah tampak. Pemilihan umum, dewan perwakilan rakyat, kongres apapun namanya tidak lebih dari panggung sandiwara yang didesain untuk menipu masyarakat banyak agar mempercayai bahwa rakyat turut-serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut nasib mereka
Dalam kenyataannnya kekuasaan demokrasi ada di tangan para elit dan kelompok-kelompok kepentingan. Pada umumnya keputusan yang menyangkut kepentingan rakyat diambil di belakang pintu tertutup, dimana para tokoh, berbagai kelompok kepentingan yang berpengaruh kuat tetapi tidak memiliki akuntabilitas, memutuskan kebijakan-kebijakan penting bahkan untuk memutuskan negara akan berperang atau tidak.
Kenyataan seperti di atas tadi, dari hari ke hari makin tampak di dalam sistem demokrasi Barat. Kelompok elektorat tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyerah dengan memberikan suara. Mereka menyadari bahwa suara mereka tidak lain hanyalah untuk memberikan legitimasi kepada para pengambil keputusan yang lebih sering bertindak demi kepentingan orang-seorang atau kelompok tertentu.
Dewasa ini dalam sistem demokrasi Barat, keadaan telah berubah. Yang bermain adalah berbagai kepentingan besar dan kuat. Khususnya kelompok vested-interests seperti para pemodal besar, kekuatan keuangan, kepentingan asing, bahkan organisasi Zionis baik terselubung maupun yang terbuka. Kekuatan-kekuatan tersebut berhasil mematikan gagasan demokrasi. Proses pengambilan keputusan politik dalam sistem demokrasi dewasa ini telah beralih ke peringkat dan struktur baru, ke dalam tangan lembaga-lembaga keuangan, perdagangan, dan politik non-nasional seperti IMF, Bank Dunia, WTO, CIA, kedutaan besar Amerika Serikat, dan sebagainya, yang mendikte kebijakan nasional suatu negara. Kekuasaan dan pengaruh para wakil rakyat di parlemen, bahkan rakyat itu sendiri, telah kian menciut.
Kaum politisi dan partai politik kini menjadi budak belian dari apa yang kini disebut sebagai “tata dunia baru” (new world order) yang acapkali diplesetkan menjadi “new world disorder” (kekacauan dunia baru). Kelompok-kelompok kepentingan itu mengendalikan kaum politisi dan partai politik dengan kekuatan uang mereka melalui money politics. Sekiranya ada yang ingin mengetahui keadaan yang memilukan itu bisa melihat betapa kacau-balaunya di tempat yang konon menjadi dedengkot demokrasi Barat, dengan tokoh-tokohnya George Bush dan Tony Blair.
Pada bagian lain, Barat menuduh bahwa di dalam Islam tidak ada penghormatan kepada “hak-hak azazi manusia”, sehingga di negeri-negeri Islam sering dituduh cenderung melahirkan ketidak-puasan sosial yang luas. Situasi itu menurut mereka menjadi akar berkembangnya “Islamic radicalism” yang pada gilirannya melahirkan fitnah tentang “Islamic terrorism”. Dunia Islam mereka gambarkan sebagai “sick and failed states” (negara-negara yang sakit dan gagal), karenanya harus “direformasi” dan “didemokratisasikan”, kalau perlu dengan kekerasan.
Fakta sejarah membuktikan sebaliknya. Islam dan kaum muslimin tidak pernah terlibat dalam kejahatan penghancuran bangsa, ras dan peradaban Aztec, Inca dan Maya; kaum muslimin tidak terlibat dalam pertumpahan darah yang yang tak henti-hentinya dalam sejarah panjang konflik kemanusiaan selama 2000 tahun ini, yang mencapai puncaknya pada Perang Dunia ke-1 (1914 – 1918) dan Perang Dunia ke-2 (1939 - 1945); kaum muslimin bukan pihak yang bertanggung-jawab atas penciptaan senjata-senjata pemusnah massal, dan bukan pelaku kejahatan besar terhadap kemanusiaan yang menjatuhkan bom di atas Hiroshima dan Nagasaki (1945); kaum muslimin sampai saat ini justru masih menjadi korban dari kejahatan kemanusiaan sejak lasykar Christendom menyerbu Jerusalem dalam Perang Salib ke-1 pada tahun 1099, dan dengan ‘inkuisisi Spanyol’ ketika Andalusia pada 1490 jatuh ke tangan kekuasaan Kristen. Di awal milenium ke-dua, lebih dari 500.000 orang bayi dan ratusan ribu lagi orang tua dan wanita kaum muslimin mati sebagai akibat diberlakukannya embargo makanan dan obat-obatan terhadap Iraq (1991 – 2003); ratusan ribu lagi mereka yang tidak berdosa dan tidak tahu-menahu tewas sebagai akibat tindakan biadab pemboman membabi-buta di Afghanistan. Kaum muslimin juga tidak bisa memaafkan begitu saja genosida yang dilakukan terhadap kaum muslimin Palestina yang berlangsung selama lebih dari setengah abad sampai dengan hari ini di depan mata dunia.
Islam yang difitnah tidak toleran terhadap agama lain, khususnya Kristen, meninggalkan kenyataan sejarah yang sama sekali berbeda. Gereja Kopti (Qibtiyyah) di Mesir, Gereja Maronite (Maruniyyah) di Libanon, Gereja Orthodox Suriah, bahkan gereja-gereja pendatang baik Katolik Roma, Katolik Orthodox, serta berbagai denominasi Protestan tetap berdiri dengan kukuh di negeri-negeri Islam. Suatu hal yang mustahil terjadi terhadap Islam dan kaum muslimin bilamana mereka menjadi kelompok minoritas.
Takala Islam berkuasa, Rasulullah saw memberikan payung Piagam Madinah, yang menjamin kehidupan bersama pada masyarakat yang plural, antara kaum muslimin dengan non-muslim. Kaum Yahudi, bukan saja dijamin hak-hak kemanusiaan dan kebebasan beragama mereka, tetapi juga mendapatkan jaminan perlakuan yang sama dengan kaum muslimin.
Pasal 25 Piagam Madinah menyatakan, “Kaum Yahudi adalah satu ummat dengan kaum mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang dzalim dan jahat. Hal demikian itu akan merusak diri dan keuarganya”. Pasal 37 memberikan kedudukan yang sama di depan hukum bagi kaum Yahudi dan kaum muslimin, “Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) berkewajiban bahu-membahu dalam menghadapi musuh warga Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasehat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menaggung hukuman akibat (kealahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.”
Pasal 37 tesebut diperkuat oleh pasal 47, “ sesungguhnya piagam ini tidak membela orang dzalim dan orang khianat. Orang yangkeluar (bepergian) aman, dan orang yang berada di Madinah aman, kecuali orang yang dzalim dan khianat. Allah adalah Penjamin bagi orang yang beramal-shaleh dan bertaqwa. Dan Muhammad adalah rasulullah saw”.
Piagam Madinah adalah dokumen konstitusi pertama yang dikenal oleh ummat manusia yang menjamin hak-hak asasi manusia, menetapkan persamaan hak dan kewajiban serta kedudukan hukum yang sama di antara kaum muslimin dan non-muslim, yang menjadijaminan bagi integrasi masyarakat yang plural.
Dasar-dasar ajaran islam yang menjamin hubungan saling hormat-menghormati antara kaum muslimin dan non-muslim dapat dilihat kembali di bawah praktek kekuasaaan Islam di Jerussalem melalui Pernyataan Ailia yang dibaut oleh Amirul Mukminin saidina ‘Umar bin khattab ra. (21 H). “inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah, ‘Umar, Amirul Mukminin,kepada rakyat Aelia ( Jerussallem ). Dia menjamin keamaan diri, harta benda, gereja-gereja’ salib-salib mereka,...... dan semua aliran agama mereka. ( Kaum Muslimin ) tidak boleh mengganggu gereja mereka, baik membongkarnya, mengurangi maupun menghilangkannya sama sekali. Demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka.
Meskipun Lasykar Salib pernah membantai habis kaum muslimin dari jompo sampai bayi ketika mereka merebut Jerussaleem pada 1 juni 1099, sehingga Encyclopedia Britannica mencatat, darah kaum muslimin menggenangi lantai Mesjidil Aqsa sampai setinggi mata kaki. Namun ketika islam menguasai kembali Jerussalem pada tahun 1155, Sultan Salahuddinal-Ayyubi memulihkan kembali perlindungan yang pernah diberikan oleh Khalifah ‘Umar ra. terhadap Gereja dan kaum Kristiani sebagaimana sebelum terjadinya Perang salib. Gerja dan kaum Kristen yang masih tegak sampai hari ini di Jerusalem dan di Dunia islam merupakan bukti sejarah dari toleransi nyata dari Islam dan Kaum Muslimin.
Hubungan antara kaum muslimin dengan non-muslim, khususnya dengan dunia Christendom dan kaum Yahudi, diruisak oleh Barat ketika Dunia Islam mengalami kemunduran sejak abad ke-18 dan barat menjajal kolonialisme mereka di Dunia Islam. Kelanjutan usaha Barat untuk menaklukan Dunia islam mencapai puncaknya ketika terjadi serangan terhadap menara-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC. pada 11 September 2001, yang dinisbahkan konon dilakukan oleh kelompk “teroris Islam “. Kejadian itu kemudian dijadikan dalih khususnya oleh Amerika Serikat, untuk mendzalimi komunitas muslim dan Dunia islam pada umumnya.

PANDANGAN NON-MUSLIM TENTANG PENGETAHUAN SYARI’AH
Pada umumnya kaum sekuler dan non-muslim secara kategorik, tanpa alasan yang jelas dan masuk akal, menolak perbelakuannya syari’at Islam, yang mereka ketahui berllaku terbatas hanya bagi para pemeluknya. Sebagai refleksi sikap itu, dengan keras-kepala kelompok ini menolak bahkan rumusan yang ada bau-bau Islam, seperti pada kasus debat kusir sehubungan dengan RUU Sisdiknas pada pasal 12 yang memuat klausul tentang “pemberian pengajaran agama Islam oelh guru-guru yang beragama Islam di sekolah-sekolah swasta non-Islam”, dan menolak rumusan yang bernada Islam, seperti rancangan rumusan tentang tujuan pendidikan yang berbunyi “untuk membentuk anak-didik yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia”. Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara sendiri menyatakan dengan tegas bahwa tujuan pendidikan Nasional yang pertama dan utama adalah “untuk membentuk akhlak anak-didik, baru kemudian memberikan bekal pelajaran”.
Seorang tokoh Kristen dengan gigih menolak berbagai perundangan yang berbau Islam, ketika dalam satu kesempatan ditanyakan , “Apakah menurut Romo gereja terganggu ketika orang-orang Islam melaksanakan perkawinan mereka menurut hukum perkawinan Islam?” Jawab beliau, “Tidak!”. Keika kemudian ditanya, “Apakah Romo merasa gereja terganggu bila orang-orang Islam itu membagi waris mereka menurut Hukum Waris Islam di antara mereka?” Jawaban beliau tegas, “Tidak!”. Ketika ditanya lagi kepada tokoh itu, “Apakah Romo melihat gereja terganggu ketika orang-orang Islam itu menyimpan uang mereka di bank-bank syari’ah yang tidak berdasar sistem ribawi?” kembali ajwaban tegas beliau, “Tidak!” Dan seterusnya jawabannya adalah tidak terganggu. Tetapi ketika ditanyakan, mengapa kaum sekuler dan gereja menentang berlakunya syari’at yang hanya berlaku bagi orang-orang Islam itu, yang ada hanya hening, tidak ada jawaban.
Ada alasan tak terucap tatkala kaum sekuler dan non-muslim dengan gigih selalu menolak terhadap pemberlakuan syari’at Islam bagi kaum Muslimin di Indonesia. Tak terucap karena sikap itu tidak kongruen dan bertentangan dengan konsep negara-bangsa, dengan konsep hak-hak hukum, yang juga mereka pahamai dan mereka anut. Perjuangan menegakkan syari’at Islam di bumi hanya akan dapat berhasil bila kaum muslimin Isndonesia mampu membuktikan kompetensi dan manfaat melalui amal yang didasarkan pada Akhlak Islami.

RUJUKAN
Yusuf Qardhawi, ‘ Ummat Islam Menyongsong Abad ke-21’ , Intermedia, Sala,2001, hal. vi-vii.
J.M.Roberts, ‘History of the World‘ ,Oxpord University Press’, New York, 1993, hal.435-500.
Robert Payne, ‘The History of Islam’, Dorset Press, New York, hal.284-299.
Drs. Hafidz Abdurrahman, MA, ‘Reposisi Gerakan Islam’, Majalah Al Wa’i No.29, 1-31 Januari 2003, hal.13.
Abdul Qadim Zallum, ‘konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah: Telaah Politik Menjelang Runtuhnya Negara Islam’, Penerbit Al-Izzah, Bangil, Jawa Timur, 2001, hal.180-181
Patrick Seale, ‘a Costly Friendship’, Information Clearing House, July 3, 2003.
John J. Robinson, ‘Born in Blood: The Lost Secret of the Freemansonry”, M. Evans & Company, New York, 1989, hal. 63-64.
Jihad Unspun website, ‘Democracy for sale’, July 26, 2003.
Ibid.
Ms. Judith Miller, ‘Is Islam a Threath ?”, Artikel dalam majalah The Foreign Affairs, Washington DC. April-June 1993.
Samuel F. Huntington, ‘The West Unique, Not Universal’, The Foerign Afairs, WashingtonDC., November – December 1996.
Tuduhan hintington dan kaum intelektual barat umumnya kepada Islam sebagai agama yang “anti-demokrasi”, “a warlike religion”, agama yang mengenal ‘rule of law’, dan berbagai tuduhan destortif lainnya dilatar-belakangi ketidak-mampuan Barat memahami Islam secara jujur. Islam memang tidak memisahkan kedaulatan Tuhan dari kekuasaan negara. Prinsip itu didasarkan pada kedudukan dan misi manusia yang dinyatakan oleh Al-Qur’an sebagai ‘Khalifah Allah di muka bumi’ – “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ’sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi “ ( QS. Al Baqarah (2) : 30). Sebagai “khalifah Allah di muka bumi”, maka Allah menetapkan agar manusia berhukum dan menjalankan hukum sesuai dengan kehendak-Nya, “Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang maha cepathisab-Nya.” (QS. Ar-Ra’ad (13) : 41).
Islam memandang kehidupan akhirat adalah kontinuitas dari kehidupan yang bersifat sementara di dunia. Dalam konteks ini maka masalah keduniawian dan kehidupan di Hari Kemudian ( ukhrawi )merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Dalam nafas yang sama, Islam tidak memisahkan kehidupan eduniaandengan iradat dan campur tangan kekuasaan Tuhan dalam kehidupan manusia, dengankata lain, tidak memisahkan kerajaan dunia dari kerajaan akhirat. Dari sudut pandang lain, berbagai asfek kehidupan tidak terpisah di dalam Islam, ada keterkaitan yang erat berupa interdepedensi, antara hukum dengankasih-sayang, ketegaran keadilan dengan welas asih, antara tubuh jasmani dengan rohani, materi dengan jiwa.
‘Rule of law’ di dalam syari’at Islam mengatur tata-hubungan antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan hidupnya. Hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an, hadith Rasulullah saw., dan bila manusia tidak mampu menemukan dalil dari kedua sumber hukum dasar di atas, maka sumber hukum islam yang ketiga adalah yurisprudensi yang didasarkan pada kesepakatan (‘ijtima) para ahli alim-ulama. Hukum Islam, atau ‘syari’at’, menata segala sesuatu yang berkaitan baik kehidupan secara kolektif (jama’ah) maupun secara pribadi. Kalau ketentraman dan ketertiban masyarakat (social order) merupakan indikasi dari efektifitas hukum serta skala ketaatan hukum masyarakat, angka kejahatan (crime rate) di negeri-negeri Islam relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan hal yang sama di negara-negara yang mengklaim diri berdasarkan sistem hukum dan ‘rule of law’ menurut versi Barat.
Konsep Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, yaitu yang memberikan kesejahteraan (prosperity) dan keamanan-ketentraman (security) –“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (hai Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta ‘alam” (QS. Al-Anbiya (21) : 107 ); sebagai agama yangmenjungjung tinggi keadilan danmenegakkan kebenaran – “... hendaklah kamu menjadi orang-orang yang senantiasa menegekkan (kebenaran) kaena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan jangan lah sekali-kali ekbencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.” ( QS. Al-Maidah : 8 ); agama yang menegakkan dan mempraktekkan toleransi dalam kehidupan beragama – “lakum diinukum wa liyaddin” (QS. Al-Kafirun : 6); yang mengejarkan tidak ada paksaan dalam beragama – “laa ikraha fiddin” (QS. Al-Baqarah : 256); tidak disentuh oleh Barat.
Lembaga resmi militer Amerika serikat, the Armed forces Institute of Pathology (AFIP), melaporkan hasil pemeriksaan mereka atas daftar manifes penumpang tiga pesawat, yang konon “dibajak oleh 19 orang teroris Arab”, serta hasil otopsi terhadap 189 korban para penumpang pesawat tanggal 16 November 2001. ternyata baik dari daftar manifes penumpang maupun dari otpsi jenazah para korban, laporan AFIP menyatakan tidak menemukan satu pun nama orang Arab, atau jenazah orang Arab. (The Prince George’s Journal, Maryland, ‘Operation 911: No sucide Pilots”, edisi September 18, 2001, dikutip oleh http:/ / www.serendipity.ll / wtc.html, July 14, 2003).
Cerita tentang 19 orang “ teroris Al-Qaidah” yang oleh intelejen Amerika serikat disebut-sebut berhasil menyusup dan menguasai pesawat dan menghujamkannya ke gedung – kembar WTC itu, kini seluruhnya ternyata ceritera isapan jempol, yang digunakan untuk menghasut kecurigan terhadap kaum muslimin tanpa kecuali, termasuk terhadap kaum muslimin di Indonesia.
Selanjutnya tentang nama muhammad Atta, Marwa Al-Sehhi, dan hani hanjour, yang konon dikatakan sebagai para pilot berkebangsaan Saudi yang berhasil membajak, kemudian mengemudikan dan menabrakkan pesawat Boeing 767 ke gedung-kembar WTC di New York dan Pentagon di Washington DC., menurut Marcel Bernard, instruktur pada pusat pendidikan penerbangan dimana ketika “pilot” itu pernah menjalani latihan mereka, konon dikatakan, jangankan menerbangkan pesawat jet berbadan lebar dan canggih seperti Boeing-767, mereka itu untuk menerbangkan pesawat kecil tipe Cessna 172 saja secara solo, oleh para instrukturnya dinilai tidak mampu (“... they had received pilot training – with courtesy of the CIA (?) – but were considered by their flying instructors to be incompetent to fly even light single-engine planes”) (Ibid).
Para analis yang meneliti kasus peristiwa serangan dan hancurnya gedung kembar WTC itu mencurigai pesawat-pesawat nahas itu kemungkinan dikemudikan dengan alat ‘remote control’ dan diledakkan secara otomatis dengan alat yang memang telah terpasang pada setiap pesawat komersial oleh aparat keamanan penerbangan fedeeral sebagai tindakan berjaga-jaga menhadapi kemungkinan kontijensi bilamana sewaktu-waktu pesawat dibajak. Kesimpulan itu makin memperkuat analisis bahwa serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC., melibatkan “otrang Islam” yang diduga mencakup personel angkatan udara Amerika Serikat, Pentagon, CIA, dan Mossad.
Bersamaan dengan itu para ahli demolisi Amerika juga menengarai gedung WTC New York tersebut tidak mungkin akan runtuh sedemikian rapi tanpa merusak gedung-gedung di sekitarnya sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah Amerika Serikat, yaitu disebabkan oleh tabrakan pesawat. Bila hanay oleh tabrakan pesawat, para ahli demosili itu menyimpulkan gedung-kembar WTC itu sebagian masih akan tersisa, meskipun mereka mempercayai gedung-kembar berlantai 110 setinggi 415 meer itu telah di desain dan dibangun oelh para arsitek Minoru yamasaki, John Skilling, dan Leslie Robertson sebagai bangunan tahan gempa, tahan tornado, dan diilhami novel Clancy yangmengisahkan hancurnya sebuah gedung pencakar langit karena ditabrak oleh pesawat teroris, maka ketiga arsitekkondang itu mendesain gedung-kembar WTC juga tahan tabrakan pesawat. Menurut para ahli demosili itu, cara runtuhnya dan habisnya gedung-kembar WTC itu memperlihatkan ciri-ciri, apa yang mereka sebut ‘controlled demolition’ dari dalam, oleh orang-orang yang paham benar tentang konstruksi bangunan WTC, dengan memakai teknik yang digunakan untuk menghancurkan gedung-gedung tua tanpa perlu tanpa perlu membahayakan lingkungan di sekitarnya. Gedung Pentagon yang konon disebut-sebut ditabrak pesawat Boeing 767 juga tidak memperlihatkan adanya puing-puing pesawat, atau isi perut pesawat yang berserakan berupa barang-barang penumpang dan sebagainya sebagaimana layaknya pesawat jatuh.
Laporan lain dari Komisi Penyelidik Gabungan Kongres (Joint Congres Inquiry) yang dikelarkan pada tanggal 24 Juli 2003 baru-baru ini menyatakan, penyelidikan mereka pada kesimpulan –“ tidak ada kaitan apa pun antara Iraq dan Al-Qaida, dan tidak ada kaitan apaun antara Iraq dengan peristiwa serangan 11 September 2001”. Nasi telah jadi bubur. Iraq sejak 19 Maret 2003 telah terlanjur menjadi negeri jajahan Amerika.
Dan tentang fitnah keempat, tuduhan Washington bahwa Iraq memiliki senjata pemusnah massal yangmenjadi dasar alasan invasi Amerika menghabisi Iraq, ketika Richard Perle, tokoh Yahudi dan mantan ketua dan masih menjadi anggota dari the Defense Policy Board Pentagon, bersama tokoh Yahudi lain, Paul Wolfowitz, deputi menteri pertahanan, keduanya disebut-sebut berdiri di belakang pencetus keputusan menyerang Iraq, ketika ditanya pers tentang tuduhannya tenang senjata-senjata Iraq itu pada tanggal 24 Juli 2003, dengan enteng menjawab,”Well, kami tidak tahu kemana mencarinya, dan tidak akan pernah tahu di mana barang itu.” (William Pitt, ‘Thought Heavens Fall’, July 25, 2003).

LAMPIRAN A
PIAGAM MADINAH
Mukaddimah. Dengan Nama Allah Ynag Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah saw., di kalangan mukminiin dan muslimiin (yang berasal dari) Quraisy dan Yastrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.
Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu Ummat, lain dari (komunitas) manusia lain.
Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka bahu-membahumembayar diat di antar mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara kaum mukminin.
Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuaio keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antar mukminin.
Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai dengan keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan denan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat diantara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat diantara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 7 Banu Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat diantara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 8 Banu Amr ibnu Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat diantara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat diantara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 10: Banu al-Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat diantara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.
Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung hutang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran teebusan dan diat.
Pasal 12: Seorang Mukmin tidak boleh mempersekutukan dengan sekutu mukmin lainnya tanpa persetujuan daripadanya.
Pasal 13: Orang-orang Mukmin yang taqwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari dan menuntut sesuatu secara dzalim, jahat, melakukan permusushan atau kerusakan di kalangan mikminin. Kekuatan mereka bersatu menentangnya, sekalipun ia anak dari salah satu di antara mereka.
Pasal 14: Seorang Mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak bileh pula orang mukmin membantu orang kafir (untuk membunuh) orang beriman.
Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminiin itu saling membantu, tidak tergantung kepada golongan yang lain.
Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terdzalimi dan ditentang (olehnya).
Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang Mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa iktu-serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.
Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain.
Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertaqwa ada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.
Pasal 20: Orang musyrik (Yastrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh campur-tangan melawan oang-orang beriman.
Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.
Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan.
Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad saw.
Pasal 24: Kaum yahudi memikul biaya bersama kaum mukminiin selama dalam peperangan.
Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu Ummat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali yang dzalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.
Pasal 26: Kaum Yahudi Banu al-Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ’Awf.
Pasal 27: Kaum Yahudi Banu al-Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ’Awf.
Pasal 28: Kaum Yahudi dari bani Sa’idah dipeerlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.
Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ’Awf.
Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ’Awf
Pasal 31: Kaum Yahudi Bani Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ’Awf, kecuali orang yang dzalim dan khianat. Hukumannya hanya menimpa dan keluarganya.
Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan sama) sama seperti mereka (Banu Sa’labah)
Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan sama) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).
Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan sama) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).
Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).
Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk berperang), kecuali seizin Muhammad saw. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Barangsiapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali jika ia teraniyaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini.
Pasal 37: Bagi Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum Muslimin ada kewajiban biaya, mereka (Yahudi dan Muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniyaya.
Pasal 38: Kaum yahudi memikul biaya bersama kaum mukminin selama dalam peperangan.
Pasal 39: Sesungguhnya Yastrib itu’haram’ (suci) bagi warga piagam ini.
Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.
Pasal 41: Tidak boleh jaminan diberikan tanpa seizin ahlinya.
Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesainnya menurut ketentuan Allah ‘azza wa jalla, dan keputusan Muhammad saw. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini.
Pasal 43: Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga pendukung mereka.
Pasal 44: mereka (pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang kota Yastrib.
Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang melakukan menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.
Pasal 46: Kaum Yahudi al-‘Aws, sekutu dan diri mereka, memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggung-jawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi piagam ini.
Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidakmembela orang dzalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian), aman dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang dzalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan taqwa. Dan Muhammad Rasulullah saw.
(teks ‘Piagam Madinah’ dalam Bahasa Indonesia di atas di salin dari lembar suplemen Sk. REPUBLIKA, Edisi Sabtu tanggal 29 Juni 2002).

LAMPIRAN B
PERNYATAAN AELIA (637)
“Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah, ‘Umar, Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia: dia menjamin keamanan diri, harta-benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, serta mereka yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama mereka. Tidak boleh ada yang mengganggu gereja mereka, baik membongkarnya, mengurangu maupun menghilangkannya sama sekali. Demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk membeeri tempat tinggal kepada orang Yahudi”*.
(Teks Piagam Aelia di atas disalin dari buku Z.A. Maulani, ‘Mengapa Barat memfitnah Islam’, Penerbit Daseta, Jakarta, 2002, hal. 66)

* Ketentuan bahwa kaum Yahudi tidak boleh bertempat tinggal di kawasan Jerussalem sebagai kota suci tempat kelahiran Jesus bukan berasal dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khattab ra. Tetapi atas tuntutan dari uskup Agung Jerussalem Sophronius agar dicantumkan di dalam teks perjanjian Aelia. Di tahun-tahun berikutnya ketika migran muslim dan penduduk asli Jerussalem yang memeluk Islam bertambah jumlahnya, ketentuan tentang larangan terhadap kaum Yahudi bertempat tinggal di dalam kawasan Jerussalem itu tidak lagi diindahkan.

Fikrah

Dunia Islam vs Politik AmerikaZ
Drs. Riza Sihbudi, APU*

Peran negara-negara Barat dalam persoalan politik dan ekonomi di dunia Islam lebih banyak diwarnai oleh dominannya campur tangan Amerika Serikat (AS). Hal ini, terutama, berkaitan dengan "keberhasilan" Washington dalam penghancuran Irak (2003 s.d. sekarang –red), Afghanistan (2002), dan sebelumnya, pengusiran pasukan Irak di bumi Kuwait (1990-1991), serta dalam mensponsori ditandatanganinya perjanjian "perdamaian" antara Israel dan negara-negara Arab garis depan (front line states), yaitu Mesir, Palestina dan Yordania. Namun, campur tangan politik AS di Timur Tengah tidak selamanya berjalan mulus. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini terlihat suatu fenomena di mana semakin banyak negara di Dunia Islam, termasuk para sekutu AS sendiri, yang mulai menolak dominasi dan hegemoni politik Washington.
Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba membahas fenomena campur tangan dan hegemoni politik AS di dunia Islam. Tulisan ini akan dimulai dengan uraian tentang bagaimana hegemoni dan dominasi politik AS di Dunia Islam yang antara lain terlihat dari terwujudnya perjanjian damai Arab-Israel; serta kebijakan AS untuk mengucilkan Iran, Libya, dan Irak. Kemudian akan berturut-turut dibahas mengenai kebijakan AS yang sangat pro-zionisme dan sangat anti-Islam; serta bagaimana ummat Islam harus bersikap menghadapi hegemoni politik AS itu.

Hegemoni AS
Beberapa tahun silam, diadakan penandatanganan perjanjian perdamaian antara Palestina-Israel (1992) dan Yordania-Israel (26 Oktober 1994) yang disponsori AS. Sebelumnya, Mesir juga sudah terlebih dulu berdamai dengan Israel (1979). Dari satu sisi, perdamaian Arab-Israel bias dianggap "kejadian bersejarah" karena sejak penandatanganan perjanjian itu kedua belah pihak secara resmi mengakhiri permusuhan yang sudah berlangsung sekitar setengah abad. Bagi Yordania, misalnya, khususnya bagi (almarhum) Raja Hussein bin Talal waktu itu, perdamaian dengan Israel jelas sangat menguntungkan, terutama dari segi perhitungan praktis dan jangka pendek. Dengan berdamai dengan Israel, Yordania berharap akan diterima kembali oleh kalangan Negara-negara Barat yang telah sempat mengucilkannya akibat dukungan yang diberikan Raja Hussein pada presiden Irak (waktu itu) Saddam Hussein selama berkobar krisis dan perang Kuwait (perang Teluk II, 1990-1991). Waktu itu Washington menjanjikan akan menghapuskan utang Yordania pada AS yang berjumlah puluhan milyar dollar, setelah ditandanganinya perjanjian damai Amman-Tel Aviv. Bagi Yordania yang menghadapi problem ekonomi –sebagian besar karena dampak perang Teluk II- janji AS itu cukup menarik. Bagi Raja Hussein pribadi, ia berharap banyak warga Yordania yang keturunan Palestina di manapun mereka mendukung langkah Hussein itu, karena Presiden Yasser Arafat dan Otoritas Palestinanya juga sudah berdamai dengan Israel.
Akan tetapi yang paling diuntungkan dari setiap "perjanjian damai" Arab-Israel, tidak lain dari AS dan Israel sendiri. Bagi AS, peristiwa itu semakin meneguhkan dominasi dan hegemoni politiknya di Timur Tengah, khususnya Dunia Arab. Pada saat itu bias dikatakan tidak ada negara Arab yang berani melawan AS. Memang masih ada Sudan, Libya, dan Irak. Namun ketiganya masih harus terus menghadapi tekanan yang luar biasa kerasnya dari AS dan sekutunya. "Orde DUnia Baru" yang muncul pasca Perang Dingin memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi AS untuk memanfaatkan PBB berikut segala perangkatnya guna memaksakan kehendak Washington. Atas nama PBB, misalnya, AS "berhasil" menghancurkan Afghanistan dan Irak, mengucilkan Iran, serta membungkam Libya. Sementara itu, Sudan –yang sejak 1993 dimasukkan oleh AS dalam daftar negara-negara "pendukung terorisme" internasional hanya karena menerapkan hokum Islam – terus dibiarkan menghadapi bencana kelaparan dan perang saudara selama hokum Islam masih diberlakukan oleh pemerintah Jendral Omar Bashir[3]
"Politik Pengucilan" –berupa sanksi dan embargo – yang dilakukan AS dan PBB terhadap Iran dan Libya serta invasi dan pendudukan atas Irak cenderung terus dilakukan, kendati Negara-negara itu sebelumnya sudah bersedia mematuhi hampir semua resolusi PBB. Sementara itu, sampai pertengahan 2003 ini, Iran menjadi satu-satunya Negara Timur Tengah non-Arab yang masih menolak segala bentuk kompromi dengan Israel. Oleh sebab itu, AS pun menekan para sekutu Baratnya untuk tidak menjalin kerjasama apapun dengan Teheran. AS juga terus giat berusaha menjatuhkan pemerintahan Republik Islam di Iran, untuk digantikan dengan para pendukung bekas Syah atau kaum Mujahidin Khalq yang sekuler (komunis –red.). terhadap Kuwait, AS – yang merasa paling berjasa dalam menyelamatkan monarki itu- pun sudah berhasil menekan Emir Syekh Jaber al-Sabah agar segera membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Kuwait (juga Negara-negara monarki di Teluk Parsi lainnya) waktu itu sudah menyatakan siap membuka hubungan dengan Israel.
Hegemoni politik AS di Timur Tengah juga terlihat jelas dari penyelenggaraan KTT Ekonomi Timur Tengah dan Afrika Utara (the Middle East and North Africa [MENA] Economic Summit) secara rutin yang pertama di Cassablanca, Maroko (Oktober 1994) yang berlangsung tidak lama sesudah penadatanganan perjanjian damai Yordania-Israel. Konfrensi yang dihadiri semua Negara Arab sekutu AS dan Israel ini resminya memang membahas prospek kerjasama ekonomi regional. Namun, pesan politis dari KTT MENA sebenarnya adalah penegasan bahwa Israel sejak saat itu sudah diterima oleh para tetangga Arabnya.

Kebijakan Pro-Zionisme
Hegemoni dan dominasi politik AS di Timur Tengah tidak hanya terlihat dari tercapainya "perdamaian" antara Mesir-Palestina-Yordania dengan Israel, namun juga terlihat dari upayanya mengucilkan Iran, Irak, Libya maupun Sudan. Di depan Kongres Yahudi sedunia, 30 April 1995, misalnya, Presiden AS menyatakan akan memutuskan segala bentuk hubungan perdagangan dan investasi AS dengan Iran, termasuk pembelian minyak dari Iran yang mencapai nilai 4 milyar dolar per tahun. Dua alasan yang dikemukakan adalah; pertama, Iran dituduh sebagai Negara pendukung "terorisme" internasional; ke-dua, Iran merupakan Negara yang tengah giat mengembangkan senjata nuklir. Oleh sebab itu, AS pun berusaha membujuk dan menekan Negara-negara lain agar mengikuti jejak AS dalam melancarkan embargo ekonomi terhadap Teheran. Namun, sejumlah Negara – seperti Uni Eropa, Australia, Rusia, Pakistan dan Malaysia – menyatakan tidak bersedia mengikuti kemauan AS. Waktu itu adalah hanya Arab Saudi yang menyatakan akan mendukung AS.
Konlik AS-Iran sebenarnya memang bukan hal baru. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Gedung Putih masih menympn kaum mullah yang berkuasa di Iran, karena AS pernah "dipermalukan" Iran. Pertama, tergulingnya Dinasti Pahlevi (1979) yang mengakibatkan hilangnya sekutu dan basis utama AS di kawasan Teluk Parsi. Ke-dua, kegagalan Gedung Putih dalam membebaskan sekitar 50 diplomat mereka yang disandera di Kedubes AS di Teheran (1980) yang menjadi salah satu penyebab kegagalan Jimmy Carter – dari Partai Demokrat – dalam usaha terpilih kembali sebagai presiden AS. Ke-tiga, terbongkarnya skandal "Iran-gate" – yaitu, penjualan senjata AS secara rahasia ke Iran yang keuntungannya disumbangkan kepada para pemberontak Contra di Nikaragua (1986) – yang membuat (Presiden AS waktu itu) Ronald Reagan hampir diajukan ke pengadilan.
Sejak berkuasanya kaum mullah di Teheran, tidak ada hubungan diplomatik antara AS dengan Iran. Namun hubungan ekonomi keduanya terus berlanjut. Bahkan AS disebut-sebut sebagai pembeli minyak Iran terbesar ke-tiga setelah Jepang dan Jerman. Secara politispun, hubungan kedua Negara sudah mulai membaik, terutama sejak wafatnya Imam Khomeini dan tampilnya Rafsanjani – yang dikenal sebagai mullah "pragmatis" – sebagai presiden (1998-1992; 1993-1997), yang disusul Mohammad Khatami – yang dikenal sebagai tokoh refoemis – sebagai presiden Iran sejak 1997. pendekatan politik Iran – AS tampak mulai intensif ketika Teheran mengambil posisi netral sewaktu berkobar Perang Kuwait (Perang Teluk II), karena waktu itu Washington sangat khawatir jika Teheran ikut berperang di pihak Baghdad. Namun, hubungan kedua negara kembali mendingin akibat penolakan Iran terhadap kehadiran militer AS – dan sebaliknya, penolakan AS terhadap keikutsertaan Iran dalam pengaturan keamanan (security arrangement) – di kawasan Teluk Parsi pasca Perang Teluk II.
Puncak kemarahan Washington adalah sikap Tehran yang menentang proses "perdamaian" Arab-Israel yang disponsori AS. Pasalnya, posisi Iran sebagai najor-power (kekuatan-menengah) di kawasan Timur Tengah dan belakangan Asia Tengah semakin sulit untuk diabaikan. Setelah berakhirnya perang Iran-Irak (Perang Teluk I, 1980-1988). Tehran memang secara diam-diam berhasil membangun kembali kekuatan militernya, dan di bidang poltitik regional pun mereka secara perlahan-lahan berhasil memperbaiki hubungannya dengan para tetangga Arabnya, seperti Kuwait, Qatar, dan bahkan Mesir. Lebih dari tiu, Tehran tengah berupaya membangun "poros" Iran-India-Cina guna menghadapi apa yang disebut sebagai "hegemonisme Barat" (Western hegemonism) di kawasan ini[4]. Karenanya, bias dimengerti jika Gedung Putih kemudian gusar dengan politik kaum mullah di Tehran.
Tuduhan AS bahwa Tehran tengah mengembangkan senjata nuklir, oleh sebab itu perlu dicegah kemungkinan Iran menjadi Negara nuklir. Sebenarnya justru semakin memperjelas politik standar ganda AS di Timur Tengah. Di satu sisi AS membiarkan Israel meningkatkan kemampuan nuklinya, tapi di sisi lain AS mencegah Iran (dan Negara-negara Arab) agar tidak memiliki senjata pemusnah massal itu. Sikap AS itu justru membangkitkan antipati Negara-negara sekutunya yang masih memiliki "harga diri" di kawasan ini. Mesir misalnya, kendati sudah berdamai dengan Israel, dan menjadi Negara Arab penerima bantuan terbesar dari AS, namun menunjukkan keengganannya menandatangani NPT selama Israel juga tidak mau melakukannya. Padahal AS terus menerus menekan Mesir, tetapi sebaliknya mendukung sikap Israel yang menolak NPT. Sejumlah Negara Arab lain sekutu AS pada akhirnya memang mau menandatangani NPT, namun Mesir tetap tidak mau mengubah pendiriannya. Berbeda dengan negara-negara Arab sekutu AS, Iran memang tidak mudah diintimidasi begitu saja. Anehnya kendati Tehran sudah bersedia menandatangani NPT, tapi Iran justru yang paling ditekan AS. Padahal menurut sebagian pakar Barat, kemampuan Iran sendiri untuk memproduksi senjata nuklir masih sangat diragukan. Setelah gagal membuktikan keberadaan senjata pemusnah massal (WMD) di Irak yang sebelumnya dijadikan alasan utama untuk melancarkan invasi menggulingkan Presiden Saddam Hussein, AS tampaknya berusaha mengalihkan perhatian dengan menjadikan Iran sebagai sasaran berikutnya.
Mengapa Iran juga dituduh sebagai pendukung "terorisme"? ini sebenarnya "lagu lama" yang didendangkan Gedung Putih, walaupun bersikap sangat subjektif. Kendati AS selalu menuduh Iran sebagai sponsor "terorisme", ternyata belum sekalipun AS mampu membuktikannya, jika dukungan Irak pada para pejuang Hizbulllah di Lebanon dikategorikan sebagai dukungan terhadap "terorisme internasional", bagaimana menyebut dukungan AS kepada kelompok Contra Nikaragua pada pertengahan 1980-an? Bukankah Contra dan Hizbullah sama-sama sebagai kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan? Lagi pula, sampai saat ini PBB sendiri belum berhasil menemukan definisi tentang "terorisme". Selain Irak, contoh lainnya adalah Suriah. Selama ini Suriah, oleh AS, dimasukkan sebagai daftar pendukung "terorisme". Ketika ikut mendukung AS dalam Perang Teluk II, Suriah dikeluarkan dari daftar itu. Namun dalam daftar baru yang dikeluarkan AS, suriah bersama Iran, Irak, Libya dan Sudan, kembali dimasukkan sebagai pendukung "terorisme". Ini karena sikap Suriah tidak mau tunduk pada kemauan AS agar berdamai dengan Israel, sesuai dengan prasyarat yang diajukan oleh Israel.
Ketika hampir seluruh rakyat dan pemimpin AS melampiaskan kemarahannya terhadap pemerintahan revolusioner Iran, berkenaan dengan terjadinya peristiwa penyanderaan 50 diplomat AS di gedung kedubes mereka di Teheran, November 1979, ada sebuah joke menarik, tetapi secara substansial mengandung kebenaran yaitu: "Mengapa AS marah kepada Iran hanya karena 50 orang warganya disandera, tapi justru tidak berkutik menghadapi realita bahwa seluruh warga AS dari dulu hingga sekarang menjadi "sandera" penguasa Israel. Oleh sebab itu, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan jika AS selalu menjatuhkan hak vetonya terhadap semua rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang dianggap merugikan Israel, kendati para anggota (tetap dan tidak tetap) DK PBB lainnya menyetujuinya. Dan, karena menjadi "sandera" Israel itulah, AS cenderung akan selalu membenarkan dan melindungi apapun langkah yang ditempuh Tel Aviv, kendati harus "melawan" opini serta tat karma politik internasional.
Menurt doktrin Israel first, dasar utama dari kebijakan AS di Timur Tengah adalah mendukung dan melindungi kepentingan Israel. Karenanya, tidak akan pernah sekalipun seorang presiden AS yang berani meninggalkan Israel.[5] Itulah sebabnya mengapa di depan kongres Yahudi sedunia para pemimpin AS selalu mengeluarkan keputusan yang merugikan Negara-negara Islam, dan selalu menjatuhkan vetonya terhadap rancangan resolusi DK PBB yang dianggap merugikan Israel, yang juga tentu saja demi meraih dukungan dan simpati yang lebih luas dari kalangan Yahudi AS. Dan,meningkatkan dukungan dari kalangan lobi Yahudi, khususnya yang tergabung dalam AIPAC (American-Israeli Political Action Commitee), tentu sangat diperlukan. Sandra Mackey[6] menyebut AIPAC sebagai "the most powerful lobby in Washington." Veto AS itu menunjukkan bahwa AS tetap konsisten dalam melaksanakan kebijakannya di Timur Tengah, khususnya dalam melindungi kepentingan Israel. Apalagi sejak 14 Mei 1988, AS dan Israel sudah menandatangani perjanjian strategis jangka panjang. Di samping itu, seperti yang diungkapkan Mackey, kebijakan Washington yang semakin pro-Israel tampak mempunyai kaitan yang erat dengan gejala kebangkitan fundamentalisme Kristen di AS. Ironisnya, kata Mackey, mereka (kaum fundamentalis Kristen AS –red.) justru lebih keras dalam mendukung dan membela nasionalisme Zionis, ketimbang sebagian warga Israel sendiri. Bagi mereka Israel bukan sekedar nation-state, melainkan perwujudan pesan dari Biblical. Karenanya, mendukung Israel bukan hanya menjadi kewajiban politik tetapi juga moral. Sebaliknya, menentang kebijakan Israel – terlepas dari apakah itu menciptakan kestabilan atau justru ketidak-stabilan di Timur Tengah sama artinya dengan "menentang" tuhan.

Benarkah AS Tidak Anti-Islam?
Seorang teman non-Islam yang mengadakan riset di salah satu negara Asia, mengatakan dia yakin kalau AS di bawah Presiden George W. Bush, khususnya pasca peristiwa 11 September 2001, memang menjalankan kebijakan luar negeri yang jelas-jelas anti-Islam. Di negara yang ia teliti, katanya, pemerintah AS membiarkan begitu saja berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan rezim setempat terhadap warga muslim. Tapi, jika ada seorang warga muslim yang melakukan tindak kekerasan, ia langsung dicap sebagai teroris (untuk kasus yang masih relatif dekat, ambil contoh kasus pembantaian warga muslim Muangthay oleh aparat keamanan setempat, dan berbagai kasus lainnya yang menimpa ummat Islam di seluruh penjuru dunia – tidak terkecuali di AS dan negara-negara Barat lainnya yang menganut demokrasi-liberal –red).
Jika informasi di atas berasal dari seorang muslim, barang kali bisa dianggap sebagai suatu yang bias dan emosional. Hal senada dikemukakan oleh seorang pakar politik Jerman, yang tulisannya dimuat sebuah surat kabar Jakarta. Ia secara gamblang menyatakan bahwa AS dengan sengaja membiarkan terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Israel terhadap warga Palestina. Seorang kenalan lain menceritakan bagaimana seorang teman yang bekerja di kedubes AS dipecat tanpa alasan apapun, kecuali bahawa ia mengenakan jilbab.
Sebenarnya itu bukan cerita baru. Tapi, di bawah kepemimpinan Bush, sikap anti-Islam yang dikembangkan rezim AS tampaknya semakin menjadi-jadi dan cenderung melampaui batas. Jerman bahkan dikabarkan mengatakan – kendati kemudian dibantah – bahwa apa yang dilakukan Bush sekarang dengan kampanye anti-terorismenya (termasuk dengan terus mengintimidasi Irak dan negara-negara Muslim lainnya). Sudah mendekati apa yang pernah dilakukan pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler pada masa lalu[7]. Tudingan ke arah Bush, juga muncul dari dalam negaranya sendiri, ketika mantan presiden AS Jimmy Carter yang dikenal luas menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan HAM, menuduh Bush telah menjalankan kebijakan luar negeri yang bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Menurut Carter, Bush telah menyalahgunakan perang melawan terorisme, dan karenanya reputasi AS sebagai yang terbaik dalam soal HAM dan demokrasi pun terancam pudar.
Berulangkali Bush mengatakan bahwa perangnya melawan terorisme bukan merupakan perang melawan Islam. Lalu, ia pun getol mengunjungi sejumlah Islamic Center di negaranya. Dan ia dengan menggebu-gebu membujuk sambil mengancam negara-negara Arab/Muslim juga negara-negara non-muslim serta PBB supaya mendukung nafsu perangnya melawan Saddam Hussein yang gagal digulingkan oleh bapaknya (Bush senior). Berbagai daftar "dosa" Saddam pun disebar-luaskan, dari menolak mematuhi Resolusi PBB, menumpuk senjata pemusnah massal, hingga keterkaitannya dengan jaringan kelompok Al-Qaeda pimpinan Usamah bin Ladin. Arab Saudi yang sebelumnya menentang invasi AS ke Irak karena sadar 11 tahun silam – terpaksa ikut mendukung, lantaran takut akan dimasukkan ke dalam kategori "negara paling berbahaya" bagi AS.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah Bush "hanya" tengah memerangi terorisme internasional, dan tidak memerangi Islam? Jika benar, pertanyaan berikutnya adalah: pertama, mengapa jika hanya untuk memburu seorang Usamah Bin Ladin dan Mullah Umar, ia rela membantai ribuan warga Muslim Afghanistan yang tidak berdosa? Jika Bush konsisten memerangi terorisme, mengapa hanya teroris yang berlatar belakang Islam saja yang diperangi? Bukankah kaum teroris ada di hampir semua agama, bangsa dan negara?.
Kedua, Irak diserang habis-habisan dengan dengan dakwaan tidak mematuhi Resolusi PBB, memupuk senjata pemusnah massal, dan mendukung terorisme internasional. Setelah Irak, negara Islam lainnya, Iran, juga diancam akan diperlakukan seperti Irak. Bukankah hal yang sama juga dilakukan Israel, yang tidak pernah mau mematuhi Resolusi PBB (khususnya Resolusi DK PBB 242 dan 338), memiliki nuklir, dan secara terbuka menjalankan terorisme terhadap rakyat sipil Palestina? Apakah hanya lantaran Irak dihuni oleh penduduk yang mayoritas muslim sehingga harus dihukum, sementara Israel yang Yahudi justru dibela mati-matian oleh Bush? Tidakkah Bush sadar, siapa yang menjadi korban terlebih dulu dari setiap operasi militernya? Setelah membantai ribuan warga muslim Afghanistan dan Irak, serta membiarkan terbunuhnya ribuan warga muslim Palestina, tampaknya Bush belum juga puas. Kini ia siap-siap hendak membantai warga muslim Iran.
Bisa jadi Indonesia yang juga berpenduduk mayoritas muslim akan menjadi target berikutnya. Kampanye disinformasi yang sistematis sudah dilakukan oleh CIA (yang memang sudah menjadi bagian tugas mereka, seperti yang dilakukan CIA sebelum AS mengebom Libya pada 1986). Dari kasus Agus Budiman, penutupan Kedubes AS (kendati ini juga terjadi di 10 negara lainnya), kasus Umar Al-Faruq,[8] Bom Marriot, hingga tuduhan adanya ancaman terhadap warga AS di Yogyakarta, [9] kota yang selama ini dikenal sebagai pusat pergerakan Islam di Indonesia. Berkali-kali Dubes AS Ralph Boyce mengatakan Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat dan sangat toleran, tapi rupanya ini tidak pernah didengar oleh bosnya di Gedung Putih, sehingga Indonesia pun tetap dicitrakan sebagai “sarang dan surga para teroris Islam”.
Arahnya tampak cukup jelas terbaca, yaitu menekan Megawati (Presiden RI pada saat makalah ini ditulis –Red.) untuk menangkapi orang-orang seperti Ust. Abu Bakar Ba’asyir dan kaum “fundamentalis” anti-AS lainnya (terbukti lewat kesaksian seorang diplomat AS pada pengadilan Ust. Abu Bakar Ba’syir pada tahun 2004 –Red.). agaknya Megawati dinilai tidak mampu mengendalikan gerakan Islam politik yang makin marak di era reformasi ini. Jelas ini dianggap sebagai ancaman oleh Bush, maka perlu dikampanyekan bahwa “fundamentalis adalah teroris”. Bush tampaknya berharap, Megawati mencontoh Soeharto era 1970-an dan 1980-an, yang dengan mesin politik dan militernya mampu menggilas gerakan-gerakan Islam. Jika tidak, maka bukan mustahil jika Megawati pun akan “di-Soekarno-kan (bukankah Soekarno juga digulingkan lantaran keengganannya meredam gerakan komunis yang anti-AS?)
Jadi, Bush – atas nama kepentingan nasional AS – kini pada hakekatnya tidak hanya menjalankan kebijakan politik yang anti Islam, melainkan juga anti-demokrasi dan anti-HAM. Lalu, jika demikian, apa bedanya tingkah laku politik Bush dengan Hitler?
Pada 18 Maret 2002, Ketua Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia (UNHCR) yang juga mantan Presiden Irlandia, Mary Robinson, mengatakan bahwa dirinya tidak bersedia memperpanjang masa jabatannya. Dalam sebuah pidato pembukaan pertemuan tahunan UNHCR di Geneva, Swis, Robinson mengatakan bahwa “ini akan menjadi tahun terakhir saya berpidato dalam UNHCR sebagai Ketua Komisi, “ Robinson mengucapkan pidato perpisahannya itu ketika badan dunia dengan 53 anggota itu tengah bersiap untuk mengkaji tempat-tempat di mana terjadi pelanggaran HAM, dari konflik Palestina-Israel sampai ke Chechnya dan Zimbabwe. Robinson menjadi ketua UNHCR (United Nation Commission for Human Rights) sejak 1997.
Para pejuang HAM mengatakan bahwa pengumuman Robinson itu memperlihatkan bahwa AS telah berhasil dalam menghadapi negara-negara yang mendukung Robinson. Menurut Reed Brody, direktur advokasi Human Rights Watch, Robinson telah membayar harga bagi kemauannya untuk secara terbuka menghadapi pemerintah-pemerintah besar seperti AS ketika mereka melanggar HAM. Robinson memang sejak lama menjadi duri dalam daging bagi negara-negara besar, khususnya AS, karena pandangannya yang konsisten tentang HAM. Dalam pandangan Brody, Robinson tidak disukai Washington karena mengkritik perlakuan AS pada tawanan perang Afghanistan di Guantanamo Bay (Cuba). Juga karena Robinson memimpin konfrensi anti-rasisme di Durban, Afrika Selatan yang diboykot oleh AS, beberapa bulan sebelumnya.
Robinson, yang juga seorang pengacara itu, mendapat dukungan dari negara-negara Eropa, Arab dan negara-negara berkembang lainnya. Brody maupun Melinda Ching dari Amnesty Internasional mengatakan kekecewaan mereka atas keputusan Robinson. Menurut mereka, Robinson telah berhasil menetapkan standar keterusterangan dan energi bagi ketua UNHCR di masa depan. Sehari setelah pengumuman niat Robinson untuk mundur, para pemimpin dan pembuat opini Irlandia juga mengatakan bahwa Mary Robinson telah membayar suksesnya sebagai ketua UNHCR dengan membuat negara-negara kuat menjadi musuhnya dengan resiko kehilangan jabatannya sebagai ketua komisi.
PM Irlandia, Bertie Ahern, mengatakan, Robinson tidak pernah mundur dari menyatakan pendapat ketika dan dimana dia merasa ada sebuah ancaman terhadap hak dan kebebasan manusia. Robinson memang tidak terlibat dengan para penguasa Cina, Rusia, Aljazair, dan Kamboja mengenai desakannya agar diberlakukan norma-norma HAM setelah serangan 11 September 2001 di New York dan Washington. Konon kepada PBB pemerintah AS telah mengisyaratkan penolakan bagi perpanjangan masa jabatan Robinson, dan memaksanya untuk mundur. Walau ikut mengecam serangan ke WTC dan Pentagon, Robinson juga memperingatkan negara-negara di dunia untuk tidak membiarkan langkah balasan keamanan dan militer AS untuk menggantikan komitmen HAM dan hubungan antara keadilan dan keterlibatan politik. Itu, kata tajuk rencana The Irish Times, telah membuat Robinson tidak populer, terutama di mata rezim George W. Bush dan sekutu ideologinya.
Yang dimaksud sekutu ideologi Bush sudah tentu tidak lain dari Israel. Kasus Mary Robinson sekali lagi menunjukkan bagaimana konspirasi AS-Israel berhasil menjegal siapapun yang mencoba mengusik pelanggaran HAM mereka. Sekitar enam bulan silam, konspirasi AS-Israel juga berhasil menyingkirkan Sekjen PBB (waktu itu) Boutros Ghali. Waktu itu Ghali yang sebenarnya masih dimungkinkan untuk kembali menjabat sebagai Sekjen PBB untuk lima tahun berikutnya, dijegal oleh konspirasi AS-Israel gara-gara Ghali menyebarluaskan pelanggaran HAM yang dilakukan para serdadu Israel di Libanon Selatan. Sejarah seperti terulang kembali, AS dan Israel yang merasa gerah dengan kritikan tajam Mary Robinson atas pelanggaran HAM yang dilakukan AS paska 11 September 2001, serta yang dilakukan para serdadu (PM Israel) Ariel Sharon terhadap para warga sipil Palestina, mereka berhasil melakukan tekanan terhadap PBB untuk menyingkirkan Mary Robinson, yang selama ini dikenal luas sangat konsisten dalam memperjuangkan tegaknya HAM di seluruh dunia.
Kasus Robinson juga semakin memperjelas kemunafikan rezim AS dalam masalah HAM. Di satu sisi, atas nama HAM dan demokrasi Washington terus berupaya menebar ancaman dan tekanan terhadap negara-negara lain yang “dicurigai” (baca: dituduh) menjadi pelindung dan pendukung terorisme internasional. Iran, misalnya, belakangan terus diancam untuk dijadikan target ke-tiga (setelah Afghanistan dan Irak) serangan militer AS, karena dikaitkan dengan terorisme internasional. Tekanan dan intimidasi juga dilakukan AS terhadap negara-negara di Asia Tenggara, yang antara lain ditandai dengan lawatan Direktur FBI (Biro Investigasi Federal AS), Robert Mueller, ke kawasan ini, termasuk Indonesia. Namun di sisi lain, pelanggaran HAM yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina secara terus menerus sudah jauh melampaui norma-norma kemanusiaan, oleh pemerintah AS justru dibiarkan, bahkan terkesan direstui dan dilindungi. Padahal apa yang dilakukan para serdadu Ariel Sharon jelas tidak kalah biadabnya ketimbang yang didakwakan terhadap para pendukung Usamah bin Ladin. Bagi seorang Mary Robinson dan siapapun yang berakal sehat, serangan terhadap WTC/Pentagon dan jumlah pembantaian yang dilakukan Sharon terhadap warga Palestina serta pembantaian massal yang dilakukan AS terhadap warga sipil Afghanistan dan Irak jelas semuanya itu merupakan perbuatan yang melanggar HAM. Tapi, rupanya tidak demikian halnya bagi AS dan Israel. Bisa jadi AS dan Israel kini sudah tidak lagi dikendalikan oleh mereka yang berakal sehat.
Islam, Hegemoni Barat dan “Pembaratan”; Catatan Penutup
Edward W. Said (seorang tokoh Palestina beragama Kristen), dalam salah satu karyanya, pernah mengatakan bahwa pemberitaan dan ulasan yang disajikan media massa Barat—khususnya AS—dalam kenyataannya harus sejalan dengan kepentingan dan kebijakan luar negeri pemerintah mereka. “Pers Amerika hanya tertarik untuk menyebarkan berita-berita yang tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah.”[10] Jadi, kendali dalam perspektif yang agak berbeda, media massa di Barat pun pada hakikatnya harus “menyuarakan” kepentingan penguasa.
Noam Chomsky (seorang Yahudi “pembelot”) lebih tegas. Ia mengatakan bahwa penggunaan istilah-istilah seperti terorisme, sebagaimana yang kita kenal sekarang, disesuaikan dengan kepentingan Barat. Sehingga jika menyebut istilah terorisme—juga “fundamentalisme”, “ekstremisme”, dan “militerisme”—maka yang terbayang di kebanyakan benak kita adalah al-Qaidah, Jama’ah Islamiyah, Taliban, Libya, Irak, Iran, PLO, Hammas, Hizbullah, dan kelompok-kelompok Muslim lainnya.
Di sisi lain, kekejaman yang dilakukan Israel terhadap wanita dan anak-anak Palestina, tidak sekalipun disebut sebagai terorisme. Begitu pula kekejaman yang dilakukan para serdadu AS terhadap kaum Muslim di Irak dan Afghanistan tidak disebut sebagai teror. Bahkan semakin kuat adanya kesan bahwa Barat baru akan bertindak jika yang melakukan tindak kekerasan adalah pihak Muslim. Dengan kata lain, terorisme akan disebut sebagai terorisme jika pelakunya pihak Muslim, dan sebaliknya, terorisme tidak akan disebut terorisme jika pelakunya bukan Muslim.
Ketika Iran membeli beberapa kapal selam Rusia serta teknologi nuklir dari RRC, negeri kaum mullah itu ramai diberitakan sebagai telah muncul sebagai “ancaman berbahaya” dan Teheran pun dituduh sebagai “pemicu perlombaan senjata.” Lebih aneh lagi, pemberitaan semacam itu justru dikutip mentah-mentah, oleh sebagian media massa kita.
Beberapa contoh kasus di atas, tampaknya merupakan bagian integral dari apa yang oleh Anwar Jundi disebut sebagai proses “Pembaratan” di Dunia Islam. “Pembaratan” menurut al-Jundi, adalah istilah yang digunakan para orientalis Barat untuk menyebut garis perjuangan yang ditempuh kekuatan-kekuatan yang mengendalikan politik internasional, untuk menyeret Dunia Islam kepada paham-paham dan peradaban Barat. Gerakan pembaratan, menurut al-Jundi, adalah misi lengkap yang memiliki sistem, sasaran, dan juru dakwahnya. Gerakan ini didukung oleh berbagai macam lembaga, dan yang terpenting di antaranya adalah Orientalisme. Gerakan ini melaksanakan kegiatan perang pemikiran melalui dua jalan: pendidikan dan media massa.
Menurut al-Jundi, sedikitnya ada 15 tujuan pembaratan di Dunia Islam. Di antaranya adalah menghalangi tegaknya persatuan umat Islam; merusak sendi-sendi moral dan sosial keluarga umat Islam; menanamkan unsur asing di jantung kawasan Islam; menuliskan sejarah Islam berdasarkan sudut pandang Barat; membangkitkan kebanggan kebangsaan, kesukuan, dan sejarah pra-Islam. Di samping itu, pembaratan bertujuan memaksakan filsafat materialisme; mengingkari agama; serta menyebarluaskan perpecahan di antara agama-agama dan ras manusia.[11]
Jadi, tujuan utama gerakan pembaratan adalah “perang kebudayaan atau perang ideologi, termasuk perang pemikiran” yang, menurut al-Jundi merupakan salah satu dari berbagai bentuk serangan besar Barat terhadap pemikiran Islam di jaman modern ini, dan merupakan bagian dari daur Orientalisme. Medan perang kebudayaan itu sendiri telah meluas mencakup tiga sektor; pendidikan, kebudayaan, dan media cetak. Pada hakikatnya usia gerakan pembaratan dan perang kebudayaan yang dilancarkan terhadap Islam, menurut al-jundi, sudah setua Islam itu sendiri. Semua itu mereka lakukan dengan maksud melestarikan hegemoni dan kekuasaan mereka di Dunia Islam dan untuk menciptakan generasi baru kaum Muslim yang kosong dari ruh Islam.[12]
Ada dua jalur yang ditempuh para propagandis Barat. Pertama, melalui tuduhan-tuduhan bahwa umat Islam terbelakang dan hidup dalam kehinaan karena praktek Islam itu sendiri (belakangan ditambah dengan selalu mengaitkan Islam dengan terorisme); dan jika umat Islam ingin memiliki kekuatan, mereka harus meninggalkan ajaran Islam dan menggunakan metode bangsa-bangsa Barat.
Kedua, bahwa jika umat Islam menempuh cara-cara Barat, baik demokrasi ataupun sosialisme, berarti mereka telah berupaya merealisasikan kebangkitan mereka. Berbagai langkah yang ditempuh dalam usaha pembaratan di Dunia Islam, di antaranya adalah penyebaran kebudayaan Barat. Termasuk di antaranya, propaganda yang mengajak manusia untuk memecahkan problem mereka dengan gaya hidup Barat.[13]
Menurut al-Jundi, sekurang-kurangnya ada empat cara menangkal upaya pembaratan atau hegemoni Barat di dunia Islam.
Pertama, umat Islam harus menghindari pemikiran-pemikiran yang sesat.
Kedua, umat Islam berkewajiban memahami Islam dengan benar dalam menghadapi upaya-upaya pembaratan.
Ketiga, umat Islam harus mengetahui sejauh mana perbedaan antara konsep-konsep Islam dan Barat.
Keempat, umat Islam harus meyakini bahwa nilai-nilai asasi mereka adalah sumber kekuatan dan kehidupan mereka, yang membentuk eksistensi mereka, dan bahwa nilai-nilai mereka memiliki sendi-sendi yang bercorak khas dan unik, ilmu dan agama, akal dan hati.[14]
Lalu bagaimana peranan media massa di Dunia Islam dalam menghadapi masalah pembaratan dan hegemoni Barat? Jika berbicara mengenai pers Dunia Islam mereka yang terbayang adalah ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi hegemoni Barat. Bahkan dalam beberapa hal, baik secara disengaja atau tidak, “pers Islam” justru “ikut andil” dalam melanggengkan hegemoni (pers) Barat. Hal ini sekurang-kurangnya disebabkan karena tiga faktor.
Pertama, kelemahan dari segi manajemen. Pada sekitar pertengahan 1980-an, majalah bulanan berbahasa Inggris yaitu Arabia: The Islamic World Review, yang isinya benar-benar berusaha membela kepentingan Dunia Islam, terpaksa harus menemui “ajalnya”, karena kesulitan dana dan masalah manajemen. Tidak lama kemudian, majalah South yang berusaha menyuarakan aspirasi Dunia Ketiga (termasuk dunia Islam tentunya), juga menemui nasib yang sama. Sampai awal 1990-an, hanya surat kabar Crescent International, yang masih bertahan. Itupun dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Dalam salah satu edisinya beberapa tahun silam, editor Crescent, dengan nada memelas mengungkapkan beberapa kesulitan yang dapat mengancam kelangsungan hidup mereka. Kesulitan itu bersumber pada masalah keuangan dan keterbatasan sirkulasinya. Crescent tidak hanya dimusuhi jaringan zionisme internasional, tapi ironisnya juga dimusuhi kebanyakan pemerintah negara-negara Islam sendiri. Akibatnya, Crescent pun tak mampu bertahan.
Kedua, adanya sikap inferior terhadap Barat. Akibatnya sebagian pers hanya bisa mengutip mentah-mentah apa yang disodorkan kantor berita Barat. Di Indonesia, mereka yang mengklaim sebagai “media massa Islam” pun seringkali hanya menelan mentah-mentah apa yang diberitakan pers Barat. Umumnya alasan yang dipakai adalah “tidak adanya sumber berita alternatif.” Sehingga berbagai kejadian yang menimpa umat Islam di berbagai bagian dunia terutama dimana posisi umat Islam sebagai minoritas lebih sering menempati halaman dalam ketimbang menjadi sebuah headline.
Ketiga, kurangnya wawasan pengetahuan yang memiliki para pengelola pers Islam. Hal ini pun berakibat pada ketidakmampuan pers Islam untuk bersikap kritis dan selektif terhadap sumber berita dari Barat. Tidak jarang, misalnya, kita melihat pers Islam menggunakan istilah-istilah “fundamentalisme” dan “terorisme” dalam pengertian seperti yang dipahami pers Barat. Juga, seringkali pers Islam ikut-ikutan “latah” dalam hal melancarkan kecaman terhadap berbagai (re-)aksi yang dilancarkan kaum “Muslim fundamentalis” di berbagai belahan bumi.
Memang, persoalan yang dihadapi pers Islam sulit dilepaskan dari persoalan yang dihadapi umat Islam secara keseluruhan. Seperti dari persoalan yang dihadapi umat Islam secara keseluruhan. Seperti diketahui, salah satu persoalan utama yang dihadapi Dunia Islam adalah sulitnya mewujudkan apa yang selama ini dikenal sebagai “ukhuwah Islamiyah.” Pada tataran politik, Dunia Islam juga masih sulit melepaskan diri dari ketergantungan pada pihak luar, khususnya Barat. Kasus invasi AS ke Irak, Afghanistan, perang Irak-Kuwait, konflik Arab-Israel, masalah Palestina, Bosnia, Bosnia, Somalia dan lain-lain, memperkuat asumsi tersebut. Barangkali benar apa yang dikatakan Edward Said: “Akan salah apabila menganggap bahwa Dunia Islam akan bersatu setelah ada aksi dari pihak luar.”[15]
Wallahu a’lam.

Pamulang, 7 Agustus 2003
rizasihbudi@yahoo.com
rizasihbudi@mailcity.com
Z makalah disampaikan pada Kongres II Majelis Mujahidin di Embarkasi Haji Donohudan Boyolali, Surakarta, 11 Agustus 2003 dengan tema "TINJAUAN KRITIS TERHADAP HEGEMONI BARAT, DAN HUBUNGAN MUSLIM-NON MUSLIM, DALAM PERSPEKSTIF SYARI'AH ISLAM
* Kepala Bidang Perkembangan Politik Internasional –Pusat penelitian Politik LIPI, Dosen Program Pasca sarjana Kajian Timur Tengah –UI; Ketua ISMES (Indonesian Society for Middle East Studies), Jakarta
[3] Konon, AS hanya akan membantu Sudan, jika Negara ini bersedia meninggalkan Syari'at Islam.
[4] The Guardian Weekly (23 April 1995)
[5] George Bush senior, misalnya pada tahun1991 pernah mencoba menekan Israel dengan kebijakannya yang menunda bantuan senilai 10 milyar dolar bagi pembangunan pemukiman Yahudi (asal Rusia) di tepi Barat Sungai Yordan dan jalur Gaza. Akibatnya, Bush senior mengalami kekalahan dalam pemilu 1992. Bush yunior tentu tidak ingin bernasib seperti ayahnya. Lihat juga, Sihbudi, "US Government Remains 'Hostage' of Israel," The Jakarta Post (17 Oktober 2000).
[6] Dalam buku, Passion Politics: The Turbulent world of the Arabs
[7] BBC (20 September 2002)
[8] Times (23 September 2002)
[9] yang sudah dibantah tegas oleh Sultan Hamengkubuwono X
[10] Edward W. Said, Penjungkirbalikan Dunia Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 108.
[11] Anwar al-Jundi, Pembaratan di Dunia Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 8-9.
[12] Ibid, hlm. 10-13.
[13] Ibid, hlm. 93.
[14] Ibid, hlm. 122-136.
[15] Said, Penjungkirbalikan Dunia Islam, hlm. 67.