Tuesday, December 13, 2005

Iftitah

بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu’alaykum w.r. w.b.
Di tengah krisis multi-dimensional yang tak kunjung berakhir, terkatung-katungnya nasib penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM dan korupsi, kenaikan harga BBM dan berbagai kebutuhan pokok lain yang menyertainya, konflik, intrik, serta segudang persoalan lainnya – perkembangan situasi dan kondisi yang menyangkut nasib kemanusiaan (khususnya ummat Islam sebagai kelompok mayoritas) seolah berlari begitu cepat, tak bisa diimbangi oleh langkah kita yang masih tertatih-tatih.
Sebagaimana kita ketahui, situasi semacam ini bukanlah monopoli kita yang berada di Indonesia saja, tetapi merupakan situasi umum yang terjadi di berbagai belahan bumi. Krisis kemanusiaan di Palestina, Afghanistan, Iraq, dan banyak lainnya, krisis minyak dunia yang dipicu oleh hobi perang dan Islamophoby George W. bush, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negara-negara Eropa, dan masih banyak lainnya, seringkali menggedor hati nurani dan mengaburkan pandangan serta penilaian.
Di saat-saat seperti inilah kita semakin disadarkan akan ketidak-siapan kita dalam menghadapi situasi dan kondisi yang menuntut solidaritas dan responsivitas ummat dengan segera. Kenyataan semacam ini tidak seharusnya menjadikan pesimis, kecil hati, kalut, atau bahkan kalap – sebagaimana yang sering kita saksikan. Situasi dan kondisi semacam ini justeru harus semakin memacu kita untuk segera merealisasikan agenda-agenda pembangunan sistem dan struktur silaturrahmi-solidaritas ummat.
Keberanian dan semangat adalah modal utama untuk mencapai tujuan kita, tetapi juga harus disertai dengan terpenuhinya prasyarat-prasyarat lain yang tidak kalah penting, terutama persatuan dan kesatuan – Silaturrahmi dan Konsolidasi!
Atas berbagai kekurangan dan keterbatasan yang kita miliki, semoga Allah Swt. menganugerahi kita dengan kesabaran dan kelapangan untuk terus menapaki jalan ini, dan semoga langkah kecil kita ini tercatat sebagai bhakti kita kepada-Nya. Amin.
Nashrun minaLlah wa fathun qaryb.

Iftitah

بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu’alaykum w.r. w.b.
Di tengah krisis multi-dimensional yang tak kunjung berakhir, terkatung-katungnya nasib penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM dan korupsi, kenaikan harga BBM dan berbagai kebutuhan pokok lain yang menyertainya, konflik, intrik, serta segudang persoalan lainnya – perkembangan situasi dan kondisi yang menyangkut nasib kemanusiaan (khususnya ummat Islam sebagai kelompok mayoritas) seolah berlari begitu cepat, tak bisa diimbangi oleh langkah kita yang masih tertatih-tatih.
Sebagaimana kita ketahui, situasi semacam ini bukanlah monopoli kita yang berada di Indonesia saja, tetapi merupakan situasi umum yang terjadi di berbagai belahan bumi. Krisis kemanusiaan di Palestina, Afghanistan, Iraq, dan banyak lainnya, krisis minyak dunia yang dipicu oleh hobi perang dan Islamophoby George W. bush, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negara-negara Eropa, dan masih banyak lainnya, seringkali menggedor hati nurani dan mengaburkan pandangan serta penilaian.
Di saat-saat seperti inilah kita semakin disadarkan akan ketidak-siapan kita dalam menghadapi situasi dan kondisi yang menuntut solidaritas dan responsivitas ummat dengan segera. Kenyataan semacam ini tidak seharusnya menjadikan pesimis, kecil hati, kalut, atau bahkan kalap – sebagaimana yang sering kita saksikan. Situasi dan kondisi semacam ini justeru harus semakin memacu kita untuk segera merealisasikan agenda-agenda pembangunan sistem dan struktur silaturrahmi-solidaritas ummat.
Keberanian dan semangat adalah modal utama untuk mencapai tujuan kita, tetapi juga harus disertai dengan terpenuhinya prasyarat-prasyarat lain yang tidak kalah penting, terutama persatuan dan kesatuan – Silaturrahmi dan Konsolidasi!
Atas berbagai kekurangan dan keterbatasan yang kita miliki, semoga Allah Swt. menganugerahi kita dengan kesabaran dan kelapangan untuk terus menapaki jalan ini, dan semoga langkah kecil kita ini tercatat sebagai bhakti kita kepada-Nya. Amin.
Nashrun minaLlah wa fathun qaryb.

Iftitah

بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu’alaykum w.r. w.b.
Di tengah krisis multi-dimensional yang tak kunjung berakhir, terkatung-katungnya nasib penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM dan korupsi, kenaikan harga BBM dan berbagai kebutuhan pokok lain yang menyertainya, konflik, intrik, serta segudang persoalan lainnya – perkembangan situasi dan kondisi yang menyangkut nasib kemanusiaan (khususnya ummat Islam sebagai kelompok mayoritas) seolah berlari begitu cepat, tak bisa diimbangi oleh langkah kita yang masih tertatih-tatih.
Sebagaimana kita ketahui, situasi semacam ini bukanlah monopoli kita yang berada di Indonesia saja, tetapi merupakan situasi umum yang terjadi di berbagai belahan bumi. Krisis kemanusiaan di Palestina, Afghanistan, Iraq, dan banyak lainnya, krisis minyak dunia yang dipicu oleh hobi perang dan Islamophoby George W. bush, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negara-negara Eropa, dan masih banyak lainnya, seringkali menggedor hati nurani dan mengaburkan pandangan serta penilaian.
Di saat-saat seperti inilah kita semakin disadarkan akan ketidak-siapan kita dalam menghadapi situasi dan kondisi yang menuntut solidaritas dan responsivitas ummat dengan segera. Kenyataan semacam ini tidak seharusnya menjadikan pesimis, kecil hati, kalut, atau bahkan kalap – sebagaimana yang sering kita saksikan. Situasi dan kondisi semacam ini justeru harus semakin memacu kita untuk segera merealisasikan agenda-agenda pembangunan sistem dan struktur silaturrahmi-solidaritas ummat.
Keberanian dan semangat adalah modal utama untuk mencapai tujuan kita, tetapi juga harus disertai dengan terpenuhinya prasyarat-prasyarat lain yang tidak kalah penting, terutama persatuan dan kesatuan – Silaturrahmi dan Konsolidasi!
Atas berbagai kekurangan dan keterbatasan yang kita miliki, semoga Allah Swt. menganugerahi kita dengan kesabaran dan kelapangan untuk terus menapaki jalan ini, dan semoga langkah kecil kita ini tercatat sebagai bhakti kita kepada-Nya. Amin.
Nashrun minaLlah wa fathun qaryb.

Iftitah

بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu’alaykum w.r. w.b.
Di tengah krisis multi-dimensional yang tak kunjung berakhir, terkatung-katungnya nasib penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM dan korupsi, kenaikan harga BBM dan berbagai kebutuhan pokok lain yang menyertainya, konflik, intrik, serta segudang persoalan lainnya – perkembangan situasi dan kondisi yang menyangkut nasib kemanusiaan (khususnya ummat Islam sebagai kelompok mayoritas) seolah berlari begitu cepat, tak bisa diimbangi oleh langkah kita yang masih tertatih-tatih.
Sebagaimana kita ketahui, situasi semacam ini bukanlah monopoli kita yang berada di Indonesia saja, tetapi merupakan situasi umum yang terjadi di berbagai belahan bumi. Krisis kemanusiaan di Palestina, Afghanistan, Iraq, dan banyak lainnya, krisis minyak dunia yang dipicu oleh hobi perang dan Islamophoby George W. bush, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negara-negara Eropa, dan masih banyak lainnya, seringkali menggedor hati nurani dan mengaburkan pandangan serta penilaian.
Di saat-saat seperti inilah kita semakin disadarkan akan ketidak-siapan kita dalam menghadapi situasi dan kondisi yang menuntut solidaritas dan responsivitas ummat dengan segera. Kenyataan semacam ini tidak seharusnya menjadikan pesimis, kecil hati, kalut, atau bahkan kalap – sebagaimana yang sering kita saksikan. Situasi dan kondisi semacam ini justeru harus semakin memacu kita untuk segera merealisasikan agenda-agenda pembangunan sistem dan struktur silaturrahmi-solidaritas ummat.
Keberanian dan semangat adalah modal utama untuk mencapai tujuan kita, tetapi juga harus disertai dengan terpenuhinya prasyarat-prasyarat lain yang tidak kalah penting, terutama persatuan dan kesatuan – Silaturrahmi dan Konsolidasi!
Atas berbagai kekurangan dan keterbatasan yang kita miliki, semoga Allah Swt. menganugerahi kita dengan kesabaran dan kelapangan untuk terus menapaki jalan ini, dan semoga langkah kecil kita ini tercatat sebagai bhakti kita kepada-Nya. Amin.
Nashrun minaLlah wa fathun qaryb.

Telaah

Berkelompok Yes, Berpecah-belah No
Oleh: Ayip Dilaga

Qod tabayyanar-rusydu minal-ghoy!
Syahdan, kegembiraan dan kesedihan adalah bagian dari kehidupan manusia, termasuk kita umat Muslim. Jika kita lihat situasi umat Islam secara keseluruhan saat ini, jelas tergambar bahwa kita sedang berada pada stage kesedihan. Bagaimana tidak? Fakta sekarang, baik yang kita ketahui melalui media maupun yang kita cerna secara langsung, menyodorkan indikasi bahwa sebagian umat Rasulullah sudah berani—bahkan terbiasa—saling mencela, menyalahkan, bahkan mengutuk sesama mukmin, baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Karena perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, setiap kelompok Muslim acapkali mesti menuding atau menghakimi kelompok Muslim lain sebagai aliran sesat. Kaum mukmin yang mestinya bersatu dan saling menopang, kini malah bersikap sebaliknya. Padahal, sebagaimana yang diajarkan Islam, kaum mukmin ibarat satu tubuh. Tatkala satu anggota badan terserang rasa sakit, anggota badan yang lain tidak bisa acuh membiarkannya.
Al-Quran al-‘Aziz menyebutkan bahwa seluruh orang beriman adalah bersaudara (al-Hujurat: 10). Perlu ditekankan di sini, bahwa persaudaraan yang dijalin adalah antar sesama mukmin. Sebagaimana layaknya sebuah persaudaraan, seorang mukmin akan merasa sakit dan marah jika mukmin lainnya dianiaya. Mukmin sejati tidak akan tinggal diam jika melihat saudaranya dizalimi. Ia sepenuh hati akan membela saudaranya, sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Persaudaraan, sebagaimana umumnya, pasti mengandung rasa kasih sayang dan sikap lemah lembut. Karenanya, seorang Muslim harus senantiasa mengasihi Muslim lainnya. Dinyatakan dalam al-Quran bahwa kaum beriman, sebagai pengikut Rasulullah, mesti saling berkasihsayang terhadap sesamanya, tetapi bersikap sebaliknya terhadap kaum kafir (al-Fath: 29). Ini diperkuat oleh firman Allah dalam al-Maidah ayat 54, bahwa orang yang dicintai Allah adalah orang beriman yang bersikap lemah-lembut terhadap sesamanya, dan bersikap keras terhadap kaum kafir.
Semua ini, niscaya, mengantar kita kepada sebuah tuntutan agar seluruh kaum mukmin bersatu dan mempererat hubungan silaturahim. Tetapi justru pada titik inilah kaum mukmin saat ini mengalami banyak kendala. Keharusan bersatu seringkali menjadi sulit terwujud saat terjadi banyak perbedaan dalam mengejawantahkan al-Quran dan as-Sunnah ke dalam kehidupan sehari-hari. Anggapan bebas-tafsir atas dua sumber hukum Islam ini, yang akhir-akhir ini berkembang di lingkungan akademis dan di lingkungan masyarakat umum, tak jarang memicu perselisihan, pertikaian, bahkan bentrokan antar sesama mukmin. Jika ikhtilaf (keragaman interpretasi) ini hanya berlabuh sekadar pada perdebatan atau polemik, mungkin kita tidak perlu terlalu khawatir. Tetapi, na'udzubillah, jika ikhtilaf memanifestasikan diri dalam bentuk aksi saling mengutuk, perpecahan, atau bahkan bentrokan fisik antar sesama Muslim, ini justru akan melemahkan Islam dan menggembirakan musuh-musuh Islam. Dan ini bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Dalam banyak ayat al-Quran, Allah jelas-jelas melarang perpecahan antar sesama orang beriman.
Kita simak satu contoh kasus. Tatkala sekelompok umat Islam beraksi menyatroni sejumlah tempat maksiat dalam bentuk tindakan frontal yang seringkali melibatkan kekerasan fisik, kelompok-kelompok Islam lainnya terbagi menjadi dua pihak dalam menanggapi aksi ini. Ada yang pro, ada yang kontra. Menurut pihak yang kontra, aksi ini tidak perlu, karena kita punya aparat negara yang bertanggungjawab dan berwenang untuk menindak tempat-tempat maksiat. Tetapi pihak yang pro berpendapat, aksi ini bisa dianggap benar, karena kinerja para aparat tidak bisa diharapkan, bahkan aparat seolah-olah tidak cepat tanggap atau cenderung membiarkan menjamurnya pusat-pusat kemaksiatan.
Di sisi lain, ada juga kelompok Islam yang mendakwahkan kedamaian dan sikap anti-kekerasan. Mereka menyatakan bahwa Islam bermakna sikap berserah diri. Karena Islam adalah rahmah lil-'alamin, Islam tidak bisa membenarkan kekerasan dalam bentuk apapun. Corak perjuangan yang ditempuh kelompok ini biasanya berupa ceramah-ceramah di berbagai tempat, atau kuliah-kuliah keagamaan yang digelar di setiap episentrum komunitas Muslim.
Saat menghadapi dua contoh kasus ini, mestinya kita bersikap bijaksana. Pro-kontra dalam menyikapi sebuah fenomena adalah hal wajar. Dalam kasus pertama, aksi frontal—bahkan ada kontak fisik langsung dan kekerasan—untuk menghancurkan tempat-tempat maksiat dalam rangka perwujudan nahyi munkar, adalah suatu bentuk pengejawantahan ajaran Islam yang dianut oleh kelompok tersebut. Terlepas dari pro-kontra yang muncul atas aksi mereka, kita mesti menghargai usaha mereka untuk mengamalkan ajaran Islam, meski pihak Barat seringkali memberi label "Islam Garis Keras," "Fundamentalis," atau bahkan "teroris" terhadap kelompok-kelompok seperti ini. Demikian pula dengan contoh kasus kedua. Kelompok yang mendakwahkan kedamaian dan anti-kekerasan adalah juga bagian dari kaum Muslim. Hanya saja, cara pemahaman dan pengamalan mereka berbeda dengan kelompok pertama. Dengan kata lain, corak perjuangan boleh saja beragam, kesatuan Muslim boleh saja terbagi menjadi bermacam kelompok, tetapi semuanya harus senantiasa saling mendukung dan menghargai, sehingga ukhuwah islamiyah bisa terjalin, dan karenanya umat Islam bisa kembali berjaya. Ibarat sebuah tim sepakbola, ada yang bertugas menjaga gawang, ada yang berfungsi sebagai gelandang, dan ada yang berposisi sebagai penyerang. Bisa kita bayangkan, betapa kacau jadinya jika penjaga gawang merasa iri kepada penyerang, gelandang membenci penyerang, atau penyerang tidak menghargai penjaga gawang. Gol dan kemenangan yang dinantikan tak akan pernah kunjung datang karena para pemain sibuk mencela satu sama lain. Dan, niscaya, tim sepakbola seperti ini tidak bisa menjadi solid dan tak akan pernah tahan lama.
Kita tahu, ada sebagian ulama dan cendekiawan Muslim menghalalkan kebebasan tafsir atas Quran, atau memperkenankan asumsi multi-tafsir atas Quran. Konsekuensi logisnya, umat Islam, siapapun dan dari kelompok manapun, seharusnya juga bebas memanifestasikan hasil tafsirannya. Hal penting yang tidak boleh luput dari perhatian adalah fakta bahwa kebebasan dan keragaman tafsir ini menjadikan kaum mukmin berkelompok-kelompok. Tetapi, yang perlu dicamkan, fenomena kemunculan beragam kelompok ini tidak bisa dimaknai sebagai "perpecahan," melainkan mesti dipahami sebagai "pembagian tugas." Karenanya, sebagaimana telah dipaparkan di atas, kaum Muslim dianalogikan sebagai sebuah tim sepakbola. Setiap kelompok atau faksi memiliki peran masing-masing, dan berpijak pada posisi masing-masing, sesuai kemampuan dan kapasitas pemahaman yang dimiliki.
Selain karena atmosfer kebebasan tafsir, kemunculan beragam kelompok dalam kesatuan umat Muslim bersandar pada sebuah fakta bahwa saat ini tidak ada kepemimpinan tunggal yang bisa dijadikan pegangan bagi seluruh komunitas Muslim dimanapun. Setiap ulama berijtihad. Setiap ulama mempunyai pengikut. Dan setiap Muslim memilih bergabung dengan kelompok juang yang dirasa sesuai dengan pemahaman dan kemampuannya. Kemunculan berbagai faksi ini, perlu ditegaskan sekali lagi, bukanlah fenomena yang bisa disalahkan, apalagi pada situasi sekarang, dan ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Dalam konteks ini, kalimat wa la tafarroqu (janganlah kalian berpecah-belah) dalam Quran tidaklah menafikan keragaman. Kalimat ini juga tidak melarang kemunculan beragam faksi atau kelompok di tubuh umat Muslim. Ungkapan wa la tafarroqu justru bermakna bahwa kemunculan kelompok-kelompok di tubuh umat Muslim adalah sebuah keniscayaan, tetapi satu kelompok Muslim dilarang saling mengutuk atau menghalangi kelompok Muslim lainnya dalam menegakkan ajaran Islam. Pada titik inilah kita bisa menemukan makna ukhuwah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, husnudzon (berbaik-sangka) terhadap sesama Muslim, baik antar individu maupun antar kelompok, mesti tertanam di hati setiap umat Rasulullah yang mendambakan kemenangan dan kejayaan Islam yang sudah sekian lama terlepas dari genggaman. Allahumma a'izzil-Islam wal-Muslimin!

Telaah

Berkelompok Yes, Berpecah-belah No
Oleh: Ayip Dilaga

Qod tabayyanar-rusydu minal-ghoy!
Syahdan, kegembiraan dan kesedihan adalah bagian dari kehidupan manusia, termasuk kita umat Muslim. Jika kita lihat situasi umat Islam secara keseluruhan saat ini, jelas tergambar bahwa kita sedang berada pada stage kesedihan. Bagaimana tidak? Fakta sekarang, baik yang kita ketahui melalui media maupun yang kita cerna secara langsung, menyodorkan indikasi bahwa sebagian umat Rasulullah sudah berani—bahkan terbiasa—saling mencela, menyalahkan, bahkan mengutuk sesama mukmin, baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Karena perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, setiap kelompok Muslim acapkali mesti menuding atau menghakimi kelompok Muslim lain sebagai aliran sesat. Kaum mukmin yang mestinya bersatu dan saling menopang, kini malah bersikap sebaliknya. Padahal, sebagaimana yang diajarkan Islam, kaum mukmin ibarat satu tubuh. Tatkala satu anggota badan terserang rasa sakit, anggota badan yang lain tidak bisa acuh membiarkannya.
Al-Quran al-‘Aziz menyebutkan bahwa seluruh orang beriman adalah bersaudara (al-Hujurat: 10). Perlu ditekankan di sini, bahwa persaudaraan yang dijalin adalah antar sesama mukmin. Sebagaimana layaknya sebuah persaudaraan, seorang mukmin akan merasa sakit dan marah jika mukmin lainnya dianiaya. Mukmin sejati tidak akan tinggal diam jika melihat saudaranya dizalimi. Ia sepenuh hati akan membela saudaranya, sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Persaudaraan, sebagaimana umumnya, pasti mengandung rasa kasih sayang dan sikap lemah lembut. Karenanya, seorang Muslim harus senantiasa mengasihi Muslim lainnya. Dinyatakan dalam al-Quran bahwa kaum beriman, sebagai pengikut Rasulullah, mesti saling berkasihsayang terhadap sesamanya, tetapi bersikap sebaliknya terhadap kaum kafir (al-Fath: 29). Ini diperkuat oleh firman Allah dalam al-Maidah ayat 54, bahwa orang yang dicintai Allah adalah orang beriman yang bersikap lemah-lembut terhadap sesamanya, dan bersikap keras terhadap kaum kafir.
Semua ini, niscaya, mengantar kita kepada sebuah tuntutan agar seluruh kaum mukmin bersatu dan mempererat hubungan silaturahim. Tetapi justru pada titik inilah kaum mukmin saat ini mengalami banyak kendala. Keharusan bersatu seringkali menjadi sulit terwujud saat terjadi banyak perbedaan dalam mengejawantahkan al-Quran dan as-Sunnah ke dalam kehidupan sehari-hari. Anggapan bebas-tafsir atas dua sumber hukum Islam ini, yang akhir-akhir ini berkembang di lingkungan akademis dan di lingkungan masyarakat umum, tak jarang memicu perselisihan, pertikaian, bahkan bentrokan antar sesama mukmin. Jika ikhtilaf (keragaman interpretasi) ini hanya berlabuh sekadar pada perdebatan atau polemik, mungkin kita tidak perlu terlalu khawatir. Tetapi, na'udzubillah, jika ikhtilaf memanifestasikan diri dalam bentuk aksi saling mengutuk, perpecahan, atau bahkan bentrokan fisik antar sesama Muslim, ini justru akan melemahkan Islam dan menggembirakan musuh-musuh Islam. Dan ini bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Dalam banyak ayat al-Quran, Allah jelas-jelas melarang perpecahan antar sesama orang beriman.
Kita simak satu contoh kasus. Tatkala sekelompok umat Islam beraksi menyatroni sejumlah tempat maksiat dalam bentuk tindakan frontal yang seringkali melibatkan kekerasan fisik, kelompok-kelompok Islam lainnya terbagi menjadi dua pihak dalam menanggapi aksi ini. Ada yang pro, ada yang kontra. Menurut pihak yang kontra, aksi ini tidak perlu, karena kita punya aparat negara yang bertanggungjawab dan berwenang untuk menindak tempat-tempat maksiat. Tetapi pihak yang pro berpendapat, aksi ini bisa dianggap benar, karena kinerja para aparat tidak bisa diharapkan, bahkan aparat seolah-olah tidak cepat tanggap atau cenderung membiarkan menjamurnya pusat-pusat kemaksiatan.
Di sisi lain, ada juga kelompok Islam yang mendakwahkan kedamaian dan sikap anti-kekerasan. Mereka menyatakan bahwa Islam bermakna sikap berserah diri. Karena Islam adalah rahmah lil-'alamin, Islam tidak bisa membenarkan kekerasan dalam bentuk apapun. Corak perjuangan yang ditempuh kelompok ini biasanya berupa ceramah-ceramah di berbagai tempat, atau kuliah-kuliah keagamaan yang digelar di setiap episentrum komunitas Muslim.
Saat menghadapi dua contoh kasus ini, mestinya kita bersikap bijaksana. Pro-kontra dalam menyikapi sebuah fenomena adalah hal wajar. Dalam kasus pertama, aksi frontal—bahkan ada kontak fisik langsung dan kekerasan—untuk menghancurkan tempat-tempat maksiat dalam rangka perwujudan nahyi munkar, adalah suatu bentuk pengejawantahan ajaran Islam yang dianut oleh kelompok tersebut. Terlepas dari pro-kontra yang muncul atas aksi mereka, kita mesti menghargai usaha mereka untuk mengamalkan ajaran Islam, meski pihak Barat seringkali memberi label "Islam Garis Keras," "Fundamentalis," atau bahkan "teroris" terhadap kelompok-kelompok seperti ini. Demikian pula dengan contoh kasus kedua. Kelompok yang mendakwahkan kedamaian dan anti-kekerasan adalah juga bagian dari kaum Muslim. Hanya saja, cara pemahaman dan pengamalan mereka berbeda dengan kelompok pertama. Dengan kata lain, corak perjuangan boleh saja beragam, kesatuan Muslim boleh saja terbagi menjadi bermacam kelompok, tetapi semuanya harus senantiasa saling mendukung dan menghargai, sehingga ukhuwah islamiyah bisa terjalin, dan karenanya umat Islam bisa kembali berjaya. Ibarat sebuah tim sepakbola, ada yang bertugas menjaga gawang, ada yang berfungsi sebagai gelandang, dan ada yang berposisi sebagai penyerang. Bisa kita bayangkan, betapa kacau jadinya jika penjaga gawang merasa iri kepada penyerang, gelandang membenci penyerang, atau penyerang tidak menghargai penjaga gawang. Gol dan kemenangan yang dinantikan tak akan pernah kunjung datang karena para pemain sibuk mencela satu sama lain. Dan, niscaya, tim sepakbola seperti ini tidak bisa menjadi solid dan tak akan pernah tahan lama.
Kita tahu, ada sebagian ulama dan cendekiawan Muslim menghalalkan kebebasan tafsir atas Quran, atau memperkenankan asumsi multi-tafsir atas Quran. Konsekuensi logisnya, umat Islam, siapapun dan dari kelompok manapun, seharusnya juga bebas memanifestasikan hasil tafsirannya. Hal penting yang tidak boleh luput dari perhatian adalah fakta bahwa kebebasan dan keragaman tafsir ini menjadikan kaum mukmin berkelompok-kelompok. Tetapi, yang perlu dicamkan, fenomena kemunculan beragam kelompok ini tidak bisa dimaknai sebagai "perpecahan," melainkan mesti dipahami sebagai "pembagian tugas." Karenanya, sebagaimana telah dipaparkan di atas, kaum Muslim dianalogikan sebagai sebuah tim sepakbola. Setiap kelompok atau faksi memiliki peran masing-masing, dan berpijak pada posisi masing-masing, sesuai kemampuan dan kapasitas pemahaman yang dimiliki.
Selain karena atmosfer kebebasan tafsir, kemunculan beragam kelompok dalam kesatuan umat Muslim bersandar pada sebuah fakta bahwa saat ini tidak ada kepemimpinan tunggal yang bisa dijadikan pegangan bagi seluruh komunitas Muslim dimanapun. Setiap ulama berijtihad. Setiap ulama mempunyai pengikut. Dan setiap Muslim memilih bergabung dengan kelompok juang yang dirasa sesuai dengan pemahaman dan kemampuannya. Kemunculan berbagai faksi ini, perlu ditegaskan sekali lagi, bukanlah fenomena yang bisa disalahkan, apalagi pada situasi sekarang, dan ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Dalam konteks ini, kalimat wa la tafarroqu (janganlah kalian berpecah-belah) dalam Quran tidaklah menafikan keragaman. Kalimat ini juga tidak melarang kemunculan beragam faksi atau kelompok di tubuh umat Muslim. Ungkapan wa la tafarroqu justru bermakna bahwa kemunculan kelompok-kelompok di tubuh umat Muslim adalah sebuah keniscayaan, tetapi satu kelompok Muslim dilarang saling mengutuk atau menghalangi kelompok Muslim lainnya dalam menegakkan ajaran Islam. Pada titik inilah kita bisa menemukan makna ukhuwah yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, husnudzon (berbaik-sangka) terhadap sesama Muslim, baik antar individu maupun antar kelompok, mesti tertanam di hati setiap umat Rasulullah yang mendambakan kemenangan dan kejayaan Islam yang sudah sekian lama terlepas dari genggaman. Allahumma a'izzil-Islam wal-Muslimin!

Fikrah

KERAGAMAN dan PERBEDAAN
Kelemahan, ataukah Kekuatan?
Oleh: Satriaman
Sejak lama keragaman dan perbedaan telah menjadi wajah dari sejarah dan peradaban Islam, persaingan dan konflik juga seringkali ikut mewarnai perjalanan panjang kaum muslim hingga saat ini.
Perbedaan di kalangan kaum muslim sesungguhnya adalah rahmat, tapi persoalannya akan menjadi lain ketika perbedaan tersebut telah ditunggangi oleh sikap ashobiyah/chauvinisme serta saling klaim kebenaran dan saling menyalahkan. Sikap-sikap ekstrim, fanatisme dan fundamentalisme inilah yang menjadikan ummat Islam saat ini terpolarisasi dan terkotak-kotak dalam identitas-identitas kelompok, ormas, parpol, negara-bangsa, ideologi, faham, madzhab ataupun aliran.
Sikap fanatis dan fundamentalis seringkali dituduhkan kepada kelompok-kelompok Islam saja, padahal sesungguhnya ekstrimitas semacam ini juga menjadi fenomena yang melekat pada “agama” dan ideologi lainnya seperti liberalisme, komunisme, fasisme, nasionalime, dsb. Maka, dengan demikian, ekstrimitas merupakan fenomena yang “wajar” dalam suatu kelompok.
“Wajar”, mungkin ya, tapi tidak berarti “benar”. Apa yang terjadi pada ummat Islam adalah, seringkali ikatan/identitas “sampingan” mengalahkan ikatan persaudaraan Islam itu sendiri, inilah yang juga menjadi penyebab kekalahan dan keterbelakangan ummat Islam saat ini.
Secara statistik, penganut Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Keadaan ini seharusnya dapat menjadi kekuatan besar untuk bisa melepaskan diri dari keterbelakangan yang selama ini melingkupi kita, tetapi kenyataannya sampai saat ini Indonesia masih belum bisa bangkit dari keterpurukan baik secara ekonomi, politik maupun budaya yang terus membebani rakyat negeri ini. Energi yang begitu besar akhirnya terbuang hanya untuk saling "memperebutkan kebenaran" dan saling menyalahkan diantara kelompok-kelompok ummat, situasi yang justeru semakin melanggengkan ketidak-adilan di negeri ini.
Kesadaran akan heterogenitas dan pluralitas masyarakat Islam merupakan awal untuk bersikap lebih terbuka akan perbedaan pemahaman, keyakinan dan pengamalan ke-Islam-an masing-masing pihak.
Setiap upaya untuk "menyeragamkan" hanya akan berujung pada kesia-siaan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mulai lebih mengedepankan toleransi dan keterbukaan dalam menghadapi keragaman dan perbedaan, serta membuka ruang-ruang dialog di antara berbagai unsur ummat Islam – mengolah keragaman corak dan warna ummat yang plural ini menjadi sebuah mosaik yang cantik.
Sinergi antar berbagai kelompok dalam ummat Islam tersebut dapat melahirkan solidaritas Islam yang kuat – menjadi salah satu perwujudan dari Islam sebagai rahmatan lil'alamin.
waLlahu a'lam.

Fikrah

Kebebasan dan Penguatan Masyarakat Madani
Satu langkah menuju demokrasi
Oleh: Haris

Kemiskinan dan keterbelakangan masih menjadi masalah utama masyarakat kita, terutama dengan maraknya praktek korupsi pada lembaga-lembaga kenegaraan kita. Berbagai kebijakan telah diambil oleh pemerintah untuk menanggulangi persoalan ini, tetapi sampai saat ini kita juga belum bisa merasakan efektivitas dari kebijakan-kebijakan tersebut. Padahal banyak pihak di kalangan ummat Islam yang berharap bahwa dengan keterlibatan 'partai-partai Islam' dalam lembaga-lembaga kenegaraan akan membawa pengaruh positif pada praktek-praktek kenegaraan, utamanya dalam upaya mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat kita – khususnya ummat Islam sebagai bagian mayoritas di negeri ini.
Efektivitas sebuah sistem memang tidak hanya bisa bersandar pada keimanan para penyelenggaranya secara personal, meskipun tentunya, sebaik apapun suatu sistem tidak akan efektif tanpa kecakapan dan integritas para pelaksana sistem tersebut, katakanlah keimanan para pelaksana sistem yang melahirkan rasa tanggung jawab untuk melaksanakan amanat yang dipikul mereka sebaik mungkin, baik pada publik yang telah mempercayakan amanat tersebut pada mereka, pada tuhan yang mereka percayai senantiasa mengawasi dan akan memintai pertanggungjawaban mereka tanpa luput dari hal sekecil apapun, atau mungkin pada ideologi, keyakinan, dan cita-cita yang mereka imani.
Hanya saja integritas semacam ini telah menjadi (masih) merupakan “barang langka” di tengah masyarakat kapitalis yang bersendikan individualisme-liberalisme-pragmatisme- dan utilitarianisme, sebagaimana masyarakat kita.
Di tengah tatanan masyarakat semacam ini, masyarakat itu sendirilah yang harus mampu mengendalikan para penyelenggara pemerintahan ataupun pengusaha agar tidak menyelewengkan amanat yang telah dipercayakan kepada mereka. Diperlukan sebuah sistem kenegaraan dan kemasyarakatan yang memberikan peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi seluruh rakyat dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan-kebijakan negara, sebuah sistem yang mendorong terbangunnya kekuatan rakyat, baik melalui organisasi kemasyarakatan, organisasi sekerja (profesional), dan bentuk-bentuk organisasi sosial atau organisasi kepentingan lainnya, mungkin inilah tatanan masyarakat yang biasa disebut dengan civil society (masyarakat sipil/madani).
Konsep civil society itu sendiri berangkat dari pandangan akan adanya dua tatanan yang eksis dalam suatu negara atau masyarakat, yakni, civil society – yaitu masyarakat umum yang berada dalam suatu negara, dan political society – atau masyarakat politik, yaitu negara itu sendiri (baik lembaga/aparat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif). Jika eksistensi negara kuat, maka eksistensi masyarakat lemah, dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, untuk memajukan kesejahteraan masyarakat – baik secara ekonomi, sosial, politik, maupun budaya (material dan spiritual), selain dengan menggiatkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, hal yang tidak kalah penting adalah langkah-langkah strategis untuk mengurangi kontrol negara atas masyarakat – sebagai bagian dari upaya untuk mendorong kembali peranan aktif seluruh individu anggota masyarakat dalam hubungan-hubungan sosial, ekonomi, politik dan budaya mereka. Di sisi lain, hal ini juga akan mendorong negara kembali pada fitrahnya semula sebagai abdi masyarakat.
Terlebih, kita juga melihat bahwa negara mungkin tidak sama-sekali terlepas dari kepentingan-kepentingan – selain kepentingan-kepentingan pribadi para aparatur negara itu sendiri, dibaliknya kita dapat menyaksikan kepentingan kelompok-kelompok dominan (para pemilik modal dan negara-negara kuat) yang termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan dan keamanan negara. Dengan demikian, negara tidak lagi menjadi abdi masyarakat, bahkan sebaliknya, negara seringkali pada posisi yang 'berhadapan' dengan masyarakat.
Demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan tidak mungkin tegak dengan rezim yang totalitarian. Dominasi dan hegemoni yang berlebihan dari negara atas aspek-aspek kehidupan masyarakat – dari mulai kontrol atas informasi, pemahaman serta praktek keagamaan, pendidikan, dan berbagai aspek lainnya – hanya akan mematikan potensi yang ada pada masyarakat untuk memajukan kehidupan mereka.
Demokrasi juga tidak mungkin tegak dengan indoktrinasi. Demokrasi hanya mungkin lahir dari masyarakat yang bebas dan terbuka, yang kuat dan mandiri.
Sistem semacam ini tentunya hanya sebuah sistem yang berada di tataran gagasan dan jauh dari kenyataan yang ada saat ini, untuk bisa membangun sebuah tatanan masyarakat semacam ini dibutuhkan kehendak dan peran aktif seluruh masyarakat, atau paling tidak kelompok-kelompok yang berkepentingan atas perbaikan kondisi hidup bersama.
Wallahu a'lam.

Wacana

Tim Penanggulangan Terorisme Ulama Akan Lawan Pemikiran Teroris

Kalangan pimpinan agama Islam di tanah air akan membentuk sebuah tim khusus guna memerangi pemikiran kelompok-kelompok teroris, yang aksinya marak selama beberapa tahun terakhir.

"Tim yang bernama Tim Penanggulangan Terorisme itu akan melakukan pendekatan agama Islam terhadap pemahaman-pemahaman yang diyakini oleh para pelaku tindak terorisme," kata Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin, di Jakarta, Senin (21/11).

Ma’ruf menjelaskan bahwa selain harus ditanggulangi lewat aspek keamanan, terorisme juga harus dilawan pemahaman keagamaannya yang keliru. "Pemahaman keagamaan yang keliru itu kemudian menimbulkan radikalisme dan terorisme. Harus ada upaya-upaya untuk menghilangkan pengaruh-pengaruh pemahaman yang salah tersebut, apalagi Azahari sudah dibunuh, tetapi anak buahnya yang sudah terbina masih berkeliaran," kata Ma’ruf.

Selain itu, menurut dia, beberapa buku yang beredar bebas di pasar seperti buku yang ditulis oleh Imam Samudera juga merupakan salah satu target penelitian tim ulama yang akan diketuai oleh Ma’ruf tersebut.

Menurutnya, terorisme adalah gerakan internasional karena itu ulama di Indonesia harus membantu upaya memerangi pemikiran serta pemahaman teroris. "MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa pada tahun 2003, yang menyebutkan bahwa terorisme bukanlah jihad, dan bunuh diri (dalam aksi terorisme) tidak termasuk mati syahid. Fatwa ini akan lebih disosialisasikan oleh Tim Penanggulangan Terorisme," katanya.

Tim, menurut Ma’ruf, juga akan mengadakan penelitian tentang mengapa ada orang-orang yang terkena pemikiran para teroris. "Kami akan melancarkan ’counter-wacana’ terhadap buku karangan Imam Samudra, melakukan penelitian apakah betul ada pesantren yang terpengaruhi pemahaman teroris. Setahu saya pesantren-pesantren di Indonesia tidak ada yang memiliki ’mind-stream’ teroris. Baru belakangan ini saja ada penyusupan. Inilah yang akan kami telusuri, jangan sampai pesantren tersusupi oleh pemahaman yang keliru," ungkapnya.

Ia menjelaskan penelitian terhadap pesantren-pesantren itu secara khusus akan mencari tahu apakah pelaku terorisme benar-benar dalam kapasitas mewakili organisasi pesantren, atau hanya oknum atau cuma lulusan pesantren saja. "Kami akan memagari pesantren agar tidak tersusupi paham-paham yang keliru," tambahnya.

Tim Penanggulangan Terorisme yang dipimpin oleh Ma’ruf itu akan terdiri atas beberapa wakil ketua dan anggota. "Tim akan mewakili semua unsur umat Islam, antara lain NU, Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah, Forum Umat Islam, dan cendekiawan Islam seperti Azyumardi Azra (Rektor Universitas Islam Negeri/UIN)," kata dia.

Nantinya, jelas Ma’ruf, tim akan membentuk kelompok kerja guna melaksanakan tugas-tugasnya tersebut. "Kami juga sedang mengkaji perlu tidaknya tim membuka kantor di daerah, siapa tahu dengan cara seperti itu upaya memerangi terorisme lewat pendekatan agama Islam akan lebih efektif," kata Ma’ruf.

Tausiyah

Surat Tanggapan dari Abu Bakar Ba'asyir untuk Pengurus dan Penanggungjawab Brosur Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama dan Seluruh Umat KristianiZ

بسم الله الرحمن الرحيم
Dari : Abu Bakar Ba'asyir
Kepada : Pimpinan dan Pengasuh Selebaran Dakwah Ukhuwah

Semoga keselamatan dan kedamaian atas siapa saja yang mengikuti petunjuk.
Dengan izin Allah Swt. saya telah menerima selebaran anda, yakni :
a. Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
b. Rahasia Jalan ke Surga
Kedua selebaran tersebut dikirim lewat pos. Setelah saya baca, maka saya wajib memberikan tanggapan sebagai berikut:
I. Tentang kerukunan ummat beragama
1. Bahwa kerukunan antar ummat beragama memang diserukan oleh agama Islam dengan syarat orang-orang non-Muslim (kafir) tidak memerangi dan menghalangi kaum Muslimin melaksanakan seluruh syari'at Islam. Tetapi apabila kaum non-Muslim memerangi dan menghalangi kaum Muslimin melaksanakan syari'at Islam secara kaaffah (keseluruhan), maka haram hukumnya rukun dengan mereka.
Ini berdasarkan firman Allah dalam surat ke-60 (Al-Mumtahanah) ayat : 8 dan 9:

لاَيَنْهَا كُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَا تِلُو كُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخرِجُو كُم مِّن دِيَا رِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُقْسِطِينَ . إِنَّمَا يَنْهَا كُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ قََاتَلُو كُمْ فِي الدِّينِ وَأُخرِجُو كُم مِّن دِيَارِكُم وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُم أَن تَوَلَّوهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُم فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang yang Zalim.
Sebab melaksanakan syari'at Allah secara kaffah adalah merupakan kewajiban ummat Allah yang tidak bisa ditawar-tawar; ini berdasarkan firman Allah dalam surat ke-2 (Al-Baqarah) ayat 208.

يَاأَيُّهَاالَّذِينَ ءَامَنُوا اُدْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبعوا خُطُوَاتِ الشَّيطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوُّمُّبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Sebenarnya agama yang paling besar toleransinya terhadap kepercayaan lain hanya Islam. Agama Islam melarang memaksa orang lain untuk masuk Islam meskipun secara halus. Misalnya, ada seorang non-Muslim yang kelaparan lalu minta bantuan makan kepada kaum Muslimin, maka mereka wajib membantu karena Allah, tanpa mensyaratkan orang itu masuk Islam.
Islam hanya memerintahkan kaum Muslim untuk mendakwahi dan menasehati orang-orang kafir agar masuk Islam dengan pengertian dan kesadaran, bukan karena bantuan makan atau karena hutang budi. Sebab antara kebenaran dan kebatilan itu perbedaannya nampak jelas. Kalau orang mau berfikir dengan jujur, insya Allah ia akan mendapat petunjuk. Maka metode dakwah dalam Islam adalah: menerangkan, menasehati dengan baik dan berdialog. Tidak perlu memaksa, sebab pada hakikatnya, manusialah yang memerlukan Islam, bukan Islam yang memerlukan manusia.
Resapi firman Allah dalam surat ke-2 (Al-Baqarah) ayat 256:

لاَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الوُثْقَى لاَنْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dan surat ke-16 (An-Nahl) ayat 125 :

اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
2. Kehidupan secara rukun antar ummat Islam dengan non-Muslim sudah pernah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw. di Madinah dan zaman-zaman berikutnya dengan tenteram dan aman. Islam memberikan kemerdekaan seluas-luasnya kepada non-Muslim, terutama ahlul kitab untuk mengamalkan syari’at agamanya. Ini, misalnya, bisa dilihat dalam sebuah peristiwa di Madinah, yakni tatkala seorang Yahudi berzina, lalu dilaporkan kepada Rasulullah Saw. selaku kepala negara. Ketika akan menjatuhkan hukuman, Nabi bertanya kepada pendeta-pendeta Yahudi, apa hukuman zina yang ditetapkan dalam kitab suci mereka.
Ini menunjukkan luasnya toleransi Islam. Artinya, selama dalam kitab suci mereka (Taurat dan Injil) terdapat hukum-hukum yang mengatur suatu pelanggaran, si pelanggar dihukum menurut ketentuan dalam kitab suci tersebut. Tetapi sejarah membuktikan kerukunan antar ummat beragama ini sudah dikhianati kaum non-Muslim, terutama Yahudi dan Nasrani.
Di Indonesia, kaum Nasrani telah mengkhianati kerukunan antar ummat beragama, antara lain:
- penolakan kaum Nasrani tentang diberlakukannya Piagam Jakarta.
Ini berarti kaum Nasrani telah menghalangi kaum Muslimin melaksanakan kewajiban agamanya (beribadah).
- usaha kaum Nasrani untuk menggagalkan Undang-Undang Pendidikan yang jelas-jelas sudah diatur dengan adil.
- pembantaian kaum Muslimin oleh kaum Nasrani di Ambon, Poso, dan Galela, yang sangat kejam dan di luar peri-kemanusiaan.
Semua fakta ini menunjukkan bahwa kehidupan ummat beragama, terutama di negeri ini, telah dirusak oleh kaum Nasrani.
Maka dengan izin Allah Swt., melalui surat ini saya ajak petinggi-petinggi kaum Nasrani untuk hidup rukun dengan kaum Muslimin, saling tolong, saling menghormati keyakinan masing-masing, dan tidak saling menghalangi usaha mengamalkan syari’at agamanya masing-masing secara sempurna.
II. Beberapa koreksi penggunaan ayat-ayat Al-Quran yang tidak pada tempatnya pada selebaran “Membina Kerukunan hidup antar Umat Beragama” Bab : Keterangan-keterangan dan Petunjuk-Petunjuk Mengenai Nabi Isa as. dalam Al-Quran dan Hadits
1. (No. 01)- Orang Nasrani sahabat dekat orang Muslim
Tanggapan : Dalam selebaran hanya dipotong sebagian dalam surat Al-Maidah ayat 82 yang berbunyi :
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا اليَهُودَ وَ الَّذِينَ أَشرَكُوا وَلَتَجِدَنَّ أَقرَبَهُم مَّوَدَةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata “Sesungguhnya kami orang Nasrani”.
Ayat ini dipotong sampai di sini, padahal kelanjutan ayat dan ayat-ayat berikutnya menerangkan dengan jelas mengapa orang-orang Nasrani dekat kasih sayangnya terhadap orang-orang beriman?
Diterangkan dalam kelanjutan ayat di atas karena orang-orang Nasrani tersebut dibina oleh pendeta-pendeta yang jujur mengakui kebenaran Al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Karena sesuai dengan nubuwat Nabi Isa as. dalam Injil tentang kebenaran diutusnya Nabi Muhammad saw. Pendeta-pendeta yang jujur inilah yang menaruh kasih kepada orang-orang beriman bahkan diantara mereka beriman dan mengikuti Nabi Muhammad saw. Mereka jujur, tidak memanipulasi ayat-ayat Allah untuk kepentingan dunia mereka (yakni tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit).
Ini juga diterangkan dalam surat Ali Imran (3) ayat 199 dan surat Al-Qashash (28) ayat 52-55 : Ali Imron (3); 199:
وَإِنَّ مِن اَهلِ الكِتَابِ لَمَن يُؤمِنُ بِاللهِ وَمَاأُنزِلَ إِلَيهِم خَاشِعِينَ اللهِ لاَيَشتَرُونَ بِئَايَاتِ اللهِ ثَمَنًا قَلِيلاً أُولَئِكَ لَهُم أَجرُهُم عِندَ رَبِهِم إِنَّ اللهَ سَرِيعُ الحِسَابِ
”dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya”.
Al-Qashash (28), 52-55 :
الَّذِينَ ءَاتَينَاهُمُ الكِتَابَ مِن قَبِلِهِ هُم بِهِ يُؤمِنوُنَ. وَاِذَا يُتلَى عَلَيهِم قَالُوا ءَامَنَّا بِهِ إِنَّهُ الحَقُّ مِن رَّبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِن قَبلِهِ مُسلِمِينَ. أُولَئِكَ يُؤتُونَ أَجرَهُم مَّرَّتَينِ بِمَا صَبَرُوا وَيَدرَعُونَ بِالحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقنَاهُم يُنفِقُونَ. وَإِذَا سَمِعُو اللَّغوَ أَعرَضُوا عَنهُ وَقَالُوا لَنَا أَعمَالُنَا وَلَكُم أَعمَالُكُم سَلاَمٌ عَلَيكُم لاَنَبتَغِي الجَاهِلِينَ
“Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka al-Kitab sebelum Al-Quran, mereka beriman (pula) dengan Al-Quran itu”.
“Dan apabila dibacakan (Al-Quran itu) kepada mereka, mereka berkata: ”Kami beriman kepadanya sesungguhnya Al-Quran itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan (Nya)”.
“Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan dan sebagian dari apa yang telah Kami rizkikan kepada mereka, mereka nafkahkan”.
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”.
Adapun pendeta-pendeta yang tidak jujur dan memanipulasi ayat-ayat Allah dalam Injil dan Al-Quran pasti akan membina kaum Nasrani yang membenci orang-orang beriman, menghalangi mereka yang mengamalkan syari`at Islam secara kaffah dan berusaha keras dengan segala cara untuk memurtadkan orang-orang Islam seperti disebut dalam firman Allah swt ayat 120 surat Al-Baqarah (2), ayat 100 surat Ali Imran (3).
Al-Baqarah (2) 120:
وَلَن تَرضَى عَنكَ اليَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُم قُل إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعتَ أَهوَاءَ هُم بَعدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ العِلمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِن وَّلِيِّ وَلاَ نَصِيرٍ
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah "sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu".
Ali Imran (3) : 100
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِِن تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعدَ إِيمَانِكُم كَافِرِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman".
Maka saya menasehatkan kepada anda-anda pengasuh "Dakwah Ukhuwah" agar berlaku jujur dan ksatria dalam menerangkan ayat-ayat Injil dan Al-Quran. Bila anda-anda jujur Insya Allah selamat dunia akhirat, bila tidak tunggu keputussan Allah yang akan menjerumuskan anda-anda kepada bencana yang mengerikan dunia akhirat.
2. (No.03) –seseorang tak dipandang beragama bila tidak menegakkan ajaran-ajaran Taurat dan Injil

"Katakanlah hai Ahli Kitab, tidaklah kamu berada atas sesuatu (kebenaran) sehingga kamu menegakkan (ajaran-ajaran) Taurat dan Injil"(QS. Al-Maidah 68)
Tanggapan:
Ayat ini anda manipulasi dengan cara memotong kelanjutan ayat, sehingga seolah-olah yang diperintahkan Allah swt hanya menegakkan ajaran Taurat dan Injil saja, padahal yang diperintahkanNya juga harus menegakkan ajaran Al-Quran.
Bunyi ayat selengkapnya adalah sebagai berikut :
قُل يَاأَهلَ الكِتَابِ لَستُم عَلَى شَىءٍ حَّتَى تُقِيمُوا التَّورَاةَ وَالإِنجِيلَ وَمَاأُنزِلَ إِلَيكُم مِن رَّبِكُم وَلَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنهُم مَّا أُنزِلَ إِلَيكَ مِن رَّبِّكَ طُغيَانًا وَكُفرًا فَلاَ تَأسَ عَلَى القَومِ الكَافِرِينَ

"Katakanlah hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun sehingga kamu menegakkkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan apa-apa yang diturunkan kepadamu (Al-Quran) dari Tuhanmu. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (hai Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang kafir itu".(Al-Maidah 68).
Pada prinsipnya ayat Al-Quran di atas menerangkan:
a. Orang-orang yang tidak mau menegakkan ajaran-ajaran kitab suci; Taurat, Injil dan Al-Quran adalah kafir. Yang dimaksud menegakkan dalam ayat tersebut di atas adalah mengimani dan mengamalkan seluruh ajaran-ajarannya, tidak ada kesengajaan meninggalkan satu ayat pun kecuali adanya halangan yang dibenarkan syari`at.
Kalau orang yang beragama Yahudi konsekuen menegakkan ajaran Taurat, pasti mengimani kedatangan Nabi Isa as. dan mengikutinya dan pasti mengimani Injil dan mengamalkannya. Karena Nabi Musa as. sudah menubuwatkan kedatangan Nabi Isa as. dan memerintahkan mengikutinya.
Demikian pula pengikut Nabi Isa as. (kaum Nasrani) kalau mereka konsekuen mengikuti ajaran Injil, pasti akhirnya beriman kepada Nabi Muhammad saw. Karena Nabi Isa as. sudah menubuwatkan akan kedatangan Nabi Muhammad saw. Dan memerintahkan mengikutinya dan juga mengimani dan mengikuti Al-Quran kitab suci terakhir yang menerangkan ajaran-ajaran kitab-kitab suci sebelumnya.
Demikian pula kaum Muslimin apabila menegakkan Al-Quran pasti mengimani semua Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw. Termasuk Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. dan membenarkan kitab yang pernah diturunkan sebelum Al-Quran; Taurat, Zabur dan Injil. Hanya semua kitab-kitab suci itu sudah dirangkum dan disempurnakan oleh Allah swt dalam satu kitab suci terakhir yaitu Al-Quran yang diturunkan pada Rasul terakhir, yakni Nabi Muhammad saw.
QS. Al-Baqarah (2) 285:
ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيهِ مِن رَّبِّهِ وَالمُؤمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَنُفَرِّقُ بَينَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعنَا وَأَطَعنَا غُفرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيكَ المَصِيرُ
"Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): 'Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasulnya", dan mereka mengatakan: "kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdoa): 'Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali".
An-Nisa (40) 136:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنوُا ءَامِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَالكِتَابِ الَّذِي أَنزَلَ مِن قَبلُ وَمَن يَكفُر بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَومِ الأَخِرِ فَقَد ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan pada Rasul-Nya serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barang siapa yang kafir kepada Allah, malikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya".
Jadi apabila orang yang beragama Yahudi tapi mengingkari Nabi Isa as. dan Injil, maka ia tidak menegakkan Taurat, maka ia kafir. Apabila ada orang beragama Nasrani (mengikuti Nabi Isa as.), tapi mengingkari kedatangan Nabi Muhammad saw dan Al-Quran dan tidak mengikutinya, maka berarti ia tidak menegakkan ajaran-ajaran Injil, maka ia kafir. Demikian pula bila ada orang Islam yang mengingkari salah satu nabi dan rasul, maka berarti ia tidak menegakkan ajaran-ajaran Al-Quran, berarti ia kafir. Maka wajib bagi kaum muslimin mengimani semua nabi dan rasul dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada beliau-beliau yang mulia.
Setiap rasul mengamanatkan kepada ummatnya agar mengikuti rasul sesudahnya. Nabi Musa as. mengamanatkan agar ummatnya beriman kepada rasul sepeninggal beliau, yakni nabi Isa as. dan nabi Isa as. mengamanatkan agar ummat beliau beriman dan mengikuti rasul sepeninggal beliau, yakni nabi Muhammad saw. Karena nabi Muhammad adalah rasul terakhir, maka amanat beliau pada ummat beliau sepeninggal beliau agar tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan sunnah beliau saw.
Maka sebelum anda beriman dan mengikuti nabi Muhammad saw berarti anda tidak menegakkan Taurat dan Injil, ini berarti anda "kafir".
An-Nisa` (4) 150-151
إِنَّ الَّذِينَ يَكفُرُونَ بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِدُونَ أَن يُّفَرِّقُوا بَينَ اللهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤمِنُ بِبَعضٍ وَنَكفُرُ بِبَعضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَّتَخِذُوا بَينَ ذَلِكَ سَبِيلاً. أُولَئِكَ هُمُ الكَافِرُونَ حَقًَّا وَأََعتَدنَا لِلكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap yang sebagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) diantara yang demikian (iman atau kafir).
Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan."
Maka berimanlah kepada semua nabi-nabi.
An-Nisa (4) 47:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أُوتُوا الكِتَابَ ءَامَنُوا بِمَانَزَّلنَا مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُم مِّن قَبلِ أَن نَّطمِسَ وُجُوهًا فَنَرُدَّهَا عَلَى أَدبَارِهَا أَونَلعَنَهُم كَمَا لَعَنَّا أَصحَابَ السَّبتِ وَكَانَ أَمرُ اللهِ َمفعُولاً
"Hai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Quran) yang membenarkan Kitab yang ada padamu sebelum Kami mengubah muka (mu), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang (yang berbuat ma`siat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku".
3. (No.05) Kafir menolak Isa as.
وَبِكُفرِهِم وَقَولِهِم عَلَى مَريَمَ بُهتَانًا عَظِيمًا
"Dan karena kekafiran mereka (terhadap Isa) dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan yang besar (zina)"(An-Nisa'(04)156)
Tanggapan :
Memang benar siapa yang menolak dan tidak mengakui kenabian Isa as. adalah kafir. Oleh karena itu semua manusia termasuk kaum muslimin diwajibkan beriman kepada kenabian Isa as. disamping harus beriman kepada semua nabi-nabi dan rasul-rasul.
Ayat ini dan sebelumnya (ayat 155) mencela kedurhakaan Yahudi kepada para nabi-nabi, khususnya kepada nabi Isa as. yang diutus kepada mereka waktu itu.
Demikian pula barang siapa yang menolak beriman kepada Nabi Muhammad saw dan menolak mengikuti beliau adalah kafir. Maka sangat jelas dan gamblang bahwa semua orang Nasrani adalah kafir, karena menolak beriman kepada nabi Muhammmad saw. Tetapi kalau mereka beriman dan mengikuti nabi Muhammad saw, mereka mendapat pahala dua kali.
Al-Qashash (28) 52-54:
اَلَّذِينَ ءَاتَينَاهُمُ الكِتَابَ مِن قَبلِهِ هُم بِهِ يُؤمِنُينَ. وَإِذَا يُتلَى عَلَيهِم قَالُوا ءَامَنَّا بِهِ إِنَّهُ الحَقُّ مِن رَّبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِن قَبلِهِ مُسلِمِينَ. أُولَئِكَ يُؤتَونَ أَجرَهُم مَّرَتَينِ بِمَا صَبَرُوا وَيَدرَعوُنَ بِالحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقنَاهُم يُنفِقُونَ
"Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Quran, mereka beriman (pula) dengan Al-Quran itu".
"Dan apabila dibacakan (Al-Quran itu) kepada mereka, mereka berkata: "Kami beriman kepadanya; sesungguhnya Al-Quran itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami. Sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(Nya)".
"Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami rizkikan kepada mereka, mereka nafkahkan.
Rasulullah saw bersabda:
"Ada tiga golongan yang mereka diberi pahala dua kali:
1. Seorang Ahli Kitab (Yahudi Nasrani) karena ia beriman kepada nabi lalu juga beriman kepadaku (Nabi Muhammad saw)
2. Seorang hamba sahaya yang memenuhi hak Allah dan hak tuannya
3. Seorang laki-laki yang mendidik hamba sahaya wanitanya dengan baik, kemudian memerdekakannya lalu menikahinya"
(Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim)
4. (No.10) Isa mengetahui hari kiamat dan Isa as. adalah jalan yang lurus
وَإِنَّهُ لَعِلمٌ لَلسَّاعَةِ فَلاَ تَمتَرُنَّ بِهَا وَاتَّبِعُونَ هَذَا صِرَاطٌ مُّستَقِيمٌ
"Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah aku, itulah jalan yang lurus"(Az-Zukhruf(43)61)
"Tuhan tunjukanlah kami jalan yang lurus" (Al-Fatihah(1):6)
Tanggapan:
Yang dimaksud jalan yang lurus dalam surat Al-Fatihah ayat 5 itu diterangkan dalam ayat berikutnya yang berbunyi :
"yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka. Bukan jalan mereka yang dimurkai (Yahudi) dan bukan pula jalan mereka yang sesat (Nasrani)"
Adapun jalan orang-orang yang diberi nikmat diterangkan dalam surat An-Nisa` ayat 69:
فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنعَمَ اللهُ عَلَيهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ
"Yaitu jalan kehidupan para nabi-nabi, shiddiqin (yang teguh imannya kepada para nabi), orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh".
Jadi jalan yang lurus ialah jalan kehidupan semua nabi-nabi termasuk nabi Isa as. dan nabi sepeninggal beliau, yakni Nabi Muhammad saw apabila diikuti secara sempurna dan tidak diselewengkan karena kepentingan.
Maka orang yang mengikuti jalan Nabi Isa as. secara sempurna dan jujur pasti ia beriman dan mengikuti Nabi Muhammad saw sepeninggal Nabi Isa as. maka apabila ada orang mengaku mengikuti jalan Nabi Isa as. dan dia mengingkari Nabi Muhammad saw. Jelas dia telah menyelewengkan jalan Nabi Isa as. maka dia berada di jalan yang sesat.
Adapun yang dimaksud Isa memberikan pengetahuan tentang hari kiamat ialah turunnya kembali Nabi Isa as. menandakan sudah dekat hari kiamat sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa Nabi Isa as. akan turun ke bumi sebelum hari kiamat.
Jadi bukan berarti Nabi Isa as. tahu kapan terjadinya hari kiamat, sebab terjadinya hari kiamat hanya diketahui oleh Allah sendiri, sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya surat An-Nazi`at (79) ayat 42-44:
يَسئَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةَ أَيَّانَ مُرسَاهَا. فِيمَ أَنتَ مِن ذِكرَاهَا. إِلَى رَبِّكَ مُنتَهَاهَا
"Orang-orang kafir bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?".
"Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)?".
"Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya)".
Dalam firman-Nya yang lain Allah swt menerangkan:
Fushilat (41) 47:
إِلَيهِ يُرَدُّ عِلمُ السَّاعَةِ
"Kepadanyalah dikembalikan pengetahuan tentang hari kiamat….."
Maksudnya hanya Allah-lah yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat itu.
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Malaikat Jibril pernah mendatangi Rasulullah saw yang sedang berbincang-bincang dengan para sahabat. Jibril mengubah bentuk menjadi seperti manusia, lalu bertanya kepada Nabi saw tentang Islam, Iman dan Ihsan dengan maksud mengajar para sahabat. Diantara pertanyaan Jibril as. kepada Nabi saw ialah : "Kapan terjadinya hari kiamat?: Nabi saw menjawab: "orang yang ditanya tidak lebih tahu dari pada yang bertanya".
Maksudnya baginda Muhammad saw tidak tahu, karena hanya Allah swt saja yang tahu.
5. (No.11) Isa as. Ruh Allah swt dan berkuasa atas alam semesta
وَالَّتِي أَحصَنَت فَرجَهَا فَنَفَخنَا فِيهَا مِن رُّوحِنَا وَجَعَلنَاهَا وَاَبنَهَا ءَايَةً لِلعَالَمِينَ
"Dan (ingatlah kisah) Maryam yang memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam"(Al-Anbiya (21) 91)
Tanggapan :
Yang dimaksud "Ruh Kami" dalam ayat ini ialah Malaikat Jibril. Jadi yang meniupkan janin ke dalam rahim Maryam adalah Ruh Allah yakni Malaikat Jibril. Sebab Malaikat Jibril itulah Ruh Allah. Ini diterangkan dalam firman-Nya surat Maryam ayat 17 dan surat An-Nahi ayat 102.
Maryam (19) 17:
فَاتَّخَذَت مِن دُونِهِم حِجَابًا فَأَرسَلنَا إِلَيهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيَّا
"Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma dihadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna".
An-Nahl (16) 102:
قُل نَزَّلَهُ رُوحُ القُدُسِ مِن رَبِّكَ بِالحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ ءَامَنُو وَهُدًى وَبُشرًى لِلمُسلِمِينَ
"Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
Ayat tersebut di atas tidak menerangkan bahwa Isa as. berkuasa atas alam semesta, tetapi menerangkan bahwa kelahiran Isa as. tanpa ayah adalah merupakan tanda dan bukti kekuasaan Allah swt atas alam semesta. Jadi yang berkuasa atas alam semesta hanyalah Allah swt, dan bukan Isa as, bukan Nabi Muhammad saw, dan bukan nabi-nabi lainnya. Mempercayai Nabi Isa as. berkuasa atas alam semesta adalah syirik yang tidak akan diampuni kalau sampai dibawa mati.
6. (No.12) Isa itu utusan Allah dan firman-Nya
إِنَّمَا المَسِيحُ عِيسَى ابنُ مَريَمَ رَسُولُ اللهِ وَكَلِمَتُهُ
"Sesungguhnya Isa al-Masih putra Maryam itu utusan Allah dan firman-Nya…".(QS. An-Nisa` (4) 171)
Tanggapan:
Isa as. itu utusan Allah, ini memang benar, tetapi utusan Allah khusus untuk Bani Israil, bukan kepada seluruh ummat manusia. Yang diutus oleh Allah kepada seluruh ummat manusia hanyalah Muhammad saw.
Maka Nabi Isa as. bila menyeru ummat beliau dengan kalimat; "yaa Bani Israil…" (Wahai kaum Bani Israil); sedang Nabi Muhammad saw bila menyeru ummatnya: "Ya Ayyuhan Naas…" (Wahai ummat manusia). Lihat firaman Allah swt surat Ash-Shaf ayat 6 dan surat An-Nisa` ayat 1:
Ash-Shaf (61) 6:
وَإِذ قَالَ عِيسَى ابنُ مَريَمَ يَابَنِي إِسرَاءِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيكُم مُّصَدِّقًا لِّمَابَينَ يَدَيَّ مِنَ التَّورَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأتِي مِن بَعدِي اسمُهُ أَحمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُم بِالبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحرٌ مُبِينَ
"Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: "Hai bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberiku khabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)". Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, mereka berkata: "ini adalah sihir yang nyata".
An-Nisa` (4) 1:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفسٍ وَاحِدَةٍ
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu…"
adapun terjemahan ayat tersebut di atas (An-Nisa` 171)
yang benar adalah sebagai berikut:
An-Nisa` (4) 171.
إِنَّمَاالمَسِيحُ عِيسَ ابنُ مَريَمَ رَسُولُ اللهِ وَكَلِمَتُهُ
"Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan yang diciptakan-Nya dengan kalimat-Nya…"
Jadi yang dimaksud "Isa adalah kalimat Allah" ialah karena beliau diciptakan dengan kalimat Allah swt "KUN…!" (jadilah!), maka jadilah meskipun tanpa proses hubungan suami-istri. Karena Allah swt bila menghendaki sesuatu cukup berfirman: "Kun !"(jadilah), pasti terjadi.
Lihat firman-Nya dalam surat Yasin ayat 82, dan surat Ali Imran ayat 59.
Yasin (36) 82:
إِنَّمَا أَمرُهُ إِذَاأَرَادَ شَيئًا أَن يَّقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونَ
"Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "jadilah !" maka terjadilah ia".
Ali Imran (3) 59:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِندَ اللهِ كَمَثَلِ ءَادَمَ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونَ
"Sesungguhnya misal (pencipataan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "jadilah" (seorang manusia), maka jadilah ia".
7. (No.13) Isa as. adalah ruh Allah swt yang menjelma menjadi manusia sempurna
فَاتَّخَذَت مِن دُونِهِم حِجَابًا فَأَرسَلنَا إِلَيهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا
"Maka Dia mengadakan pembatas dari keluarganya, lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, lalu dia menyerupakan dirinya di hadapannya sebagai manusia sempurna. (QS. Maryam (19) 17)
tanggapan:
Terjemahan ayat tersebut di atas yang benar adalah sebagai berikut:
Maryam (19) 17:
فَاتَّخَذَت مِن دُونِهِم حِجَابًا فَأَرسَلنَا إِلَيهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا

"Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna".
Kesimpulan yang tercantum dalam No.13 di atas yang menyatakan bahwa Isa as. adalah ruh Allah yang menjelma menjadi manusia yang sempurna adalah merupakan pembelokan makna ayat dan merupakan penipuan.
Sebenarnya yang dimaksud "ruh kudus" dalam ayat tersebut bukan Nabi Isa as., tetapi Malaikat Jibril yang diutus oleh Allah swt untuk meniupkan janin ke dalam rahim Maryam. Ketika itu ia menjelma menjadi manusia yang sempurna, maka ketika Maryam melihatnya ia berlindung kepada Allah karena khawatir diganggu. Lalu Malaikat Jibril memberitahu bahwa dia bukan manusia tetapi Malaikat utusan Allah. Selanjutnya terjadi dialog antara dia dengan Maryam.
Baca firman Allah dalam surat Maryam ayat 18-21
قَالَت إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحمَنِ مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيًّا. قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لأَهَبَ لَكِ غُلاَمًا زَكِيًّا. قَالَت أَنَّى يَكُونُ لِي غُلاَمٌ وَلَم يَمسَسنِي بَشَرٌ وَلَم أَكُ بَغِيٌّا. قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَىَّ هَيِّنٌ وَلِنَجعَلَهُ ءَايَةٌ لِلنَّاسِ وَرَحمَةً مِّنَّا وَكَانَ أَمرًا مَّقضِيًّا
"Maryam berkata: "Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertaqwa".
"Ia (Jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak yang suci".
" Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina".
"Jibril berkata: "Demikian Tuhanmu berfirman:"Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan".
Maka Nabi Isa as. adalah manusia biasa yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang mulia juga manusia biasa.
Lihat firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 75
مَّا المَسِيحُ ابنُ مَريَمَ إِلاَّ رَسُولٌ قَد خَلَت مِن قَبلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ كَانَا يَأكُلاَنِ الطَّعَامَ انظُر كَيفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الأَيَاتِ ثُمَّ انظُر أَنَّى يُؤفَكُونَ
"Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya, telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (Ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu)".
8. (No. 16) Isa al-Masih Hakim yan Adil
"Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya telah dekat masanya Isa anak Maryam akan turun di tengah-tengah kamu. Dia akan menjadi hakim yang adil…."(H.R. Muslim)
Tanggapan:
Memang benar Nabi Isa as. akan turun kembali ke bumi untuk menjadi hakim yang adil terutama akan menata dan meluruskan manusia agar kembali kepada syari`at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Bahkan beliau akan membunuh babi-babi dan memecahkan salib-salib lambang kaum Nasrani. Jadi beliau menegaskan bahwa kepercayaan kaum Nasrani adalah bathil. Yang benar hanyalah dienul Islam yang diserukan oleh Nabi Muhammad saw.
Kejadian ini dinubuwatkan oleh nabi Muhammad saw yang tersebut dalam hadis dibawah ini:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: "Demi yang jiwaku di tangan-Nya, benar-benar telah dekat waktu turunnya putra maryam (Isa as.) kepada kalian sebagai hakim yang adil, beliau akan memecahkan (menghancurkan) salib dan membunuh babi dan menetapkan jizyah hingga harta (kaum muslimin) menjadi melimpah, hingga tiada seorangpun (dari kalangan mereka) yang mau menerima sedekah". (H.R. Bukhary dan Muslim)
Bahkan denagn tegas nabi Muhammad saw menerangkan siapa saja yang telah mendengar dakwah Islam tapi tidak mau mengikuti, ia pasti menjadi penghuni neraka. Ini dijelaskan dalam hadits dibawah ini:
Diriwayatkan dari abu Hurairah ra,. Beliau berkata: Rasulullah saw telah bersabda: "Demi yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorangpun dari kalangan ummat ini dan dari kalangan Yahudi serta Nasrani yang telah mendengar ajaranku, kemudian dia mati sedang dia belum beriman dengan ajaranku, maka ia pasti menjadi penghuni neraka".(H.R. Muslim dan Ahmad)
Bahkan dengan jelas Nabi Muhammad saw menegaskan jika Nabi Musa as. masih hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad saw. Pasti beliau akan mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. Ini telah diterangkan dalam hadits dibawah ini:
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a., beliau berkata: Rasulullah saw telah bersabda: "Jangan kalian bertanya sesuatu (tentang urusan agama) kepada ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Sesungguhnya mereka tidak akan bisa memberimu petunjuk yang benar, karena mereka sendiri telah sesat. Jika kalian lakukan maka kalian hanya mempercayai suatu kebathilan atau kalian akan mendustakan kebenaran, sesungguhnya jika Musa as. hidup diantara kalian sekarang pasti ia akan mengikuti ajaranku."(H.R. Ahmad dan Darimi).
ZSumber : brosur "Surat Tanggapan dari Abu Bakar Ba'asyir untuk Pengurus dan Penanggungjawab Brosur Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama dan Seluruh Umat Kristiani", 23 Juli, Rutan Salemba – Jakarta Pusat, Penerbt GHUROBA, Komplek PP Al-Mukmin Ngruki PO Box 259 Solo.